Makna Mahar (Jeulamee) Dalam Penghargaan Keluarga Istri Pada Sistem Perkawinan Suku Aceh(Studi Deskriptif Di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

MAKNA MAHAR (JEULAMEE) DALAM PENGHARGAAN KELUARGA ISTRI PADA SISTEM PERKAWINAN SUKU ACEH

(Studi Deskriptif Di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara) SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH RAFIQAH AYU

050901014

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

ABSTRAKSI

Masyarakat atau Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut Islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka (masyarakat aceh), sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Dalam adat perkawinan pada masyarakat Aceh harus melalui tahap pemberian mahar. Dalam pelaksanaannya pemberian tersebut melalui keluarga antara keluarga pihak mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan. Pada suku Aceh, khususnya kaum perempuan mahar sangat besar artinya. Bagi perempuan Aceh mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki serta merta laki-laki wajib memenuhi pemberian mahar tersebut kepada kaum perempuan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Makna Mahar dalam Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh serta berapakah Jumlah Mahar yang berlaku sekarang ini di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Kabupaten Aceh Utara.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian kualitatif dengan memakai studi deskriptif. Untuk pengumpulan data yang di butuhkan adalah proses wawancara dan observasi.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diketahui bahwa mahar dalam masyarakat Aceh sangat diperhitungkan. Untuk menuju suatu hubungan perkawinan, maka terlebih dahulu harus dipenuhi syarat dan ketentuan dalam suatu perkawinan, yaitu salah satunya tercapainya dalam pemberian mahar. Dalam penentuan mahar keluarga perempuan sangat berperan aktif dalam pengambilan keputusan. Dimana suatu keputusan harus melalui keluarga. Pemberian mahar yang berlaku saat sekarang ini di Krueng Mane berkisar 15 manyam, 30, sampai 50 manyam. Hal tersebut dilakukan, suatu adat telah menetapkan setelah perkawinan dilakukan pihak mempelai laki-laki wajib tinggal bersama mempelai perempuan/ ikut bersama istri dan hidup dilingkungan perempuan (istri).


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat dan anugrah-Nya, penulis dapat menyelesaikan mulai dari perkuliahan hingga pada penyusunan skripsi yang berjudul “MAKNA JEULAMEE (MAHAR) DALAM PENGHARGAAN KELUARGA ISTRI PADA SISTEM PERKAWINAN SUKU ACEH” (studi deskriptif : di krueng mane kecamatan muara batu, kabupaten aceh utara). Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari para pembaca agar kiranya skripsi ini dapat menjadi berkat dan bermanfaat bagi pembaca.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran, motivasi, serta dukungan doa dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak, terutama orang tua penulis Ibunda yang telah banyak membantu hingga tak ternilai harganya dan tiada kata yang tepat untuk kuucapkan atas semua perhatian serta pengorbanannya. Dalam kesempatan ini pula, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si sebagai ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Ibu Dra. Rosmiani, MA selaku sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, serta selaku dosen pembimbing sekaligus dosen wali penulis yang banyak membantu dan membimbing , arahan, saran, serta sumbangan pemikiran dan ide-ide dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, yang telah memberi masukan judul pada penulis dalam skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan administrasi FISIP USU khususnya Departemen Sosiologi, buat kak Feny, kak Nurbetti, dan kak Devi penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala bantuannya.

6. Bapak Ali Yahya dan Muklis selaku kepala/ wakil daerah Krueng Mane beserta karyawan kerja yang ramah dalam memberi keterangan kepada peneliti.

7. Ibu Zakiah selaku pegawai kantor camat krueng mane yang telah membantu dan memberikan keterangan serta data-data yang diperoleh dalam penyelesaian skripsi ini. Dan tak lupa seluruh informan peneliti yang bersedia diwawancarai dalam membantu peneliti untuk memperoleh data yang akurat.

8. Teristimewa kepada orang tua penulis, al. Bapak Ilyas Is, dan Ibu Nuriah Hs yang sangat penulis sayangi dan cintai, yang tak henti-hentinya memberikan semangat, dukungan, tuntunan, doa dan perhatian yang dilimpahkan kepada penulis. Terima kasih pada abangku Nuzul Indra, Umi Ida, Pak Wawin, Umi Syah, dan sepupuku Muslem, Khairul Maiya, Novi, serta keponakanku Naiya, Lia, Zuhra, Ratu yang selalu memberi dukungan, semangat dan doa kepada penulis. Terima kasih pada seluruh keluarga besarku yang penulis sayangi.


(5)

9. Kepada teman-teman seperjuangan Sosiologi Stambuk 2005 : Gorenti, Nova, Twinz, Sari, Lola, Helna, Iren, Hernita, Yeni, Bancin, Beni, Fridolin, Dedi, Indra, Bobi, Iman, Willy, Andre, Irda, Yanti, Nana, Ita, Rani Carolina, Rani Khairani, Penggi, Nia, Ade, Tius, Cen-cen, Nina, Eko, Anas, Frenklin, Purnawan, Muhadi, Panca, Siska, wida, Jena, dan teman-teman yang tak bisa disebutkan satu persatu. Kepada senior stambuk 2002 : kak Jijah, kak Fatma, kak Sari beserta senior lainnya. Kepada senior stambuk 2003 : kak Graes, bang Alek, bang Feri, bang Dinan, bang Abas beserta senior lainnya. Kepada senior stambuk 2004 : kak Dini, kak Toeit, bang Alek, kak Anita beserta senior lainnya. Dan kepada junior 2006-2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

10.Kepada teman-teman diluar kampus : kak Koik, kak Yus, kak Rada, kak Nel, Desi, Pak bandrek, Ibu percetakan yang selalu memberi semangat, dukungan, dan hiburan kepada penulis. Serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih.


(6)

Penulis menyadari tidak akan mampu membalas semua kebaikan yang telah diberikan, karena tanpa peran kalian semua penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, biarlah Allah SWT yang membalas atas kebaikan semua, dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Medan, Juni 2010 Penulis

(Rafiqah Ayu) Nim : 050901014


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 8

1.3.Tujuan Penelitian ... 8

1.4.Manfaat Penelitian ... 9

1.5.Defenisi Konsep ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Institusi Keluarga ... 12

2.2. Fungsi Keluarga ... 13

2.2.1. Fungsi Biologis ... 13

2.2.2. Fungsi Afeksi ... 14

2.2.3. Fungsi Sosialisasi ... 14

2.2.4. Fungsi Ekonomi ... 15

2.2.5. Fungsi Rekreasi ... 15

2.3. Teori Struktural Fungsional ... 23

2.4. Proses Sosialisasi dalam Keluarga ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Lokasi Penelitian ... 29

3.3. Unit Analisis Penelitian ... 30

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.5. Interpretasi Data ... 32


(8)

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 33

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 35

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 35

4.1.2. Demografi ... 35

4.1.2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ... 36

4.1.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 36

4.1.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 37

4.1.2.4. Sarana dan Prasarana Perhubungan ... 38

4.1.2.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39

4.1.2.6. Pola Pemukiman ... 39

4.1.2.7. Pemanfaatan Sebagian Areal Tanah Krueng Mane ... 40

4.1.2.8. Bentuk Pemerintahan Daerah Krueng Mane ... 41

4.2. Profil Informan... 42

4.3. Interpretasi Data Penelitian... 69

4.3.1. Adat Istiadat Perkawinan Suku Aceh ... 69

4.3.2. Jumlah Mahar yang Berlaku Sekarang ini di Suku Aceh ... 74

4.3.3. Mahar Menurut Agama dalam Sistem Perkawinan Suku Aceh ... 76

4.3.4. Mahar dalam Institusi Keluarga Perempuan Suku Aceh ... 79

4.3.5. Makna Jeulamee (mahar) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh ... 83

4.3.6. Perubahan Adat Istiadat Perkawinan pada Suku Aceh ... 85


(9)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 90 5.2. Saran... 92 DAFTAR PUSTAKA


(10)

ABSTRAKSI

Masyarakat atau Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut Islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka (masyarakat aceh), sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Dalam adat perkawinan pada masyarakat Aceh harus melalui tahap pemberian mahar. Dalam pelaksanaannya pemberian tersebut melalui keluarga antara keluarga pihak mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan. Pada suku Aceh, khususnya kaum perempuan mahar sangat besar artinya. Bagi perempuan Aceh mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki serta merta laki-laki wajib memenuhi pemberian mahar tersebut kepada kaum perempuan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Makna Mahar dalam Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh serta berapakah Jumlah Mahar yang berlaku sekarang ini di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Kabupaten Aceh Utara.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian kualitatif dengan memakai studi deskriptif. Untuk pengumpulan data yang di butuhkan adalah proses wawancara dan observasi.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diketahui bahwa mahar dalam masyarakat Aceh sangat diperhitungkan. Untuk menuju suatu hubungan perkawinan, maka terlebih dahulu harus dipenuhi syarat dan ketentuan dalam suatu perkawinan, yaitu salah satunya tercapainya dalam pemberian mahar. Dalam penentuan mahar keluarga perempuan sangat berperan aktif dalam pengambilan keputusan. Dimana suatu keputusan harus melalui keluarga. Pemberian mahar yang berlaku saat sekarang ini di Krueng Mane berkisar 15 manyam, 30, sampai 50 manyam. Hal tersebut dilakukan, suatu adat telah menetapkan setelah perkawinan dilakukan pihak mempelai laki-laki wajib tinggal bersama mempelai perempuan/ ikut bersama istri dan hidup dilingkungan perempuan (istri).


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Adat Mahar telah menjadi suatu momok yang menakutkan bagi sebagian besar pemuda yang mau menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari oleh fakta yang bahwa sebagian besar pihak mempelai wanita pasti akan mematok mahar yang terbilang fantastis dan cukup tinggi bagi ukuran masyarakat kita yang mayoritas di dominasi oleh masyarakat berstatus ekonomi kelas bawah. Ini adalah fakta, dan kondisi ini di perparah oleh sebagian besar pihak mempelai wanita yang menganggap tingginya patokan jumlah mahar sebagai sebuah prestise.

Pada pihak mempelai wanita dalam hal ini tidak bisa disebut materialistis ataupun pragmatis, baik mempelainya ataupun orang tua mempelai yang bersangkutan, karena mereka hanya mengikuti adat dan pertimbangan lain yang didominasi oleh pengaruh adat yang kadang tidak memperhitungkan faktor afeksi.

Dalam masyarakat seperti masyarakat Batak, mahar disebut sebagai sinamot yang artinya biaya mahar dalam sistem adat Batak yang di berikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Istilah sinamot merupakan suatu bagian dalam pesta perkawinan yang akan dilangsungkan.

Besarnya sinamot di tentukan oleh tingkat ekonomi dan pendidikan yang sudah ditempuh oleh perempuan namun masih bisa di negosiasikan dalam acara marhata sinamot. Dalam pesta perkawinan adat batak, pihak hula-hula (bride giver) akan memegang peran yang maha tinggi karena telah memberikan putrinya kepada boru (bride taker) serta keturunannya.


(12)

Oleh karena itu, dia harus disembah dan tabu untuk di tentang. Selanjutnya, dongan sabutuha adalah tempat bertukar pikiran sekalian dalam menunjang keberhasilan perhelatan perkawinan tersebut.

Kalau dilihat dalam tata cara perkawinan masyarakat batak secara kerajaan, perkawinan tersebut di selenggarakan sesuai dengan musyawarah, adapun musyawarah tersebut dapat dilalui dengan tiga tingkatan yaitu :

1. Musyawarah dalam rumah tangga (tahi ungut-ungut/unung-unung nasibahue). Disini segala sesuatu penyelenggaraan acara di bahas pertama kali oleh anggota keluarga inti, yaitu suami istri, atau pun kalau ada anak-anak yang sudah dianggap dewasa. Dalam musyawarah ini, yang paling pokok di bicarakan adalah masalah dana (keuangan) untuk penyelenggara pesta besar.

2. Musyawarah keluarga besar (klan), yang kadang disebut dengan tahi sabagas, yaitu musyawarah yang diadakan dengan kaum kerabat terdekat untuk minta pertimbangan mengenai maksud yang akan diadakan oleh tuan rumah. Musyawarah ini sangat penting artinya, karena disini dibahas juga masalah dana yang dapat dibantu oleh kaum keluarga dekat. Serta rencana penyelenggaraan pesta besar (horja).

3. Musyawarah dengan tetangga sekampung, atau yang disebut dengan tahi godang parsahutaan, yaitu musyawarah dengan beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mewakili masyarakat kampung tersebut. Hal ini juga penting, karena selain kampong tersebut akan menjadi tuan rumah pelaksaan horja tersebut, juga akan ikut membantu pelaksaan pesta besar. Pada musyawarah tingkat tiga ini, yang


(13)

hadir diantaranya yaitu : kahanggi, anak boru, pisang rahut, mora, hatobangan, panusunan bulung, harajaon, dan orang kaya (bendahara).(khairuddin, 1997 : 91-92).

Dalam adat masyarakat Minang, mahar disebut sebagai uang jemputan, yaitu sejumlah uang yang mesti di bayarkan oleh pihak keluarga wanita kepada pihak keluarga laki-laki (berasal dari daerah Padang atau Padang Pariaman) sebanyak permintaan pihak keluarga laki-laki.

Uang jemputan yang mesti di bayarkan adalah tergantung kesepakatan dari ninik mamak pihak keluarga laki-laki, dan di pengaruhi sekali oleh status sosial yang disandang oleh calon pengantin laki-laki. Misalnya calon pengantin laki-laki seorang dokter, besarnya uang jemputan yang mesti di bayarkan bisa saja mendekati nilai 50juta rupiah bahkan lebih.

Hal tersebut di atas bukan sesuai dengan anjuran syariat, bahkan saya melihat bahwa adat mahar di Aceh yang pada umumnya sangat besar dan memberatkan pihak laki- laki cenderung jauh dari tatanan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan. Kecenderungan tersebut semata- mata karena tuntutan peradatan yang sudah terlaksana secara turun- temurun di Tanah Serambi Mekkah ini.

Di satu sisi, adat mahar memang menghadirkan kemaslahatan karena menjadi suatu komoditi pasar yang kompetitif agar memotivasi para pemuda untuk bekerja keras dengan berbagai keterampilan ilmu dan usahanya. Dengan demikian mereka bisa mempersiapkan diri dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam keluarga. (http://aceh institute/index.php.htm).


(14)

Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia. Adat istiadat perkawinan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia. Dalam kebudayaan Indonesia, perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan harus mengikuti pola kebudayaan yang ketat.

Perkawinan bukan hanya bersatunya dua individu, namun lebih jauh adalah bersatunya dua keluarga besar. Perkawinan tidak boleh dilakukan serta merta dan tiba-tiba. Ia menjalani beberapa proses sehingga sampai pada bersatunya dua sejoli dalam ikatan rumah tangga.

Dalam sistem perkawinan yang terdapat dalam masyarakat Aceh biasanya yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan Bilateral. Dimana adat istiadat telah menetapkan sesudah menikah bersifat Matrilokal yaitu, yang mana setelah menjadi suami akan tinggal dirumah keluarga mempelai perempuan (istri) dalam kurun waktu lebih kurang satu tahun. Sedangkan anak adalah tanggung jawab ayah sepenuhnya.

Dalam sistem-sistem tersebut bahwa tampaknya terdapat kombinasi antara budaya minangkabau dengan Aceh itu sendiri. Garis keturunan perempuan juga diperhitungkan berdasarkan prinsip Bilateral, yang sedangkan adat telah ditetapkan sesudah menikah adalah Uxorilikal (yaitu tinggal didalam lingkup keluarga pihak mempelai perempuan).

Pada masa lampau masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial, antara lain empat lapisan/ golongan masyarakat yaitu :


(15)

1. Golongan keluarga sultan merupakan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah “ampon” untuk laki-laki dan “cut” untuk perempuan.

2. Golongan uleebalang merupakan orang-orang dimana keturunan-keturunan dari bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil dibawah kerajaan. 3. Golongan Ulama yaitu merupakan pemuka agama ang lazim disebut (teungku

atau tengku).

4. dan, Golongan rakyat biasa.

Demikianlah pelapisan-pelapisan yang terjadi dalam suku Aceh pada masa kesultanan dulu. Pada saat zaman sekarang ini adat istiadat yang dijalankan sekarang ini dengan adat masa lalu sudah mengalami perbedaan yaitu bertambah modernnya masyarakat serta tata cara dalam menyusun adat istiadat perkawinan.

Dalam sistem keluarga di Aceh, apabila salah seorang anaknya sudah dewasa, para orang tua sudah mulai sibuk memikirkan untuk mencari jodoh anaknya. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, secara dini mereka para orang tua mulai memperhatikan dan menyelidiki muda mudi yang siap untuk berumah tangga.

Pada umumnya orang tua tempo dulu yang pertama diselidiki untuk calon jodoh anaknya adalah ahklak, ketaatan beribadah, pendidikan, pekerjaan, serta keturunan dari mana ia barada. Biasanya keturunan kurang dipersoalkan, asalkan mencapai tujuan yang dimaksud dari ketentuan-ketentuan adat perkawinan, yaitu salah satu tercapainya mas kawin maka suatu perkawinan dapat dijalankan sebagaimana mestinya.


(16)

Tidak ubahnya saat zaman sekarang, sebagian dari pihak orang tua juga masih melihat status yang dimiliki, pendidikan bahkan jabatan dalam pekerjaan. Hal itu dilakukan untuk kepentingan dan yang terbaik untuk anaknya. Agar kelak hidup mereka tanpa kekurangan apa pun.

Dalam acara permulaan perkawinan, tahap pelamaran (ba ranup), biasanya dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki sebelumnya akan mengutuskan seorang yang dirasa bijak dalam berbicara, yang biasa disebut “teulangkee” yaitu sebagai pengurusan dalam peminangan.

Jika theulangke telah mendapat gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud untuk melamar gadis tersebut.

Bila lamaran diterima, keluarga pihak laki-laki akan datang untuk “peukeong haba”(membicarakan kapan dilangsungkan pernikahan), termasuk menetapkan seberapa besar uang yang akan diminta (disebut jeulamee), berapa banyak “jamee”(tamu) yang akan diundang, dan ketentuan hari datangnya “intat raneueb peukong haba”. Acara ini sekaligus “jak bie tanda”(upacara pertunangan).

Pada acara ini pihak laki-laki akan mengantar berbagai makanan khas daerah Aceh, seperti buleukat kuneeng dengan isi tumphou (pulut kuning serta isi yang dibuat dari tepung yang telah diolah), “lee macam boeh kayee” (aneka buah-buahan), serta seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuai dengan kemampuan keluarga laki-laki. Dalam adat Aceh, “jinamee”(mahar) adalah pemberian wajib seorang suami kepada calon istrinya.


(17)

Jumlah jinamee sangat variatif antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disesuaikan dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan kemampuan laki-laki. Jinamee ini tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat menjadi aib bagi keluarga tersebut (Muhammad Umar, 2006 : 159).

Di Krueng Manee Kecamatan Buara Batu Aceh Utara, jinamee yang harus dibayar oleh laki-laki kepada perempuan biasanya berkisar dari 15, 30, sampai 50 mayam (1 mayam = 3,3 gram). Di Aceh Pidie, jinamee yang harus dibayar laki-laki kepada perempuan lebih dari 20 mayam.

Namun, keluarga perempuan biasanya menyediakan rumah untuk mereka setelah menikah. Sedangkan di Aceh selatan umumnya dibawah 10 mayam, tetapi ditambah dengan “peng hangoh” (uang tunai). Pihak perempuan tidak menyediakan rumah. Bahkan ada dibeberapa daerah Aceh lainnya hanya 1-2 mayam saja, tanpa tambahan “peng hangoh” (uang tunai).

Suatu tradisi pada orang Aceh di dalam acara pesta dalam peresmian pernikahan biasanya acara makan dan minum sangat bervariatif. Perbedaannya cukup mencolok dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh, lauk pauk yang biasa dimakan bercitra rasa seperti masakan India.

Lauk pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Selain lauk pauk yang disebutkan diatas, yang termasuk dalam ciri khas makanannya adalah gulai kambing (kari kambing), “sie reboih”(daging sapi/kambing yang direbus dan bercampur dengan jeruk perut atau jeruk nipis), “keumamah”(ikan rebus yang dicampur air asam belimbing), “eungkoet paya”(ikan paya), mie aceh, dan martabak.


(18)

Selain itu, juga ada nasi ciri khas Aceh yaitu bu minyeuk (nasi gurih atau nasi minyak) serta tradisi minum kopi.

Dari pemaparan latar belakang di atas maka, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini agar mengetahui makna jeulamee (mahar) dalam penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan Suku Aceh di Krueng Manee Kecamatan Muara Batu Aceh Utara.

1.2.Perumusan Masalah

Guna meningkatkan arah jalannya penelitian maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang ada. Dengan itu, Suharsini Arikanto mengatakan bahwa “agar penelitian dapat dilakukan dan dilaksanakan dengan sebaiknya maka, peneliti harus merumuskan masalah yang ada sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus pergi, dan dengan apa” (Arikanto, 2002 : 22).

Berdasarkan uraian diatas maka, penulis merumuskan masalah sebagai beriku : 1. Bagaimana Makna Mahar (jeulamee) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada

sistem Perkawinan Suku Aceh ?

2. Berapakah Jumlah Mahar (jeulamee) yang berlaku pada saat sekarang ini di Suku Aceh ?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Makna Mahar (jeulamee) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada sistem Perkawinan Suku Aceh ?


(19)

2. Untuk mengetahui berapakah Jumlah Mahar (jeulamee) yang berlaku saat sekarang ini di Aceh ?

1.4.Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memperluas pengetahuan bagi peneliti, akademi, dan masyarakat sehubungan dengan Makna Jeulamee (mahar) dalam penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan Suku Aceh di Krueng Manee Aceh Utara.

2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi hasil penelitian serta juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian terkait selanjutnya, serta diharapkan dapat pula memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat sehubungan dengan jeulamee bagi perempuan Aceh yang berada dalam ruang lingkup keluarga Suku Aceh di Krueng Manee.

1.5.Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan dimana kelompok atau individu menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989 : 33).

Konsep sangat diperlukan dalam penelitian agar dapat menjaga masalah atau menjadi pembatasan masalah dan menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan defenisi yang dapat mengaburkan penelitian. Beberapa konsep yang dibatasi dengan pendefenisiannya secara operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(20)

1. Makna adalah sesuatu penghargaan yang diserahkan oleh laki-laki kepada perempuan dan mempunyai arti untuk bertujuan memiliki dan menyimpannya.

2. Jeulamee (mahar) adalah pemberian wajib yang berupa uang atau barang dari

mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah; mas kawin.

3. Penghargaan adalah suatu pemberian penghormatan yang diberikan kepada seseorang yang dikagumi dan disenangi.

4. Keluarga adalah suatu wadah atau tempat untuk berhubungan antara ayah, ibu,dan anak. Serta sebagai rangkaian tali hubungan antara anggota-anggota keluarga lainnya. Keluarga juga merupakan kelompok pertama yang mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada sianak dan disinilah dialami antar aksi dan disiplin pertama yang dikenalkan kepada anak dalam kehidupan social.

5. Istri adalah hasil pasangan nikah antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai peran penting dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

6. Sistem adalah tata cara atau aturan yang disusun atas dasar syarat dan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat.


(21)

7. Perkawinan adalah ikatan antara laki-laki dan perempuan, namun lebih jauh adalah bersatunya dua keluarga besar. Dalam kebudayaan Indonesia, perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan harus mengikuti pola budaya yang ketat.

8. Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka, sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Institusi Keluarga

Keluarga bukan saja sebagai tempat hubungan antara suami dan istri atau anak-anak dan orang tua, tetapi sebagai suatu rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial anggota-anggota keluarga, dan jaringan yang lebih besar yaitu masyarakat, oleh karena itu dalam memandang pemilihan jodoh dapat dilihat bahwa masyarakat luas menaruh perhatian akan hasilnya.

Selalu kedua jaringan yang akan menikah dihubungkan karenanya dan oleh karena itu juga jaringan-jaringan lain yang lebih jauh tersangkut. Kedua keluarga ini mempunyai semacam kedudukan dalam sistem lapisan, yang keseimbangannya sebagian juga tergantung kepada siapa menikah dengan siapa. Perkawinan antara keduanya adalah petunjuk yang terbaik bahwa garis keluarga yang satu memandang yang lainnya kira-kira sama secara sosial dan ekonomis.

Bagi keluarga-keluarga itu sendiri yang satu memperoleh dan yang lain kehilangan satu anggota (jika sang wanita pindah ke keluarga suami, sistem itu disebut patrilokal jika yang laki-laki masuk ke keluarga istri sistemnya disebut Matrilokal).

Pada dasarnya, proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi. Sistem ini berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya, bagaimana pertukaran dan penilaian yang relatif mengenai berbagai macam kualitas.


(23)

Seperti kaum ningrat di Jepang dan Cina masa lampau, transaksi-transaksinya diatur oleh para tetua secara resmi, sah dan umum oleh laki-laki, meskipun yang membuat keputusan terakhir biasanya kaum wanita tua. Menurut hukum adat masyarakat Arab, keluarga laki-laki membayar emas kawin dari sang wanita, sedangkan pada kasta brahmana di India, keluarga wanitalah yang membayar mahar kawinnya kepada calon suami.

Hukum itu mungkin juga menentukan semacam pemberian imbalan. Tentu saja para pelaku dalam proses ini tidak berpendapat bahwa mereka itu melakukan “tawar menawar”. Orang tua mungkin menganggap bahwa mereka “mencari sesuatu yang terbaik bagi anak-anak mereka” (William J.Goode, 1991 : 63-65).

2.2. Fungsi Keluarga

Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yaitu fungsi yang sulit dirubah dan digantikan oleh orang lain. Sedangkan fungsi-fungsi lainya atau fungsi social, relatif lebih mudah berubah atau mengalami perubahan. Fungsi pokok keluarga :

2.2.1. Fungsi Biologis

Menurut Paul dalam (William, 1988 : 13) suami hendaknya mengisi tugas pernikahannya kepada istrinya dan juga istri terhadap suami. Jasmani istri bukan miliknya sendiri tapi juga milik suaminya. Dengan cara yang sama jasmani suami bukan hanya miliknya sendiri tapi juga dimiliki oleh istrinya. Didalam halnya kita berkeluarga, keluarga merupakan suatu tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologis orang tua adalah melahirkan anak-anak.


(24)

Fungsi ini juga dasar dari kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini juga dapat membawa perubahan, karena keluarga sekarang cenderung kepada jumlah anak yang sedikit. Kecenderungan ini disebabkan oleh faktor-faktor :

a. Perubahan tempat tinggal. b. Perbedaan lingkungan.

c. Penyesuaian diri secara drastis terhadap apa yang ada disekitar, dan lain sebagainya.

2.2.2. Fungsi Afeksi

Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan cinta kasih inilah lahir hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai.

Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi perkembangan kepribadian anak. Dalam masyarakat yang makin interpersonal, pribadi sangat membutuhkan hubungan afeksi seperti yang terdapat dalam keluarga. Suasana afeksi itu tidak terdapat dalam institusi sosial lainnya.

2.2.3. Fungsi Sosialisasi

Fungsi sosialisasi ini menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi social dalam keluarga itu anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat.


(25)

Sementara itu fungsi-fungsi sosial relatif lebih mudah berubah atau mengalami perubahan antara lain, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan, fungsi pendidikan serta agama. (Khaeruddin, 2002: 53-54).

Dengan klasifikasi yang agak berbeda, Horton and Hunt (1991 : 274) mengidentifikasikan beberapa fungsi keluarga antara lain : fungsi pengaturan seks, reproduksi, afeksi, defenisi status, perlindungan dan ekonomi.

2.2.4. Fungsi Ekonomi

Seiring dengan perubahan waktu dan pertumbuhan mesin-mesin canggih, peran keluarga yang dulu sebagai lembaga ekonomi secara perlahan-lahan hilang. Bahkan keluarga yang ada pada mulanya dengan pekerjaan bertani dan berdagang, sekarang tidak lagi merupakan suatu unit yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri dalam rumah tangganya.

Kebutuhan sudah tersedia ditoko-toko, pasar dan pabrik. Kebutuhan sudah tidak lagi disatukan oleh tugas bersama, karena anggota kelurga bekerja secara terpisah. Oleh karena itu, fungsi ekonomi dalam pengertian produksi kebutuhan perlahan-lahan menghilang, hanya kesatuan konsumsi saja yang dapat dipersatukan baik dalam keluarga maupun sahabat.

2.2.5. Fungsi Rekreasi

Fungsi ini bertujuan untuk memberi suasana yang segar dan gembira dalam lingkungan. Fungsi rekreasi dijalankan untuk mencari hiburan. Dewasa ini,


(26)

tempat-tempat hiburan banyak berkembangdiluar rumah, karena berbagai fasilitas dan aktivitas rekreasi berkembang dengan pesat.

Sebuah institusi keluarga dapat mempertahankan keutuhan keluarga, apa bila fungsi-fungsi keluarga dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik, baik itu fungsi pokok yaitu fungsi biologis, fungsi afeksi, fungsi sosialisasi maupun fungsi sosial yaitu fungsi ekonomi, fungsi perlindungan serta fungsi rekreasi. Apabila fungsi keluarga tersebut sudah tidak berjalan dengan baik, maka dapat memungkinkan kegoncangan dalam keluarga. Didalam suatu keluarga terutama pada suami istri dan keluarga lainnya.

Dari pemaparan diatas sesuai dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan kemampuan laki-laki. Pada dasarnya, jeulamee tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ini dapat menjadi aib bagi keluarga tersebut.

Kalau dilihat ketentuan-ketentuan pemberian jeulamee dibeberapa daerah Aceh antara lain di Krueng Manee Aceh Utara, jeulamee yang harus dibayar oleh pihak laki-laki kepada perempuan lebih kurang 20 mayam. Di Aceh Pidie, jeulamee yang harus dibayar pihak laki-laki kepada perempuan lebih kurang 20 mayam, namun keluarga perempuan biasanya menyediakan rumah untuk mereka setelah menikah. Di Aceh Selatan, jeulamee umumnya di bawah 10 mayam, tetapi di tambah dengan “peng hangoh” (uang tunai), sedang pihak perempuan tidak menyediakan rumah.

Di beberapa daerah Aceh lainnya ada juga yang memberikan 1-2 mayam saja dan tanpa uang tunai (itu merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak).

Adapun tahapan dan ketentuan upacara adat perkawinan yang dipergunakan oleh orang Aceh yang dijelaskan secara terperinci lagi antara lain sebagai berikut :


(27)

1. Meusah-Sah (berbisik-bisik)

Yang dimaksud berbisik-bisik ialah, apabila sang pemuda dan orang tuanya sudah menyetujui calon istri anaknya, maka kedua orang tuanya dengan secara rahasia mengutus/menanyakan pada pihak keluarga si gadis dengan sangat rahasia (istilahnya berbisik-bisik) karena seandainya pihak keluarga gadis menolak, maka pihak keluarga pemuda tidak mendapat malu/tidak terhina di mata mayarakat.

2. Keumalon Praja (melihat bintang)

Dalam kalangan masyarakat Aceh ada kepercayaan, apabila seseorang akan menikah harus dilihat terlebih dahulu bintang (zodiak), dalam bahasa Aceh namanya praja, gunanya adalah agar dapat melihat masa depan/ramalan perjalanan rumah tangganya dimasa mendatang, perhitungan-perhitungan bintang tersebut diambil dari nama dan tanggal lahir dari keduanya (calon suami dan calon istri).

Kebiasaan tersebut sudah berlangsung lama, sejak turun-temurun dari orang tua dulu sampai sekarang, secara umum ada tiga (3) pedoman melihat masa depan tersebut yaitu :

d. Telaga dikaki bukit, artinya dia akan mendapat rezeki yang diberkati (rumah tangga bahagia, kaya/senang).

e. Abee Diateh Teukok, artinya abu diatas tunggul kayu, tamsilannya rezeki mereka tidak berkat, seperti debu diatas tunggul kayu ditiup angin terbang berhamburan tiada tersisa sedikit pun.


(28)

f. Pohon ketapang dipinggir pantai laut, artinya perumpamaan daun pohon ketapang, apabila musim gugur, semua daun brguguran jatuh ke bumi, yang tinggal hanya ranting-ranting, dan apabila datang musim, ditiap-tiap ranting tumbuh tunas dan pucuk baru, bermunculan pucuk-pucuk baru yang segar, begitulah tamsilannya bintang calon suami istri, apabila tuhan menghendaki maka rezeki itu pasti terkabulkan.

3. Cah Ret (rot)/Ngon Peuhah Pinto (merintis jalan/membuka pintu masuk) Setelah melihat praja (bintang/zodiak), dan sudah mendapat satu pedoman bagi keluarga tersebut, tahap selanjutnya pihak keluarga calon suami (linto baroe) mulai merintis jalan (cah ret), mencari peluang yang baik mendatangi keluarga calon istri (dara baroe), setelah jalannya terbuka dan ada sambutan dari pihak perempuan mereka akan membuka kan pintu masuk (pinto ka teuhah) barulah pihak dari utusan dari keluarga laki-laki mendatangi orang tua perempuan secara resmi.

4. Meuduek Wali/meuduek bilek (musyawarah antara pihak laki-laki dan pihak perempuan)

Yang dimaksud meuduek wali ialah musyawarah orang tua calon linto dengan wali pihak ayah dan wali pihak ibu, dalam musyawarah tersebut biasanya orang tua linto mewakilkan pimpinan musyawarah kepada orang yang dituakan, bahwa mereka sekeluarga mempunyai maksud mencari calon istri anaknya, malam ini dia menyerahkan semua kepada pihak wali untuk menentukan jodoh anaknya yang sudah dewasa.


(29)

5. Seulangkee (orang yang bertanggung jawab)

Yang dimaksud dengan seulangkee, adalah orang yang bertanggung jawab sebagai utusan sebuah keluarga untuk meminang seorang anak gadis supaya dapat/bersedia dijodohkan dengan pemuda yang dibawanya, dan juga seulangkee sebagai orang penghubung timbal balik antara keluarga linto baro dan keluarga dara baro.

6. Peukong Haba (memperkuat kata)

Yang dimaksud peukong haba adalah memperkuat kata, yaitu hasil pembicaraan (nigosiasi) antara seulangkee dengan keluarga pihak calon dara baro, sudah ada ketentuan antara lain : jumlah mahar, ketentuan bertunangan, ketentuan hari datangnya bertunangan, dan ketentuan adat tunangan lainnya.

Dalam acara “intat peukong haba” ini, yang terutama adalah memberi tanda ikatan baik berupa uang maupun berupa benda (emas) tanda tersebut umumnya akan dipotong dari harga/nilai jeulamee.

7. Meuteunangan (bertunangan)

Yaitu suatu ikatan antara seorang pemuda dengan seorang anak gadis, tempo dulu dalam masa bertunangan, kedua pihak saling menjaga agar tidak terjadi sesuatu perbuatan yang melanggar norma-norma agama dan kemasyarakatan serta tidak melanggar aturan adat gampong kedua pihak, karena akan berakibat buruk kemudian hari.

8. Meugatieb (menikah)

Adalah menikah, dalam upacara menikah pada umumnya setiap keluarga melaksanakan hukum-hukum yang wajib sesuai tuntutan agama islam yang


(30)

termaktub dalam al-qur’an dan hadist, dan dalam acara pernikahan ada kalanya satu kampong dengan lainnya tidak sama penerapan adatnya, yang sama hanyalah menjalankan hukum dan syari’at islam saja, umpamanya untuk sah satu pernikahan harus sesuai petunjuk hukum nikah yaitu : ada wali nikah, ada jeulamee (mahar), ada ijab Kabul, dan saksi nikah.

Akhir-akhir ini pelaksanaan akad nikah sudah beragam macam pelaksanaannya, ada yang dilaksanakan tiga (3) hari sebelum hari intat linto (tiga hari sebelum peresmian) pesta, dan ada pula hanya nikah saja, yaitu akad nikah dilaksanakan jauh sebelum upacara pesta perkawinan, bagi pelaksanaan nikah tersebut dinamakan nikah gantung, karena pengantin laki-laki tidak pulang ke rumah pengantin perempuan.

9. Kenduri Peukawen Aneuk (pesta peresmian pernikahan)

Yaitu pesta peresmian perkawinan, dalam acara kenduri tersebut banyak hal yang menjadi perhatian dari segi adat dan reusam, pelaksanaan adat dalam upacara perkawinan lebih menonjol dari pelaksanaan hukum dan kanun, terlebih lagi pada malam/siang intat linto baro, atau pun menerima dara baro, perangkat atau persyaratan semua terkait dengan adat dan reusam antara lain yaitu :

a. Sebelum linto baro turun dari rumah, linto baro diwajibkan sungkem pada kedua orang tua, untuk mohon izin, dan diikuti oleh seluruh famili yang ada dirumah.

b. Setelah turun dari rumah, sebelum berangkat meninggalkan rumah, linto baro dipeusijuek (ditepungtawari), dan setelah itu salah satu dari orang tua atau teungku imum/Tgk.meunasah (bilal mesjid) berselawat dan diikuti semua


(31)

orang yang hadir/peserta linto baro, setelah itu baru linto berangkat dengan rombongan menuju tujuan.

c. Setelah dekat dengan rumah dara baro, para pengantar linto kembali berselawat, sebagai tanda rombongan pengantin laki-laki (linto baro) sudah tiba, apabila hampir dekat dengan rumah penganti wanita (dara baro), utusan dari keluarga dara baro datang menyongsong/menjemput pengantar dengan membawa bate ranueb (sirih lampuan) tanda menghomati rombongan pengantin laki-laki.

d. Setelah rombongan sampai didepan rumah pengantin wanita, pengantin laki-laki “dipeusijuek” (ditepung tawari) didepan pintu masuk kerumah pengantin wanita dan setelah itu baru di persilahkan masuk.

e. Setelah masuk kedalam rumah, para tamu sudah duduk, maka acara serah terima pengantin laki-laki dilaksanakan oleh pemegang adat dalam hukum perkampungan keduanya, maknanya agar pengantin laki-laki bisa diterima di kampong pengantin wanita.

f. Setelah acara serah terima selesai, maka kedua pengantin disanding dipelaminan, serta diikuti acara hidangan makan bersama, dalam acara makan bersama dahulu ada satu hidangan khusus yang digolongkan acara reusam, yaitu hidangan khusus Bisan (BU BISAN). Nasi bisan diberikan pada orang yang ditunjuki mewakili keluarga rombongan pengantin, persiapan nasi bisan ini biasanya hidangan lauk pauknya di taruh dalam dalung (BENJANA) khusus, dan bersahaja serta lauk pauknya yang beraneka ragam jenis makanan yang sangat lezat-lezat rasanya.


(32)

g. Setelah acara makan bersama, rombongan pengantar pengantin pulang kerumah masing-masing, sedangkan pengantin laki-laki bermalam dirumah pengantin wanita serta ditemani dua orang tua, dalam bahasa Aceh dinamakan APET. Guna apet tersebut ialah untuk memberi bimbingan dan menuntun mereka nasehat-nasehat yang berguna bagi kedua pengantin.

h. Pada malam antar linto, setelah duek sandeng, kedua pengantin sungkem pada kedua orang tua dara baro.

i. Pada acara tueng dara baro (pesta penerimaan pengantin wanita), hal tersebut sama seperti dengan pesta penerimaan pengantin laki-laki (Muhammad Umar, 2006 : 157-165).

Mengenai penilaian kualitas yang berbeda, kehormatan garis keluarga mungkin lebih ditentukan dari pada ciri perorangan kedua pasangan itu atau kecantikan seorang wanita mungkin juga sama nilainya dengan kekayaan seorang laki-laki. Bila pembelian sudah sah maka barang diserahkan dan penggunaan terhadap barang tersebut diserahkan pada pembeli. Pemahaman bahwa perempuan dilabelkan dengan harga mengandung konsep bahwa perempuan merupakan properti yang dapat diperjual belikan. (http://www.mailarchive.com/keluargasejahtera/yahoogroups.com/msg00854.html).

Pada masyarakat kekerabatan Patrilineal, yang mengutamakan keturunan menurut garis laki-laki berlaku adat perkawinan pembayaran “jeulamee” dimana setelah perkawinan istri melepaskan kewargaan adat kerabat orang tuanya. Dalam hal ini kedudukan suami lebih tinggi dari hak kedudukan istri (Hadikusumah, 1987 : 1).

Besar kecilnya emas kawin tentu berbeda-beda pada berbagai suku bangsa didunia., yang kadang-kadang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak laki-laki


(33)

dan perempuan, sesuai dengan kedudukan, kepandaian, dan kecantikan si gadis (Koentjaraningrat, 1998 : 101).

Dengan demikian, jeulamee (mahar) merupakan sebagai harta pembelian, seperti dalam beberapa bahasa Indonesia, jeulamee (bahasa Aceh), pangolin/boli (bahasa Batak Toba), tukon (bahasa Jawa), dan lainnya. Adanya makna-makna istilah seperti ini maka menyebabkan perempuan dipandang sebagai kelas nomor dua yaitu kelas yang dikuasai dan tertindas.

Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa Mahar dapat difingsikan dalam hal yang bersifat positif dan juga dapat bersifat negatif. Bersifat positif karena lebih mendekatkan antara keluarga dari pihak laki-laki dengan pihak keluarga perempuan (apabila mas kawin yang ditetapkan saling setuju). Sedangkan dari segi negatifnya, diantara masing-masing pihak keluarga ada yang tidak menyetujuinya dalam penentuan mahar (karena mahalnya mas kawin yang ditentukan), akibatnya masing-masing keluarga tidak mempunyai kecocokan dalam membentuk hubungan keluarga baru/ adanya perselisihan.

2.3. Teori Struktural Fungsional

Dalam teori struktural fungsional tiga kritikan postulat dasar analisis struktural seperti yang dikembangkan oleh antropolog seperti Malinowski dan Radcliffe brown. Pertama adalah postulat tentang kesatuan fungsional masyarakat. Postulat kedua adalah fungsionalisme universal. Artinya, dinyatakan bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial serta struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Postulat ketiga adalah postulat tentang indispensability. Argumennya adalah bahwa semua aspek masyarakat yang sudah


(34)

baku tak hanya mempunyai fungsi positif tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai kesatuan (Ritzer, 2003 : 138).

Merton juga mengemukakan tentang struktural fungsional yang menekankan kepada keteraturan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifes, dan keseimbangan.

Paradigma fakta sosial terpaut kepada antar hubungan antara struktur sosial, pranata sosial dan hubungan antara individu dengan struktur sosial serta antar hubungan antara individu dengan pranata sosial.

Secara garis besarnya fakta sosial terdiri dari dua tipe. Masing-masing adalah struktur sosial (social institution) dan pranata sosial (social institution). Secara terperinci fakta sosial itu terdiri atas kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan, dan sebagainya.

Struktural fungsional awal memusatkan perhatian pada fungsi satu struktural sosial atau pada fungsi satu institusi sosial tertentu saja. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan terhadap yang lain (Ritzer, 2003 : 21).

Menurut Merton fungsi didefenisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian diri sistem tertentu”. Tetapi ada bias ideologis bila orang hanya memusatkan pemikiran pada adaptasi atau penyesuaian diri, karena adaptasi dan penyesuaian diri selalu mempunyai akibat positif.


(35)

Perlu diperhatikan bahwa satu faktor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap fakta sosial lain. Untuk meralat kelalaian serius dalam struktural fungsional awal ini, Merton mengembangkan gagasan tentang disfungsi.

Sebagaimana struktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur, atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negatif terhadap sistem sosial.

Merton juga memperkenalkan konsep fungsi nyata dan fungsi keseimbangan. Dalam pengertian sederhana, fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi tersembunyi adalah fungsi yang tak diharapkan. Penganut teori fungsional ini memang memandang segala pranata social yang ada dalam satu masyarakat tertentu serta fungsional dalam artian positif dan negatif (Goodman, 2004 : 141).

Proses Sosialisasi dalam Keluarga

Individu dalam masyarakat akan mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana individu itu berada. Syarat penting untuk berlangsungnya proses sosialisasi

adalah interaksi sosial, karena tanpa interaksi sosial sosialisai tidak mungkin berlangsung dengan sendirinya. Menurut David A. Goslin, sosialisasi adalah proses belajar yang

dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakat.

Sosialisasi dapat dialami oleh individu sebagai mahkluk sosial sepanjang kehidupannya sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Karena interaksi merupakan kunci berlangsungnya proses sosialisasi maka diperlukan agen sosialisasi, yakni


(36)

orang-orang disekitar individu tersebut yang mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Adapun dalam proses sosialisasi membentuk tahapan-tahapannya dan dapat pula dibedakan sebagai berikut :

1. Tahapan proses sosialisasi primer, yaitu sebagai sosialisasi yang pertama dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjalani menjadi anggota masyarakat. Dalam tahapan ini proses sosialisasi primer juga membentuk kepribadian anak kedalam dunia umum, dan keluargalah yang berperan sebagai agen sosialisasi. 2. Tahapan proses sosialisasi sekunder, yaitu dapat didefenisikan sebagai proses

yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan kedalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya. Dalam proses sosialisasi ini mengarahkan pada terwujudnya sikap profesionalisme (dunia yang lebih khusus), dalam hal ini yang menjadi agen sosialisasi adalah lembaga pendidikan, peer group, lembaga pekerja, dan lingkungan yang lebih luas lagi dari kelurga.

Dengan demikian proses sosialisasi dapat berlangsung dengan cara tatap muka, tetapi hal ini juga dapat dilakukan dalam ukuran jarak jauh tertentu yaitu melalui sarana media, atau surat menyurat, bisa berlangsung secara formal, baik sengaja maupun tidak sengaja. Sosialisasi dapat dilakukan demi kepentingan orang yang disosialisasikan atau pun orang yang melakukan sosialisasi, sehingga kedua kepentingan tersebut bisa sepadan atau pun dapat bertentangan.

Dalam hal proses sosialisasi keluarga, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap proses sosialisasi anak yaitu menurut jenis kelamin. Status sosial ekonomi dapat diukur dari pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Orang tua yang berpendidikan rendah


(37)

cenderung lebih tegas dalam memisahkan peran-peran anak laki-laki denagn anak perempuan, sebaliknya mereka yang berpendidikan tinggi memerlukan anak perempuan dan laki-laki secara egaliter.

Beberapa pakar sosiologi pun sudah berusaha membentuk kategori mengenai bentuk atau pola sosialisasi dalam keluarga. Seperti yang dikategorikan oleh Bronfenbrenner dan Melvin Khon bahwa ada dua bentuk sosialisasi, yaitu sosialisasi yang berorientasi pada ketaatan yang disebut dengan sosialisasi dengan cara represif, dan yang berorientasi pada dilakukannya partisipasi.

Sosialisasi yang represif menitikberatkan hukuman terhadap perilaku yang salah, dan sosialisasi yang partisipatori memberikan imbalan untuk perilaku yang baik. Hukuman dan imbalan pada bentuk yang pertama sering bersifat material, sedangkan pada bentuk kedua lebih kebentuk simbolis.

Komunikasi orang tua dengan anak pada bentuk sosialisasi yang represif lebih sering berbentuk perintah dan melalui gerak gerik saja, berbeda dengan ciri komunikasi yang hanya menggunakan interaksi yang memberikan dua arah dan bersifat universal.

Dalam konsep kelas sosial menurut Melvin Kohn dalam studinya adalah pengelompokan individu yang menempatkan posisi yang sama dalam skala prestis (ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan). Berdasarkan konsep tersebut Kohn membagikan kelas social dalam empat golongan yaitu :

1. lower-class adalah pekerja manual yang memiliki keterampilan seperti buruh bangunan, tukang sapu jalan.

2. working-class adalah pekerja manual yang memiliki keterampilan tertentu, seperti tukang jahit, supir, tukang kayu, tukang batu.


(38)

3. Middle-class adalah pegawai kantoran atau profesional, seperti guru, pegawai administrasi.

4. Elite-class adalah sama dengan Middle-Class, hanya kekayaan dan berlatar belakang keluarga yang lebih tinggi (Ihromi 1999 : 30-49).

Dengan demikian sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa proses sosialisasi individu mempunyai fase-fase tertentu, mulai dari fase sosialisasi dalam rumah tangga dan sampai fase dalam masyarakat luas. Dalam hal proses sosialisasi juga mempunyai kegiatan-kegiatan yang mencakup kedalam bentuk proses sosialisasi belajar (learning), penyesuaian diri dengan lingkungan, dan pengalam mental (Khairuddin 1997 : 63-65).


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan memakai studi deskriptif. Penelitian kualitatif yang akan dilakukan adalah karena beberapa pertimbangan; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dan informan; ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1993 : 5).

Studi deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau melukiskan realitas sosial kompleks yang ada di masyarakat (Ida Bagoes Mantra, 2004 : 38). Dalam penelitian ini, peneliti akan menggambarkan secara mendalam tentang Makna Jeulamee (mahar) dalam penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan suku Aceh di Krueng Manee dalam Kecamatan Muara Batu Aceh Utara.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara. Alasan pemilihan lokasi adalah karena Krueng Mane merupakan tempat tinggal peneliti, dengan ini peneliti lebih mudah dan leluasa menggali informasi sedalam mungkin. Sehingga data yang didapat akan lebih nyata dan tidak bias karena peneliti juga


(40)

mengetahui sedikitnya tentang makna mahar dalam penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan suku Aceh.

Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah baik pekerja domestik maupun publik (yang sudah berkeluarga). Seperti guru, tukang jahit, buruh cuci harian, dan lain-lain.

3.3. Unit Analisis dan Informan 1. Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah perempun Aceh yang telah berkeluarga dan yang bermukim pula di Aceh Kecamatan Muara Batu Aceh Utara.

2. Informan

Yang menjadi informan kunci adalah Tokoh adat Aceh (yang mengetahui proses tahap perkawinan).

Informan pelengkap adalah warga Aceh yang menetap di Kecamatan Muara Batu Aceh Utara yang membantu peneliti dalam pemberian informasi bagaimana pendapat mereka dalam pemberian mahar.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :


(41)

A. Data primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu :

1. Metode Wawancara

Metode wawancara biasa disebut juga metode interview. Metode wawancara proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (dept interview).

Wawncara mendalam (dept interview) adalah merupakan proses Tanya jawab secara langsung ditujukan terhadap informan dilokasi penelitian dengan menggunakan panduan atau wawancara.

2. Metode observasi

Observai atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian, data penelitian tersebut dapat diamati oleh peneliti. Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada penelitian. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan daya yang mendukung hasil wawancara.


(42)

B. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen majalah, jurnal, internet yang di anggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan data, setelah data dan informan yang di butuhkan dan di harapkan telah terkumpul. Maka data-data yang telah di peroleh dalam penelitian ini akan di interpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam tinjauan pustaka yang telah ditetapkan, sampai pada akhirnya akan disusun sebagai laporan akhir penelitian.

Interpretasi data dapat di mulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagi sumber yaitu dari wawancara mendalam yang telah di tuliskan dalam cacatan lapangan. Setelah di baca, di pelajari dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.

Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman inti, proses dan pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada dalam fokus penelitian. Kemudian data disusun dalam satuan dan di kategorikan. Selanjutnya mengadakan pemeriksaan keabsahan laporan yang disajikan secara deskriptif.


(43)

3.6. Jadwal Kegiatan Penelitian

No. Kegiatan Bulan Ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi

2 ACC Judul

3 Penyusunan Proposal Penelitian 4 Seminar Proposal Penelitian 5 Revisi Proposal Penelitian

6 Penelitian Kelapangan

7 Pengumpulan Data dan Analisis Data

8 Bimbingan

9 Penulisan Laporan Akhir

10 Sidang Meja Hijau

3.7. Keterbatasan penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan dan Pengalaman yang dimiliki oleh penulis untuk melakukan penelitian ilmiah, terutama dalam hal metodelogi penelitian (teknik wawancara).

Keterbatasan data melalui buku atau referensi mengenai masyarakat Aceh yang menyangkut tentang pemberian mahar (jeulame) yang berada khususnya di Krueng Mane


(44)

menyebabkan kurangnya lengkap data-data mengenai profil masyarakat aceh dalam penelitian.

Adapun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian adalah kendala dalam berbahasa, karena sebagian informan ada yang tidak mengerti dari penjelasan yang di terangkan oleh peneliti, biarpun sudah dijelaskan dengan bahasa yang sangat sederhana menurut bahasa yang di gunakan oleh mereka dalam kesehariannya.


(45)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi lokasi penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi penelitian

Kelurahan Krueng Manee merupakan salah satu kelurahan bagian dari Kecamatan Muara Batu Aceh Utara. Asal kata krueng manee sendiri bermakna “Krueng” yang artinya sungai dan “Manee” artinya pohon mane yang berada atau tumbuh dipinggiran sungai. Menurut warga setempat krueng manee ini dikatakan karena hampir sepanjang sungai yang ada di Kecamatan Muara Batu banyak ditumbuhi pohon mane, dan menurut pengakuan warga juga buah dari pohon manee tersebut bisa dijadikan obat-obatan.

Kelurahan Krueng Manee yang terdapat di wilayah Kecamatan Muara Batu Aceh Utara dengan luas ± 2.38 km2 dan terdiri dari 22 lingkungan yang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Selat Malaka disebelah Utara

- Desa Meunasah Baroh di sebelah Timur - Desa Cot Seurani sebelah Barat

- Dan, Desa Meunasah Pinto sebelah Selatan.

4.1.2. Demografi

Jumlah penduduk Kelurahan Krueng Manee sesuai dengan data Kelurahan sampai dengan bulan Febuari 2009 adalah ± 6.021 jiwa.


(46)

4.1.2.1. Jumlah penduduk berdasarkan Agama

Dalam bidang keagamaan ini yang mana masyarakat tersebut dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai serta tidak mendatangkan konflik-konflik atau pertikaian antar penduduk yang berbeda agama biar pun sangat tipis perbedaannya, di kalangan masyarakat tersebut hampir semua kalangan menganut agama islam dan hanya secuil saja yang berbeda.

Table 4.1

Jumlah penduduk berdasarkan agama yang di anut.

No AGAMA JUMLAH

1. Islam 60.10

2. Kristen -

3. Katholik -

4. Hindu -

5. Budha 11

JUMLAH 6.021

Profil kelurahan krueng mane Kec.muara batu, 2009

4.1.2.2. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

Dalam bidang pendidikan sebagaimana data yang ada secara keseluruhan ditemukan penduduk yang tidak pernah mengenyam dunia pendidikan/penduduk buta huruf.


(47)

Table 4.2

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan NO. TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH

1. Belum sekolah 277

2. Tidak tamat SD/sederajat 49

3. SD/sederajat 970

4. SLTP/sederajat 179

5. SLTA/sederajat 3785

6. Diploma 484

7. S-1 161

8. S-2 97

9. S-3 19

Jumlah 6.021

Profil kelurahan krueng mane Kec.muara batu, 2009

4.1.2.3. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian

Secara umum penduduk yang bertempat tinggal di Kelurahan krueng mane mata pencahariannya bergerak di sektor swasta baik sebagai buruh maupun kewiraswastaan sebesar 59 %, sedangkan yang lainnya bergerak di bidang jasa dan pemerintahan.

Table 4.3 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian

No Mata pencaharian Jumlah

1. Buruh/swasta 292

2. Pegawai negeri 2.082

3. Penjahit 149


(48)

5. Tukang kayu 96

6. Montir 29

7. Dokter 19

9. Sopir 39

10. Pengemudi becak 18

11. TNI/ POLRI 120

12. Pengusaha/ wiraswasta 170

13. Lain-lain 2.609

Jumlah 6.021

Profil kelurahan krueng mane Kec.muara batu, 2009

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa mata pencaharian sebagian penduduk masyarakat Aceh bergerak di bidang sektor swasta. Sebagian wilayah kelurahan Krueng Mane dipergunakan juga sebagai sarana sektor perekonomian seperti pertokoan baik perdagangan maupun jasa serta perkantoran umum yang bergerak di bidang swasta yang bergerak di lingkungan yang masih berhubungan dengan Kec.Muara Batu. Selain itu terdapat pula pusat pasar tradisional krueng mane (tempat usaha kecil menengah) serta terminal angkotan umum.

4.1.2.4. Sarana dan Prasarana Perhubungan

Kelurahan krueng mane Kec.muara batu aceh utara termasuk wilayah yang berada antara kota Lhok Seumawe dengan kota Jeumpa (Bireun). Untuk ruas jalan hanya di gunakan satu jalur yaitu sebagaimana sering disebut jalan Medan Banda Aceh. Jalan tersebut dapat di lalui berbagai macam kendaraan baik besar, sedang atau pun kecil.

Selain sarana jalan, ada juga terdapat sarana dan prasarana yang di gunakan secara menyeluruh atau umum untuk seluruh masyarakat sosial, kelembagaan serta


(49)

peribadatan (Masjid), Pendidikan, Kesehatan, tempat Olah raga serta pelayanan lain untuk masyarakat secara umum.

Untuk sarana transportasi darat, biasa masyarakat krueng mane menggunakan sepeda, becak, motor, angkutan umum dan jenis kendaran lainnya. Masyarakat krueng mane tidak pernah mengalami kesulitan dalam hal saran transportasi, hanya saja kendala dalam batas waktu penggunaan transportasi tersebut di batasi mulai dari jam 07.00-20.00 WIB malam yang masih kurang kondusif.

4.1.2.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah penduduk Kelurahan Krueng Manee 6021 jiwa, bila digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu, laki-laki berjumlah 3009 jiwa, sedangkan perempuan berjumlah 3012 jiwa.

Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Keterangan Jumlah

1. Laki-laki 3009 jiwa

2. Perempuan 3012 jiwa

Jumlah 6.021 jiwa

Profil kelurahan Krueng Manee Kec. Muara Batu, 2009

4.1.2.6. Pola Pemukiman

Keterkaitan Krueng Mane dengan sekitarnya seperti desa meunasah baroh di bagian timur, desa cot pinto di bagian selatan dan cot seuranidi bagian barat. Hal ini di sebabkan pintu masuk menuju kedesa cot pinto melalui jalan usaha tani yang terdapat


(50)

diarea persawahan krueng mane. Tata cara ruang pemukiman yang ada telah menampakkan keteraturan. Lahan kosong yang cukup luas masih memungkinkan adanya pengembangan area pemukiman. Pola perumahan memperlihatkan ciri linier di sisi jaringan jalan yang ada.

Krueng Mane merupakan tempat yang rawan tsunami, pendataran pantai yang memiliki satuan topografi genangan air pasang surut.Topografi bermanfaat sebagai pematang pasir pantai yang sebagai kebun campuran, yaitu guna untuk genangan rawa sebagai persawahan. Untuk kebutuhan rumah tangga, dijumpai pada kedalam 2-3 meter pada lapisan pasir. Kesadaan air di pemukiman krueng mane dapat dinyatakan kualitas baik sebagai air baku untuk rumah tangga serta jumlah yang melimpah ruah. (ETESP, Rencana Pengembangan Desa, 2007).

4.1.2.7. Pemanfaatan sebagian Areal Tanah Krueng Mane. Table 4.5

Pemanfaatan sebagian areal tanah Krueng mane

No Jenis Penggunaan

Jumlah

Ha (%)

1 Perumahan 17 25.19

2 Administrasi 0.4 0.59

3 Perdagangan 0.5 0.74

4 Pendidikan 1.4 2.07

5 Industri (Batu Bata) 2 2.96

6 Fasilitas keagamaan 0.3 0.44

7 Pengeringan Ikan 0.4 0.59


(51)

10 Kebun Kelapa 15 22.22

11 Area Pantai 5 7.41

12 Badan Air 2.3 3.41

13 Peternakan 0.7 1.04

14 Genangan 2 2.96

TOTAL 67.5 100

Sumber : kelurahan krueng mane Kec. Muara Batu, 2009

4.1.2.8. Bentuk Pemerintahan Daerah Krueng Mane

Krueng Mane merupakan satu desa yang di pimpin oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh wakil-wakil dari masyarakat desa atau orang-orang yang bertanggung jawab dalam keamanan serta ketertiban desa tersebut :

Ada pun perangkat-perangkat daerah krueng mane antara lain sebagai berikut dilihat dari table :

Tabel 4.6 Perangkat-perangkat Daerah

No Nama Jabatan

1 Ali yahya Kepala Desa 2 Muklisi Sekretaris Desa

3 Husni Imam

4 Zakiyun Ketua Pemuda 5 M. Tayeb Tokoh Masyarakat 6 Mustafa Kepala Dusun


(52)

4.2. Profil Informan A. Zuriani

Ibu yang bernama lengkap Zuriani, ia telah lama berumah tangga, tapi sampai sekarang belum dikaruniai seorang anak pun. Dalam perkawinannya, biar pun tanpa seorang anak ia dan suaminya cukup senang. Hari-hari yang dilalui ia dan suaminya berjalan dengan baik. Seperti itu ungkapan singkat ibu Ani awal peneliti berjumpa dengannya. Ketika peneliti menanyakan tentang seberapa pentingnya suatu mahar dalam perkawinan, ia langsung menjawab bahwa mahar itu sangat berharga dan penting bagi kaum perempuan Aceh, di karenakan untuk mengesahnya suatu ikatan dalam hubungan perkawinan.

Dalam jumlah mahar (jeulame) seorang perempuan itu jika besar, serta merta ada perasaan bangga dan dihargai, oleh karenanya pihak laki-laki akan dihargai pula oleh pihak keluarga mempelai perempuan (istri). Bentuk penghargaan tersebut yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan kepada laki-laki (suami) berupa kedudukan status yang dimiliki dalam keluarga perempuan, sanjungan, pemberian berupa materi yaitu rumah pribadi, kendaraan, maupun jabatan yang dimiliki oleh orang tua dari pihak keluarga perempuan.

Namun dengan demikian, jika jumlah mahar (jeulame) yang diberikan tidak banyak atau lebih sedikit dari perkiraan yang seharusnya, sama saja yang penting semua keperluan harus ada dan lengkap sesuai dengan kebutuhan yang di perlukan “di masyarakat aceh lainnya”. Misalnya, isi kamar, banyaknya hantaran, uang pesta adat, serta lainnya. Bila suatu permintaan tidak sesuai maka kedua belah pihak keluarga dapat merunding kembali untuk mendapat solusinya, lagi pula jumlah mahar tersebut sudah di


(53)

tentukan “kami berdua”, maka kedua keluarga hanya diminta persetujuannya saja, begitulah penuturan dari ibu Ani.

Mahar perkawinan sangat penting dalam sebuah perkawinan, karena tanpa mahar sebuah ikatan tidak akan sah atau tidak lengkap persyaratannya dalam kelangsungan pernikahan. Pada saat perkawinan ibu Ani, mahar yang diterima berjumlah 17 manyam (56,1 gram), perlengkapan kamar, serta uang tunai Rp. 2 juta untuk keperluan pesta seperti pakaian adat dan tata riasnya.

Untuk ukuran yang diterima di Aceh pada masyarakat lingkungan Krueng Mane, jumlah yang di terima termasuk menengah keatas. Karena menurut pengakuan ibu Ani, dia menikah pada tahun 1995, kalau dilihat dari harga emas dulu dengan sekarang tidak ada bedanya dari segi kadar emas. Kalau dulu harga emas ± Rp. 90.000/ gram, tapi kalau sekarang ± Rp. 299.000/ gram. Dengan demikian kalau diuangkan dengan zaman yang serba mahal sekarang ya sama saja.

Selain dari itu, untuk menentukan jumlah besar kecilnya mahar perkawinan dalam suatu strata kehidupan bermasyarakat seperti zaman sekarang ini, kebanyakan orang melihat dari pengaruhnya kecantikan seseorang, status yang dimiliki, pekerjaan dan tingginya pendidikan. Maka suatu perubahan yang terjadi antara dulu dengan sekarang tidak beda jauh kalau untuk menentukan pasangan yang terbaik bagi diri sendiri atau pun dari orang tua untuk anak-anaknya.

Suatu status sangat berperan penting dalam segala bidang, khususnya dalam mendapat pasangan. Ibu Ani memaparkan sedikit tentang anekdok orang aceh “hana peng hana inong” (gak ada uang gak ada perempuan).


(54)

Jadi sumber ketentraman dalam keluarga dari dulu sampai sekarang ini yaitu status ekonomi yang jelas serta tanpa lepas dari bimbingan orang tua atau pu mertua.

Hubungan dalam keluarga antara suami dan istri sangat berperan penting, dimana hubungan tersebut harus dapat persetujuan, tanpa ada persetujuan dari keluarga atau pun keluarga besar, maka suatu jalinan yang akan dijalankan tidak akan ada artinya.

Mengenai peran penting keluarga dalam pernikahan ibu Ani, setiap ada masalah, hubungan menjadi renggang dan lainnya, maka kami mencoba untuk menyelesaikan bersama tanpa harus membebani orang lain termasuk orang tua saya sendiri, “maksudnya, kalau bisa di selesaikan berdua untuk apa harus campur tangan keluarga besar/ orang tua”. Tapi adakalanya ketika suatu permasalahn besar yang di hadapi tidak ada penyelesaian, mau tidak mau permasalah tersebut harus diketahui oleh orang tua,baik dari laki-laki maupun perempuan. Misalnya permasalahan perceraian, suami/ istri selingkuh dan lainnya, maka peranan penting keluarga dapat turun tangan untuk menyelesaikannya. Namun, dengan demikian peran keluarga dalam masyarakat Aceh sangat berpengaruh terhadap pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan/ baru menjalani kehidupan yang baru. Dikarenakan hubungan yang baru dimulai sangat rentang dengan perceraian yang diakibatkan kecemburuan yang tidak beralasan. Maka keluarga atau pun orang tua terutama dari keluarga laki-laki yang mengatur hubungan dalam keluarga tidak akan pernah luput dari pandangan mereka.

Dalam budaya Patriarkhi yang menganggap laki-laki adalah sebagai pelanjut garis keturunan keluarga juga menyebabkan bahwa laki-laki adalah orang yang selalu harus dituruti. Tapi menurut ibu Ani, tidak selamanya laki-laki dituruti sesuai keinginannya, adakalanya kita juga menjalani sesuai dengan keinginan kita sendiri tanpa paksaan dari


(55)

pasangan kita. Tanpa melenceng dari kodrat kita sebagai perempuan. Untuk itu dalam rumah tangga kita harus bisa membagi waktu untuk suami, anak serta diri kita sendiri.

Selain dari itu, dalam kehidupan keluarga pun kita sebagai perempuan harus bisa membantu perekonomian dalam keluarga tanpa ada rasa suami terbebani lelah untuk mencari nafkah. Untuk itu perempuan harus bisa membawa diri dalam keluarga, bisa mengatur keluarga, serta beradaptasi dalam keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga sendiri. Sehingga hubungan yang dibangun tidak sia-sia serta mempunyai makna dalam komunitas keluarga itu sendiri.

B. Marziah

Dalam keseharian ibu Marziah bekerja sebagai pembuat kue yang dipasarkan setiap pagi. Kue-kue yang dibuat beraneka ragam kue-kue khas Aceh mulai dari apem tape, bingkang ubi, timpan srikaya, pulot srikaya, serta bingkang tepung roti. Kue-kue yang dibuat cukup lumanyan enak, karena peneliti sewaktu bertamu kerumah ibu Marziah di suguhkan kue-kue bikinannya. Sambil peneliti menikmati hidangan kue-kue tersebut, peneliti bertanya kepada ibu Marziah, apakah setiap harinya kue-kue tersebut habis terjual dipasaran, ibu Marziah langsung menjawab “habiz dong”, Malah kalau di hari libur kuenya kurang banyak dikarenakan peminatnya banyak.

Jumlah keu yang dipersiapkan setiap paginya mencapai ratusan potong kue, ini jelas bahwa kue bikinan ibu Marziah sangat digemari oleh orang banyak. Harga kue tersebut perpotongnya hanya Rp. 600, dan dalam sehariannya ibu Marziah bisa mendapat sekitar ± Rp. 250.000.


(56)

Bisa dibilang pendapatan utama dari keluarganya sangat tergantung dari hasil penjualan kue. Karena suami sebagai kepala keluaga tidak bisa lagi mencari nafkah dikarenakan dalam keadaan sakit-sakitan, maka ibu Marziah lah yang turun tangan untuk bertanggung jawab atas keluarganya.

Disamping ibu Marziah menjual kue-kue, dia mempunyai usaha tambak yaitu dari hasil suaminya yang bekerja dulu semasih sehat. Kata ibu marziah suaminya dulu bekerja di lapangan mallikul saleh, yaitu sebagai karyawan perkantoran penerbangan. Kehidupan yang dijalankan dulu cukup lumanyan berada, tapi kalau dilihat dari kondisi keuangan sekarang agak lebih berat. Dikarena anak-anak sudah menginjak keremajaan, pengeluaran pun semakin bertambah, baik disekolahnya maupun di luar sekolah.

Ibu marziah mempunyai empat orang anak diantaranya tiga laki-laki dan satu perempuan, kempat-empatnya sudah duduk di bangku sekolah. Yang pertama di SMA, yang kedua di SLTP, sedangkan yang ketiga dan keempat masih di bangku SD.

Berbicara mata pencaharian yang berada di daerah Aceh khususnya di Krueng Manee, dengan penuturan ibu marziah, sama seperti halnya di daerah-daerah lainnya yang masih berasal dan masih lingkup Negara Indonesia yaitu bertani, dan yang dekat dengan laut ya nelayan, dan yang berada dilereng pegunungan ya berladang.

Namun, selain dari tuturan ibu marziah dalam mata pencaharian baik dilereng pegunungan, dilaut atau disawah kebanyakan khususnya di daerah krueng manee kebanyakan bergerak di bidang pertanian dan sebagai nelayan yaitu dikarenakan dekat dengan pesisir pantai.

Di daerah yang ditempatinya sekarang sangat mudah untuk mencari penghasilan, asalkan sanggup untuk mengerjakannya. Bisa dikatakan laut yang terbentang luas siap


(57)

untuk dijamah serta lahan-lahan banyak yang kosong siap ditanami tumbuh-tumbuhan yang bisa diperjual belikan. Jadi tidak ada alasan untuk tidak mempunyai penghasilan kalau tidak dikarenakan malas. Apalagi setelah tsunami terjadi, pemerintah banyak mendidrikan serta perbaikian pembangunan, baik rumah maupun pertokoan. Orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan bisa bekerja sebagai buruh ditempat pembangunan tersebut.

Ibu marziah tinggal di Krueng Manee ± 20 tahun, sebelum menikah ibu marziah sudah tinggal di Krueng Manee karena ikut kakaknya yang tinggal juga di daerah yang sama. Ibu marziah menikah pada tahun 1991 sampai sekarang masih tetap langgeng perkawinannya itu. Pada saat pernikahannya di langsungkan, mahar (jeulame) yang diberikan pada ibu marziah cukup besar dan jumlah 15 manyam emas, uang tunai sebesar Rp. 2 juta serta perlengkapan kamar.

Banyaknya biaya disebabkan karena setiap tahapnya dimulai dari acara pertunangan hingga pesta perkawinan selesai. Dalam acara pesta adapt selalu ada acara makan bersama mulai dari mufakat (neuduk pakat) sampai tiba pada acara pokok.

Pada saat penentuan mahar (jeulamee), pihak dari keluarga calon mempelai laki-laki bersilahturrahmi kerumah keluarga calon mempelai perempuan. Acara silaturrahmi tersebut sudah diberitahukan oleh pihak dari anaknya masing-masing. Kedua calon mempelai tidak boleh hadir atau pun ikut dalam acara pertunangan dalam penentuan mahar (jeulamee), alasannya yaitu dikarenakan adat istiadat. Kalau kedua mempelai atau pun salah satu dari mempelai hadir, maka kedua mempelai tersebut tidak menghargai dan menghormati yang menjadi wali dari pihak masing-masing serta para tertua adat.


(58)

Menurut ibu marziah, yang bertanggung jawab dalam penentuan mahar adalah keluarganya yaitu dari orang tuanya sendiri. Pada saat penentuan mahar untuk perkawinan ibu marziah, istilah “tawar-menawar” terjadi, tetapi hanya sebatas meminta kurang dari ketentuan yang sudah ditetapkan oleh kedua orang tua dari mempelai perempuan sebelumnya. Dalam tawaran tersebut keluarga pihak mempelai perempuan tidak menyetujui tawaran tersebut. Dan dengan itu keluarga dari pihak laki-laki pun ikut apa yang menjadi ketetapan dari pihak perempuan.

Namun dengan demikian, selain peran keluarga dalam penentuan mahar dilakukan, pada acara adat pun orang tua beserta keluarga besar pun ikut turun tangan untuk membantu demi kelancaran pesta adat. Setelah melakukan upacara adat, pihak yang telah menjadi suami akan tinggal bersama keluarga istri dalam kurun waktu satu tahun bahkan lebih.

Peneliti bertanya kepada ibu marziah, kenapa setelah menikah dan menjadi suami istri, pihak dari suami tersebut tinggal bersama dalam keluarga istri atau dalam lingkungan keluarga istri. Ibu marziah menjawab, “itu adalah ketentuan dari adat itu sendiri”.

Menurut ibu marziah, ketentuan untuk tinggal bersama orang tua agar pasang muda suami istri bisa belajar dari apa yang diajarkan oleh orang tua dalam keluarga tersebut. Dimana hubungan yang dibangun dalam perkawinan di usia muda sangat rentan dengan konflik. Maka dari itu, peran keluarga sangat penting dalam kelancaran hubungan yang dibangun diusia muda dini hari. Dan serta merta orang tua telah mengalaminya sebelum kita mengalami.


(59)

Disamping itu pula suami dapat belajar dan mempelajari bagaimana menjadi suami yang yang dikehendaki oleh pasangannya, suami pun dapat belajar pada mertua dari laki-laki. Dan pula apabila dalam suatu pekerjaan belum sempurna, maka kita sebagai yang muda ini dapat pula untuk memperbaiki kearah yang lebih baik lagi. Jikalau seorang suami yang masuk ke keluarga istri masih serba minim kemampuan baik dari segi pekerjaan atau penghasilan, maka tindakan yang diambil oleh orang tua dari perempuan akan dimodalin untuk membuka usaha semampunya. Untuk itu peran keluarga sangat penting dalam kehidupan berkeluarga baik dalam lingkup kecil maupun dalam lingkup besar.

Begitulah ibu marziah, perempuan yang bekerja untuk keluarganya. Diusianya yang sekarang mencapai 40 tahun masih tetap semangat . wajahnya yang masih kelihatan muda serta tetap ceria menanti hari esok dan seterusnya. Biarpun dalam keadaan postur tubuhnya yang lumanyan besar, tapi setiap pekerjaan yang dilakukannya selalu cepat dan tepat.

C. Syukriah

Orangnya periang, murah senyum, suka bercanda yang penting hatinya senang. Dengan bahasanya yang hati-hati sambil tersenyum ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sore itu, dihalaman rumahnya yang luas, sangat ramai para ibu-ibu berkumpul. Mulai dari anak-anak hingga remajanya, maklum hari minggu sore, orang-orang yang berada disekitar rumahnya berdatangan kerumahnya dikarenakan tempat atau halaman yang di punyainya sangat rindang dengan pepohonan yang besar-besar.


(60)

Didepan rumahnya terdapat kios ponsel serta kios jajanan anak-anak. Maklum saja, karena letak rumahnya menghadap kejalan serta di pinggir jalan raya. Kios-kios tersebut kepunyaan dari ibu Syukriah dan suaminya. Kios-kios tersebut adalah usaha sampingan bagi mereka berdua. Karena, selain ia membuka usaha tersebut, ia adalah seorang guru, sedangkan suaminya adalah seorang wirausahawan.

Dengan statusnya pendidikannya yang tamatan SLTA, cukup beruntung ibu Syukriah mendapat mengajar disekolah dasar yang tidak jauh dari daerah tempat tinggalnya, biarpun ia sebagai guru honor. Tapi dalam hal ia bekerja, ia tetap semangat melakoni pekerjaannya itu.

Ibu Syukriah adalah nama dari seorang ibu yang berusia 32 tahun, ia baru menikah pada April 2008, ± 2 tahun sebelum ia mengenal dengan suaminya sekarang, ia berjumpa di Negara Malaysia. Itu pertemuan pada saat ia menemani ibundanya berobat operasi mata ke Pineng, ibu Syukriah menikah bukan karena dijodohkan melainkan pertemuan tanpa disengaja.

Setelah beberapa saat saling kenal satu sama lain, mereka langsung memutuskan hubungan kearah yang lebih serius yaitu untuk berumah tangga. Karena diusia ibu Syukriah yang 30-an, kesiapan untuk berumah tangga sudah benar-benar siap dan matang.

Pada acara melamar, calon suaminya dan keluarga datang kerumah dengan membawa bingkisan yang telah dibentuk sedemikian rupa cantiknya. Pada acara pelamaran tersebut itu baru antara pihak kelurga mempelai perempuan dengan keluarga mempelai laki-laki serta beberapa tokoh adapt yang berperan penting dalam kelancaran di


(1)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Adapun beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Makna mahar bagi perempuan Aceh merupakan sebuah harga diri yang bernilai tinggi yang harus diberikan pada saat menjelang perkawinan.

2. Suatu mahar yang diberikan apabila bernilai tinggi maka, penghargaan yang diberikan oleh keluarga tersebut berupa penghormatan serta sanjungan. Dan apabila pihak dari keluarga perempuan mempunyai kedudukan maka, dapat pula mempelai laki-laki mempunyai kedudukan yang sama atas pemberian dari keluarga perempuan. Jika keluarga perempuan dari keluarga sederhana, sedang pihak laki-laki dari keluarga kaya raya dan terpandang maka, kedudukan yang diberikan untuk perempuan akan sama pula dengan pihak keluarga laki-laki. Namun dengan demikian, apabila kedua keluarga sama-sama dari keluarga sederhana maka pengghargaan yang diberikan akan sama pula sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

3. Secara Adat, perkawinan yang berlaku dimasyarakat Aceh adalah salah satunya untuk menambah hubungan persaudaraan antar keluarga atau pun antara daerah pihak laki-laki maupun pihak perempuan.


(2)

4. Oleh karenanya, mahar merupakan penyerahan yang oleh adapt telah ditetapkan oleh kedua belah pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang sesuai dengan lapisan dan kedudukan masing-masing yang berjumlahnya sangat bervariatif, mulai dari 15 manyam, 30 sampai dengan 50 manyam emas. Oleh karena itu, apabila pihak keluarga ada yang tidak sanggup dan kurang mampu maka, suatu pernikahan akan ditunda sampai keluarga tersebut mampu memenuhi syarat-syarat dalam suatu perkawinan.

5.2. Saran

Suatu perkawinan benar adanya mahar harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Tapi apabila pemberian tersebut memberatkan sebelah pihak maka, perbuatan baik seperti yang dianjurkan dalam agama tidak dapat dilaksanakan dikarnakan ketidak mampuan, serta merta akan terjadi hal yang tidak diinginkan.

Oleh karenanya, apabila kedua sejoli sudah suka sama suka, dalam hal ini keluarga tinggal menyetujuinya saja tanpa ada persyaratan yang memberatkan yaitu mahar yang tinggi jumlahnya, serta tuntutan lainnya. Ketika adat menjadi faktor penghalang niat seseorang untuk menikah, itu artinya adat tersebut telah membiarkan pintu kemaksiatan terbuka.

Hal ini bisa berakibat fatal dengan rusaknya tatanan masyarakat bersyari’at yang sedang dibangun, misalnya, bertambahnya wanita-wanita yang memasuki usia tua tanpa sempat menikah yang berujung pada seringnya terjadi berbagai fitnah, rawannya pacaran dan perzinaan (free sex), kasus-kasus khalwat yang sering kita dengar, ini adalah


(3)

Dengan penetapan mahar semampu pihak laki-laki serta persetujuan dari masing-masing keluarga, dengan itu suatu perkawinan akan berjalan dengan baik tanpa ada terbebani dengan persyaratan lainnya. Dan pada intinya perkawinan yang dilaksanakan bukan atas dasar karena mahar atau harta, tetapi atas niat yang suci untuk mencapai keturunan yang baik pula.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, suharsini. 1991. Prosedur Penelitian : suatu pendekatan

praktik. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Ali, Hasjmy, 1983. Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta : Penerbit Buana Goodman, Douglas, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta :

Prenada Media Kencana

Hardiansyah. 2010. Peran Teungku Dayah di Masyarakat Aceh. Skripsi (S1)

tidak diterbitkan . Medan : Departemen Sosiologi FISIP Universitas Sumatera Utara.

H.C. Zentgraaff, 1983. Aceh (Terjemahan Aboe Bakar), Jakatra : Buana. Harmoni Sosial, Volume 1, No. 3, 2007, Departemen Sosiologi – Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan.

Henslin, James, 2007, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Edisi 6, jilit 2, Jakarta : penerbit Erlangga.

Ihromi, T.O, 1999. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. J.Goode, William.1991. Sosiologi Keluarga. Jakarta : BUMI AKSARA. J. Goode, William. 1985. Sosiologi Keluarga, Jakarta : PT. Bina Aksara. Kephar, William M. 1988. The family, society, And The Individual. New York :

Harper & Row, Publisher.

Khairuddin, H, 2002. Sosiologi Keluarga. Yokyakarta : Liberty. Khairuddin. 1997. Sosiologi Keluarga. Liberty. Yogyakarta.

Koentjaraninggrat, 1984, Masalah-masalah Pembangunan, Jakarta : Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES.

Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Pedoman Umum Adat Aceh, Banda Aceh, LAKA Daerah Istimewa Aceh.

Moleong, Lexy.2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Moleong, Lexy.2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Ritzer, George.2003. Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana.


(5)

Ramulyo, Mohd. Idris, 1996, Hukum perkawinan Islam, suatu analisis dari UU

No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : LP3ES.

Suyanto, Bagong.2005. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : Kencana.

Sitompul, Lola utama.2009. Tata Cara Penetapan Mahar bagi Perempuan Nias.

Skripsi (S-1) tidak Diterbit. Medan : Derpartemen Sosiologi FISIP Sumatera Utara.

Soekanto, Soerjono, 1982, Teori Sosiologi Tentang Pribadi Dalam Masyarakat, Jakarta : Ghalia Indonesia.

……….1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : CV. Rajawali.

……….2001, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sunarto, Kamanto, 2000, Pengantar Sosiologi Edisi kedua, Jakarta : F.E.

Universitas Indonesia

Tarigan, Sarjani, 1986, Bunga Rampai Seminar Kebudayaan dan Kehidupan

Masa Kini, Medan.

Umar, Muhammad.2006 . peradaban aceh (TAMADDUN).

Banda aceh : yayasan busafat.

Situs Internet

(http://www.mailarchive.com/keluargasejahtera/yahoogroups.com/msg00854.html) Kamis : 08.00-09.00

(http://aceh institute/index.php.htm) Kamis : 15.00-16.00

(http://plik-u.com/?p=553) Sabtu : 20.00-21.00 (http://books.google.co.id/books?


(6)

Jum’at : 11.30-13.20

(http://.Q-&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=9&ved=0CBgQ6AEwCDgo#v=) Minggu : 15.00-17.00

(

(http://. onepage& q=mahar%20batak&f=true,). Senin : 16.00-18.00

http://gadissebrang.multiply.com/journal?&page_start=40

(

) Jum’at : 20.00-21.00

http://sirajabatak.com/Penyederhanaan%20Adat%20Batak.htm) Selasa : 22.00-23.00