62
BAB IV HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG PERLINDUNGAN
ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Hukum Islam Tentang Perlindungan Anak Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga .
Salah satu tanggung jawab dan merupakan bentuk dari perlindungan hukum anak adalah mendidik mereka dengan akhlak mulia yang jauh dari kejahatan dan
kehinaan, serta memberikan hak dan keadilan kepada mereka. Orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya, melindungi dan mendukung mereka, dan
menyatu bersama jiwa mereka.
44
Seorang anak memerlukan pendalaman dan penanaman nilai-nilai norma dan akhlak kedalam jiwa mereka. Sebagaimana orang tua harus terdidik dan berjiwa suci,
berakhlak mulia, dan jauh dari sifat hina dan keji, maka mereka juga dituntut menanamkan nilai-nilai mulia ini kedalam jiwa anak-anak mereka dan menyucikan
kalbu mereka dari kotoran. Islam melihat bahwa masalah penyucian jiwa merupakan kewajiban dan bahkan paling wajib. Shalat adalah kewajiban tetapi penyucian jiwa
dan melengkapinya dengan akhlak mulia jauh lebih wajib.
45
44
Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili, Perceraian Salah Siapa? Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, Bandung: PT. Triganda Karya, 1994, Cet. I, hlm.148
45
Husain Mazhariri, Pintar Mendidik Anak, Panduan Lengkap Bagi Orang Tua, Guru, dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam, Jakarta: Lentera, 1994, Cet. IV, hlm. 240
63 Perlindungan anak terhadap kekerasan dalam rumah tangga erat kaitannya
dengan status anak dalam keluarga, sebab dengan adanya status anak maka perlindungan hukum yang akan dilakukan dapat terealisasikan dengan baik, hal
tersebut juga mempermudah dalam mengkategorikan sebagai seorang anak yang jelas dan patut untuk mendapatkan perlindungan.
Perlindungan hukum islam tentang kesahan anak pada umumnya bertumpu pada sahnya anak itu untuk bapaknya, sebab bagi ibunya, wanita yang melahirkannya
adalah otomatis sah sebagai ibunya dan tidak ada perbuatan hukum apapun untuk meniadakan hubungan hukum antara seorang wanita dengan anak yang
dilahirkannya. Secara alamiah, seorang anak akan lahir jika terjadi pembuahan yang
dihasilkan dari hubungan antara laki-laki dan wanita. Hubungan semacam ini didalam islam diatur sedemikian rupa melalui akad pernikahan. Disyariatkannya perkawinan
ini erat kaitannya dengan keabsahan asal usul keturunan yang dalam islam dikenal dengan istilah “nasab”.
Sahnya seorang anak yang dimaksud oleh hukum adalah sahnya seorang anak untuk dinasabkan kepada ayahnya. Islam memberikan beberapa ketentuan untuk
menetapkan sahnya keturunan jika diketemukan salah satu dari 3 tiga syarat, yaitu; perkawinan, pengakuan dan bukti.
46
46
Zakaria Ahmad Al-Barry, Ahkamul Al- Auladi Fi Al-Islami, Terj. Chadijah Nasution Jakarta: Bulan Bintang, 1977 Cet. I, hlm.
64 Pengakuan adalah ikrar suami tentang sahnya anak yang dikandung isterinya
dalam keadaan tertentu. Menurut Fizee, hukum islam menetapkan;
47
1. Seorang anak yang lahir selama dalam 6 bulan dari hari perkawinan tidak sah,
kecuali bila si bapak mengakui bahwa yang lahir itu adalah sebagai anaknya. 2.
Seorang anak yang lahir sesudah 6 bulan dari hari perkawinan adalah sah, kecuali bila si bapak tidak mengakuinya.
3. Seorang anak yang lahir sesudah terputusnya tali perkawinan adalah sah jika
lahir dalam jangka waktu 10 bulan menurut hitungan bulan arab Hijriah dalam hukum Hanafi, dan dalam jangka waktu 4 tahun menurut hitungan
tahun arab Hijriah dalam hukum Syafi‟i dan Maliki. Pembuktian yaitu bukti yang menurut agama islam. Ketentuan juga dapat
ditetapkan berdasarkan adanya bukti yang sah menurut agama islam, yaitu saksi-saksi yang terdiri dari 2 dua orang laki-laki, atau 1 satu orang laki-laki dan 2 dua
orang perempuan. Sebagai contoh, misalnya ada seorang laki-laki bapak yang mengemukakan
pengakuan bahwa A adalah anaknya, tetapi A membantahnya, maka menurut hukum islam bapak yang membuat pengakuan tersebut dapat menguatkan pengakuannya
dengan cara memberikan bukti-bukti yang sah, berupa saksi-saksi yang lengkap.
47
Asaf Fizee, Outline of Muhammad Law, Terj: Arifia Bey, MA., Jakarta: Tintamas, 1985 hlm. 247-248
65 Dengan demikian hakim akan menerima pengakuan bapak tersebut dan menetapkan
sahnya hubungan keturunannya itu. Jika secara jelas telah diketahui tentang status anak maka berkaitan dengan
perlindungan hukum bagi anak terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Hukum islam dengan tegas telah memerintahkan kepada orang tua terutama ibu untuk
memberikan perlindungan kepada anak-anaknya sejak masih dalam kandungan, menyusuinya sampai 2 dua tahun, memberikan anak hak untuk tetap hidup,
menafkahinya dengan jalan yang baik memberikan penghidupan dan pendidikan yang layak serta seorang anak dapat mewarisi harta benda peninggalan orangtuanya.
Pada usia balita, anak belum mampu berdiri sendiri, karena dalam kehidupan mereka sangatlah bergantung pada orang dewasa, yaitu ayah dan ibu atau pun
saudara-saudaranya. Orang dewasa wajib memberikan perlindungan kepada anak- anak dengan memelihara dan memberikan kasih sayang. Sebab anak yang kehilangan
kasih sayang orang tua, akan berdampak buruk jika anak tersebut sudah dewasa. Mengingat anak-anak yang sekarang masih kecil itu akan menjadi orang-
orang dewasa yang mempunyai peran penting dimasa datang, bahkan dipundaknya tergantung nasib dunia ini karena memang mereka tumpuan harapan generasi tua
sekarang, bahkan syariat pun menaruh perhatian yang banyak terhadap mereka.
48
48
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak Metode Islam Dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, Jakarta: Al-Mawarid, 2004, Cet. I, hlm.
cover belakang.
66
ءآ سّا س
17 :
6
Artinya: “kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan
Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” QS. Al-Israa 17: 6
Hakekatmya perlindungan anak adalah penampakan kasih sayang yang diwujudkan pada pemenuhan hak dasar dan pemberian perlindungan dari tindakan
kekerasan dan diskriminasi. Jika demikian halnya, perlindungan anak dalam islam berarti penampakan apa yang dianugerahkan oleh Allah SWT didalam hati kedua
orang tua, yaitu berupa sentuhan cinta dan kasih sayang terhadap anak dengan memenuhi semua kebutuhan hak-hak dasarnya sehingga dapat hidup, tumbuh
berkembang dan berpartisipasi secara optimal.
49
ق ج ع أ ع عش ع ع
: س س ع ها ص ها س ق
ك ف ش ف ع غص ح ت ا ا
50 Artinya:
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar bin Syuaib r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Tidaklah termasuk golongan kami, orang-orang yang tidak mengasihi
anak kecil diantara kami dan tidak mengetahui hak orang besar diantara kami.”
HR. Tirmidzi
Sebuah hadist Al-Bukhari dan Muslim menjelaskan sebuah langkah awal bagi setiap muslim dalam mengupayakan permulaan perlindungan anak.
49
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Dalam Ajaran Islam, Jakarta: KPAI, 2006, hlm. 13.
50
Muhammad bin Isa al-Tirmidzi al-Salimi, Al-Jami’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzi,Beirut: Dar Ihya al-Turats al-
„Arabi, t.th juz. IV, hlm. 322
67
ق ـ ع ها ض س ع ا ع :
س ع ها ص ها س ق ك حأ أ
ف تق ط ش ا ج ط ش ا ج ا ها س قف أ تأ أ ا أ ا ا أ ط ش ض ك ف
ق ا ا
51 Artinya:
“Jika salah seorang diantara kalian hendak mendatangi menyetubuhi isterinya dan dia berkata: “Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah syaitan dan jauhkanlah
syaitan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami”, maka jika ditetapkan ada anak diantara keduanya maka syaitan sama sekali tidak akan menimbulkan
mudharat kepadanya.” HR. Bukhari
Sama halnya dengan hukum positif yang mempunyai prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan perlindungan anak, dalam islam pun terdapat prinsip-prinsip
penyelenggaraan perlindungan anak antara lain: 1. Bersikap adil Non diskriminasi
Fitrah anak sebagai ciptaan Allah SWT, maka perlakukanlah secara adil.
فس س
12 :
8
Artinya: “yaitu ketika mereka berkata: Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya
Bunyamin lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, Padahal kita ini adalah satu golongan yang kuat. Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan
yang nyata.” QS. Yusuf 12: 8
2. Kepentingan terbaik bagi anak. Prinsip kepentingan bagi anak berarti semua tindakan yang menyangkut anak
harus menjadi pertimbangan utama.
51
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhariy al- Ja‟fi, Shahih Bukhariy, juz. I, hlm. 65
68
س أ ع :
طأ أ أ أ اص ا خ أ ا ق اس ا اص ا ع ها أ ئ أ ج ش عأ تاص ف جتأف ص ا ء ع س ف
ا ا
52 Artinya:
“Sesungguhnya ketika aku melakukan shalat menjadi imam dan aku bermaksud untuk memanjangkan bacaanya, tiba-tiba aku mendengar tangisan anak kecil. Maka
aku segera memperpendek bacaan shalatku. Karena aku memahami perasaan ibunya yang menjadi makmum yang tentu terganggu oleh tangisanya..” HR.
Bukhari dan Ahmad
3. Penghargaan terhadap pendapat anak
ع ها ض ع س ا عس س ع :
تأ س ع ها ص ها س أ اغ قف سأا س ع اغ
ع شف ا ش أ أتأ
ءّ طعأ .
ا حأ ك ص ث أ ّ ها س ها اغ ا قف .
س تف ق ف س ع ها ص ها
ا ا
53 Artinya:
“Rasulullah SAW diberi minuman dan beliau minum sebagian. Disebelahnya duduk seorang anak dan sebelah kirinya duduk beberapa orang tua. Rasulullah SAW
bersabda kepada anak itu: “Apakah engkau mengizinkanku untuk memberi kepada m
ereka?” Maka anak itu menjawab: “Tidak, demi Allah, bagianku yang direlakan oleh engkau tidak akan saya berikan kepada siapapun” maka Rasulullah meletakan
minuman ditangan anak itu, dan dia adalah Abdullah bin Abbas.” HR. Bukhari dan
Ahmad
Pada orang dewasa atau mukallaf pada dirinya melekat kewajiban untuk melaksanakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Hal ini
berpatokan kepada akal sehat artinya hanya manusia yang berakal yang dibebani taklif atau tuntutan melaksanakan kewajiban.
52
Ibid, juz. I, hlm. 250
53
Ibid, juz.2, hlm. 865
69 Apabila manusia melanggar hak-hak orang lain baik hak perorangan atau hak
masyarakat maka ia harus mempertanggungjawabkannya. Disinilah muncul dengan apa yang disebut pertanggungjawaban pidana.
Hukuman atau hukum pidana dalam islam disebut “al-Uqubat” dari kata “al-
Uqubah” meliputi hal yang merugikan atau tindak kriminal. Kata umum untuk hukuman adalah
”Uqubah” berasal dari “aqb” berarti sesuatu yang datang setelah adanya pelanggaran atas batas-batas yang yang ditetapkan hukuman agama disebut
“al-Uqubaat”. Semua pelanggaran dan Pembangkangan terhadap ketentuan Allah secara
umum tidak dihukum, karena hukuman itu hanya dapat dikenakan dalam kasus-kasus adanya pelanggaran akan hak-hak orang lain.
Kekerasan yang ditandai dengan adanya penganiayaan yang menimbulkan luka pada fisik atau cacat badan adalah sebuah tindakan pidana yang dalam hukum
islam dikenal dengan jarimah, adapun yang dimaksud dengan jarimah adalah larangan-
larangan syara‟ yang apabila dikerjakan diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta
’zir. Namun, apabila kasus yang belum ada ketentuan hukumnya seperti anak yang menjadi korban kekerasan, maka untuk menghukum pelaku
digunakan ketetapan hukum lama sesuai dengan permasalahan yang terjadi, yaitu dengan mengkiaskan apa yang sudah terjadi pada masa sebelumnya, inilah yang
sering digunakan dalam menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapan hukumnya.
70 Dalam hal pembuktian jarimah kekerasan terhadap anak adalah dengan
kesaksian korban dalam hal ini adalah anak, barang bukti yang digunakan dalam melakukan kekerasan alat atau benda, data-data medis hasil visum, dan pendapat
saksi ahli atas bukti-bukti yang ada. Dalam hukum islam terdapat perbedaan pendapat tentang hukuman bagi
pelaku orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak. Yusuf bin Muhammad dalam bukunya “Anak Bertanya Islam Menjawab” mengatakan bahwa apabila orang
tua memukul anak secara berlebihan maka orang tua tidak dapat dihukum tetapi cukup dengan meminta ampun kepada Allah atas perbuatan yang dilakukannya.
54
Adanya larangan melakukan kekerasan terhadap anak sesuai dengan satu kaidah ushul fiqh yaitu:
عف ا ج ع ق س ف ا ء .
55 Artinya:
“Menghindari masalah dan didahulukan dengan menarik manfaat”
Kemudian firman Allah dalam Al- Qur‟an Surat Al-Israa ayat 31 yang
berbunyi:
ءآ سّا س
17 :
31
54
Yusuf bin Muhammad bin Al-Atiq, Anak Bertanya Islam Menjawab, Yogjakarta: Al- Manar, 2004, Cet.I, hlm.164
55
Ibnu Abdi As-Salam, Qawa’id al-Ahkam Fii Mashah al-Anam, Kairo: Al-Istiqamah, tth
Jilid. I, hlm. 9
71
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah
yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” QS. Al-Israa 17: 31
Membunuh anah itu merupakan dosa besar, karena tindakan tersebut menghalangi tujuan hidup manusia. Tidak membiarkan anak itu hidup berarti
memutuskan keturunan, yang berarti pula menumpas kehidupan manusia itu sendiri dari muka bumi.
Ada beberapa pendapat mengenai hukuman bagi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak, yang dapat menyebabkan anak luka-luka bahkan sampai
meninggal. Dalam Al- Qur‟an dijelaskan bahwa setiap luka-luka ada qishasnya, tetapi
tidak ada pengkhususan apakah ayat tersebut berlaku untuk orang tua yang menganiaya dan membunuh anaknya. Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-
Qur‟an Surat Al-Maidah ayat 45.
س ئ ـ ا
5 :
45
Artinya: “dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya At Taurat bahwasanya
jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada kisasnya. Barangsiapa
yang melepaskan hak kisas nya, Maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim.” QS. Al-Maidah 5: 45
72 Atas dasar inilah maka setiap ada perlukaan dan pembunuhan wajib diqishas
demi tegaknya keadilan didunia. Dalam hukum islam ada berbagai perbedaan pendapat mengenai hukuman
bagi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak. Menurut pendapat Imam Syafi‟I dan Nawawi, bahwa tidak dibunuh atau
diqishas orang tua yang membunuh anaknya, tetapi diqishas anak yang membunuh orang tuanya. Wajibnya qishas disyaratkan pembunuhnya bukan ayah, bukan kakek,
dan bukan seterusnya ke atas. Orang yang dibunuh juga bukan anak, bukan cucu, dan juga bukan seterusnya kebawah. Berdasarkan ucapan Umar r.a. dalam suatu kasus
pembunuhan, beliau mengatakan:
ق س ع ها ص ها س تع س أ ّ :
أ أ ا ق ّ ُ ،كت تق
ت ق ا ا
56 Artinya:
“Seandainya aku tidak pernah mendengar Rasulullah bersabda: ayah tidak diqishaskarena membunuh anaknya pasti aku akan membunuhmu, bayarkanlah
diyatdendanya”
Oleh karena ayah orang tua adalah sebagai penyebab wujud adanya anak. Maka tidak patut jikalau anak itu menjadi penyebab hukuman matinya ayah orang
tua. Imam Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadist dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw pernah berkata:
ا ا تق ّ .
57
56
Al-Imam Taqyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina Ilmu, 1997 jilid. 3, cet. I, hlm. 17
73
Artinya: “Orang tua tidak diqishas karena membunuh anaknya”. HR. Tirmidzi
Ibnu Abdul-Barr berkata, ini adalah hadist yang sudah terkenal dikalangan para ahlul-ilmi di Hijaz dan Iraq, serta mengenalnya dengan baik dan hadist ini
diamalkan oleh penduduk madinah serta diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Yahya Ibnu Said meriwayatkan dari Am‟r Ibnu Syuaib bahwa ada seorang
lelaki dari kalangan Bani Mudlij yang dikenal dengan nama Qatadah. Ia melemparkan pedang kepada anaknya dan ternyata nengenai betisnya, lalu terjadilah
pendarahan sampai anak itu mati. Kemudian Suraqah Ibnu Jusy‟um melaporkan hal tersebut kepada sahabat Umar r.a. Umar berkata kepadanya Sediakanlah di Ma Qadid
sebanyak 120 unta sampai aku datang kepadamu. Tatkala Umar datang kesana beliau mengambil dari unta-
unta itu sebanyak 30 ekor hiqah 30 ekor jadz‟ah serta 40 khilfah. Kemudian beliau berkata: “Dimana saudaramu terbunuh?” Suraqah
menjawab: “Akulah saudaranya” Ambilah ini sebab Rasulullah saw pernah bersabda:
ء ش ت ق س
58
Artinya: “Pembunuh tidak mendapatkan apa-apa” HR. Yahya Ibnu Said dari Am‟r Ibnu
Syuaib
Sependapat dengan Imam Syafi‟i, Imam Hanafi dan Ibrahim Halabi mengemukakan bahwa tidak diqishas ayah karena membunuh anaknya, begitu pula
dengan ibu yang membunuh anaknya.
57
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: Al- Ma‟aruf, 1987 jilid. X, cet. I, hlm. 49
58
Ibid, hlm. 50
74 Imam Malik berbeda pendapat dalam hal ini, beliau berpendapat bahwa orang
tua tetap dihukum qishas sebab membunuh anaknya bilamana orang tua menelentangkan anaknya kemudian ternyata dia menyembelihnya. Keadaan seperti
ini tidak ada alternative lain melainkan membunuhnya secara benar-benar sengaja. Malikiyah beralasan bahwa selama orang tua benar-benar tidak sengaja dalam
membunuh anaknya, berarti ada syubhat dalam perbuatanya itu, misalnya; ingin memberi pelajaran terhadap anaknya. Akan tetapi jika ia betul-betul sengaja, maka
tindakannya itu menghilangkan syubhat sehingga dengan demikian ia harus dikenakan hukuman qishas.
59
Para ulama berpegang kepada hadist Nabi saw, berpendapat bahwa orang tua tidak diqishas karena membunuh anaknya sebab orang tua adalah awal dari pada
adanya anak, maka tidak mungkin anak menjadi sebab yang melenyapkan orang tua. Menurut pendapat Al-Mutsanna bin As-Shibah yang dikutip juga oleh
Kahlani bahwa hadist itu adalah lemah dha‟if karena hadist tersebut terpotong. Imam Malik, Arramli dan Bajuri berpendapat bahwa orang tua diqishas karena
membunuh anaknya, mereka berpegang kepada ayat Al- Qur‟an yang mengatakan
jiwa dibalas dengan jiwa. Atas dasar tersebut maka hukum qishas berlaku bagi orang
59
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet.I, hlm.153
75 tua yang membunuh anaknya dengan sengaja maupun kezhaliman. Hukuman qishas
tersebut secara hukum harus ditterapkan.
60
Menurut Syeh Muhammad Abduh bahwa orang tua yang membunuh anaknya dikenakan ta‟zir. Ta‟zir adalah merupakan hukuman bunuh, bukan dibunuh karena
huk uman had. Mengenai hukuman ta‟zir yang berupa hukuman bunuh ini
Muhammad Abduh berkata bahwa hal ini adalah suatu pengecualian yang jarang dan tidak mungkin terjadi.
61
Pada kenyataannya sekarang banyak prang tua yang menyiksa anaknya hingga membunuh anaknya sendiri hanya karena persoalan sepele.
Menurut Al- Mawardi yang juga dikutif oleh Ahmad Wardi Muslich ta‟zir
adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumnya belum ditetapkan oleh syara.
62
Wahbah Zuhaili memberikan definisi ta‟zir menurut syara adalah hukum yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had
dan tidak pula kifarat. Sedangkan Ibrahim Unais mendefinisikan ta‟zir menurut syara adalah hukuman pendidikan yang tidak mencapai hukuman syar‟i.
63
60
Dr. Haliman, SH.,Hukum Pidana Syariat Islam Menurut Ajaran Ahlussunnah, Jakarta:Bulan Bintang,1970, hlm. 293
61
Ibid, hlm. 294
62
Ahmad Wardi Muslih, Op. Cit, hlm. 249
63
Ibid, hlm. 249
76 Hukuman ta‟zir didasari oleh adanya kejahatan atau penyimpangan atau
penyalahgunaan yang dapat merugikan kepentingan publik atau kepentingan umum atau hak-hak individu.
Jadi ta‟zir adalah hukuman yang tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur‟an, adapun hukuman yang diberikan kepada orang yang melakukan kesalahan adalah
sesuai dengan keputusan hakim.
B. Hukum Positif Tentang Perlindungan Anak Korban Kekerasan Dalam