Status Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam

17

BAB II KEDUDUKAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Status Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam

Permulaan lahirnya seorang anak adalah adanya proses pembuahan melalui hubungan antara laki-laki dan perempuan. Mengenai sah atau tidaknya anak tersebut tergantung dari sah atau tidaknya perkawinan orang tuanya. Bila perkawinan itu sah maka anak yang dilahirkan mempunyai status hukum anak sah, demikian juga sebaliknya, jika perkawinan itu tidak sah maka anak yang dilahirkan mempunyai status hukum anak tidak sah. Dalam hukum positif anak dibagi menjadi 2 dua, yaitu anak sah dan anak diluar nikah. Sedangkan dalam islam terdapat berbagai macam status anak, sesuai dengan asal muasal anak itu sendiri. Asal itulah yang akan menentukan status seorang anak, dimana setiap keadaan menentukan kedudukkannya, sifatnya sendiri, dan memberi haknya. Hubungan seorang anak dengan orang tuanya mempunyai syarat yang membenarkan hubungan yang ada dan terdapat antara ibu bapaknya. Dalam hal ini perkawinan menentukan status anak, maka status seorang anak yang dilahirkan tergantung kepada perkawinan hubungan orang tuanya. Anak menurut segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Kata “anak” dipakai secara umum baik untuk 18 manusia maupun binatang bahkan tumbuh-tumbuhan. Dalam bahasa Arab terdapat bermacam kata yang digunakan untuk arti “anak”. Umpamanya kata “walad” artinya secara umum adalah “anak”, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh manusia atau binatang yang bersangkutan. Jika dikatakan “Waladi” artinya “anak kandungku” dan “Walad hadzal heiwan” berarti “anak binatang yang dilahirkan induknya”. Disamping itu terdapat kata “ibnun” yang artinya “anak” juga, hanya ada perbedaan pemakaian keduanya. Kata yang terakhir ini dipakai dalam arti yang luas yakni dipakai untuk anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri dan lainnya. 14 Masing-masing anak ini mendapat perhatian khas dalam islam yang menentukan statusnya baik di dalam keturunan, kewarisan, maupun dalam pandangan masyarakat. 1. Anak kandung Anak kandung berarti anak sendiri yakni anak yang dilahirkan dari seorang ibu dari suaminya yang sah berdasarkan perkawinan yang mempunyai syarat. 15 Anak kandung mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga, orang tua berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dalam ibadah dan 14 Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam: Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991, Cet. II, hlm. 24-26. 15 Ibid, hlm. 35 19 budi pekerti anak dalam kehidupan sampai dewasa. Setelah anak itu dewasa, anak harus dapat berdiri sendiri. Sekiranya masih sekolah lagi, maka ia dibiayai oleh ibu bapaknya sampai selesai pendidikannya. Disamping itu sang anak mendapatkan warisan dari ibu bapaknya. 2. Anak susu Anak susu berarti seorang anak yang menetek dari seorang wanita tertentu. 16 Hal ini sudah menjadi satu kebiasaan yang dilakukan, bahkan Rasulullah SAW sendiri disusui oleh Ibu susu. 3. Anak angkat Anak angkat ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak diambil oleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri. 17 4. Anak pungut Anak pungut adalah anak yang didapatkan dimanapun dan dipelihara untuk menjauhkannya dari kesengsaraan dan kehancuran pribadinya. 18 Kebanyakkan mereka ini berkeliaran dijalan raya, dikolong jembatan dan tempat-tempat yang menjadi sarang penyakit moral. Kebanyakan anak-anak ini tidak mengetahui ibu bapak mereka dan dari mana asal mereka. 16 Ibid, hlm. 59 17 Ibid, hlm. 47 18 Ibid, hlm. 68 20 Anak pungut sebenarnya adalah cabang dari anak angkat. Anak angkat mendapatkan kedudukkan yang lebih tinggi daripada anak pungut. Anak pungut tidak mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan anak angkat, ia hanya mendapat pemeliharaan dari orang yang memungutnya. Kata “dipungut” sudah menampakan perbedaan, “dipungut” berarti mengambil sesuatu yang tidak berarti atau yang kurang artinya. Sedangkan “diangkat” berarti ditinggikan dari keadaan dimana ia berada. 5. Anak tiri Anak tiri adalah anak suami atau istri dari perkawinannya dengan orang lain. Anak yang dibawa serta dalam perkawinan baru, maka ia menjadi anak tiri bagi sang suami atau sang istri. 19 6. Anak zina Anak zina adalah anak yang timbul dari perkawinan yang tidak sah. Maka “zina” itu berarti bergaul antara pria dan wanita tidak menurut ajaran islam. 20 Kalau anak zina itu ialah anak yang timbul dari pergaulan tidak sah antara pria dan wanita, hal ini berarti bahwa pergaulan itu dapat terjadi antara siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lain. 19 Ibid, hlm. 75 20 Ibid, hlm. 78 21 Anak ini sebenarnya tidak bersalah, tidak berdosa sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan kesalahan itu. Mereka yang bertanggung jawab dan mereka pula yang menerima ganjaran atas perbuatan mereka. Memang status anak ini tidak dapat dikatakan secara hukum islam mempunyai ibu bapak, sebab tidak mempunyai dasar yang sah semenjak mulanya bahkan didasarkan kepada sesuatu yang tidak dapat dibenarkan bahkan melanggar peraturan yang ada sanksi hukumnya. Anak ini adalah manusia biasa dan normal serta ia memiliki hak hidupnya yang sama dengan manusia lainnya, ia memiliki hak asasi sama dengan manusia lain, hanya ia kehilangan hak lainnya seperti hak warisan, sebab ia tidak mempunyai bapak yang sah. Anak zina hanya menerima warisan yang tidak baik dari perbuatan dua manusia yang bersalah itu. Ia menjadi korban karena sesuatu yang ganjil dan tidak biasa, ia terima secara ganjil dan tidak biasa pula dan msyarakat pun menerimanya secara ganjil dan tidak biasa juga sebab masyarakat mempunyai pandangan tersendiri didalam segala hal, baik yang baik apalagi yang buruk. 22 Dalam islam juga dibedakan antara anak yang masih kecil ghiru baligh dan anak yang sudah baligh. Anak yang masih kecil ada yang mumayiz dan ada yang belum mumayiz belum bisa membedakan antara yang hak dan batil. 21 Adapun tanda-tanda kebalighan seseorang dapat ditentukan dengan umur dan tanda-tanda tertentu seperti telah keluar mani, haid, dan lain-lain. Mengenai masalah umur seseorang dapat dikatakan baligh, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah mengatakan seorang anak belum bisa dikatakan baligh kalau belum berumur 18 tahun bagi laki-laki dan umur 17 tahun bagi perempuan, karena perempuan pertumbuhannya lebih cepat dari laki- laki. Imam Syafi‟i dan Hambali serta jumhur ulama berpendapat bahwa anak disebut baligh baik laki- laki maupun perempuan adalah berumur 15 tahun. 22 Ada 3 tiga fase yang dilalui manusia sejak lahir sampai usia dewasa, yaitu sebagai berikut: 23 1. Fase tidak adanya kemampuan berfikir Sesuai dengan kesepakatan fuqaha, Fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia 7 tahun. Pada fase ini seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir, ia pun disebut anak yang belum 21 A. Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. I, Jil. I, hlm. 112 22 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005, Cet. III, Jil. I, hlm. 394 23 Abdul Qadir Audah, al- Tasyri’ al-Jina’iy al-Islami, Terj.Tim Tsalisah, T.tp: PT.Kharisma Ilmu, t.th, Jil. II, hlm. 256-257 23 mumayiz. Anak dianggap belum mumayiz usianya belum sampai 7 tahun meskipun ada anak dibawah 7 tahun lebih cepat untuk dapat membedakan yang baik dan buruk dari pada anak lain seusianya. 2. Fase kemampuan berfikir lemah Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia 7 tahun sampai ia mencapai usia baligh. Mayoritas fuqaha membatasinya sampai usia 15 tahun. Apabila seorang anak telah mencapai usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum meskipun ia belum dewasa dalam arti sebenarnya. Imam Abu Hanifah membatasi kedewasaan pada usia 18 tahun. 3. Fase kekuatan berfikir penuh sempurna Menurut pendapat mayoritas fuqaha, fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia kecerdasan dewasa, yaitu menginjak usia 15 tahun, atau 18 tahun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan madzhab Maliki.

B. Hak Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam