c. Iman kepada Takdir Baik dan Buruk
Hal ini ditujukan kepada Bu Laela dan Pak Burhan sebagai sosok yang begitu taat, sabar dan begitu ikhlas mengikuti segala perintah dan mengasuh
anaknya Firman. Meskipun Firman bisa dibilang sebagai anak yang tidak berbakti kepada orang tua, bahkan Firman adalah sosok yang begitu keras,
hingga sering memaki kedua orang tuanya, Firman bahkan tidak pernah mendengar nasehat-nasehat orang tuanya. Firman sering melakukan
perbuatan-perbuatan maksiat dengan teman-temannya di rumahnya, tepatnya di dalam kamar Firman. Firman dan orang-orang di sekitarnya sudah benar-
benar jauh dari kasih sayang Tuhan. Bu Laela dan Pak Burhan sebagai manusia biasa mepunyai rasa kecewa terhadap perilaku anaknya, tetapi jusrtu
kekecewaannya mereka terlampiaskan dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan kembali menyerahkan segala urusan anaknya kepada Tuhan.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan : “Dikatakan kepadaku bahwa walau dia sering mengeluh tentang
Firman, sekalipun dia tidak pernah menurunkan tangannya kepada Firman, pak Burhan juga demikian. Sakit hati orang tua terhadap anaknya tidak
membuat bu Laela dan pak Burhan mendoakan dengan doa-doa yang jelek, buruk dan jahat. Perasaan sedih, kecewa, dan marah kepada Firman
dilampiaskan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Akhirnya, bu Laela dan pak Burhan kembali menyerahkan urusan putranya itu kepada Dzat
yang menentukan segala urusan, yakni Allah S
WT.” h. 150. “Mungkin, itulah sebenar-benarnya hati seorang ibu. Betapapun
anaknya demikian berperangai dan berperilaku yang jahat, buruk, dan rusak,
hati seorang ibu selalu mendendangkan doa-munajat kepada Allah, agar Allah masih berkenan me
ngampuni dosa dan maksiat anaknya.” h.151. Dari beberapa kutipan di atas maka dapatlah penulis sampaikan bahwa
iman kepada takdir baik ataupun buruk didasarkan pada kesabaran dalam menghadapi ujian yang diberikan Tuhan sangat diperlukan, karena kesabaran
itu sendiri adalah merupakan bagian dari jati diri seorang muslim yang taat dan ikhlas.
Hal ini ditujukkan kepada Iqbal, pada awal perjalannya yang memang tidak mempunyai arah dan tujuan, dia bertemu dengan tiga orang pemuda
jalanan yang kesehariannya hanya mabuk, mengamen, dan berzina. Kemudian tiga pemuda tersebut kemudian menjadi teman Iqbal. Karena merasa itu
adalah sebuah panggilan, Iqbal mencoba untuk membawa mereka kembali ke jalan yang lurus, meski dia sendiri tidak mempunyai cukup bekal ilmu agama.
Tapi berdasarkan keyakinan, tekad, dan niat yang baik akhirnya Iqbal berusaha menjalaninya dengan sebaik mungkin. Demi para sahabat yang baru
dia kenal bisa kembali ke jalan yang diridloi Tuhan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan :
“Sekarang, aku yakin bahwa aku tidak boleh kemana-mana. Aku tidak perlu melanjutkan perjalanan lagi, sebab di sinilah, di rumah inilah, di kota
inilah, perjalanan kumulai sekaligus kuakhiri. Aku telah berketetapan hati untuk menghafal ayat-ayat-Mu. Dan aku bertetap hati, demi kebesaran dan
kemuliaan-Mu, untuk mendampingi Firman dan para sahabat, menapaki jalan menuju kepada-
Mu.”h. 128.
“Demi Allah, aku tidak mau menjadi orang yang seperti itu. Aku tidak mau melihat sahabat-sahabat yang nyata membutuhkan cahaya hidup
dipandang dengan cara yang rendah dan hina. Sebagaiman aku yang memiliki hal untuk menjadi baik, mereka pun punya hak yang sama.” h. 130.
Kemudian di dalam novel ini juga digambarkan bagaimana kesalehan Iqbal untuk menjaga kehormatannya sebagai orang yang beriman, yaitu ketika
Indri kekasih Firman mencoba untuk menggoda Iqbal untuk berbuat zina. Tetapi Iqbal mencoba untuk tidak tergoda dan terjerumus dengan kecantikan
dan rayuan Indri. Hal ini digambarkan dalam kutipan : “Sungguh, beruntung sekali kekasih mas itu. Bolehkah aku rebahan di
paha mas?” Dengan pelan-pelan, aku mendorong kepalanya itu. Kuminta dengan halus agar dia tidak melakukan hal yang demikian itu.” h. 214.
“Marilah kita hanya berbicara tentang boleh-tidaknya aku merebahkan diri dipangkuanmu.
Sekali tidak boleh, tetap tidak boleh. Kalau aku memaksa?
Aku terpaksa akan meninggalkanmu. Kalau aku berteriak keras bahwa kamu akam memperkosaku? Dan
orang-orang akan mendatangi kita dan memukulimu? Itu lebih baik daripada kamu merebahkan diri di pangkuanku.
Setegar itukah kamu ini, mas? Sehebat itukah dirimu?.”h. 216. “Benarkah aku menolak kemauan Indri kemarin karena takut kepada-
Mu? Aku berlindung kepada-Mu dari tarian nafsuku, ya Allah? Aku benar- benar berlindung kepada-Mu. Kau telah selamatkan aku dari ujian cinta
seperti ini.”h. 218. Kemudian sifat pemaaf yang didasarkan pada Rukun Iman, juga
ditujukan dan digambarkan kembali kepada Iqbal, di mana Iqbal yang sudah teraniaya oleh sahabatnya Firman karena kesalahpahaman yang menuduh
Iqbal telah berbuat zina dengan Indri kekasih Firman di dalam sebuah kamar.