“Karena aku pernah berbincang-bincang dan berdiskusi denganmu dalam bus itu, kini aku pun tengah menapaki hidayah Allah kembali.
Sekarang, aku bangga menjadi seorang muslim.” h. 306.
Dari beberapa kutipan di atas maka dapatlah penulis katakan bahwa kebenaran teologi Islam telah membuahkan hasil yang membahagiakan.
c. Iman kepada Kitab Allah SWT
Untuk sosok seperti ini tepatnya dapat digambarkan dalam diri Iqbal. Dalam novel ini diceritakan bahwa Iqbal adalah orang yang awalnya tidak
jauh berbeda dengan Firman sahabatnya. Hanya saja Iqbal lebih dulu mencoba menapaki hidayah Tuhan dengan segala keterbatasan ilmu
keagamaannya. Tetapi dia meyakini bahwa suatu saat nanti Tuhan akan memberikan yang terbaik dalam hidupnya, dengan menjalankan segala
perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Iqbal mencoba istiqamah dalam mengerjakan perintah sholat lima waktu, bahkan dengan
keterbatasannya pula dia mencoba untuk menghafal al- Qur’an. Hal ini
dilakukan untuk merubah dirinya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Gambaran ini dapat dilihat dalam kutipan :
“Aku memohon petunjuk kepada-Mu. Aku mohon Engkau berkenan untuk meridhoiku untuk menghafal Al-
Qur’an sebab aku ingin menghafal ayat-ayat-Mu. Tak punya tujuan lain kecuali aku senang membaca dan
menghafal ayat-ayat-Mu, sebab dengan cara yang demikian ini, aku akan tahu dan mengerti kebesaran dan kekuasaan-Mu. Aku tahu Engkau adalah Dzat
yang pantas untuk disembah.” h. 136.
Kemudian hal yang menggambarkan Iqbal adalah seorang yang istiqamah dapat dilihat dalam kutipan :
“Yapp, dengan cara begitu, insyaallah, dalam waktu tiga tahun aku akan bisa menghafal al-
Qur’an dan selesai Syaratnya, aku harus istiqamah. Jika tidak istiqamah, akan sulit bagiku untuk merampungkan hafalan al-
Qur’an selma tiga tahun.” h. 137. Kemudian dalam kutipan lain digambarkan bagaimana Iqbal adalah
sosok seorang muslim yang taat dan takut untuk melanggar larangan Tuhannya :
“Jika karena wajah ini, Indri dan Okta bertengkar dan berkelahi, kataku kemudian, lebih baik aku memohon kepada Allah agar Dia
memburukkan wajahku. Jika kedua mata ini yang telah menjadikan Indri dan Okta terpikat denganku, lebih baik aku berdoa kepada Allah semoga Dia
berkenan membutakan kedua mataku.”h. 251. “Tiada ibadah yang lebih baik dari pada kesucian perut dan
kemaluan.”h. 260.
Dari beberapa kutipan di atas maka dapatlah dikatakan bahwa menjadi seorang muslim yang baik itu tentulah tidak mudah, akan banyak tantangan
yang justru datang dari sekitar. Tapi sebagai muslim yang taat dan baik tentunya tidak mengabaikan segala perintah dan larangan-Nya, yang
didasarkan pada Rukun Iman yang harus kita yakini, seperti halnya yang dilakukan oleh Iqbal dalam novel Musafir Cinta ini.
c. Iman kepada Takdir Baik dan Buruk
Hal ini ditujukan kepada Bu Laela dan Pak Burhan sebagai sosok yang begitu taat, sabar dan begitu ikhlas mengikuti segala perintah dan mengasuh
anaknya Firman. Meskipun Firman bisa dibilang sebagai anak yang tidak berbakti kepada orang tua, bahkan Firman adalah sosok yang begitu keras,
hingga sering memaki kedua orang tuanya, Firman bahkan tidak pernah mendengar nasehat-nasehat orang tuanya. Firman sering melakukan
perbuatan-perbuatan maksiat dengan teman-temannya di rumahnya, tepatnya di dalam kamar Firman. Firman dan orang-orang di sekitarnya sudah benar-
benar jauh dari kasih sayang Tuhan. Bu Laela dan Pak Burhan sebagai manusia biasa mepunyai rasa kecewa terhadap perilaku anaknya, tetapi jusrtu
kekecewaannya mereka terlampiaskan dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan kembali menyerahkan segala urusan anaknya kepada Tuhan.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan : “Dikatakan kepadaku bahwa walau dia sering mengeluh tentang
Firman, sekalipun dia tidak pernah menurunkan tangannya kepada Firman, pak Burhan juga demikian. Sakit hati orang tua terhadap anaknya tidak
membuat bu Laela dan pak Burhan mendoakan dengan doa-doa yang jelek, buruk dan jahat. Perasaan sedih, kecewa, dan marah kepada Firman
dilampiaskan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Akhirnya, bu Laela dan pak Burhan kembali menyerahkan urusan putranya itu kepada Dzat
yang menentukan segala urusan, yakni Allah S
WT.” h. 150. “Mungkin, itulah sebenar-benarnya hati seorang ibu. Betapapun
anaknya demikian berperangai dan berperilaku yang jahat, buruk, dan rusak,