Biografi Taufiqurrahman Al-Azizy TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
44 fiksi yang tidak mengandung visi dan misi keIslaman. Kenapa? Karena
menurutnya, buat apa menulis buku yang tidak mengandung prinsip yang diyakini. Baginya, menulis adalah salah satu cara yang bisa dapat
diperse mbahkan untuk “memberikan kabar baik dari langit”. Artinya, menulis
adalah caranya untuk mengajak pada kebenaran Islam. Dalam menulis novel, seorang Taufiqurrahman dalam ceritanya banyak
dilatarbelakangi dari kehidupan yang dialami oleh beliau, khususnya dalam novel Musafir Cinta ini. Beberapa alasan yang melatarbelakanginya, salah
satunya ada kerinduan akan dukuh Tegal Jadin, yaitu tempat bermain-main sewaktu kecil di pondok kakeknya. Kenangan yang paling indah yang
dirasakan di masa kecil yaitu di Tegal Jadin. Alasan kedua, menurut faktanya bahwa pondok pesantren yang pernah dibangun kakeknya tersebut semakin
lama tidak semakin membesar, malah semakin mengecil dan akhirnya tak terurus dan tidak ada yang melanjutkan. Kemudian beliau berpikir, apa yang
bisa beliau lakukan sekaitan dengan fakta yang demikian itu? Jawaban yang ditemukan bahwa menurutnya: Menulislah kisah tentang pesantren dengan
mengambil setting tempat bermain di waktu kecil itu. Dan menurutnya yang melatarbelakanginya sehingga menjadi tergugah akan jiwa menulisnya dalam
menulis suatu bacaan, seperti novel Musafir Cinta ini yang didalamnya banyak visi dan misi keislaman, bahwa perkembangan novel Islami atau relejius di
Indonesia, dalam penglihatannya sangat memprihatinkan, utamanya dari sisi substansi. Tidak sedikit penulis yang “menjual” formalisme, simbol-simbol,
dan membuai pembaca dengan keindahan-keindahan Islam yang semu seakan-
45 akan mereka menutup-nutupi fakta keberagamaan Islam yang berbeda-beda.
Menurutnya, bahwa selama ini hanya ada satu mainstream visi novel Islami di tanah air ini. Dan melalui novel-novel yang dibuatnya, berusaha menunjukkan
paradigma yang berbeda tentang keberagamaan Islam yang perlu diketahui oleh para pembaca di tanah air.
Novel Musafir Cinta ini sebenarnya trilogi dari Makrifat Cinta, yaitu terdiri dari Syahadat Cinta, Musafir Cinta, dan Makrifat Cinta, karena menurut
Taufiqurrahman sang penulis novel tersebut, Sulit untuk menyatukan tiga novel yang memiliki tekanan makna yang berbeda-beda. Menurutnya, bahwa
menjadi Muslim itu harus melalui tiga tingkatan: Tingkatan syariat, tingkatan thariqah, dan tingkatan makrifat. Pangkal agama adalah makrifat kepada
Allah. Makrifat baru bisa dicapai apabila didahului oleh syariat dan thariqat. Dalam bahasa novel yang dikemas, syariat diwakili oleh syahadat cinta, yakni
seorang muslim mesti menyatakan persaksiannya terlebih dahulu tentang Allah dan Rasulnya, yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh Iqbal Maulana
yang bertobat dari jalan kemungkaran. Bahwa setiap persaksikan harus memerlukan bukti dan ujian. Maka, Iqbal pun harus mengadakan perjalanan
musafir untuk menjalani ujian dari Allah. Pangkal dari ujian itu ada dua keniscayaannya: Lulus ujian atau gagal. Bila lulus, sang musafir akan
mengenal makrifat Tuhannya. Bila gagal, sang musafir akan semakin jauh dari-Nya. Dan dalam Musafir Cinta ini sangat menitik beratkan pada
ketauhidan dan spiritual seorang musafir dalam semangat pencarian kebenaran Islam yang kaffah.
46 Dalam novel Musafir Cinta ini, pengarang mengemas cerita dengan
gaya tutur yang lancar, mengalir, mudah dipahami, menggugah, menyentuh jiwa dan penuh dengan hikmah. Karena dalam ceritanya, kekuatan novel ini
terletak pada seorang musafir yang mencari kesejatian cinta Illahi. Oleh karena itu, novel Musafir Cinta ini menjadi novel Spritual Pembangun Iman.
Sudah banyak pembaca novel tersebut yang merasakan seperti itu. Mereka tak segan-segan mengisahkan kehidupan mereka yang pahit, terutama dalam
urusan lawan jenis, kehampaan spiritual, kekosongan dalam beribadah kepada Allah, hingga Musafir Cinta menjadi setetes embun yang membasahi dahaga
jiwa mereka dan bagi siapa saja yang mungkin dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata. Dan pengarang mengharapkan semua novel yang ditulisnya
adalah ibrah sekaligus tadzkir bagi diri sendiri, dan akan lebih merenungkan isi dari novel tersebut daripada terbuai oleh kisah yang dihadirkannya.