Salah satu contoh dari dampak belum tuntasnya masalah perbatasan ini adalah masih adanya ketidakcocokan standard operation
procedure SOP yang diterapkan oleh Malaysia, baik dari wilayah operasi pengamanan hingga perbatasan yang masih rancu di daerah
Selat Malaka. Sedangkan dengan Singapura, tidak terjadi hal yang demikian.
Masalah batas-batas negara ini memang bukan tugas TNI untuk
menyelesaikannya, namun UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI, pasal 7 ayat 2. b. poin 4, menugaskan TNI agar mengamankan wilayah
perbatasan. Terkait dengan hal itu, TNI akan mengalami kesulitan
dalam menjaga perbatasan jika batas-batas negara Indonesia dengan negara tetangga belum diselesaikan dengan tuntas. Bagaimanapun,
akan muncul dampak psikologis dari kondisi yang belum jelas ini. Untuk melakukan tindakan, tentu akan muncul dilema, mengingat tidakan yang
tidak tepat dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak menguntungkan, baik bagi institusi TNI sendiri, maupun bagi negara Indonesia.
b. Rendahnya Alokasi Anggaran Pertahanan Negara
Anggaran pertahanan Indonesia saat ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan anggaran pertahanan negara-negara ASEAN
lainnya. Memang, secara nominal, bisa saja terlihat jumlahnya lebih besar, namun jika nominal tersebut ditinjau dari GDP, jumlah penduduk
dan luas wilayah sesama negara ASEAN, maka jumlah alokasi anggaran pertahanan Indonesia sangat rendah lihat lampiran.
Rendahnya anggaran pertahanan membawa konsekuensi pada minimnya peralatan dan perlengkapan militer yang dimiliki oleh
Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pada saat melakukan kerjasama, terlihat bahwa peralatan dan perlengkapan militer Indonesia
sangat minim dari pada negara-negara ASEAN lainnya. Minimnya peralatan dan perlengkapan militer berdampak secara psikologis bagi
Indonesia untuk memainkan peranannya secara optimal dalam kerjasama militer dengan negara-negara ASEAN.
c. Belum Stabilnya Kondisi Politik Dalam Negeri
Reformasi tahun 1998 telah melahirkan kebijakan-kebijakan yang paradoksial. UU tentang pemilihan umum, pemilukada dan otonomi
daerah telah membawa kondisi carut marut politik dan pemerintahan di Indonesia. Berbagai konflik horizontal sering terjadi akibat reformasi
yang kehilangan arah. Bahkan, jati diri bangsa Indonesia, yakni Pancasila telah ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi telah
terjadi di hampir semua level pemerintahan dengan berbagai macam modus operandinya. Hal ini dapat menimbulkan berkurangnya rasa
hormat bangsa lain terhadap bangsa Indonesia. Dampaknya, Indonesia tidak dapat menjalankan peranannya dengan optimal dalam kerjasama
militer karena secara psikologis, prejudice sebagai bangsa yang korup selalu melekat pada setiap elemen bangsa.
Kondisi politik domestik yang tidak stabli, akan menyulitkan Indonesia dalam memainkan peranannya di forum internasional.
Meskipun tidak berdampak langsung bagi peranan militer dalam kerjasama, namun kondisi yang tidak stabil di dalam negeri seringkali
menyulitkan TNI untuk menentukan langkah-langkah strategisnya. Rendahnya akseptabilitas TNI di mata masyarakat karena reformasi
yang tidak terarah, dapat menahan laju gerak TNI untuk melakukan kerjasama militer yang lebih optimal. Oleh karenanya, kondisi politik
yang tidak stabil, juga menjadi persoalan dalam optimalisasi peranan Indonesia dalam kerjasama militer di ASEAN.
d. Kurangnya Pemahaman Manajemen Bencana Alam di Kalangan Militer ASEAN
Wilayah Asia Tenggara memiliki struktur alam yang rawan bencana alam. Berbagai bentuk bencana alam selalu mengancam
sebagian besar wilayah negara-negara ASEAN. Banjir di Thailand merupakan contoh adanya bencana alam di negara-negara ASEAN.
Selan banjir, bencana gempa bumi selalu mengintai beberapa wilayah negara ASEAN mengingat letaknya pada pertemuan lempeng eurasia