commit to user 14
kurang antusias dengan materi pembelajaran tersebut. Penyampaian materi yang kurang tepat oleh guru juga menjadi faktor lain penyebab siswa kurang antusias
dengan materi apresiasi seni. Akibat dari kurangnya antusias siswa terhadap materi pembelajaran apresiasi karya seni rupa terapan daerah setempat adalah
rata-rata hasil belajar siswa X-4 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 20102011 pada materi apresiasi seni rupa hanya sampai pada standar penilaian cukup yaitu
76, secara otomatis berpengaruh pada tingkat apresiasi siswa terhadap batik Surakarta itu sendiri.
Kegiatan apresiasi yang ditingkatkan dalam penelitian ini adalah pemahaman siswa terhadap materi dan sikap menghargai siswa terhadap karya
seni rupa terapan daerah yaitu Batik Surakarta. Kegiatan tersebut dinilai peningkatannya melalui hasil pengamatan selama penelitian berlangsung di kelas
dan nilai tes berdasarkan indikator yang sudah ditentukan. Pada hasil akhirnya, apresiasi siswa dikatakan baik jika siswa memenuhi indikator-indikator yang telah
ditentukan.
3. Batik Surakarta
Batik memang saat ini tengah menjadi sebuah perbincangan menarik dalam kancah dunia internasional. Bukan hanya karena kerumitan proses
pembuatan, akan tetapi juga keunikan dan keindahan corak dan motif yang sangat indah dan penuh dengan makna. Asmito dalam Edi Kurniadi, 1996:3
berpendapat “Bahwa batik merupakan satu unsur kebudayaan Indonesia asli. Batik di Indonesia dikagumi oleh bangsa lain bukan hanya karena prosesnya yang
rumit yang membutuhkan ketekunan dan waktu yang lama, tetapi corak atau motifnya sangat halus”.
a. Pengertian Batik
Batik merupakan salah satu warisan budaya yang dimiliki Indonesia. Melalui batik dapat dipelajari banyak hal mengenai ilmu hidup karena biasanya
setiap motif batik selalu mengandung makna tertentu. Batik Indonesia juga merupakan karya seni yang dikagumi dunia internasional dan patut untuk
dibanggakan. Batik merupakan seni menggambar di atas kain dengan
commit to user 15
menggunakan canthing dan malam lilin batik untuk dijadikan pakaian keluarga raja-raja di Indonesia zaman dahulu.
Istilah batik berasal dari „amba‟jawa, yang artinya menulis dan „nitik‟. Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak -menggunakan canthing
atau cap- dan pencelupan kain, dengan menggunakan bahan perintang warna corak bernama „malam‟ lilin yang diaplikasikan di atas kain. Sehingga menahan
masuknya bahan pewarna. Aep S Hamidi 2010: 7. Santosa Doellah 2002:10 berpendapat bahwa “Batik adalah sehelai
wastra -yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional- beragam hias pola batik tertentu yang
pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam „lilin batik‟
sebagai bahan perintang warna”. Jadi kain batik adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak tertentu yang dibuat dengan canting dan atau cap dengan
menggunakan malam sebagai bahan perintang warna.
b. Sejarah Batik Surakarta
Kerajaan Mataram pada abad 16 menjadi awal berkembangnya batik di tanah Jawa khususnya di Solo dan Yogyakarta. Nicolas Van Gna dalam Edi
Kurniadi, 1996:3 mengatakan bahwa ”Batik pada jaman Mataram bertambah halus kualitasnya setelah adanya pengiriman mori dari Belanda”. Wilayah
Kerajaan Mataram kemudian terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pecahnya kerajaan Mataram menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta menjadikan adanya pembagian benda-benda peninggalan kerajaan
Mataram. Seperti gamelan, keris, tombak, dan benda-benda peninggalan lainnya. Namun untuk peninggalan berupa tatanan busana, berdasarkan perintah dari
Pakubuwono II kepada Pakubuwono III, maka seluruh busana yang dimiliki Keraton Surakarta diberikan kepada Hamengkubuwono I raja dari Keraton
Yogyakarta. Semenjak terbaginya wilayah Mataram tersebut segala isen-isen keprabon
berupa pusaka, gamelan, titihan kereta, tandu joli kremun, juga dibagi menjadi dua, juga busana corak Mataram dikehendaki oleh KP
commit to user 16
Mangkubumi dibawa ke Yogyakarta. Mengenai masalah busana itu sebelumnya telah diwasiatkan oleh Pakoe Boewono II kepada Pakoe
Boewono III, sebelum diangkat menjadi raja “Mbesok menawa pamanmu Mangkubumi hangersakake ageman, paringna
”. Artinya „apabila kelak pamanmu Mangkubumi menghendaki busana, berikan saja‟. Kalinggo,
2002:8
Sejak saat itu, seluruh peninggalan kerajaan Mataram yang berupa busana dibawa ke Yogyakarta seperti yang dapat dilihat sampai sekarang. Karena seluruh
busana diberikan pada Hamengkubuwono I, maka terjadilah kekosongan tatanan busana khususnya motif batik di keraton Surakarta. Oleh karena itu, mulai
pemerintahan Pakubuwono III di keraton Surakarta akhirnya dibuatlah tatanan busana gaya Surakarta berikut pola-pola batiknya. Seperti yang diungkapkan
Kalinggo 2002:9 “Selanjutnya Sampeyan Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono III membuat busana sendiri dengan gagrak Surakarta
gaya Surakarta. Termasuk dalam kain bathik untuk nyampingan coraknya mengalami perubahan-
perubahan menyesuaikan dengan busana baru”. Kemudian Kalinggo juga menyatakan, “Sejak disesuaikan dengan model busana yang baru
itu, bathik Surakarta mulai berkembang corak-corak atau motifnya. Aneka ragam corak baru bathik di Surakarta itu yang kemudian disebut sebagai bathik gagrak
Surakarta”. Di sinilah kemudian batik berkembang di Surakarta. Pada awalnya, pembuatan batik keraton dikerjakan di dalam keraton dan
dibuat khusus untuk keluarga raja. Penciptaan pola dan pembatikannya dikerjakan oleh para putri istana, sedangkan pekerjaan lanjutan dilaksanakan oleh para abdi
dalem. Menurut Santosa Doellah 2002: 54 mengatakan bahwa “Pada zaman
dahulu, pembuatan batik yang pada tahap pembatikannya hanya dikerjakan oleh putri-putri di lingkungan keraton dipandang sebagai kegiatan penuh nilai
kerohanian yang memerlukan pemusatan pikiran, kesabaran, dan kebersihan jiwa dengan dilandasi permohonan, petunjuk, dan ridha Tuhan Yang Maha Esa”.
Karena itulah, motif atau ragam hias batik senantiasa terkesan memiliki keindahan dan mengandung nilai-nilai yang berkaitan erat dengan latar belakang penciptaan,
penggunaan, dan penghargaan yang dimilikinya.
commit to user 17
Peningkatan kebutuhan batik di lingkungan keluarga dan kerabat keraton membuat batik tak dapat lagi hanya dikerjakan oleh para putri istana dan abdi
dalemnya. Keadaan ini menyebabkan munculnya kegiatan pembatikan di luar tembok istana. Batik kemudian tidak hanya dikerjakan di dalam tembok keraton,
akan tetapi juga dikerjakan para abdi dalem di rumah mereka sendiri untuk memenuhi pesanan dari keraton.
Batik telah ada sejak lama di Indonesia dan setelah pertengahan abad ke-17 setelah masa Kartasura, maka batik yang dulunya hanya dipakai oleh para
bangsawan saja, kemudian fungsinya telah meluas dan keluar pagar keraton. Sejak itulah batik dapat dipakai oleh rakyat biasa walaupun masih terbatas
pada jenis motif-motif tertentu, serta dikerjakan sebagai pekerjaan sambilan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Edi Kurniadi, 1996:5.
Semakin lama rakyat menjadi tertarik dengan batik karena proses pembuatannya yang menarik, di samping itu corak dan motif yang digambar pada
kain dengan lilin menjadi daya tarik tersendiri. Batik pun berkembang dari yang hanya digunakan oleh keluarga keraton, menjadi pakaian yang disenangi rakyat
biasa di luar keluarga keraton. Awalnya batik dikerjakan terbatas dalam keraton saja. Hasilnya pun hanya
untuk dipakai raja, keluarga, dan para abdi dalemnya. Karena banyak pengikut raja yang tinggal di luar keraton, proses mengerjakan kerajinan ini
dibawa dan dikerjakan di rumah masing-masing. Lama-kelamaan, masyarakat di luar keraton banyak yang menjadi pengrajin batik. Dan
selanjutnya, meluas menjadi pekerjaan rumahan kaum perempuan untuk mengisi waktu senggang. Terjadilah perubahan. Batik yang awalnya hanya
dijadikan pakaian keluarga keraton, menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik perempuan maupun pria. Aep S Hamidi, 2010:9.
Perkembangan penggunaan batik yang semakin pesat pada saat itu menyebabkan penurunan makna atau nilai yang terkandung pada motif batik yang
digunakan. Kalinggo Honggopuro 2002:9 mengatakan bahwa “Tatanan dalam penggunaan bathik menjadi kabur. Kain bathik yang diperuntukkan bagi
bangsawan dan untuk kawula tidak jelas, sehingga sulit untuk membedakan status para pemakainya”. Pemakaian batik yang semakin lama semakin meluas
menyebabkan tatanan dalam penggunaan kain batik menjadi kabur. Oleh karena itu kemudian Pakubuwono III membuat suatu aturan tatanan pemakaian kain batik
commit to user 18
di Surakarta agar penggunaannya lebih teratur serta penghayatan terhadap makna yang dikandung setiap motifnya tidak pudar.
Menurut Santosa Doellah 2002: 55 “Perluasan pemakaian batik menyebabkan pihak keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta membuat
ketentuan mengenai pemakaian pola batik. Ketentuan tersebut diantaranya mengatur sejumlah pola yang hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarga
istana. Pola yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga istana ini disebut sebagai “pola larangan”.
Pakubuwono III mengatakan “Ana dene kang arupa jejarit kang kalebu laranganingsun, bathik sawat lan bathik parang, bathik cemukiran kang
calacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan tumpal, apa dene bathik cemukiran kang calacap lung-lungan, kanng sun wenangake anganggoa
pepatihingsun lan sentananingsun dene kawulaningsun padha wedia
.” Yang artinya, “Ada beberapa jenis kain bathik yang menjadi larangan saya yaitu
bathik lar, bathik parang, bathik cemukiran yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga bathik
cemukiran yang berbentuk ujung lung daun tumbuhan yang menjalar di tanah, yang saya ijinkan memakai adalah patih dan para kerabat saya.
Sedangkan para kawula tidak diperkenankan”. Kalinggo Honggopuro, 2002:9.
Pola larangan tersebut di antaranya: pola parang, terutama parang rusak barong, pola cemukiran, udan liris, semen, dan beberapa pola lainnya. Pola
larangan ini berlaku di kalangan keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta. Santosa Doellah 2002:55 mengatakan “Seiring dengan perubahan zaman, pihak
keraton pun memperlonggar kebijakan mengenai pola larangan. Peraturan pola larangan hanya berlaku di dalam keraton, terutama bila ada upacara-
upacara”. Pola ini pada akhirnya tidak hanya dipakai oleh raja dan keluarganya saja, akan
tetapi juga dapat dipakai oleh masyarakat umum. Namun penggunaan pola larangan ini masih berlaku pada di lingkungan keraton baik Surakarta maupun
Yogyakarta terutama pada saat upacara-upacara adat Jawa tertentu. c.
Makna Pola Batik Surakarta dan Penggunaanya Pola-pola batik Surakarta yang sering dikenal di antaranya truntum,
sidoluhur, sidomukti, dan lain-lain. Berikut ini akan dijelaskan beberapa pola batik Surakarta yang masih sering dijumpai dan digunakan masyarakat Surakarta
commit to user 19
pada acara-acara tertentu terutama pada upacara-upacara adat Jawa. Pola-pola Batik Surakarta tersebut antara lain:
1. Pola Parang
Kata parang merupakan perubahan dari kata “pereng” atau pinggiran sebuah tebing yang berbentuk “lereng”. Pola parang termasuk
salah satu pola larangan, yaitu pola batik yang tidak boleh dikenakan oleh rakyat jelata. Pola parang hanya boleh dikenakan raja dan
keturunannya, serta para pejabat keraton dan bangsawan. Pola parang tidak diperbolehkan bagi rakyat biasa karena yang membuat pola ini
adalah Panembahan Senopati, yaitu pendiri kerajaan Mataram yang nantinya memiliki keturunan Raja-raja Mataram.
Asti Suryo Astuti mengatakan, “Awal mula terciptanya motif parang adalah pada waktu itu Panembahan Senopati melakukan meditasi
dan berjalan dari pantai Kusumo menuju desa Dlepih. Ditengah- tengah perjalanan itu atau pada saat meditasi itu menghadap ke laut,
beliau melihat tebing atau pereng-pereng yang terkena air dan hempasan ombak sehingga perengnya rusak. Maka ada pola parang
rusak. Sehingga pada saat beliau pulang lalu minta dibuatkan pola parang rusak. Oleh karena itu pola parang rusak dan turunannya
yaitu parang barong, parang kusumo, parang klithik, dan beberapa jenis parang lainnya tidak boleh dipakai jika bukan keturunan dari
Panembahan Senopati”. Pola parang yang diciptakan oleh Panembahan Senopati tersebut
diilhami oleh tebing atau pereng yang rusak karena hempasan ombak. Maka pola yang diciptakan Panembahan Senopati tersebut dinamakan
Parang Rusak. Pola parang rusak melambangkan kekuatan, kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat, sehingga pemakainya
diharapkan dapat sigap dan sekatan. Konon, menurut kepercayaan bahwa membuat batik parang tidak boleh melakukan kesalahan dalam
pembatikannya, atau harus sekali jadi. Karena jika melakukan kesalahan dalam pembatikannya, maka dapat menghilangkan kekuatan gaibnya.
commit to user 20
Gambar 3. Batik Parang Rusak Dokumentasi: Jauharsari, 2010
2. Pola Lereng
- Udan Riris
Pencipta pola udan Riris adalah Pakubuwono III. Latar belakang lahirnya pola ini adalah dari keprihatinan Pakubuwono III
karena Perjanjian Giyanti yang membagi dua Kerajaan Mataram, yaitu Suarakarta dan Yogyakarta. Ketika itu Pakubuwono melakukan
semedi dengan berendam di Sungai Premulung di desa Laweyan. Pada saat beliau melakukan semedi tersebut, tiba-tiba turun gerimis yang
tertiup angin. Suasana tersebut mengilhami beliau untuk menciptakan pola batik. Sepulang dari semedi baliau langsung minta dibuatkan
motif batik dengan pola yang berbentuk garis-garis miring atau diagonal seperti air hujan tertiup angin yang dilihatnya selama ia
bersemedi. Motif ini kemudian dinamakan dengan udan riris. Pola ini juga termasuk pola larangan. Makna simbolis dari udan riris adalah
melambangkan kesuburan atau mengarah pada kemakmuran.
commit to user 21
Gambar 4. Batik Udan Riris Dokumentasi: Heriyanto, 2008
3. Truntum
Dalam bahasa jawa, truntum berarti menuntun. Pola truntum ini awal mulanya diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk yaitu salah satu
permaisuri Pakubuwono ke IV yang bersedih hatinya karena merasa diabaikan oleh raja karena belum juga dikaruniai keturunan. Kanjeng Ratu
Beruk dikembalikan ke keputren, yaitu tempat putri atau selir-selir raja tinggal. Karena bersedih, Ratu Beruk berdoa kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan berpuasa beberapa hari. Konon, beliau tiba-tiba mendapatkan bisikan untuk membatik. Di tengah kesendirian itulah ia melihat di langit
di tengah malam banyak bintang gemerlap menemani dirinya dalam kesepian. Insipirasi itulah yang ditangkap dan dituangkan dalam pola
batik. Pada suatu hari dalam perjalanan membuat batik tersebut, kebetulan Pakubuwono IV datang dan melihat Ratu Beruk membatik, ketika raja
bertanya apa nama batik yang dibuat, Ratu Beruk belum memiliki nama untuk batik yang dia buat tersebut. Sampai akhirnya kain batik itu jadi,
Pakubuwono IV mengajak Ratu Beruk untuk kembali ke Istana menemani beliau. Pada saat itu juga Ratu Beruk menamakan batik yang ia ciptakan
dengan nama ”Truntum” yang artinya bersatu kembali.
commit to user 22
Truntum juga berarti menuntun. Truntum memberikan gambaran kehidupan manusia tidak akan lepas dari ”pepeteng” atau kegelapan
selalu memiliki masalah. Visualisasi truntum seperti bentuk bintang yang bersinar. Walaupun hanya sinar bintang semoga mendapatkan penerangan
dalam artiannya keluar dari masalah. Kain ini dipakai oleh orang tua pengantin dalam upacara pernikahan. Diharapkan si pemakai orang tua
mempelai mampu memberikan petunjuk dan contoh kepada putra putrinya untuk memasuki kehidupan baru berumah tangga yang penuh lika-liku.
Gambar 5. Batik Truntum Dokumentasi: Jauharsari, 2010
4. Pola-pola Ceplok
a. Pola Sidamulyo
Makna dari pola Sidomulyo adalah harapan akan kehidupan kelak dapat tercukupi kebutuhan materi dan tercapai kamulyan atau
kebahagiaan batin yang tenang dan tenteram dari Tuhan Yang Maha Esa. Sebenarnya Sidamulyo memiliki bentuk yang sama dengan
Sidamukti dan Sidaluhur, akan tetapi Sidamulyo memiliki latar atau dasar putih. Pola ini juga digunakan dalam upacara-upacara adat Jawa.
commit to user 23
Gambar 6. Batik Sidomulyo Dokumentasi: Heriyanto, 2008
b. Pola Sidamukti
Mukti artinya mulyo dan luhur, batik ini merupakan harapan agar dapat tercapai kedudukan yang lebih tinggi luhur dan diberi
rejeki yang lebih mulyo. Batik ini banyak dipakai untuk segala upacara tradisi. Di antara pada upacara-upacara pernikahan, tujuh
bulanan ibu hamil, khitanan, dan lain-lain. Batik ini merupakan perkembangan dari Sidamulya, oleh Pakubuwono IV digantikan isen-
isen dengan ukel.
Gambar 7. Batik Sidomukti Dokumentasi: Wikipedia
commit to user 24
c. Pola Sidaluhur
Pemakaian batik Sidaluhur melambangkan suatu pengharapan dalam hidupnya bisa mencapai kedudukan yang tinggi dan menjadi
panutan bagi masyarakat. Pola batik ini juga biasa digunakan pada upacara-upacara adat jawa, seperti misalnya pernikahan adat Jawa.
Gambar 8. Batik Sidoluhur Dokumentasi: Kalinggo Honggopuro, 2002
“Sebenarnya bathik Sidamukti, Sidaluhur, dan Sidamulya mempunyai motif yang sama. yang mebedakan adalah warna dasar dari bathik itu. Sidamulya
mempunyai dasar pelataran putih, Sidaluhur mempunyai dasar pelataran hitam, dan Sidamukti dasar pelataran ukel
”. Kalinggo Honggopuro, 2002: 147.
4. Media