UPAYA PENINGKATAN APRESIASI SENI BATIK SURAKARTA MELALUI PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 SURAKARTA TAHUN AJAR

(1)

commit to user

i

UPAYA PENINGKATAN APRESIASI SENI BATIK SURAKARTA MELALUI PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO

VISUAL (GABUNGAN SLIDE SUARA DAN FILM DOKUMENTER)

PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011

SKRIPSI

Oleh:

JAUHARSARI WARDHANI K 3205020

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user

ii

UPAYA PENINGKATAN APRESIASI SENI BATIK SURAKARTA MELALUI PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO

VISUAL (GABUNGAN SLIDE SUARA DAN FILM DOKUMENTER)

PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011

Oleh:

JAUHARSARI WARDHANI K 3205020

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Seni Rupa

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Desember 2010

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Mulyanto, M.Pd Lili Hartono, S.Sn, M.Hum


(4)

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi syarat mendapatkan gelas Sarjana Pendidikan.

Hari :

Tanggal :

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang tanda tangan

Ketua : Drs. Tjahjo Prabowo, M. Sn. : ...

NIP 19530429 198503 1 001

Sekretaris : Drs. Edy Tri Sulistyo, M.Pd. : ...

NIP 19560717 198601 1 002

Anggota I : Drs. Mulyanto, M.Pd. : ...

NIP 19630712 198803 1 002

Anggota II : Lili Hartono, S.Sn, M.Hum. : ...

NIP 19781219 200501 1 002 Disahkan oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Dekan

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. NIP 19600727 198702 1 001


(5)

commit to user

v ABSTRAK

Jauharsari Wardhani. UPAYA PENINGKATAN APRESIASI SENI BATIK SURAKARTA MELALUI PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MEDIA

AUDIO VISUAL (GABUNGAN SLIDE SUARA DAN FILM

DOKUMENTER) PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Desember 2010.

Tujuan dari penelitian tindakan kelas ini adalah untuk meningkatkan apresiasi seni Batik Surakarta melalui pembelajaran menggunakan media audio

visual (gabungan slide suara dan film dokumenter) pada siswa kelas X-4 SMA

Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011.

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang menggunakan media audio visual dalam pembelajaran apresiasi karya seni rupa terapan daerah setempat. Subjek penelitian adalah siswa kelas X-4 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011 yang berjumlah 34 siswa. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga Desember 2010, dengan dua siklus dan masing-masing siklus mencakup empat kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi, teknik wawancara, dan teknik tes tertulis untuk aspek kognitif dan aspek afektif dalam bentuk lembar observasi.

Target indikator yang telah dicapai pada penelitian ini yaitu: 1) Siswa mampu mengidentifikasi pengetahuan tentang karya seni terapan daerah setempat yaitu Batik Surakarta dengan baik pada siklus I mencapai 73% dan pada siklus II meningkat hingga 88%. 2) Siswa mampu menunjukkan sikap menghargai terhadap karya seni terapan daerah yaitu Batik Surakarta dengan baik pada siklus I mencapai 72% dan pada siklus II meningkat menjadi 85%.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan media audio visual dapat meningkatkan apresiasi seni Batik Surakarta pada siswa kelas X-4 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011.


(6)

commit to user

vi ABSTRACT

Jauharsari Wardhani. THE IMPROVEMENT EFFORT OF ART

APPRECIATION OF BATIK SURAKARTA TROUGH LEARNING WHICH USE AUDIO VISUAL MEDIA (COMBINING AUDIO SLIDE AND DOCUMENTARY MOVIES) TO TENTH GRADE OF SMA NEGERI 1 SURAKARTA IN THE ACADEMIC YEAR OF 2010/2001. Teacher Training and Education Faculty. Sebelas Maret University. 2010.

The aim of this action research is to improve art appreciation of Batik Surakarta through learning which use audio visual media to tenth grade SMA Negeri 1 Surakarta in the Academic Year of 2010/ 2011.

This research is an action research that uses audio visual media in learning art appreciation locally. The subject of research is the students classes X-4 SMA Negeri 1 Surakarta in Academic Year of 2010/ 2011 which consists of 34 students. This research is conducted from August until December 2010, it consists of two cycles and each of the cycles consists of four activities. It is planning, implementing, observing and reflecting. The collecting of data uses documentation, interview, written test to cognitive aspects and affective aspect in sheet observation form.

The target of indicator which is reached in this research is: 1) the students can identification knowledge about art locally. It is Batik Surakarta. In the cycle one is 73% and the cycle two improves until 88%. 2) The students can show their attitude to praises art locally that is Batik Surakarta. In the cycle one reaches 72% and cycle two improves until 85%.

The result of this research can concluded that learning the use of audio

visual aids can improve student’s art appreciations in particular at Batik Surakarta

at the students classes X-4 SMA Negeri 1 Surakarta in Academic Year of 2010/ 2011.


(7)

commit to user

vii MOTTO

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.


(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Ibu, Bapak, dan Adik tercinta

Sahabat-sahabat yang menyayangiku

Sakura

Teman-teman FKIP Seni Rupa angkatan 2005, adik dan kakak tingkatku

Battery Percussion Team dan Keluarga Besar Marchingband Universitas Sebelas Maret Surakarta


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, kemudahan serta rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukurngan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, Penulis sampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada terhormat :

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidyatullah, M. Pd. Sebagai Dekan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS Surakarta.

2. Drs. Suparno, M. Pd. sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FKIP UNS Surakarta.

3. Drs. Tjahjo Prabowo, M. Sn. sebagai ketua Program Pendidikan Seni Rupa

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP UNS Surakarta.

4. Drs. Mulyanto, M.Pd, selaku Pembimbing I yang telah banyak

memberikan petunjuk, arahan, dan bimbingan kepada penulis dalam menyusun skripsi.

5. Lili Hartono, S.Sn, M.Hum, selaku Pembimbing II sekaligus Pembimbing

Akademik yang telah banyak memberikan petunjuk, arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyusun skripsi terutama selama penulis menjadi mahasiswa di Program Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS;

6. Orang tua penulis, yang tiada hentinya memberikan penulis dukungan baik

secara materi maupun moral.

7. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Seni Rupa yang telak banyak

memberikan ilmu dan masukan-masukan kepada penulis.

8. Teman-teman FKIP Seni Rupa angkatan 2005

9. Kepala SMA Negeri 1 Surakarta yang telah memberikan ijin, sehingga


(10)

commit to user

x

10.Dra. DM. Krisbiyanti, selaku guru mata pelajaran seni budaya kelas X-4

SMA Negeri 1 Surakarta atas bimbingan, arahan, dan bantuannya.

11.Siswa-siswi kelas X, khususnya X-4 SMA Negeri 1 Surakarta atas bantuan

dan kerjasamanya.

12.Battery Percussion Team dan Keluarga Besar Marchingband Universitas

Sebelas Maret Surakarta

13.Berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, baik

secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripisi ini dapat tersusun.

Penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pendidikan kesenirupaan, khususnya bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan pada umumnya.

Surakarta, Desember 2010


(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PENGAJUAN ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ... ABSTRAK ... MOTTTO ... PERSEMBAHAN ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………

B. Rumusan Masalah………..

C. Tujuan Penelitian………...….

D. Indikator Penelitian………

E. Manfaat Penelitian……….

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka………

1. Pembelajaran………

2. Apresiasi Seni………...

3. Batik Surakarta……….

a. Pengertian Batik……….

b. Sejarah Batik Surakarta………..………

c. Makna Pola Batik Surakarta dan

Penggunaannya.……….

4. Media………...…………..………...

a Pengertian Media………...

i ii iii iv v vii viii ix xi xiv xv xvii 1 7 8 8 9 10 10 11 14 14 15 18 24 24


(12)

commit to user

xii

b Media Pembelajaran………...

c Media Audio Visual…………...

1) Slide Suara ………..

2) Film ……….

B. Penelitian yang Relevan……….

C. Kerangka Berpikir……….…….

D. Hipotesis Tindakan……….……

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu……….

B. Subyek Penelitian ……….………...

C. Teknik Pengumpulan Data….………

D. Teknik Analisi Data………

E. Prosedur Penelitian….………

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Awal………...

1. Letak dan Situasi Ruang SMA Negeri 1 Surakarta…….

2. Keberadaan Siswa………

3. Kondisi Awal Pembelajaran Siswa Kelas X-4 SMA

Negeri 1 Surakarta………...

a. Pelaksanaan Pembelajaran………

b. Tahap Observasi Awal………..

c. Tahap Refleksi Awal………

B. Deskripsi Siklus I………

1. Perencanaan Tindakan Siklus I...……….

2. Pelaksanaan Tindakan Siklus I………

3. Observasi Siklus I………

4. Refleksi Siklus I………..

C. Deskripsi Siklus II………..

1. Perencanaan Tindakan Siklus II………..

2. Pelaksanaan Tindakan Siklus II.……….

3. Observasi Siklus II..……….

25 29 31 32 35 37 40 41 41 41 44 45 55 55 56 57 57 58 63 66 66 66 68 76 80 80 80 83


(13)

commit to user

xiii

4. Refleksi Siklus II.………

D. Pembahasan………

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN………...

A. Simpulan………...

B. Implikasi………...

C. Saran……….

Daftar Pustaka………... Lampiran………...

92 94

100 103 103 105 108


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Daftar Nilai Materi Apresiasi Seni Siswa Kelas X-4………..

2. Indikator Keberhasilan Penelitian.………..

3. Perencanaan Siklus I Pertemuan1………

4. Perencanaan Siklus I Pertemuan 2………..

5. Data Ketercapaian Siklus I Pembelajaran Apresiasi Seni………...

6. Evaluasi Aspek Visual Media Siklus I………

7. Evaluasi Aspek Audio Media Siklus I.………...

8. Data Ketercapaian Siklus II Pembelajaran Apresiasi Seni………..

9. Evaluasi Aspek Visual Media Siklus II………..

10. Evaluasi Aspek Audio Media Siklus II………...

11. Data Perbandingan Ketercapaian Kondisi Awal, Siklus I, dan Siklus II

Pembelajaran Apresiasi Seni………...

12. Perbandingan Kondisi Awal, Siklus I, dan Siklus II...

5 9 49 51 75 77 78 91 92 93

94 95


(15)

commit to user

xv

DAFTAR GAMBAR Gambar

1. Kondisi Pembelajaran Apresiasi Seni Terapan Daerah dengan

Menggunakan Metode Ceramah di Kelas X-4………

2. Suasana Kelas yang Mulai Tidak Kondusif Setelah 10 menit Pertama..

3. Batik ParangRusak………

4. Batik Udan Riris………..

5. Batik Truntum……….

6. Batik Sidomulyo………..

7. Batik Sidomukti………...

8. Batik Sidoluhur………...

9. Kerangka Berpikir………...

10. Tahap Siklus Penelitian Tindakan Kelas……….

11. SMA Negeri 1 Surakarta……….

12. Kondisi Pembelajaran Apresiasi Seni Terapan Daerah dengan

Menggunakan Metode Ceramah di Kelas X-4………

13. Siswa yang Tidur Pada Saat Guru Sedang Menjelaskan Materi

Apresiasi Seni (1) ………..

14. Siswa yang Tidur Pada Saat Guru Sedang Menjelaskan Materi

Apresiasi Seni (2)..………..

15. Siswa yang Berbicara Sendiri dengan Teman Sebangku Pada Saat

Guru Sedang Menjelaskan Materi Apresiasi Seni………...

16. Tampak Beberapa Siswa sedang Bercanda dengan Temannya Pada

Saat Guru Meminta Siswa untuk Mengerjakan LKS………..

17. Suasana Kelas yang Tampak Mulai Tidak Kondusif………..

18. Grafik Presentase Hasil Aspek Afektif Dan Kognitif Siswa Pada

Kondisi Awal………...

19. Siswa Sedang Melihat Tayangan Media Audio Visual Pengetahuan

Batik Tentang “Sejarah Batik Surakarta”………

20. Siswa yang Mengerjakan Tugas Pelajaran Lain……….

21. Siswa Sedang Mengerjakan Soal Tes………..

3 4 20 21 22 23 23 24 39 48 56 59 60 60 60 61 61 63 70 70 71


(16)

commit to user

xvi

22. Siswa sedang melihat tayangan media audio visual pengetahuan batik

tentang “Jenis-jenis Batik Berdasarkan Proses Pembuatannya”……….

23. Siswa yang Tidak Memperhatikan Guru Pada Saat Guru sedang

Menjelaskan Sub Materi………..

24. Grafik Presentase Hasil Rata-rata Aspek Afektif Dan Kognitif Siswa

Pada Pertemuan Pertama dan Kedua di siklus I………..

25. Seluruh Siswa Memperhatikan dengan Seksama Media Audio Visual

yang Diputar………

26. Guru Berkeliling Kelas Untuk Memantau Siswanya………..

27. Siswa Sedang Menyampaikan Pendapatnya Kepada Guru………

28. Siswa Sedang Melihat Tayangan Media Audio Visual yang Sedang

Diputar……….

29. Siswa Memperhatikan Penjelasan Dari Guru Setelah Melihat

Tayangan Media Audio Visual………...

30. Siswa Sedang Mengerjakan Soal Tes untuk Menguji Pemahaman

Mereka Tentang Materi………...

31. Grafik Presentase Hasil Rata-rata Aspek Afektif dan Kognitif Siswa

Pada Pertemuan Pertama dan Kedua di Siklus II………

32. Grafik Presentase Afektif dan Kognitif Perbandingan Kondisi Awal,

Siklus I, dan Siklus II………..

74

74

76

84 85 88

89

90

90

91


(17)

commit to user

xvii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran

1. Silabus……….

2. Lampiran Observasi Awal………..

a. Foto Kegiatan Pembelajaran………..

b. Lembar Observasi Afektif Pertemuan 3………

c. Lembar Observasi Afektif Pertemuan 4………

d. Lembar Hasil Observasi Afektif Pertemuan 3………..

e. Lembar Hasil Observasi Afektif Pertemuan 4………..

f. Lembar Nilai LKS Siswa (fotokopian)………..

g. Hasil Wawancara dengan Guru………..

h. Hasil Wawancara dengan Siswa……….

3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran(RPP)………..

4. Lampiran Siklus I………

a. Foto Kegiatan Pembelajaran Pertemuan 1……….

b. Foto Kegiatan Pembelajaran Pertemuan 2……….

c. Lembar Observasi Afektif Pertemuan 1………

d. Lembar Observasi Afektif Pertemuan 2………

e. Lembar Hasil Observasi Afektif Pertemuan 1………..

f. Lembar Hasil Observasi Afektif Pertemuan 2………..

g. Lembar Hasil Tes Kognitif Siswa Pertemuan 1……….

h. Lembar Hasil Tes Kognitif Siswa Pertemuan 2……….

i. Soal Tes Kognitif Pertemuan 1………..

j. Soal Tes Kognitif Pertemuan 2………..

k. Hasil Wawancara dengan Guru………..

l. Hasil Wawancara dengan Siswa……….

5. Lampiran Siklus II………...

a. Foto Kegiatan Pembelajaran Pertemuan 1……….

b. Foto Kegiatan Pembelajaran Pertemuan 2……….

c. Lembar Observasi Afektif Pertemuan 1………

d. Lembar Observasi Afektif Pertemuan 2………

109 113 115 116 117 118 120 121 124 126 150 152 154 155 156 157 159 160 162 163 164 165 168 170 172 173


(18)

commit to user

xviii

e. Lembar Hasil Observasi Afektif Pertemuan 1………..

f. Lembar Hasil Observasi Afektif Pertemuan 2………..

g. Lembar Hasil Tes Kognitif Siswa Pertemuan 1……….

h. Lembar Hasil Tes Kognitif Siswa Pertemuan 2……….

i. Soal Tes Kognitif Pertemuan 1………..

j. Soal Tes Kognitif Pertemuan 2………..

k. Hasil Wawancara dengan Guru………..

l. Hasil Wawancara dengan Siswa……….

m.Foto Peneliti pada saat Penelitian………...

6. Perijinan………..

a. Surat Permohonan Izin Menyusun Skripsi………...

b. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS………...

c. Surat Permohonan Ijin Research………...

d. Surat Permohonan Ijin Research………...

e. Surat Pengantar Ijin Penelitian………...………

f. Surat Keterangan dari SMA Negeri 1 Surakarta………

174 175 177 178 180 181 182 184 185

187 188 189 190 191 192


(19)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Surakarta merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang masih kental dengan budaya Jawanya. Bersama slogannya yang sering kita dengar yang

berbunyi “Solo the Spirit of Java”, masyarakat dan pemerintah Kota Surakarta bertekad terus menjaga dan melestarikan budaya Jawa. Berbagai seni dan budaya tumbuh dan berkembang di kota ini, baik seni pertunjukan (ketoprak, wayang, tari, dan lain-lain), maupun seni rupa. Kota Surakarta lebih dikenal sebagai salah satu kota pencipta karya seni rupa yang lebih mengarah kepada seni kriya (seni ukir, batik, keris, dan lain-lain). Kain Batik Surakarta merupakan salah satu peninggalan budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia. Dalam dunia Internasional, kain batik lebih dikenal identik dengan Indonesia, dan pada akhirnya batik menjadi salah satu identitas diri yang dimiliki bangsa Indonesia.

Seni dan budaya merupakan warisan leluhur, yang harus dijaga kelestariannya. Pengembangan dan pelestarian budaya Indonesia merupakan tugas besar yang diemban pemerintah Indonesia khususnya masyarakat Indonesia. Salah satu usaha pelestarian dan pengembangan seni dan budaya ini dapat dilakukan melalui dunia pendidikan.

Crow dan Crow (dalam Arif Rohman, 2009:6) berpendapat bahwa

“Pendidikan diartikan sebagai proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang

cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat

dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi”. Jadi pendidikan

dimaksudkan sebagai suatu cara yang dipakai untuk meneruskan nilai-nilai kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam pendidikan formal di Indonesia memiliki jenjang atau tahapan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang akan dikembangkan. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar (SD, MI atau bentuk lain yang sederajat, SMP, MTs, dan yang sederajat), pendidikan menengah (SMA, MA, SMK, dan yang


(20)

commit to user

2 sederajat), dan pendidikan tinggi (universitas, akademi, institut, dan yang sederajat).

Pendidikan menengah merupakan pendidikan formal yang melanjutkan pendidikan dasar sebelumnya. Sebagaimana disebutkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 pada pasal 15 ayat 1 bahwa pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. (dalam Hasbullah, 2005:289).

Pada pendidikan dasar sampai menengah terdapat mata pelajaran seni

budaya. M. Jazuli (2008:17) menyatakan bahwa “Hakikat pendidikan seni adalah

suatu proses kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan nilai-nilai yang

bermakna di dalam diri manusia melalui pembelajaran seni”. Melalui pelajaran

seni budaya menjadikan anak didik mampu mengembangkan kreativitasnya akan seni dan budaya bangsa, sehingga pengembangan serta pelestarian seni dan budaya bangsa tetap terjaga dari generasi ke generasi.

Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan seni, istilah apresiasi seni tentu sudah tidak asing lagi. Apresiasi seni merupakan kegiatan seni yang mengembangkan tingkat apresiasi siswa pada kesenian dan kebudayaan. Peningkatan apresiasi seni dan pengenalan siswa terhadap budaya bangsa mereka perlu dilakukan mulai sekarang, sehingga tumbuhnya rasa kebanggaan nasional dapat dipupuk sejak dini dan pelestarian dapat dilakukan, serta pengklaiman seni budaya kita oleh bangsa lain dapat dihindarkan seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Salah satu arah kebijakan Garis-garis Besar Haluan Negara tentang sosial

dan budaya yaitu: “Melestarikan apresiasi nilai kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan sentra-sentra kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif inovatif,

sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan nasional”. (dalam UUD 1945 & GBHN, 2009:121). Melalui pendidikan tentang kesenian dan kebudayaan yang diberikan


(21)

kepada siswa nantinya, maka diharapkan dapat mengembangkan seni dan budaya sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan nasional.

Standar kompetensi pelajaran seni budaya di kelas X semester 1 tahun ajaran 2010/2011 yang di gunakan pada penelitian ini adalah mengapresiasi karya seni rupa. Sedangkan kompetensi dasar yang ingin dicapai ialah menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni rupa terapan daerah setempat. Karya seni rupa terapan daerah Surakarta yang diajarkan kepada siswa adalah karya seni batik.

Kondisi pembelajaran apresiasi seni di kelas X SMA Negeri 1 Surakarta sebenarnya sudah cukup baik, namun materi apresiasi seni yang didominasi dengan teori membuat siswa kurang antusias dengan pembelajaran. Pada 10 menit awal pelajaran, suasana kelas masih kondusif dan setiap siswa tampak memperhatikan penjelasan dari guru.

Gambar 1. Kondisi Pembelajaran Apresiasi Seni Terapan Daerah dengan Menggunakan Metode Ceramah di Kelas X-4

(Dokumentasi: Jauharsari, 2010)

Akan tetapi pada menit berikutnya, suasana kelas mulai tampak tidak kondusif karena siswa merasa bosan. Beberapa siswa tampak kurang antusias dengan pelajaran dan tidak memperhatikan penjelasan materi apresiasi yang disampaikan guru. Siswa-siswa yang tidak memperhatikan tersebut beberapa diantaranya ada yang tidur, berbicara dengan teman sebangkunya, bermain rubik,


(22)

commit to user

4 menerangkan. Hal ini membuktikan bahwa pembelajaran apresiasi seni kurang diminati oleh siswa. Kurangnya antusias siswa pada pembelajaran apresiasi seni juga dapat dilihat dari nilai materi apresiasi mereka kurang baik.

Gambar 2. Suasana Kelas yang Mulai Tidak Kondusif Setelah 10 Menit Pertama. (Dokumentasi: Jauharsari, 2010)

Metode pembelajaran yang diberikan guru selama ini adalah metode ceramah dan penugasan. Setelah guru menerangkan, memberikan ceramah materi tentang karya seni rupa terapan daerah setempat, kemudian kegiatan siswa dilanjutkan dengan mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS). Penerapan metode pembelajaran ceramah yang terus dan berulang-ulang ini dirasakan siswa kurang menarik dan membuat siswa merasa bosan di kelas. Padahal siswa sudah menyukai cara guru yang menyampaikan materi dengan gaya humoris, hanya saja siswa merasa metodenya kurang bervariasi. Sehingga pelajaran terkesan monoton, materi yang disampaikan oleh guru tidak dapat ditangkap dengan baik oleh siswa. Penerimaan dan penangkapan materi yang kurang baik oleh siswa berakibat pada rendahnya apresiasi seni siswa yang ditunjukkan dengan minimnya perolehan nilai siswa pada materi apresiasi.

Berdasarkan data dari observasi awal, nilai rata-rata siswa kelas X-4 untuk materi apresiasi seni sebenarnya sudah mencapai standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Data yang didapat dari lapangan menunjukkan nilai rata-rata siswa kelas X-4 tahun pelajaran 2010/2011 pada mata pelajaran seni budaya materi apresiasi seni adalah 76. Perolehan nilai rata-rata siswa ini tergolong masih


(23)

commit to user

rendah mengingat standar KKM adalah 75, hal ini seperti yang disampaikan oleh

guru mata pelajaran Seni Budaya, Ibu Dra. Krisbiyanti bahwa “Nilai rata-rata siswa X-4 pada materi apresiasi 76, itu tergolong masih rendah karena sangat beda tipis dengan KKM yang sudah ditentukan. Di kelas lain rata-rata nilainya bisa

mencapai 78”. Di samping itu ternyata pemahaman siswa tentang karya seni rupa

terapan daerah khususnya tentang batik Surakarta masih sangat kurang, dibuktikan dengan sebanyak 41 % siswa memiliki nilai yang masih rendah dan belum mencapai standar KKM yang telah ditentukan.

Berikut daftar nilai LKS materi apresiasi siswa kelas X-4 tahun ajaran 2010/2011:

Tabel 1. Daftar Nilai Materi Apresiasi Seni Siswa Kelas X-4

No. NAMA SISWA L/P NILAI

1 AFINA ZAHRA CHAIRUNISSA P 73

2 AGUSTIN ARI PUJI ASTUTI P 74

3 AMIRAHANIN NAFI‟AH P 74

4 ANTARIKSA PRIANGGARA L 81

5 ARDI PRATAMA L 75

6 ARIANI BUDININGTYAS P 79

7 ARIF NUR HAKIM L 82

8 ARSYAD SILA RAHMANA L 73

9 ATIKAH FITRIA MUHARROMAH P 78

10 DHYMAS ENDRAYANA L 80

11 ESTER DWI ANTARI P 74

12 FATIMAH ZAROH P 75

13 FITRIA NURUL AZIZAH P 81

14 GALIH WAHYU SANGAJI L 76

15 GALUH PURNAMA AJI L 70

16 GANANG SURYA KARISMA L 80

17 GUSTI APRILIA L 75

18 HANIFIA ULFA FAWZIA P 79

19 HENI FITRI HASTUTI P 78

20 IDHAM WIDAGDO UTOMO L 72

21 INAYAH HAPSARI P 80

22 LEONI NOOR DAMARANI P 78

23 MARYAM ALIFIA NURHAYU P 79

24 NORA SILVIA HANIFA PUTRI P 76

25 NUGROHO WISNU WIJANARKO L 72

26 NURCHOLIS SYAIFUDIN L 70

27 PRAMESTI PRIHUTAMI P 75

28 RERIE DWI NUGRAHENIE P 74

29 RIZAL IMAM ROSYID L 74

30 ROSITA YUNANDA PURWANTO P 73

31 SHOFIYA RONA GEMINTANG P 74

32 SULISTYAWATI DYAH APRILIANI P 79

33 SURYA BUDHI PERMONO L 73

34 YANI DWI PRATIWI P 78


(24)

commit to user

6 Metode ceramah yang diberikan guru kurang diimbangi dengan cara lain untuk menarik perhatian siswa dalam pembelajaran apresiasi. Oleh karena itu dibutuhkan adanya media pembelajaran yang menarik agar proses pembelajaran berjalan lebih baik dan perhatian siswa dapat tertuju pada materi yang disampaikan, sehingga apresiasi seni siswa meningkat dan secara otomatis juga akan meningkatkan prestasi belajarnya.

Pemilihan media pembelajaran yang digunakan harus melalui

pertimbangan-pertimbangan kondisi pembelajaran yang terjadi di lapangan. Media yang digunakan guru setidaknya harus dapat menarik perhatian siswa agar siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Mengingat kondisi siswa kelas X-4 yang kurang memperhatikan materi yang disajikan guru, media visual atau media audio saja belum cukup untuk mengatasi masalah rendahnya apresiasi seni siswa. Untuk materi apresiasi seni terapan daerah setempat, sebelumnya guru pernah menggunakan media visual saja, yaitu dengan menampilkan contoh-contoh gambar desain batik hasil karya kakak kelas mereka yang terdahulu dan gambar-gambar yang terdapat pada LKS. Hal ini kurang memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan apresiasi seni siswa. Oleh karena itu, perlu adanya tambahan media pembelajaran, tidak hanya visual saja, tetapi juga audio. Media pembelajaran yang akan digunakan tersebut merupakan gabungan dari audio dan visual, yaitu media audio visual. Audio, berarti pendengaran, visual berarti penglihatan. Dengan kata lain media audio visual ialah media yang

menyampaikan pesan ataupun informasi dengan melihat dan mendengar. “Melalui

media ini (media audio visual), seseorang tidak hanya dapat melihat atau mendengar saja, tetapi dapat melihat sekaligus mendengarkan sesuatu yang

divisualisasikan”. (Sri Anitah, 2008:49).

Dengan demikian melalui media audio visual diharapkan dapat menarik perhatian siswa terhadap materi yang disajikan guru sehingga meningkatkan apresiasi siswa terhadap seni budaya Indonesia, khususnya seni batik Surakarta. Ada dua macam media audio visual yang digunakan dalam upaya peningkatan

apresiasi siswa terhadap Batik Surakarta, yaitu slide suara dan film dokumenter


(25)

commit to user

sejumlah slide, dipadukan dalam suatu cerita atau suatu jenis pengetahuan yang

diproyeksikan pada layar dengan iringan suara”. (Sri Anitah, 2008:49). Jadi slide

suara adalah sejumlah slide gambar yang ditampilkan dengan diiringi suara

sebagai narasi. Sedangkan film dokumenter adalah gambar hidup yang berupa realita untuk menyampaikan informasi. Kedua macam media audio visual ini digabungkan untuk menyampaikan materi apresiasi seni terapan daerah yaitu Batik Surakarta. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Freezone

bahwa “Dengan memperkenalkan karya-karya seni rupa akan lebih komunikatif

melalui film atau slide karena hasilnya proyeksi bergerak hidup dan slide

gambarnya diam. Ada baiknya film dan slide ini diputar bagi mereka yang masih

kurang minatnya tentang seni rupa”. (dalam

http://artzone-freezone.blogspot.com).

Pada penelitian ini menggunakan media tersebut untuk menjelaskan mengenai Batik Surakarta, mulai dari sejarah munculnya Batik Surakarta, jenis-jenis batik berdasarkan proses pembuatannya, proses pembuatan batik, serta makna dan penggunaan batik dalam kehidupan sehari-hari.

Penggunaan media audio visual dalam pembelajaran apresiasi terhadap batik diharapkan membangkitkan antusias siswa untuk belajar. Media audio visual ini juga diharapkan dapat mempermudah siswa dalam memahami materi dan informasi yang disampaikan. Dengan demikian, pemakaian media audio visual pengetahuan batik diharapkan dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap Batik Surakarta pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah cara meningkatkan apresiasi seni Batik Surakarta melalui

pembelajaran menggunakan media audio visual (gabungan slide suara dan film

dokumenter) pada siswa kelas X-4 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran


(26)

commit to user

8

C. Tujuan Penelitian

Penelitian tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk:

”Meningkatkan apresiasi seni Batik Surakarta melalui pembelajaran menggunakan

media audio visual (gabungan slide suara dan film dokumenter) pada siswa kelas

X-4 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011”.

D. Indikator Keberhasilan Penelitian

Indikator kinerja merupakan tolak ukur keberhasilan penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian tindakan kelas ini yang ditingkatkan adalah tingkat apresiasi seni siswa khususnya terhadap Batik Surakarta, yaitu meningkat minimal 80% dari 34 siswa kelas X-4. Capaian target pada setiap indikator harus didasarkan pada tingkat kemampuan siswa sebelum adanya perbaikan. Target indikator tidak boleh terlalu rendah atau terlalu tinggi. Adapun indikator keberhasilan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Minimal 80% siswa mampu mengidentifikasi dengan baik pengetahuan

tentang karya seni terapan daerah setempat yaitu Batik Surakarta. Aspek penilaiannya adalah siswa mampu menjelaskan dengan baik pengetahuan tentang Batik Surakarta setelah melihat tayangan media audio visual. Target minimal 80% ditentukan berdasarkan hasil observasi awal, yaitu siswa yang mampu menjelaskan dengan baik tentang karya seni terapan daerah hanya 47% dari 34 siswa atau sebanyak 16 siswa saja (dengan nilai > 75). Sedangkan 12% atau sebanyak 4 orang siswa menjelaskan cukup baik (dengan nilai 75), dan 41% lainnya atau sebanyak 15 siswa belum mampu menjelaskan dengan baik tentang karya seni terapan daerah (dengan nilai yang masih dibawah standar KKM pada materi apresiasi seni, yaitu < 75).

2. Minimal 80% siswa menunjukkan sikap menghargai terhadap karya seni

terapan daerah (yaitu Batik Surakarta) dengan baik. Aspek penilaian siswa yang menunjukkan sikap menghargai adalah ditunjukkan dengan perhatian dan keaktifan siswa dalam mengungkapkan tanggapannya mengenai seni terapan daerah setempat. Berdasarkan observasi awal selama 4 kali pertemuan, siswa yang mampu menunjukkan sikap menghargai terhadap karya seni Batik Surakarta rata-rata hanya 56% dari 34 siswa atau sebanyak 19 siswa.


(27)

Sedangkan 44% lainnya atau sebanyak 15 siswa kurang mampu menunjukkan sikap menghargai terhadap karya seni terapan daerah (khususnya Batik Surakarta).

Tabel 2. Indikator Keberhasilan Penelitian

NO INDIKATOR ASPEK PENILAIAN TARGET KETERANGAN

1. Siswa mampu

mengidentifikasi dengan baik pengetahuan tentang karya seni terapan daerah setempat yaitu Batik Surakarta Siswa mampu menjelaskan dengan baik pengetahuan tentang Batik Surakarta setelah melihat tayangan media audio visual.

80% Ditunjukkan

dengan siswa yang

memperoleh

nilai ≥75pada tes kognitif

2 Siswa mampu

menunjukkan dengan baik sikap menghargai terhadap karya seni rupa terapan daerah yaitu Batik Surakarta. Perhatian dan keaktifan siswa dalam mengungkapkan pendapatnya

80% Dinilai

berdasarkan lembar observasi afektif siswa

E. Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat umum yang diperoleh dari proses pembelajaran apresiasi seni dengan media audio visual adalah :

1. Pembelajaran apresiasi seni lebih menarik

2. Guru lebih mudah dalam menyampaikan materi

3. Siswa lebih mudah dalam memahami materi

Secara khusus manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah dengan

adanya media audio visual (gabungan slide suara dan film dokumenter) dalam

pembelajaran maka siswa lebih mudah memahami materi yang disampaikan, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik yaitu meningkatnya apresiasi seni siswa terhadap karya seni rupa terapan daerah setempat.


(28)

commit to user

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pembelajaran

Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari kata “instruction” (Wina

Sanjaya, 2006: 78). Istilah yang sering dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat ini menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Seiring dengan perkembangan teknologi, siswa semakin mudah dalam mempelajari sesuatu melalui berbagai media. Hal ini menuntut adanya perubahan dari peran guru sebagai sumber belajar, menjadi pengelola dan fasilitator dalam proses

pembelajaran. Lebih lanjut Wina mengatakan “Guru tidak lagi memposisikan diri

sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi, akan tetapi harus

berperan sebagai pengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri”.

Pembelajaran adalah suatu proses yang mengandung interaksi antara guru dan siswa yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Guru memberi materi sedangkan murid yang menerima, dengan kata lain dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antara murid belajar dan guru

mengajar. Menurut Syaiful Sagala (2006:61), mengatakan bahwa “Pembelajaran

ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar

merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan”. Berhasil tidaknya

pendidikan siswa tergantung dari keberhasilan pembelajaran yang dilakukan guru dan siswanya. Dalam konteks pembelajaran, tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa (siswa melakukan proses belajar). William H. Burton (dalam Syaiful Sagala, 2006:61) mengatakan bahwa mengajar adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

Pembelajaran dapat terjadi di mana saja, selama terjadi interaksi yang bersifat edukatif. Konsep pembelajaran menurut Corey (dalam Syaiful Sagala,

2006: 61), menyatakan bahwa “Proses dimana lingkungan seseorang secara

disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu,


(29)

commit to user

...”. Dalam hal ini pembelajaran dimaksudkan berupa bantuan yang diberikan

secara sengaja untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan atau pengetahuan baru. Bantuan dapat berupa pemberian informasi, pengerahan, pemberian fasilitas belajar agar proses belajar berjalan lancar.

2. Apresiasi Seni

Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan seni, istilah apresiasi seni tentu sudah tidak asing lagi. Dalam kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Soeharso

& Ana Retnoningsih, 2009:47) istilah apresiasi berarti “penghargaan”. Dengan

demikian apresiasi seni dapat diartikan sebagai penghargaan terhadap karya seni. Apresiasi merupakan kegiatan menghargai dan mengerti sebuah karya.

Nooryan Bahari (2008:148) menyatakan bahwa “Istilah apresiasi berasal dari kata

Latin appretiatus yang merupakan bentuk past participle, yang artinya to value at

price atau penilaian pada harga. Dalam bahasa Inggris disebut appreciation yang

artinya penghargaan dan pengertian”. Sehingga, apresiasi tidak hanya menghargai sebuah karya seni, akan tetapi juga mengerti makna yang disampaikan senimannya melalui karya seni tersebut. Mengapresiasi adalah sebuah proses untuk memahami makna yang terkandung dalam sebuah karya seni. Nooryan juga

mengatakan “Apresiasi adalah proses pengenalan nilai-nilai seni, untuk

menghargai dan menafsirkan makna (arti) yang terkandung didalamnya”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan apresiasi seni pada akhirnya harus dapat membawa siswa kepada pengenalan dan penghayatan dari nilai-nilai yang ada dalam sebuah karya seni.

Penghargaan dan penilaian dalam apresiasi tergantung tingkat pemahaman

masing-masing individu, misalnya untuk dapat menikmati performance art

(pertunjukan seni) seseorang perlu memiliki pengetahuan tentang performance

art, sehingga simbol-simbol yang diungkapkan melalui performance art dapat

dinikmati dan dimaknai dengan baik. Bagi seseorang yang tidak memiliki

pengetahuan tentang performance art kurang mampu menikmati keindahan yang

terkandung dalam performance art.


(30)

commit to user

12 menumbuhkembangkan potensi siswa serta kreativitas siswa. Melalui apresiasi seni diharapkan dapat membangun sikap atau perilaku siswa untuk lebih menghargai setiap karya seni yang ditampilkan. Kegiatan berapresiasi seni sangat bermanfaat untuk memperoleh pengalaman baru, memperkaya jiwa, menanamkan rasa cinta bangsa, serta meningkatkan ketahanan seni dan budaya.

Apabila keragaman seni budaya dikenalkan dan dibelajarkan kepada siswa di sekolah, maka mereka akan mampu menghargai dan memahami keragaman serta perbedaan bentuk dan jenis seni budaya yang berasal dari berbagai latar belakang budaya yang ada di wilayah Nusantara. Dengan mengenal, memahami, mengerti hasil seni budaya bangsa sendiri merupakan wahana utama untuk menanamkan cinta bangsa dan cinta sesamanya, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan ketahanan budaya bangsa. (M.Jazuli, 2008: 84).

Apresiasi seni rupa berarti mengenal, memahami, dan memberikan penghargaan dan tanggapan terhadap karya seni rupa. Untuk melakukan kegiatan apresiasi seni, seseorang terlebih dulu harus memiliki pengertian, pemahaman,

dan pemaknaan secara baik terhadap sebuah karya seni. “Materi apresiasi seni pada dasarnya adalah pengenalan tentang konsep atau makna, bentuk, dan fungsi

seni rupa” (Taufik, 2003:7). Seseorang juga perlu mempelajari sejarah dan teori

seni bersangkutan untuk meningkatkan pemahaman seninya. Lebih lanjut Taufik

juga menjelaskan bahwa ”Selain pengenalan bentuk-bentuk seni rupa, materi apresiasi juga meliputi pengenalan tentang latar belakang sosial, budaya, dan sejarah di mana karya seni rupa dihasilkan serta makna-makna dan nilai-nilai pada

seni rupa tersebut”.

Kegiatan apresiasi seni tidak hanya dapat dilakukan dengan metode ceramah teori saja, tetapi juga bisa dilakukan dengan variasi cara lain misalnya dengan langsung datang ke lapangan tempat karya seni tersebut dibuat, atau melihat tayangan pengetahuan tentang sebuah karya seni melalui media komputer, televisi, video, dan lain-lain. Yayah Khisbiyah (2001: xii) mengatakan bahwa

“Apresiasi bisa juga diajarkan melalui pengalaman langsung. Misalnya, siswa


(31)

commit to user

dan berpraktik serta berimprovisasi sendiri dengan instrumen dan unsur-unsur

kesenian lainnya”.

Kegiatan apresiasi seni dapat dikatakan berhasil jika siswa mampu memahami dan menghargai sebuah karya seni. Yayah Khisbiyah (2001:105)

mengatakan bahwa “Apresiasi seni dapat didefinisikan sebagai dicapainya

kemampuan untuk memahami kesenian dengan penuh pengertian”. Sehingga jika

siswa telah mampu mengenali dan memahami sebuah kesenian dengan baik, maka baru dapat dikatakan siswa tersebut telah berapresiasi dengan baik. Dalam apresiasi seni, hendaknya siswa diberikan pemahaman dan pengenalan mengenai kesenian tradisi Nusantara. Sehingga siswa mampu mengenali dan memahami jati diri bangsanya sendiri.

Dalam materi apresiasi seni terapan daerah setempat, SMA Negeri 1 Surakarta memilih materi batik yang diapresiasi lebih lanjut. Hal ini merupakan langkah yang tepat untuk siswa memahami lebih dalam karya seni yang ada di

sekitar mereka. Dalam kata pengantarnya Yayah juga mengatakan bahwa “Jenis

kesenian yang dipilih (dalam apresiasi seni) seyogyanya adalah kesenian tradisi Nusantara, karena sebagai anak bangsa, peserta didik sudah selayaknya

mengetahui khazanah kesenian tradisi bangsanya sendiri”. Lebih lanjut lagi, Yayah mengatakan “Dengan demikian, apresiasi terhadap kesenian tradisional

Nusantara ini diharapkan membantu peserta didik mengenal jati dirinya sekaligus

memahami pluralitas bangsanya”.

Dalam materi apresiasi seni terapan daerah setempat yang disampaikan adalah pengetahuan dasar mengenai batik Surakarta. Di antaranya adalah sejarah munculnya batik Surakarta, jenis-jenis batik berdasarkan proses pembuatannya, proses pembuatan batik, dan makna pola batik Surakarta dan penggunaannya pada jaman dahulu dan saat ini. Dengan mengenalkan siswa lebih dalam mengenai pemahaman dan pengetahuan tentang batik Surakarta, maka diharapkan siswa mampu meningkatkan apresiasinya terhadap batik Surakarta.

Berdasarkan silabus kelas X SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011, dalam pelajaran Seni Budaya materi apresiasi seni lebih dominan


(32)

commit to user

14 kurang antusias dengan materi pembelajaran tersebut. Penyampaian materi yang kurang tepat oleh guru juga menjadi faktor lain penyebab siswa kurang antusias dengan materi apresiasi seni. Akibat dari kurangnya antusias siswa terhadap materi pembelajaran apresiasi karya seni rupa terapan daerah setempat adalah rata-rata hasil belajar siswa X-4 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011 pada materi apresiasi seni rupa hanya sampai pada standar penilaian cukup yaitu 76, secara otomatis berpengaruh pada tingkat apresiasi siswa terhadap batik Surakarta itu sendiri.

Kegiatan apresiasi yang ditingkatkan dalam penelitian ini adalah pemahaman siswa terhadap materi dan sikap menghargai siswa terhadap karya seni rupa terapan daerah yaitu Batik Surakarta. Kegiatan tersebut dinilai peningkatannya melalui hasil pengamatan selama penelitian berlangsung di kelas dan nilai tes berdasarkan indikator yang sudah ditentukan. Pada hasil akhirnya, apresiasi siswa dikatakan baik jika siswa memenuhi indikator-indikator yang telah ditentukan.

3. Batik Surakarta

Batik memang saat ini tengah menjadi sebuah perbincangan menarik dalam kancah dunia internasional. Bukan hanya karena kerumitan proses pembuatan, akan tetapi juga keunikan dan keindahan corak dan motif yang sangat indah dan penuh dengan makna. Asmito (dalam Edi Kurniadi, 1996:3)

berpendapat “Bahwa batik merupakan satu unsur kebudayaan Indonesia asli.

Batik di Indonesia dikagumi oleh bangsa lain bukan hanya karena prosesnya yang rumit yang membutuhkan ketekunan dan waktu yang lama, tetapi corak atau

motifnya sangat halus”.

a. Pengertian Batik

Batik merupakan salah satu warisan budaya yang dimiliki Indonesia. Melalui batik dapat dipelajari banyak hal mengenai ilmu hidup karena biasanya setiap motif batik selalu mengandung makna tertentu. Batik Indonesia juga merupakan karya seni yang dikagumi dunia internasional dan patut untuk dibanggakan. Batik merupakan seni menggambar di atas kain dengan


(33)

commit to user

menggunakan canthing dan malam (lilin batik) untuk dijadikan pakaian keluarga

raja-raja di Indonesia zaman dahulu.

Istilah batik berasal dari „amba‟(jawa), yang artinya menulis dan „nitik‟.

Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak -menggunakan canthing atau cap- dan pencelupan kain, dengan menggunakan bahan perintang warna

corak bernama „malam‟ (lilin) yang diaplikasikan di atas kain. Sehingga menahan masuknya bahan pewarna. (Aep S Hamidi (2010: 7).

Santosa Doellah (2002:10) berpendapat bahwa “Batik adalah sehelai

wastra -yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional- beragam hias pola batik tertentu yang

pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam „lilin batik‟

sebagai bahan perintang warna”. Jadi kain batik adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak tertentu yang dibuat dengan canting dan atau cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna.

b. Sejarah Batik Surakarta

Kerajaan Mataram pada abad 16 menjadi awal berkembangnya batik di tanah Jawa khususnya di Solo dan Yogyakarta. Nicolas Van Gna (dalam Edi

Kurniadi, 1996:3) mengatakan bahwa ”Batik pada jaman Mataram bertambah

halus kualitasnya setelah adanya pengiriman mori dari Belanda”. Wilayah

Kerajaan Mataram kemudian terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Pecahnya kerajaan Mataram menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta menjadikan adanya pembagian benda-benda peninggalan kerajaan Mataram. Seperti gamelan, keris, tombak, dan benda-benda peninggalan lainnya. Namun untuk peninggalan berupa tatanan busana, berdasarkan perintah dari Pakubuwono II kepada Pakubuwono III, maka seluruh busana yang dimiliki Keraton Surakarta diberikan kepada Hamengkubuwono I raja dari Keraton Yogyakarta.

Semenjak terbaginya wilayah Mataram tersebut segala isen-isen keprabon berupa pusaka, gamelan, titihan kereta, tandu/ joli/ kremun, juga dibagi


(34)

commit to user

16 Mangkubumi dibawa ke Yogyakarta. Mengenai masalah busana itu sebelumnya telah diwasiatkan oleh Pakoe Boewono II kepada Pakoe

Boewono III, sebelum diangkat menjadi raja “Mbesok menawa pamanmu Mangkubumi hangersakake ageman, paringna”. Artinya „apabila kelak pamanmu Mangkubumi menghendaki busana, berikan saja‟. (Kalinggo,

2002:8)

Sejak saat itu, seluruh peninggalan kerajaan Mataram yang berupa busana dibawa ke Yogyakarta seperti yang dapat dilihat sampai sekarang. Karena seluruh busana diberikan pada Hamengkubuwono I, maka terjadilah kekosongan tatanan busana khususnya motif batik di keraton Surakarta. Oleh karena itu, mulai pemerintahan Pakubuwono III di keraton Surakarta akhirnya dibuatlah tatanan busana gaya Surakarta berikut pola-pola batiknya. Seperti yang diungkapkan

Kalinggo (2002:9) “Selanjutnya Sampeyan Ingkang Sinuhun Kangjeng

Susuhunan Pakoe Boewono III membuat busana sendiri dengan gagrak Surakarta

(gaya Surakarta). Termasuk dalam kain bathik untuk nyampingan coraknya

mengalami perubahan-perubahan menyesuaikan dengan busana baru”. Kemudian

Kalinggo juga menyatakan, “Sejak disesuaikan dengan model busana yang baru

itu, bathik Surakarta mulai berkembang corak-corak atau motifnya. Aneka ragam

corak baru bathik di Surakarta itu yang kemudian disebut sebagai bathik gagrak

Surakarta”. Di sinilah kemudian batik berkembang di Surakarta.

Pada awalnya, pembuatan batik keraton dikerjakan di dalam keraton dan dibuat khusus untuk keluarga raja. Penciptaan pola dan pembatikannya dikerjakan

oleh para putri istana, sedangkan pekerjaan lanjutan dilaksanakan oleh para abdi

dalem. Menurut Santosa Doellah (2002: 54) mengatakan bahwa “Pada zaman

dahulu, pembuatan batik yang pada tahap pembatikannya hanya dikerjakan oleh putri-putri di lingkungan keraton dipandang sebagai kegiatan penuh nilai kerohanian yang memerlukan pemusatan pikiran, kesabaran, dan kebersihan jiwa

dengan dilandasi permohonan, petunjuk, dan ridha Tuhan Yang Maha Esa”.

Karena itulah, motif atau ragam hias batik senantiasa terkesan memiliki keindahan dan mengandung nilai-nilai yang berkaitan erat dengan latar belakang penciptaan, penggunaan, dan penghargaan yang dimilikinya.


(35)

commit to user

Peningkatan kebutuhan batik di lingkungan keluarga dan kerabat keraton membuat batik tak dapat lagi hanya dikerjakan oleh para putri istana dan abdi dalemnya. Keadaan ini menyebabkan munculnya kegiatan pembatikan di luar tembok istana. Batik kemudian tidak hanya dikerjakan di dalam tembok keraton, akan tetapi juga dikerjakan para abdi dalem di rumah mereka sendiri untuk memenuhi pesanan dari keraton.

Batik telah ada sejak lama di Indonesia dan setelah pertengahan abad ke-17 (setelah masa Kartasura), maka batik yang dulunya hanya dipakai oleh para bangsawan saja, kemudian fungsinya telah meluas dan keluar pagar keraton. Sejak itulah batik dapat dipakai oleh rakyat biasa walaupun masih terbatas pada jenis motif-motif tertentu, serta dikerjakan sebagai pekerjaan sambilan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. (Edi Kurniadi, 1996:5).

Semakin lama rakyat menjadi tertarik dengan batik karena proses pembuatannya yang menarik, di samping itu corak dan motif yang digambar pada kain dengan lilin menjadi daya tarik tersendiri. Batik pun berkembang dari yang hanya digunakan oleh keluarga keraton, menjadi pakaian yang disenangi rakyat biasa di luar keluarga keraton.

Awalnya batik dikerjakan terbatas dalam keraton saja. Hasilnya pun hanya untuk dipakai raja, keluarga, dan para abdi dalemnya. Karena banyak pengikut raja yang tinggal di luar keraton, proses mengerjakan kerajinan ini dibawa dan dikerjakan di rumah masing-masing. Lama-kelamaan, masyarakat di luar keraton banyak yang menjadi pengrajin batik. Dan selanjutnya, meluas menjadi pekerjaan rumahan kaum perempuan untuk mengisi waktu senggang. Terjadilah perubahan. Batik yang awalnya hanya dijadikan pakaian keluarga keraton, menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik perempuan maupun pria. (Aep S Hamidi, 2010:9).

Perkembangan penggunaan batik yang semakin pesat pada saat itu menyebabkan penurunan makna atau nilai yang terkandung pada motif batik yang

digunakan. Kalinggo Honggopuro (2002:9) mengatakan bahwa “Tatanan dalam

penggunaan bathik menjadi kabur. Kain bathik yang diperuntukkan bagi bangsawan dan untuk kawula tidak jelas, sehingga sulit untuk membedakan status

para pemakainya”. Pemakaian batik yang semakin lama semakin meluas


(36)

commit to user

18 di Surakarta agar penggunaannya lebih teratur serta penghayatan terhadap makna yang dikandung setiap motifnya tidak pudar.

Menurut Santosa Doellah (2002: 55) “Perluasan pemakaian batik

menyebabkan pihak keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta membuat ketentuan mengenai pemakaian pola batik. Ketentuan tersebut diantaranya mengatur sejumlah pola yang hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarga istana. Pola yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga istana ini disebut sebagai

“pola larangan”.

Pakubuwono III mengatakan “Ana dene kang arupa jejarit kang kalebu laranganingsun, bathik sawat lan bathik parang, bathik cemukiran kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan tumpal, apa dene bathik cemukiran kang calacap lung-lungan, kanng sun wenangake anganggoa pepatihingsun lan sentananingsun dene kawulaningsun padha wedia.” Yang artinya, “Ada beberapa jenis kain bathik yang menjadi larangan saya yaitu

bathik lar, bathik parang, bathik cemukiran yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga bathik cemukiran yang berbentuk ujung lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah), yang saya ijinkan memakai adalah patih dan para kerabat saya.

Sedangkan para kawula tidak diperkenankan”. (Kalinggo Honggopuro,

2002:9).

Pola larangan tersebut di antaranya: pola parang, terutama parang rusak

barong, pola cemukiran, udan liris, semen, dan beberapa pola lainnya. Pola

larangan ini berlaku di kalangan keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta.

Santosa Doellah (2002:55) mengatakan “Seiring dengan perubahan zaman, pihak

keraton pun memperlonggar kebijakan mengenai pola larangan. Peraturan pola

larangan hanya berlaku di dalam keraton, terutama bila ada upacara-upacara”. Pola ini pada akhirnya tidak hanya dipakai oleh raja dan keluarganya saja, akan tetapi juga dapat dipakai oleh masyarakat umum. Namun penggunaan pola larangan ini masih berlaku pada di lingkungan keraton baik Surakarta maupun Yogyakarta terutama pada saat upacara-upacara adat Jawa tertentu.

c. Makna Pola Batik Surakarta dan Penggunaanya

Pola-pola batik Surakarta yang sering dikenal di antaranya truntum,

sidoluhur, sidomukti, dan lain-lain. Berikut ini akan dijelaskan beberapa pola batik Surakarta yang masih sering dijumpai dan digunakan masyarakat Surakarta


(37)

pada acara-acara tertentu terutama pada upacara-upacara adat Jawa. Pola-pola Batik Surakarta tersebut antara lain:

1. Pola Parang

Kata parang merupakan perubahan dari kata “pereng” atau pinggiran sebuah tebing yang berbentuk “lereng”. Pola parang termasuk

salah satu pola larangan, yaitu pola batik yang tidak boleh dikenakan

oleh rakyat jelata. Pola parang hanya boleh dikenakan raja dan

keturunannya, serta para pejabat keraton dan bangsawan. Pola parang

tidak diperbolehkan bagi rakyat biasa karena yang membuat pola ini adalah Panembahan Senopati, yaitu pendiri kerajaan Mataram yang nantinya memiliki keturunan Raja-raja Mataram.

Asti Suryo Astuti mengatakan, “Awal mula terciptanya motif parang

adalah pada waktu itu Panembahan Senopati melakukan meditasi dan berjalan dari pantai Kusumo menuju desa Dlepih. Ditengah-tengah perjalanan itu atau pada saat meditasi itu menghadap ke laut,

beliau melihat tebing atau pereng-pereng yang terkena air dan

hempasan ombak sehingga perengnya rusak. Maka ada pola parang

rusak. Sehingga pada saat beliau pulang lalu minta dibuatkan pola

parang rusak. Oleh karena itu pola parang rusak dan turunannya

(yaitu parang barong, parang kusumo, parang klithik, dan beberapa

jenis parang lainnya) tidak boleh dipakai jika bukan keturunan dari

Panembahan Senopati”.

Pola parang yang diciptakan oleh Panembahan Senopati tersebut

diilhami oleh tebing atau pereng yang rusak karena hempasan ombak.

Maka pola yang diciptakan Panembahan Senopati tersebut dinamakan

Parang Rusak. Pola parang rusak melambangkan kekuatan, kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat, sehingga pemakainya diharapkan dapat sigap dan sekatan. Konon, menurut kepercayaan bahwa membuat batik parang tidak boleh melakukan kesalahan dalam pembatikannya, atau harus sekali jadi. Karena jika melakukan kesalahan dalam pembatikannya, maka dapat menghilangkan kekuatan gaibnya.


(38)

commit to user

20

Gambar 3. Batik ParangRusak

(Dokumentasi: Jauharsari, 2010) 2. Pola Lereng

- Udan Riris

Pencipta pola udan Riris adalah Pakubuwono III. Latar belakang lahirnya pola ini adalah dari keprihatinan Pakubuwono III karena Perjanjian Giyanti yang membagi dua Kerajaan Mataram, yaitu Suarakarta dan Yogyakarta. Ketika itu Pakubuwono melakukan semedi dengan berendam di Sungai Premulung di desa Laweyan. Pada saat beliau melakukan semedi tersebut, tiba-tiba turun gerimis yang tertiup angin. Suasana tersebut mengilhami beliau untuk menciptakan pola batik. Sepulang dari semedi baliau langsung minta dibuatkan motif batik dengan pola yang berbentuk garis-garis miring atau diagonal seperti air hujan tertiup angin yang dilihatnya selama ia

bersemedi. Motif ini kemudian dinamakan dengan udan riris. Pola ini

juga termasuk pola larangan. Makna simbolis dari udan riris adalah


(39)

Gambar 4. Batik Udan Riris (Dokumentasi: Heriyanto, 2008) 3. Truntum

Dalam bahasa jawa, truntum berarti menuntun. Pola truntum ini

awal mulanya diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk yaitu salah satu permaisuri Pakubuwono ke IV yang bersedih hatinya karena merasa diabaikan oleh raja karena belum juga dikaruniai keturunan. Kanjeng Ratu

Beruk dikembalikan ke keputren, yaitu tempat putri atau selir-selir raja

tinggal. Karena bersedih, Ratu Beruk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berpuasa beberapa hari. Konon, beliau tiba-tiba mendapatkan bisikan untuk membatik. Di tengah kesendirian itulah ia melihat di langit di tengah malam banyak bintang gemerlap menemani dirinya dalam kesepian. Insipirasi itulah yang ditangkap dan dituangkan dalam pola batik. Pada suatu hari dalam perjalanan membuat batik tersebut, kebetulan Pakubuwono IV datang dan melihat Ratu Beruk membatik, ketika raja bertanya apa nama batik yang dibuat, Ratu Beruk belum memiliki nama untuk batik yang dia buat tersebut. Sampai akhirnya kain batik itu jadi, Pakubuwono IV mengajak Ratu Beruk untuk kembali ke Istana menemani beliau. Pada saat itu juga Ratu Beruk menamakan batik yang ia ciptakan


(40)

commit to user

22

Truntum juga berarti menuntun. Truntum memberikan gambaran

kehidupan manusia tidak akan lepas dari ”pepeteng” atau kegelapan

(selalu memiliki masalah). Visualisasi truntum seperti bentuk bintang yang

bersinar. Walaupun hanya sinar bintang semoga mendapatkan penerangan (dalam artiannya keluar dari masalah). Kain ini dipakai oleh orang tua pengantin dalam upacara pernikahan. Diharapkan si pemakai / orang tua mempelai mampu memberikan petunjuk dan contoh kepada putra putrinya untuk memasuki kehidupan baru berumah tangga yang penuh lika-liku.

Gambar 5. Batik Truntum

(Dokumentasi: Jauharsari, 2010)

4. Pola-pola Ceplok

a. Pola Sidamulyo

Makna dari pola Sidomulyo adalah harapan akan kehidupan

kelak dapat tercukupi kebutuhan materi dan tercapai kamulyan atau

kebahagiaan batin yang tenang dan tenteram dari Tuhan Yang Maha

Esa. Sebenarnya Sidamulyo memiliki bentuk yang sama dengan

Sidamukti dan Sidaluhur, akan tetapi Sidamulyo memiliki latar atau dasar putih. Pola ini juga digunakan dalam upacara-upacara adat Jawa.


(41)

Gambar 6. Batik Sidomulyo

(Dokumentasi: Heriyanto, 2008)

b. Pola Sidamukti

Mukti artinya mulyo dan luhur, batik ini merupakan harapan agar dapat tercapai kedudukan yang lebih tinggi (luhur) dan diberi

rejeki yang lebih (mulyo). Batik ini banyak dipakai untuk segala

upacara tradisi. Di antara pada upacara-upacara pernikahan, tujuh bulanan ibu hamil, khitanan, dan lain-lain. Batik ini merupakan

perkembangan dari Sidamulya, oleh Pakubuwono IV digantikan

isen-isen dengan ukel.

Gambar 7. Batik Sidomukti


(42)

commit to user

24

c. Pola Sidaluhur

Pemakaian batik Sidaluhur melambangkan suatu pengharapan

dalam hidupnya bisa mencapai kedudukan yang tinggi dan menjadi panutan bagi masyarakat. Pola batik ini juga biasa digunakan pada upacara-upacara adat jawa, seperti misalnya pernikahan adat Jawa.

Gambar 8. Batik Sidoluhur

(Dokumentasi: Kalinggo Honggopuro, 2002)

“Sebenarnya bathik Sidamukti, Sidaluhur, dan Sidamulya mempunyai

motif yang sama. yang mebedakan adalah warna dasar dari bathik itu. Sidamulya

mempunyai dasar pelataran putih, Sidaluhur mempunyai dasar pelataran hitam,

dan Sidamukti dasar pelataran ukel”. (Kalinggo Honggopuro, 2002: 147).

4. Media

a. Pengertian Media

Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti

„tengah‟, „perantara‟, atau „pengantar‟. (Azhar Arsyad, 2005:3). Gerlach dan Ely

mengemukakan bahwa “Media apabila dipahami secara garis besar adalah

manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa

mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap”. (dalam Azhar

Arsyad).

Sementara itu menurut ahli lain, “Kata media berasal dari bahasa Latin,


(43)

terletak di tengah (antara dua pihak atau kutub) atau suatu alat”. (Sri Anitah,

2008:1). Lebih lanjut Sri Anitah juga mengatakan bahwa media juga dapat diartikan sebagai perantara atau penghubung antara dua pihak, yaitu sumber pesan dengan penerima pesan atau informasi.

Dengan demkian dapat dikatakan bahwa media merupakan segala bentuk hal yang berperan sebagai perantara atau pengantar pesan/ informasi. Misalnya guru, buku teks, gambar, dan lain-lain.

Association for Educational Communication and Technologi /AECT

(dalam Sri Anitah , 2008: 1) mendefinisikan “Media sebagai segala bentuk yang

digunakan untuk menyalurkan informasi”. Sementara dalam ruang lingkup

pendidikan, media menurut Gagne (dalam Arif Sadiman, Rahardjo, Anung

Haryono, & Rahardjito, 1986: 6), “Media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar”. Media juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa.

Briggs (dalam Arif Sadiman et al, 1986: 6) juga mengemukakan bahwa

“Media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang

siswa untuk belajar. Buku, film, kaset, film bingkai adalah contoh-contohnya”.

Sedangkan Asosiasi Pendidikan Nasional /National Education Association

memiliki pengertian sendiri tentang media. NEA mengatakan bahwa “Media

adalah bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta peralatannya”.

(dalam Arif Sadiman et al, 1986: 7).

Dari beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media adalah alat perantara berbentuk apa saja yang dapat didengar, dilihat, dan diraba yang berperan sebagai pengantar pesan atau informasi yang dapat merangsang pikiran, perasaan, dan perhatian seseorang.

b. Media Pembelajaran

Menurut Briggs (dalam Sri Anitah, 2008: 1) berpendapat bahwa “Media

pembelajaran pada hakekatnya adalah peralatan fisik untuk membawakan atau


(44)

commit to user

26

suara, suara guru, tape recorder, modul, atau salah satu komponen dari suatu

sistem penyampaian”.

Selanjutnya Sri Anitah juga mengemukakan bahwa “Media pembelajaran

adalah setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi

yang memungkinkan pebelajar menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap”.

Sementara Heinich, dan kawan-kawan mengemukakan bahwa “Istilah medium

sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima”. (dalam

Azhar Arsyad, 2005:4).

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan media pembelajaran adalah segala macam benda, alat, bahkan manusia yang mengantarkan pesan antara pemberi pesan kepada penerima pesan atau informasi untuk suatu tujuan pembelajaran. Sri

Anitah, (2008:2) berpendapat “Dikatakan media pembelajaran, bila segala sesuatu tersebut membawakan pesan untuk suatu tujuan pembelajaran”.

Penggunaan media dalam proses pembelajaran cukup penting. Hal ini dapat membantu para siswa dalam mengembangkan imajinasi dan daya pikir serta kreativitasnya. Informasi yang disampaikan guru akan diterima langsung oleh siswa. Kemudian siswa mulai bergerak dengan cara memahami apa yang disampaikan guru, sehingga proses komunikasi dalam pembelajaran dapat berjalan dengan baik.

Sudjana dan Rivai (dalam Azhar Arsyad, 2005:24) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu:

1) Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat

menumbuhkan motivasi belajar

2) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih

dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran

3) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal

melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran.

4) Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya

mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, memerankan, dan lain-lain.


(45)

commit to user

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa fungsi media dalam proses belajar mengajar sangat penting dan beragam. Media berfungsi sebagai penyalur pesan, meningkatkan hasil belajar, menambah efektivitas komunikasi, dan interaksi dalam proses belajar mengajar. Fungsi lain dari pemanfaatan media pembelajaran adalah menumbuhkan minat dan motivasi belajar serta memudahkan siswa dalam memahami materi yang diajarkan.

Ardiani Mustikasari (dalam http://edu-articles.com), mengklasifikasikan media menjadi media visual, media audio, dan media audio visual.

1) Media Visual

a) Media yang tidak diproyeksikan

(1) Media realita adalah benda nyata. Benda tersebut tidak harus

dihadirkan di ruang kelas, tetapi siswa dapat melihat langsung ke obyek. Kelebihan dari media realia ini adalah dapat memberikan pengalaman nyata kepada siswa. Misal untuk mempelajari keanekaragaman makhluk hidup, klasifikasi makhluk hidup, ekosistem, dan organ tanaman.

(2) Model adalah benda tiruan dalam wujud tiga dimensi yang

merupakan representasi atau pengganti dari benda yang

sesungguhnya. Penggunaan model untuk mengatasi kendala tertentu sebagai pengganti realia. Misal untuk mempelajari sistem gerak, pencernaan, pernafasan, peredaran darah, sistem ekskresi, dan syaraf pada hewan.

(3) Media grafis tergolong media visual yang menyalurkan pesan

melalui simbol-simbol visual. Fungsi dari media grafis adalah

menarik perhatian, memperjelas sajian pelajaran, dan

mengilustrasikan suatu fakta atau konsep yang mudah terlupakan jika hanya dilakukan melalui penjelasan verbal. Jenis-jenis media grafis adalah:

(a) Gambar / foto: paling umum digunakan

(b) Sketsa: gambar sederhana atau draft kasar yang melukiskan

bagian pokok tanpa detail. Dengan sketsa dapat menarik perhatian siswa, menghindarkan verbalisme, dan memperjelas pesan.

(c) Diagram / skema: gambar sederhana yang menggunakan garis

dan simbol untuk menggambarkan struktur dari obyek tertentu secara garis besar. Misal untuk mempelajari organisasi kehidupan dari sel samapai organisme.

(d) Bagan / chart : menyajikan ide atau konsep yang sulit sehingga

lebih mudah dicerna siswa. Selain itu bagan mampu memberikan ringkasan butir-butir penting dari penyajian. Dalam bagan sering dijumpai bentuk grafis lain, seperti: gambar,


(46)

commit to user

28

(e) Grafik: gambar sederhana yang menggunakan garis, titik, simbol

verbal atau bentuk tertentu yang menggambarkan data kuantitatif. Misal untuk mempelajari pertumbuhan.

b) Media proyeksi

(1) Transparansi OHP (Overhead projector) merupakan alat bantu

mengajar tatap muka sejati, sebab tata letak ruang kelas tetap seperti biasa, guru dapat bertatap muka dengan siswa (tanpa harus membelakangi siswa). Perangkat media transparansi meliputi

perangkat lunak (Overhead transparancy / OHT) dan perangkat

keras (Overhead projector / OHP). Teknik pembuatan media

transparansi, yaitu:

(a) Mengambil dari bahan cetak dengan teknik tertentu

(b) Membuat sendiri secara manual

(2) Film bingkai / slide adalah film transparan yang umumnya berukuran

35 mm dan diberi bingkai 2 x 2 inci. Dalam satu paket berisi beberapa film bingkai yang terpisah satu sama lain. Manfaat film bingkai hampir sama dengan transparansi OHP, hanya kualitas visual yang dihasilkan lebih bagus. Sedangkan kelemahannya adalah beaya produksi dan peralatan lebih mahal serta kurang praktis. Untuk

menyajikan dibutuhkan proyektor slide.

2) Media Audio

a) Radio

Radio merupakan perlengkapan elektronik yang dapat digunakan untuk mendengarkan berita yang bagus dan aktual, dapat mengetahui beberapa kejadian dan peristiwa-peristiwa penting dan baru, masalah-masalah kehidupan dan sebagainya.

b) Kaset audio

Yang dibahas di sini khusus kaset audio yang sering digunakan di sekolah. Keuntungannya adalah merupakan media yang ekonomis karena biaya pengadaan dan perawatan murah.

3) Media Audio Visual

a) Media video

Merupakan salah satu jenis media audio visual, selain film. Yang banyak dikembangkan untuk keperluan pembelajaran, biasa dikemas dalam

bentuk Video Compact Disc (VCD).

b) Media komputer.

Dari jenis-jenis media pembelajaran yang diungkapkan Ardiani Mustikasari tersebut, yang dirasa paling sesuai digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah media audio visual. Media audio visual dirasa lebih menarik karena siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan materi dari guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, mengidentifikasi, dan media audio visual ini dapat menarik perhatian siswa, sehingga diharapkan mampu


(47)

memecahkan masalah yang dihadapi di kelas X-10 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011.

c. Media Audio Visual

Media pembelajaran audio visual adalah bahan ajar berupa gabungan dari indra penglihatan dan pendengaran. Media audio visual dapat diputar melalui komputer dan menampilkan informasi-informasi berupa teks, gambar-gambar,

suara, maupun film. “Melalui media ini, seseorang tidak hanya dapat melihat atau

mendengar saja, tetapi dapat melihat sekaligus mendengarkan sesuatu yang

divisualisasikan”. (Sri Anitah, 2008:49).

Penyebutan audio visual sebenarnya mengacu pada indra yang menjadi sasaran dari media tersebut. Media audio visual mengandalkan pendengaran dan penglihatan dari khalayak sasaran (penonton). Produk audio visual dapat menjadi media dokumentasi dan dapat juga menjadi media komunikasi. Sebagai media dokumentasi tujuan yang lebih utama adalah mendapatkan fakta dari suatu peristiwa. Sedangkan sebagai media komunikasi, sebuah produk audio visual melibatkan lebih banyak elemen media dan lebih membutuhkan perencanaan agar

dapat mengkomunikasikan sesuatu. Film cerita, iklan, slide suara adalah contoh

media audio visual yang lebih menonjolkan fungsi komunikasi.

Menurut Arsyad (2005:30) “Pengajaran melalui audio visual adalah

produksi dan menggunakan materi yang penyerapannya melalui pendengaran dan pandangan serta tidak seluruhnya tergantung kepada pemahaman kata atau

simbol-simbol yang serupa”. Jadi pembelajaran dengan menggunakan media

audio visual adalah pembelajaran yang mengandalkan pendengaran dan penglihatan untuk memahami materi yang disampaikan. Media audio visual juga dikenal sebagai media yang menyenangkan bagi siswa dalam proses pembelajaran.


(1)

commit to user

99 dipujikan dalam kegiatan ini (apresiasi seni), baik itu media dengan menggunakan tehnologi informasi maupun media tradisional. Efektifitas teknologi informasi memang tak dapat disangkal lagi. Penggunaan media audio visual, tentu amat membantu dalam proses belajar-mengajar”. (dalam http://koranpendidikan.com).

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian siklus I dan II, serta didukung oleh pendapat-pendapat para ahli di atas, dapat menguatkan dugaan bahwa pembelajaran apresiasi seni dengan menggunakan media audio visual dapat meningkatkan apresiasi seni siswa terhadap karya seni rupa terapan daerah setempat yaitu Batik Surakarta. Hasil analisis ini juga didukung dengan pernyataan guru mata pelajaran seni budaya SMA Negeri 1 Surakarta yang berkolaborasi dengan peneliti, bahwa apresiasi seni siswa meningkat setelah menggunakan media audio visual pengetahuan batik dalam pembelajaran materi apresiasi karya seni rupa terapan daerah setempat. Dari hasil pembahasan di atas dapat ditarik simpulan bahwa penggunaan media audio visual pengetahuan batik dalam pembelajaran apresiasi karya seni rupa terapan daerah setempat dapat meningkatkan apresiasi seni siswa kelas X-4 SMA Negeri 1 Surakarta.


(2)

commit to user 100 BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan data yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan selama dua siklus, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan media audio visual (gabungan slide suara dan film dokumenter) dapat meningkatkan apresiasi seni Batik Surakarta pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Surakarta tahun pelajaran 2010/2011.

Media audio visual yang digunakan dalam penelitian ini adalah media audio visual gabungan slide suara dan film dokumenter yang berisi tentang sejarah batik surakarta, jenis-jenis batik berdasarkan proses pembuatannya, proses pembuatan batik tulis dan batik cap, dan makna gambar beberapa pola batik serta penggunaannya, masing-masing berdurasi ± 10 menit. Gambaran mengenai isi media audio visual (gabungan slide suara dan film dokumenter) yang ditampilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Pada materi sejarah Batik Surakarta, media audio visual ini menjelaskan mengenai munculnya Batik Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwono III setelah pecahnya kerajaan Mataram. Di dalamnya terdapat gambar diam dan film dokumenter keraton-keraton peninggalan Mataram, selain itu terdapat rekaman gambar bergerak pendapat ahli yang menceritakan munculnya Batik Surakarta.

2) Pada materi jenis-jenis batik berdasarkan proses pembuatannya, media audio visual ini menjelaskan mengenai batik tulis dan batik cap. Di dalam media audio visual ini, juga terdapat film dokumenter pendapat ahli yang menjelaskan bagaimana cara membedakan jenis kain batik tulis dan cap. Selain itu juga dijelaskan mengenai batik printing, batik kombinasi, dan batik lukis.

3) Pada materi proses pembuatan batik tradisional, dijelaskan melalui gambar-gambar diam dan film dokumenter mengenai proses pembuatan batik. Di dalamnya juga dijelaskan mengenai alat dan bahan yang akan digunakan


(3)

commit to user

101 dalam proses pembuatan batik melalui gambar-gambar diam. Seperti misalnya gambar kain mori, canthing dan cap batik, malam batik, zat pewarna, gambar orang sedang membatik, dan lain-lain. Terdapat juga rekaman gambar bergerak atau film dokumenter proses pembuatan batik, mulai dari tahap awal sampai pada proses penglorotan.

4) Pada materi makna pola batik dan pengggunaanya, media audio visual ini menjelaskan mengenai beberapa pola Batik Surakarta, makna yang tekandung di dalamnya, dan penggunaan pola tersebut dalam kehiduan sehari-hari. Gambar-gambar yang muncul seperti misalnya gambar kain batik parang, truntum, udan riris, dan beberapa pola Batik Surakarta lainnya. Gambar-gambar yang digunakan tersebut adalah Gambar-gambar yang menjelaskan maksud isi pesan atau materi yang disampaikan narator.

Secara keseluruhan, gambar-gambar dan film dokumenter yang ditampilkan dalam media audio visual ini adalah gambar yang berkaitan dengan batik Surakarta, seperti misalnya gambar orang sedang membatik, gambar orang memakai batik pada jaman dahulu dan sekarang, film dokumenter proses pembuatan batik, gambar beberapa pola batik, dan film dokumenter serta gambar keraton-keraton pecahan Mataram, yaitu keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta.

Media audio visual yang diputar harus sesuai dengan isi materi pelajaran yang ingin disampaikan sehingga dapat menarik perhatian siswa. Secara teknis, gambar-gambar pada slide suara dan film dokumenter ditampilkan secara bergantian dalam satu kali penayangan. Gambar-gambar muncul setidaknya ± 12 detik/ gambar, hal ini bertujuan agar tidak membuat siswa bingung dengan pergantian setiap gambarnya. Gambar-gambar yang muncul dipilih yang sesuai dengan isi materi sehingga dapat menjelaskan isi pesan yang disampaikan narator.

Backsound untuk mengiringi tampilan media audio visual juga sangat berperan,

volume backsound harus lebih lemah dari volume narator, sehingga suara narator lebih jelas terdengar. Narator pada media audio visual dalam pengucapan kalimatnya tidak terlalu cepat dalam menyampaikan isi pesan atau materi, sehingga siswa dapat memahami materi yang disampaikan narator. Bahasa yang


(4)

commit to user

digunakan narator adalah bahasa Indonesia yang komunikatif dan mudah dicerna oleh siswa, sehingga memudahkan siswa dalam memahami materi yang disampaikan. Penggunaan media audio visual dalam pembelajaran ini ditampilkan sekurang-kurangnya dua kali penayangan.

Dengan menggunakan media audio visual, guru lebih mudah dalam menyampaikan materi kepada siswa, karena materi disampaikan dengan media audio visual, akan tetapi guru harus tetap menguasai bahan ajar. Kemudian guru dapat mengajak siswanya untuk lebih aktif dalam berpendapat dan memberikan tanggapan mengenai seni rupa terapan daerah setempat selama pembelajaran berlangsung. Pada saat siswa melihat tayangan media audio visual, guru tetap memantau siswa dari bagian belakang kelas, agar siswa dapat terpantau secara menyeluruh, sehingga guru dapat mengetahui dan menegur apabila ada siswa yang tidak memperhatikan. Pembelajaran juga menjadi lebih menarik dan tidak membosankan, dibuktikan dengan perhatian siswa selama proses pembelajaran meningkat. Hal ini dikarenakan siswa lebih menyukai penyampaian materi yang disertai dengan gambar-gambar dan film dokumenter, sehingga materi mudah dipahami oleh siswa dan tujuan dari pelaksanaan pembelajaran yaitu meningkatnya apresiasi seni Batik Surakarta dapat tercapai.

Peningkatan apresiasi seni siswa terhadap Batik Surakarta ini ditandai dengan meningkatnya kemampuan siswa dalam mengidentifikasi pengetahuan tentang karya seni terapan daerah setempat yaitu Batik Surakarta, ditunjukkan melalui hasil tes kognitif siswa yang mencapai 88% siswa tuntas dan meningkatnya kemampuan siswa dalam menunjukkan sikap menghargai terhadap karya seni terapan daerah yaitu Batik Surakarta dengan baik ditunjukkan melalui aspek afektif siswa yang mencapai 85% siswa tuntas.

Pada aspek afektif dapat dinilai dari kehadiran siswa, perhatian siswa pada materi yang disampaikan, keaktifan siswa di dalam kelas yang meliputi bertanya dan berpendapat, mengerjakan tugas, dan ketepatan waktu dalam mengumpulkan tugas. Sedangkan pada aspek kognitif merupakan penilaian pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah siswa yang memiliki nilai di atas KKM yang sudah ditentukan yaitu ≤ 75.


(5)

commit to user

103

B. Implikasi

Berdasarkan hasil simpulan, implikasi yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:

1. Dengan menggunakan media audio visual, pembelajaran menjadi lebih menarik dan tidak membosankan karena materi disampaikan melalui media audio visual sebagai salah satu variasi proses pembelajaran. Guru lebih mudah dalam menyampaikan materi pelajaran yaitu hanya memberikan pemantapan pemahaman siswa dengan mengajak siswa berdiskusi dan menyampaikan tanggapannya mengenai karya seni rupa terapan daerah setempat. Perhatian siswa selama proses pembelajaran juga meningkat, selain itu siswa lebih mudah memahami materi sehingga tujuan dari pelaksanaan pembelajaran yaitu meningkatnya apresiasi seni Batik Surakarta dapat tercapai.

2. Jika pembelajaran apresiasi seni rupa tidak menggunakan media audio visual maka pembelajaran berlangsung kurang menarik dan membuat siswa kurang antusias dengan pelajaran. Hal ini mengakibatkan rendahnya pemahaman siswa pada materi apresiasi seni rupa, sehingga tujuan pembelajaran tidak dapat tercapai dengan baik.

C. Saran

Berdasarkan hasil simpulan dan implikasi di atas, maka dapat disarankan antara lain sebagai berikut:

1. Bagi Guru

a. Dalam proses pembelajaran apresiasi seni hendaknya guru memiliki variasi dalam menyampaikan materi pelajaran agar proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan tidak membosankan.

b. Dalam pembelajaran menggunakan media audio visual sebaiknya dilakukan persiapan yang matang dari guru, sehingga pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan dari tujuan pembelajaran dapat diperoleh hasil yang optimal. Persiapan yang matang yang harus dilakukan guru di antaranya adalah menguasai materi dengan baik, mempersiapkan media audio visual semenarik mungkin, mempersiapkan


(6)

commit to user

LCD proyektor, memahami skenario pembelajaran yang sudah dipersiapkan, dan lain-lain.

c. Pelaksanaan dan keberhasilan tujuan pembelajaran tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada media yang digunakan, untuk itu tetap dibutuhkan peran guru dalam memantau dan meningkatkan keaktifan dan pemahaman siswa selama pembelajaran berlangsung.

2. Bagi Siswa

Siswa dapat memberikan masukan kepada guru apabila media audio visual yang ditampilkan guru dirasa kurang menarik atau justru membuat siswa bingung.

3. Bagi Sekolah

Sekolah hendaknya memberikan sarana dan prasaran yang menunjang keberlangsungan pembelajaran apresiasi seni, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal.

4. Bagi Peneliti

Perlu adanya penelitian lebih mendalam tentang media audio visual dalam perannya meningkatkan apresiasi seni siswa yang dilakukan pada siswa kelas X-4 SMA Negeri 1 Surakarta tahun pelajaran 2010/2011.


Dokumen yang terkait

UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR PASSING ATAS BOLAVOLI MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL PADA SISWA KELAS X 3 SMA NEGERI 1 KARANGANYAR TAHUN PELAJARAN 2010 2011

0 5 110

PENGETAHUAN MITIGASI BENCANA BANJIR MELALUI MEDIA AUDIO VISUAL SISWA KELAS X SMA MUHAMMADIYAH 3 Pengetahuan Mitigasi Bencana Banjir Melalui Media Audio Visual Siswa Kelas X SMA Muhammadiyah 3 Surakarta Tahun 2013.

0 2 19

PENDAHULUAN Pengetahuan Mitigasi Bencana Banjir Melalui Media Audio Visual Siswa Kelas X SMA Muhammadiyah 3 Surakarta Tahun 2013.

0 2 8

PENGETAHUAN MITIGAAUDIO VISUAL S Pengetahuan Mitigasi Bencana Banjir Melalui Media Audio Visual Siswa Kelas X SMA Muhammadiyah 3 Surakarta Tahun 2013.

0 2 8

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL Peningkatan Kualitas Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Media Audio Visual Bagi Anak Tunagrahita Di SLB Negeri Surakarta.

0 1 19

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL Peningkatan Kualitas Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Media Audio Visual Bagi Anak Tunagrahita Di SLB Negeri Surakarta.

0 1 17

UPAYA PENINGKATAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MEDIA STUDENT UPAYA PENINGKATAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MEDIA STUDENT WORKSHEET (PTK Siswa Kelas X SMA Batik 1 Surakarta Tahun Ajar 201

0 1 16

BAB 1 PENDAHULUAN UPAYA PENINGKATAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MEDIA STUDENT WORKSHEET (PTK Siswa Kelas X SMA Batik 1 Surakarta Tahun Ajar 2010/2011).

0 0 6

PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI DI KELAS X SMA BATIK 2 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2009/2010.

0 0 8

UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR BERMAIN TRUMPET SISWA KELAS X A MELALUI PENGGUNAAN MEDIA AUDIO VISUAL DI SMK NEGERI 8 SURAKARTA.

0 0 106