Pencernaan Pati Serat Pangan

8 disebut retrogradasi dan proses keluarnya air dari gel pati tersebut disebut dengan sineresis Winarno, 1997. Secara umum, pati ubi jalar tergelatinisasi pada suhu 65 C-80 C Woolfe, 1999. Rasio amilosa dan amilopektin pada ubi jalar cukup bervariasi, tetapi secara umum adalah 1 : 3 atau 1 : 4. Kandungan amilosa pada ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 24.94 bk sedangkan kandungan amilopektinnya 75.06 bk Astawan dan Widowati, 2006. Kandungan amilopektin yang tinggi dan amilosa yang rendah diduga bertanggungjawab terhadap karakteristik tekstur ubi jalar Woolfe, 1999. Semakin rendah kadar amilosa, semakin lembut tekstur dan semakin pulen rasa ubi jalar. Secara umum, kandungan pati ubi jalar sekitar 20.10 bb Bradburry dan Holloway, 1988 di dalam Djuanda, 2003. Resistant starch merupakan fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus. Dengan kata lain, resistant starch tidak dapat dihidrolisis olah enzim- enzim amilolitik pada manusia sehat. Resistant starch, secara alami terdapat pada beberapa komoditas pangan seperti raw potato, pisang dan produk pangan yang mengalami proses pengolahan. Secara kimia, resistant starch bukan merupakan serat tetapi dapat berperan seperti serat larut pada usus manusia. Proses pengolahan pangan dengan menggunakan pemanasan seperti pengeringan dapat meningkatkan pembentukan resistant starch Tharanthan dan Mahadevamma, 2003.

2. Pencernaan Pati

Proses pencernaan dan penyerapan karbohidrat terjadi dalam tiga fase yaitu fase intraluminal, brush border dan penyerapan monosakarida Linder, 1992. Karbohidrat dari pati harus diubah dahulu menjadi glukosa agar dapat diserap oleh tubuh. Enzim yang bertugas untuk melakukan hal tersebut adalah α-amilase yang dihasilkan oleh kelenjar saliva air liur dan pankreas. Enzim α-amilase merupakan endoamilase yang menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik dari bagian dalam substrat hingga menghasilkan 9 maltosa dan limit dekstrin. Enzim α-amilase pada umumnya stabil pada kisaran pH 5.5-8. Enzim α-amilase dari kelenjar saliva menghidrolisis pati dalam hal ini amilosa, amilopektin dan glikogen menjadi unit yang lebih kecil dan sebagian menjadi disakarida Linder, 1992. Namun enzim α-amilase yang berasal dari kelenjar saliva inaktif oleh pH rendah dalam lambung sehingga tidak terlalu berperan dalam proses pencernaan pati. Enzim α- amilase yang berasal dari pankreas yang akan berperan dalam memecah pati di usus halus menjadi unit–unit dimerik terutama maltosa glukosa- glukosa. Proses tersebut akan diselesaikan pada bagian brush border usus halus dengan bantuan enzim dari glukoamylase dan α-dextrinase. Pada brush border usus halus juga akan terjadi pemecahan disakarida menjadi monosakarida unit-unit heksosa oleh enzim-enzim disakaridase Sardesai, 2003. Kemudian unit heksosa tersebut diserap ke dalam mukosa usus dan diedarkan ke hati melalui peredaran darah. Menurut Tharanthan dan Mahadevamma 2003, proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang menyebabkan pati dicerna lambat pada usus halus yaitu jika bentuk fisik makanan mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, khususnya jika granula pati terhalang oleh material lain. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pencernaan pati adalah transit time, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, jumlah pati dan keberadaan komponen pangan lainnya.

3. Serat Pangan

Menurut Winarno 1997, serat pangan atau dietary fiber merupakan bagian dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Dietary fiber pada umumnya merupakan karbohidrat atau polisakarida. Dengan demikian serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna secara enzimatis enzim yang dikeluarkan manusia sehingga tidak digolongkan sebagai sumber zat gizi makanan Linder, 1992. Menurut Jahari dan Sumarno 10 2001, konsumsi serat yang dianjurkan perhari untuk orang dewasa adalah 30 gram. Menurut Bradburry dan Holloway 1988 yang dikutip Djuanda 2003, kandungan serat pangan ubi jalar secara umum 1.64 bb. Berdasarkan sifat kelarutannya di dalam air, serat pangan dietary fiber dibedakan menjadi dua kelompok yaitu yang bersifat larut air Soluble Dietary Fiber atau SDF dan bersifat tidak larut air Insoluble Dietary Fiber atau IDF. SDF diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah tercampur dengan empat bagian etanol. IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas atau air dingin. Gabungan dari serat pangan yang larut air dan serat pangan yang tidak larut air disebut total serat pangan Total Dietary Fiber atau TDF. Termasuk ke dalam serat yang larut air adalah gum, musilase, pektin dan beberapa hemiselulosa larut air sedangkan serat yang bersifat tidak larut air adalah selulosa, lignin, sejumlah kecil lilin dan kitin tanaman dan sebagian besar hemiselulosa. Secara fisiologis serat pangan larut SDF lebih efektif dalam mereduksi serum kolesterol plasma Low Density Lipoprotein atau LDL yang berkaitan dengan kolesterol. Hal ini berhubungan dengan penurunan secara signifikan terhadap resiko jantung koroner dan tekanan darah tinggi. Selain itu SDF juga bermanfaat bagi penderita diabetes melitus karena dapat mereduksi absorpsi glukosa usus. Serat pangan tidak larut IDF lebih bermanfaat mengatasi gangguan sistem pencernaan seperti sembelit, mempercepat transit bahan makanan di usus dan meningkatkan volume feses sehingga dapat mencegah penyakit kanker kolon dan divertikulosis serta dapat digunakan untuk mengontrol berat badan Prosky dan De Vries, 1992. Pengertian dietary fiber atau serat pangan berbeda dengan crude fiber serat kasar. Menurut Winarno 1997, hanya sekitar seperlima sampai setengah dari seluruh serat kasar yang benar-benar berfungsi sebagai dietary fiber. Serat kasar adalah bagian dari makanan yang tidak 11 dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan serat kasar yaitu asam sulfat 1.25 dan natrium hidroksida 1.25 . Kandungan serat kasar nilainya lebih rendah dibandingkan serat pangan karena asam sulfat dan natrium hidroksida mempunyai kemampuan lebih besar untuk menghidrolisis komponen-komponen makanan dibandingkan dengan enzim-enzim pencernaan Muchtadi, 1989. E. INDEKS GLIKEMIK IG Kesadaran masyarakat semakin meningkat akan pentingnya hidup sehat. Oleh karena itu mereka mulai mengkonsumsi makanan yang memiliki manfaat bagi kesehatannya seperti pangan fungsional. Pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan diluar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya Clydesdale, 1999. Suatu produk dapat dikatakan sebagai pangan fungsional salah satunya bila produk tersebut kaya akan serat pangan larut American Dietetic Association, 1999. Pengembangan pangan fungsional ditujukan untuk memperbaiki fungsi- fungsi fisiologis, melindungi tubuh dari penyakit, khususnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, kanker dan diabetes melitus. Penyakit degeneratif prevalensinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun, diabetes melitus DM merupakan salah satunya. Analisis data dari Poliklinik Diabetes di seluruh Indonesia memperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 1994 sebesar 2.5 juta jiwa dan pada tahun 2000 menjadi 4 juta jiwa Tjokroprawiro, 2001. Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi DM mencapai 1.5-2.3 dari jumlah penduduk. Berdasarkan angka prediksi jumlah penduduk, maka pada tahun 2020 jumlah penduduk yang berusia diatas 20 tahun akan mencapai 178 juta orang. Bila angka prevalensi DM diasumsikan 4 , maka diperkirakan 7 juta orang penduduk akan menderita penyakit tersebut. Diabetes melitus DM adalah kondisi abnormalitas metabolisme energi yang disebabkan oleh defisiensi insulin, baik absolut maupun relatif 12 Cataldo et al., 1989. Hormon insulin bertugas untuk meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju pangubahan glukosa menjadi glikogen Wardlaw, 1999. Insulin berperan sebagai regulator yang akan menjaga keseimbangan kadar glukosa darah tubuh. DM terjadi jika sel- β pulau Langerhans di pankreas mengalami kerusakan, sehingga jumlah insulin yang disekresikan berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat yang ditandai oleh peningkatan glukosa di dalam darah melebihi normal padahal kadar glukosa darah orang normal menurut Wardlaw 1999 berkisar antara 70-110 mgdl. Orang yang mempunyai kelainan dalam metabolisme glukosa seperti penderita diabetes melitus dan hipoglisemia disarankan untuk mengkonsumsi makanan dengan nilai indeks glikemik yang rendah. Penderita tersebut sulit untuk mengatasi cepatnya kenaikan glukosa dalam darah sebagai akibat mengkonsumsi makanan dengan nilai IG tinggi Murano, 2003. Hasil studi menunjukkan bahwa asupan karbohidrat dengan indeks glikemik IG tinggi menghasilkan insulin resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan asupan karbohidrat dengan IG rendah Willett et al., 2002. Secara umum, karbohidrat yang mudah dicerna dan diserap dapat meningkatkan nilai indeks glikemik. Para ilmuwan awalnya berpendapat bahwa makanan-makanan yang mengandung karbohidrat kompleks lebih lambat untuk dicerna dan diserap tubuh sehingga memiliki IG yang rendah. Namun beberapa makanan yang tergolong mengandung karbohidrat kompleks seperti kentang rebus dan roti ternyata memiliki kecepatan untuk dicerna dan diserap hampir sama dengan maltosa. Oleh karena itulah konsep indeks glikemik mulai diperkenalkan untuk melihat gambaran tentang hubungan karbohidrat dalam makanan dengan kadar glukosa darah Brand-Miller, 2000. Indeks glikemik pangan IG adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat memiliki IG tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat memiliki IG rendah. Indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang sehat, penderita diabetes melitus, atlet dan penderita obesitas kelebihan berat tubuh Rimbawan dan Siagian, 2004. 13 Pengenalan karbohidrat berdasarkan efek terhadap kadar glukosa darah dan respon insulin berdasarkan IG-nya berguna sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Indeks glikemik juga dapat didefinisikan sebagai rasio antara luas kurva respon glukosa darah setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung 50 gram karbohidrat terhadap luas kurva respon glukosa darah setelah mengkonsumsi 50 gram glukosa murni, pada hari yang berbeda dan pada orang yang sama. Kedua tes tersebut dilakukan pada pagi hari setelah puasa 10 jam dan penentuan kadar gula ditentukan selama dua jam. Dalam hal ini, glukosa atau roti tawar sebagai standar nilai 100 dan nilai makanan yang diuji merupakan persen terhadap standar tersebut Truswell, 1992. Menurut Foster-powell, et al. 2002, bahan pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai IG-nya sebagai berikut: a bahan pangan dengan nilai IG rendah 55; b bahan pangan dengan nilai IG sedang 55-69 dan c bahan pangan dengan nilai IG tinggi 70. Beberapa faktor yang mempengaruhi IG pangan menurut Rimbawan dan Siagian 2004 adalah cara pengolahan ukuran partikel dan tingkat gelatinisasi pati, perbandingan amilosa dengan amilopektin, kadar gula, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan. Menurut Ragnhild et al. 2004, faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya indeks glikemik suatu bahan pangan adalah daya cerna pati, interaksi antara pati dan protein, jumlah dan jenis lemak, kadar gula dan serat pangan serta bentuk fisik dari bahan pangan. Proses pengolahan dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Dampak dari perubahan tersebut adalah perubahan daya serap zat gizi. Pengolahan akan meningkatkan kadar IG pangan karena melalui proses pengolahan struktur pangan menjadi lebih mudah untuk dicerna dan diserap sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat. Ukuran partikel juga mempengaruhi proses gelatinasi pati. Ukuran partikel yang semakin kecil akan memudahkan terjadinya degradasi oleh enzim sehingga semakin mudah dicerna dan diserap. Oleh karena itu, semakin kecil 14 ukuran partikel maka IG pangan semakin tinggi. Pada umumnya pangan sumber karbohidrat memerlukan proses pengolahanpemasakan sebelum dikonsumsi. Selama pemasakan atau pemanasan akan mengakibatkan proses gelatinisasi pati. Dengan pecahnya granula pati ini maka molekul pati akan lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan usus. Dengan demikian proses pemasakan dan pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan IG pangan. Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa lebih tinggi dibandingkan pangan dengan kadar amilopektin lebih tinggi. Sebaliknya apabila kadar amilopektin pangan lebih tinggi maka respon gula darah akan meningkat Miller et al., 1992. Pangan dengan kadar gula sukrosa lebih tinggi ternyata tidak menaikkan kadar glukosa darah lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat kompleks lainnya seperti roti. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan pendapat umum bahwa gula dapat menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat. Hal ini disebabkan sukrosa memiliki IG sedang. Pangan yang mengandung sukrosa dalam jumlah besar memiliki IG mendekati 60. Keberadaan serat pangan ternyata memberikan pengaruh pada kadar glukosa darah Fernandes, 2005. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat dan respon glukosa darah pun akan lebih rendah IG cenderung lebih rendah. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak dan protein tinggi respon glikemiknya cenderung rendah Rimbawan dan Siagian, 2004. Pangan berlemak tinggi, apapun jenis dan IG-nya rendah maupun tinggi, perlu dikonsumsi secara bijaksana. 15 Keberadaan zat anti gizi pada pangan juga akan menghambat terjadinya proses pencernaan sehingga respon gula darah akan lebih rendah Colagiuri, 1990. Zat anti gizi seperti oligosakarida penyebab flatulensi rafinosa, stakiosa dan verbaskosa tidak dapat dicerna oleh tubuh karena tubuh tidak memiliki enzim pencernanya yaitu α-galaktosidase. Oligosakarida tersebut akan difermentasi oleh mikroflora usus menghasilkan gas karbondioksida, hidrogen, sejumlah kecil metan dan asam lemak rantai pendek sehingga menurunkan pH lingkungannya Rungkat et al., 1993. Hal ini mengakibatkan perubahan komposisi mikroflora usus, dimana persentase bakteri menguntungkan seperti bakteri asam laktat meningkat, sedangkan bakteri yang patogen menurun. F. PENGUKUSAN Cara pengolahan berpengaruh terhadap nilai IG produk yang dihasilkan. Sebagian besar hasil produk bakery diolah dengan cara dipanggang. Cara lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk bakery adalah menggoreng to fry dan mengukus to steam Vonny, 2006. Prinsip pengolahan dengan cara pengukusan adalah dengan menggunakan uap air dari air panas bersuhu 100 o C dengan lama yang bervariasi. Pengukusan merupakan salah satu cara pemasakan bahan. Dalam proses pemasakan terjadi penurunan nilai gizi tergantung pada suhu dan lamanya proses pemasakan. Ada tiga jenis reaksi yang dapat menurunkan nilai gizi selama proses pemanasan atau pemasakan yaitu 1 oksidasi asam lemak; 2 denaturasi protein berupa perubahan ikatan asam amino sehingga absorpsi terganggu dan terbentuknya ikatan-ikatan baru sehingga enzim pencernaan tidak mampu lagi mencernanya dan 3 reaksi Maillard Winarno, 1997. Dalam pengukusan diterapkan proses suhu tinggi dan penambahan air sehingga menyebabkan proses gelatinisasi pati Harris dan Karmas, 1989. Pada waktu pengukusan juga terjadi penyerapan air atau uap air oleh bahan. Bahan yang dikukus dalam waktu yang lebih lama akan memberikan kesempatan kepada bahan tersebut untuk kontak dan menyerap uap air lebih besar sehingga mengakibatkan peningkatan kadar air bahan Lukman, 1992. 16 Menurut Fennema 1985, proses pengukusan dapat menarik sebagian udara dalam jaringan tanaman sehingga tekanan turgor sel berkurang. Hal ini menyebabkan jaringan menjadi lunak. Penarikan udara akan mendegradasi sebagian dinding sel sehingga jaringan lebih poros. Proses pemberian panas dengan pengukusan akan menyebabkan berkurangnya komponen yang mudah menguap, terjadinya oksidasi dan hidrolisa yang menyebabkan perubahan flavor dan warna.

1. Produk Olahan Kukus