Pengelolaan hutan multi-stakeholder Tinjauan Pustaka

4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 lima belas per seratus 5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air 6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai Kegiatan yang dapat maupun dilarang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung menurut Keppres No. 32 tahun 1990 adalah: Kegiatan yang dilarang Kegiatan yang dapat dilakukan Di dalam kawasan hutan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung Pasal 37 ayat 1 Di dalam kawasan lindung dapat dilakukan kegiatan eksplorasi mineral dan air tanah serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan: 1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. 2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan 3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan 4. Perlindungan dan konservasi hutan Menurut PP No. 44 tahun 2004 ayat 1 kegiatan yang perencanaan hutan meliputi: a. Inventarisasi hutan b. Pengukuhan kawasan hutan c. Penatagunaan kawasan hutan d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan e. Penyusunan rencana kehutanan. Setiap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidak ada definisi yang jelas tentang arti atau definisi yang pasti dan lengkap dari pengelolaan hutan.

E. Pengelolaan hutan multi-stakeholder

Menurut Johnson and Scholes 2005 stakeholder adalah sekumpulan orang atau kelompok yang membentuk organisasi tertentu untuk mencapai tujuan organisasi ataupun untuk memenuhi tujuan pribadi anggota organisasi tersebut. Yang termasuk dalam stakeholder pengelola hutan adalah komunitas lokal, pemerintah, lemabaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, BUMND, koperasi dan usaha swasta atau dapat lebih jelas terlihat pada gambar berikut: Gambar 4. Gambaran pengelolaan hutan multi-level Dari gambar di atas dapatlah dikatakan bahwa perlu adanya pembangunan kelembagaan antar stakeholder dalam pengelolaan kawasan hutan tertentu. Sistem pengelolaan hutan tidak saja multi-stkeholder, tetapi juga di berbagai tingkatan multi-level dan lintas tingkatan PT. Graha Manunggal Wirasembada, 2001. Pada tingkat nasional, kelembagaan yang mengelola bidang kehutanan berada di bawah Departemen Kehutanan, pada tingkat propinsi di bawah Dinas Kehutanan Propinsi dan pada tingkat Kabupaten di bawah Dinas Kehutanan Kabupaten. Dinas Kehutanan Propinsi bertanggung jawab pada Gubernur serta kepada Menteri Kehutanan kaitannya dengan tugas pembantuan. Di tingkat Kabupaten, Dinas Kehutanan bertanggung jawab pada Bupati Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah Kutai Barat, 2001. Kebijakan harus didukung dengan mekanisme tata praja yang berorientasi pada pada transparansi, efektifitas dan pertanggung-gugatan akuntabilitas Desa LSM Perguruan Tinggi Pemda koperasi Swasta desa kecamatan daerah nasional BUM N Komunitas global Lembaga Publik di tingkat pusat: Fungsi koordinasi Lembaga independen: LSM, universitas Konvensi perjanjian internasional Instrumen kebijakan pusat Instrumen kebijakan daerah Lembaga publik tingkat Kabupaten Lembaga pemerintah di daerah Lembaga swasta pro-konservasi Proses publik untuk menjamin akuntabilitas Program konservasi sumberdaya hutan: pengelolaan kawasan lindung, pemanfaatan berkelanjutan Masalah lapangan: Tata batas, konflik SDH, pembagian biaya dan manfaat, dsb Umpan balik publik. Gambar berikut menyajikan data skema tata praja yang menjamin pengurusan hutan yang bertanggung-gugat Putro, 2004: Gambar 5. Skema tata praja konservasi sumberdaya hutan Kesulitan yang dialami oleh pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah: 1. Luasnya cakupan kawasan konservasi di Indonesia 2. Minimnya dana untuk konservasi 3. Terbatasnya sumberdaya manusia 4. Kuatnya ego departemen sektoral seperti Departemen Pertambangan atau Departemen Pertanian untuk mengeksploitasi kawasan konservasi, yang memuncukan konflik antar departemen, disamping inter Departemen Kehutanan sendiri. 5. Lemahnya penegakan hukum Anonymous, 2003. Implikasi kebijakan pembangunan Negara Indonesia yang bersifat sektoral dan sentralis dari pengelolaan sumberdaya alam telah membuat tiadanya ruang bagi masyarakat untuk memberikan kontrol dan lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan Noorhalis, 2002.

F. Desentralisasi dan peran serta masyarakat di dalam pengelolaan hutan