1.3 Konflik melalui pendekatan kebijakan 1.3.1 Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu

yang melaksanakan kegiatan rekonstruksi batas tersebut tidak melibatkan pihak desa dan juga masyarakat, hasilnya terjadinya pembabatan kebun rotan milik masyarakat untuk pemasangan pal batas. Menurut Undang Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 22 menyebutkan bahwa tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Juga menurut PP No. 34 tahun 2002 pasal 12 menyebutkan bahwa pembagian hutan ke dalam blok- blok, terdiri dari blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya. HLGL pembagian kawasannya belum sampai pada tahap pembagian hutan berdasarkan blok- blok pengelolaan. Maka Dinas Kehutanan sebagai stakeholder yang bertugas merancang pengelolaan hutan lindung maka dirasakan perlu untuk memasukkan kegiatan penataan kawasan HLGL ke dalam blok-blok yang bertujuan untuk mempermudah kegiatan pengelolaan. Kegiatan pengukuhan kawasan HLGL yang telah ada sekarang menunjukkan juga bahwa masih lemahnya peran dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Pasir. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kali penataan batas dilakukan hasil yang didapat masih belum temu gelang. E. 1.3 Konflik melalui pendekatan kebijakan E. 1.3.1 Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu Dalam pemanfaatan Hutan Lindung menurut UU No. 41 tahun 1999 pasal 26 dan PP N.34 tahun 2002 pasal 18, pemanfaatan yang dapat dilakukan dalam hutan lindung berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan non kayu. Juga PP No. 34 tahun 2002 menambahkan bahwa pemanfaatan yang dilakukan di dalam hutan lindung hanya dapat dilakukan dalam blok pemanfaatan. Selama ini kawasan hutan lindung hanya dimanfaatkan oleh masyarakat desa sekitar dan dalam hutan yaitu Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Desa Mului. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat ketiga desa tersebut adalah berburu satwa, mencari gaharu, mencari burung, berladang, mengumpulkan madu, dan mencari rotan. Karena belum adanya penataan batas yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Pasir, ke dalam blok-blok maka masyarakat sampai sekarang dapat bebas melakukan kegiatan di atas. Masyarakat desa sekitar dan dalam kawasan berburu satwa diantaranya kancil, rusa, landak, kijang, burung. Menurut PP No. 34 tahun 2002 pasal 21 kegiatan perburuan satwa di dalam hutan lindung diperkenankan dengan syarat perburuan dilakukan dengan cara tradisional dan satwa yang diburu bukan satwa yang dilindungi. Tabel 9. Pemanfaatan satwa yang dilakukan oleh masyarakat Jenis satwa Status Digunakan untuk Kuau Argusianus argus Dilindungi Daging dikonsumsi, bulu menjadi hiasan rumah Murai batu Tidak dilindungi Dijual Madi hijau Tidak dilindungi Dijual Cucak kelabu Tidak dilindungi Dijual, dikonsumsi Kucica hutan Tidak dilindungi Dijual Kucica kampung Tidak dilindungi Dijual, dikonsumsi Merbah mata merah Tidak dilindungi Dijual, dikonsumsi Berinji kelabu Tidak dilindungi Dijual Punai Tidak dilindungi Dijual Delimukan jamrud Tidak dilindungi Dijual Kancil Tragulus napu Dilindungi Dikonsumsi Babi hutan Sus barbatus Tidak dilindungi Dijual, dikonsumsi Kijang Muntiacus muntjak Dilindungi Dijual, dikonsumsi Landak Hystrix brachyura Dilindungi Dikonsumsi Rusa Cervus timorensis Dilindungi Dijual, dikonsumsi Melihat tabel di atas dapat dilihat bahwa masyarakat desa sekitar dan dalam hutan melakukan perburuan satwa jenis-jenis kebanyakan yang dilindungi. Dinas Kehutanan bekerjasama dengan BKSDA Sekesi Konservasi Pasir perlu melakukan penyuluhan khusus tentang jenis-jenis yang dilindungi tersebut. Serta BKSDA perlu melakukan pengawasan secara ketat dalam peredaran satwa dari kawasan HLGL dengan peninjauan ke kawasan HLGL dan melakukan penertiban terhadap para pengumpul di pasar.

E. 1.3.2 Penggunaan kawasan