Karakteristik Stakeholder Pengelolaan HLGL 1. Masyarakat Desa Rantau Layung
Kawasan HLGL memerlukan satu unit pengelola karena dari sekian banyaknya stakeholder HLGL tidak ada satu pun yang melakukan kegiatan
pengelolaan secara menyeluruh. Stakeholder HLGL hanya melakukan hanya di salah satu kegiatan pengelolaan hutan.
Kaitannya dalam
pembentukan satu unit pengelola, Pemerintah Kabupaten Pasir mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Pasir No. 340 tahun 2005 tentang
pembentukan kelompok kerja pengelolaan hutan lindung gunung lumut dan Surat Keputusan Bupati pasir No. 357 tahun 2005 tentang pembentukan tim forum sistem
informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial Kabupaten Pasir. Kebijakan di atas dapat digunakan sebagai langkah awal dari pelibatan seluruh
stakeholder Kabupaten Pasir dalam mengelola kawasan HLGL secara keseluruhan. Melalui kebijakan tersebut Pemerintah Kabupaten Pasir diharapkan mampu
membentuk suatu unit pengelola khusus atau KPHL HLGL yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati Pasir.
B. Karakteristik Stakeholder Pengelolaan HLGL B.1. Masyarakat Desa Rantau Layung
Desa Rantau Layung terletak di sekitar kawasan HLGL yang sebagian wilayahnya adalah kawasan HLGL. Secara administratif Desa Rantau Layung berada
di Kecamatan Batu Sopang serta di utara berbatasan dengan Desa Pinang Jatus, Desa Long Sayo, dan Tiwei, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rantau Buta, sebelah
barat berbatasan dengan Desa Long Gelang, Kecamatan Kuaro, dan sebelah sebelah barat berbatasan dengan Desa Long Sayo, Desa Prayon dan Desa Uko.
Menurut data statistik kecamatan Desa Rantau Layung memiliki luas 183,18 km
2
. Jumlah kepala keluarga Desa Rantau Layung adalah 58 kepala keluarga dengan jumlah penduduk total 149 jumlah jiwa. Desa Rantau Layung mayoritas adalah suku
Paser Kendilo.
11
Sebelum menempati daerah yang sekarang Desa Rantau Layung terletak di rantau sungai Kesungai. Pada masa penjajahan Belanda Mereka hidup terpencar
11
Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
antara satu dengan yang lainnya tetapi masih dalam satu daerah. Kemudian Belanda menawarkan kepada warga Rantau Layung untuk pindah ke Long Ikis atau Batu
Kajang, karena di sana akses untuk keluar lebih mudah. Tetapi pada tahun 1945 warga Rantau Layung memilih untuk kembali ke daerahnya semula, tetapi hingga
sekarang masih ada warga Rantau Layung yang memutuskan untuk menetap di Long Ikis dan Batu Kajang. Asal kata desa tersebut adalah karena adanya pohon layung,
sejenis duren, yang ada di daerah asal mereka dulu. Warga Rantau Layung bermata pencaharian utama sebagai petani di ladang
mereka yang ditanami oleh padi ladang. Ladang mereka terletak di sekitar desa mereka tetapi tidak berada di dalam kawasan HLGL. Lahan tempat mereka berladang
bervariasi luasnya yaitu sekitar ±1 ha setiap kepala keluarga tetapi dapat lebih luas
sesuai dengan kemampuan dari setiap kepala keluarga tersebut. Desa Rantau Layung menerapkan kebijakan adat bahwa setiap kepala keluarga
berhak memiliki 1 ha kebun. Kebun tersebut oleh setiap kepala keluarga ditanami rambutan, durian, pisang, singkong, ubi, rotan, dan juga pinang.
Warga Rantau Layung sangat tergantung pada HLGL karena tanpa HLGL warga Rantau Layung tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tambahan mereka.
Cara yang mereka lakukan adalah warga Rantau Layung sangat bergantung pada HLGL. Hal ini dapat dilihat dari cara memenuhi kebutuhan biaya hidup
tambahannya, warga Rantau Layung melakukan kegiatan mengambil hasil hutan ke dalam kawasan HLGL. Adapun hasil hutan yang mereka ambil berupa burung, rotan,
madu, gaharu, menjerat binatang seperti kancil, rusa, kijang, babi hutan, dan juga ikan.
Madu yang dimanfaatkan oleh warga Rantau Layung diambil dari pohon madu Koompasia malacensis yang berada tersebar di dalam maupun di sekitar kawasan
HLGL. Karena hal tersebut maka pohon madu dikeramatkan oleh warga Rantau Layung dan akan dikenai denda yang sangat besar bila ada yang menebang pohon
tersebut karena itu sama saja dengan membunuh kehidupan dari suatu keluarga.
Sumber 2: http:bird.incoming.jp08jpgl1063.jpg Gambar 8. Pohon madu
Koompasia malacensis[1] dan burung kuau Argusianus argus[2]
Setiap kepala keluarga atau orang yang telah dewasa akan memiliki satu atau lebih pohon madu sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Khusus untuk orang
yang baru dewasa dapat mencari pohon madu yang ada di dalam kawasan yang belum dimiliki oleh warga yang lain dan segera melaporkannya kepada ketua adat pohon
madu akan mulai dibersihkan pada waktu akhir musim hujan dan lebah akan mulai menghinggapi pohon madu tersebut pada waktu awal musim kering dan madu akan
siap dipanen pada saat akhir musim kering atau awal musim hujan. Tetapi dalam satu tahun belum tentu pohon madu akan menghasilkan sarang madu karena tergantung
dari banyak sedikitnya hujan yang turun di daerah tersebut. Semakin sedikit atau tidak turun hujan maka kesempatan untuk mendapatkan madu akan lebih besar.
Dalam satu pohon madu dapat dijumpai 1 atau lebih sarang madu yang memiliki hasil madu kira-kira 5 liter sampai dengan 20 liter dengan harga 1 liter
madu di dalam desa dijual dengan harga Rp. 50.000. Rotan yang dimanfaatkan oleh warga Rantau Layung berasal dari luar kawasan
HLGL tetapi tidak jarang dari mereka juga mengambil rotan dari dalam kawasan. Sebab rotan yang ada di dalam kawasan HLGL relatif masih besar dan panjang-
2 1
panjang. Mereka mengambil rotan dengan tidak terjadwal, artinya mereka hanya mengambil rotan pada saat mereka membutuhkan saja.
Warga Rantau Layung menangkap burung di dalam kawasan HLGL. Burung yang mereka tangkap biasanya dijual kepada pengumpul yang berasal dari kota Pasir
yang datang khusus ke dusun mereka walau tidak pasti kapan. Biasanya warga Rantau Layung menangkap burung pada musim kering, karena musim kering
memudahkan mereka untuk melihat burung yang akan mereka tangkap. Burung merak kalimantan atau burung kuau Argusianus argus diburu khusus
untuk dijadikan bahan pangan mereka atau bulu dari burung tersebut dijadikan hiasan di rumah-rumah. Untuk jenis burung yang dijual biasanya adalah murai batu, bubut
alang-alang selain itu burung-burung tersebut dijadikan binatang piaraan mereka karena bunyi yang bagus menurut mereka.
Berburu hewan buruan seperti kijang kancil Tragulus napu, rusa Cervus timorensis, babi hutan Sus barbatus, dan juga kijang Muntiacus muntjak
dilakukan oleh warga Rantau Layung untuk memenuhi kebutuhan protein mereka dan juga sebagai sumber penghasilan tambahan. Cara yang paling sering mereka lakukan
adalah dengan jerat. Hasil buruan dibawa mereka langsung ke pasar dan dijual.
Tabel 4. Interaksi masyarakat Desa Rantau Layung dengan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut
Keluarga Berladang Mengumpulkan madu
Berburu Mencari gaharu
Mencari burung
Mencari rotan
1
__
9 9
9 9
9 2
__
9 9
__ __
9 3
__
9
__ __
9 9
4
__
9
__ __
9 9
5
__
9 9
9 9
__
6
__
9 9
__ __
9
B.2 Masyarakat Desa Pinang Jatus
Desa Pinang Jatus terletak di dalam wilayah administratif Kecamatan Long Kali, yang berbatasan di utara dengan Desa Muara Lambakan, dan Perkuin, sebelah
selatan dengan Desa Tiwei dan Desa Rantau Layung, sebelah timur dengan Desa Belimbing, dan sebelah barat dengan Desa Swanselutung.
Desa Pinang Jatus terdiri dari 60 kepala keluarga dengan jumlah total penduduk 283 jumlah jiwa. Mayoritas penduduk Desa Pinang Jatus adalah suku Paser Telake.
Dinamakan Desa Pinang Jatus karena pada jaman dahulu kala ada seseorang yang melanggar perturan adat di desa tersebut sebanyak 100 real, tetapi karena tidak
mampu maka orang tersebut mengganti dengan 100 batang pohon pinang. Pada tahun 1960 agama Kristen masuk ke desa tersebut, maka sebagian warga Desa Pinang Jatus
memeluk agama Kristen. Banyak dari warga Desa Muara Lambakan yang tidak mau memeluk agama Islam pindah ke Desa Pinang Jatus.
Berbeda dengan Dusun Mului yang berada di dalam kawasan dan Desa Rantau Layung yang sebagian wilayahnya terdiri merupakan kawasan HLGL, maka Desa
Pinang Jatus adalah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL dengan jarak kurang lebih 20 km dari pusat desa.
Bertani padi ladang di sekitar desa adalah mata pencaharian utama mereka. Dengan pembagian 1 ha atau lebih sesuai dengan kemampuan dari masing-masing
kepala keluarga. Warga Desa Pinang Jatus tidak terlalu tergantung dengan kawasan HLGL
karena jarak yang jauh antara desa dengan kawasan. Hampir semua kebutuhan hidup warga Desa Pinang Jatus dapat dicukupi dari daerah sekitar mereka. Akan tetapi
warga Pinang Jatus tetap mengandalkan hasil hutan yang berasal dari kawasan HLGL sebagai sumber penghasilan tambahan mereka.
Tabel 5. Interaksi masyarakat Desa Pinang Jatus dengan kawasan HLGL
Keluarga Berladang Mengumpulkan madu
Berburu Mencari gaharu
Mencari burung
Mencari rotan
1
__ __
9 9
9 9
2
__ __
__ __
__
9 3
__ __
__ __
9 9
4
__ __
__ __
9 9
5
__
9 9
9 9
__
B.3 Masyarakat Dusun Mului
Dusun Mului merupakan komunitas suku Paser yang berada di dalam kawasan HLGL, yang secara administratif masuk ke dalam Desa Swanselutung, Kecamatan
Muara Komam, dengan luas wilayah 496,78 km
2
. Mempunyai batas wilayah utara berbatasan dengan Desa Kepala Telake, selatan dengan Desa Muara Payang, timur
dengan Desa Long Sayo, dan barat dengan Desa Lusan
12
. Dusun Mului terdiri dari 18 kepala keluarga dengan 118 jumlah jiwa yang
menempati 58 rumah yang berada di sepanjang jalan logging PT. Rizky Kacida Reana kilometer 58. Dusun Mului termasuk RT 8 yang merupakan bagian dari Desa
Swanselutung. Pada tahun 1970-an warga Mului hidup berpencar antara satu keluarga dengan
yang lainnya yaitu di daerah hulu Sungai Sowan dan Sungai Mului atau yang lebih dikenal dengan daerah Mului Lama. Mereka beralih tempat pada tahun 2001 atas
bantuan dari Dinas Sosial Kabupaten Pasir warga Mului direlokasi dari tempatnya yang lama ke tempat yang baru dalam bagian dari proyek masyarakat tertinggal.
Dinas Sosial berrtujuan menempatkan mereka ke daerah yang lebih baik. Hal ini dikarenakan lingkungan daerah yang lama dirasakan tidak sehat lingkungan, hal ini
dapat dilihat dari jumlah penduduk yang relatif tidak bertambah dari tahun ke tahun karena banyaknya balita masyarakat Dusun Mului yang menderita sakit penyakit dan
meninggal sebelum tumbuh remaja.
12
Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
Gambar 9. Sejarah perpindahan warga Dusun Mului Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
Masyarakat Dusun Mului hidup dari bercocok tanam padi ladang yang ditanam secara bergulir dari satu daerah ke daerah yang lain, yang meraka namakan ladang
bergulir. Mereka menolak ungkapan ladang berpindah karena apa yang mereka lakukan berbeda, yaitu dengan kembali ke tempat semula setelah berpindah beberapa
kali. Luas dari ladang mereka berbeda-beda antara satu keluarga dengan yang lainnya tergantung kesanggupan masing keluarga.
Tanaman lain yang menjadi komoditi warga Mului berupa kopi, rotan, pisang, durian, elai, dan tanaman buah-buahan lainnya. Tanaman tersebut mereka tanam di
sekitar dusun mereka tempati. Hasil dari tanaman buah tersebut dijual dan dapat menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat. Selain bertani mereka juga berternak
ayam karena mudah dipelihara dan dapat mencari makanannya sendiri. Warga Mului sangat bergantung pada HLGL. Hal ini dapat dilihat dari untuk
memenuhi kebutuhan biaya lainnya warga Mului mencukupi kebutuhannya dengan cara mengambil hasil hutan ke dalam kawasan HLGL. Adapun yang mereka ambil
seperti burung, rotan, madu, gaharu, menjerat binatang seperti kancil, rusa, kijang, babi hutan, dan juga ikan.
Warga Mului memiliki kebijakan adat sendiri dalam mengatur pola pemanfaatan hasil hutan yang bertujuan untuk mencegah terjadi kerusakan hutan dan
juga untuk kesejahteraan masyarakat Mului sendiri. Madu yang dimanfaatkan oleh warga Mului diambil dari pohon madu
Koompasia malacensis yang berada tersebar di dalam kawasan HLGL. Karena hal tersebut maka pohon madu dikeramatkan oleh warga Mului dan akan dikenai denda
yang sangat besar bila ada yang menebang pohon tersebut karena itu sama saja dengan membunuh penghidupan dari suatu keluarga.
Setiap kepala keluarga atau orang yang telah dewasa akan memiliki satu atau lebih pohon madu sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Khusus untuk orang
yang baru dewasa dapat mencari pohon madu yang ada di dalam kawasan yang belum dimiliki oleh warga yang lain dan segera melaporkannya kepada ketua adat pohon
madu akan mulai dibersihkan pada waktu akhir musim hujan dan lebah akan mulai menghinggapi pohon madu tersebut pada waktu awal musim kering dan madu akan
siap dipanen pada saat akhir musim kering atau awal musim hujan. Tetapi dalam satu tahun belum tentu pohon madu akan menghasilkan sarang madu karena tergantung
dari banyak sedikitnya hujan yang turun di daerah tersebut. Semakin sedikit atau tidak turun hujan maka kesempatan untuk mendapatkan madu akan lebih besar.
Dalam satu pohon madu dapat dijumpai 1 atau lebih sarang madu yang memiliki hasil madu kira-kira 5 liter sampai dengan 20 liter dengan harga 1 liter
madu di dalam desa dijual dengan harga Rp. 50.000. Rotan yang dimanfaatkan oleh warga Mului berasal dari luar kawasan HLGL
tetapi tidak jarang dari mereka juga mengambil rotan dari dalam kawasan. Sebab rotan yang ada di dalam kawasan HLGL relatif masih besar dan panjang-panjang.
Mereka mengambil rotan dengan tidak terjadwal, artinya mereka hanya mengambil rotan diwaktu senggang mereka saja.
Warga Mului menangkap burung di kawasan HLGL. Burung yang mereka tangkap biasanya dijual kepada pengumpul yang berasal dari kota Pasir yang datang
khusus ke dusun mereka walau tidak pasti kapan. Biasanya warga Mului menangkap burung pada musim kering, karena musim kering memudahkan mereka untuk melihat
burung yang akan mereka tangkap. Burung merak Kalimantan atau burung kuau diburu khusus untuk di jadikan
pangan mereka atau bulu dari burung tersebut dijadikan hiasan di rumah-rumah. Untuk jenis burung yang dijual biasanya adalah murai batu, dan punai selain itu
burung-burung tersebut dijadikan binatang piaraan mereka karena bunyi yang menurut mereka bagus.
Berburu hewan buruan seperti kijang kancil Tragulus napu, rusa Cervus timorensis, babi hutan Sus barbatus, dan juga kijang Muntiacus muntjak
dilakukan oleh warga Mului untuk memenuhi kebutuhan protein mereka dan juga sebagai sumber penghasilan tambahan. Cara yang paling sering mereka lakukan
adalah dengan jerat. Hasil buruan dibawa mereka langsung ke pasar dan dijual.
Tabel 6. Interaksi Masyarakat Dusun Mului dengan Kawasan HLGL Keluarga Berladang Mengumpulkan
madu Berburu Mencari
gaharu Mencari
burung Mencari
rotan 1
9 9
9 9
9 9
2 9
9 9
__ __
__
3 9
9
__ __
9
__
4 9
9
__
9 9
9 5
9 9
__
9 9
__
6 9
9
__
9
__
9 7
9
__
9 9
__
9 8
9 9
9 9
__
9
B.4 Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir adalah instansi pemerintah yang langsung dibawahi oleh Bupati Kabupaten Pasir. Sesuai dengan surat keputusan Bupati Pasir
nomor 17 tahun 2001 tentang uraian tugas Dinas Kehutanan Pasir, bahwa Dinas Kehutanan Pasir mempunyai tugas melaksanakan kewenangan otonomi daerah
kabupaten di bidang kehutanan sesuai dengan data inventarisasi kewenangan Pemerintahan Kabupaten Kabupaten Pasir sebagai daerah otonom, yang ditetapkan
oleh Bupati merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini. Dinas ini juga mempunyai fungsi sebagai perumus kebijaksanaan teknis sesuai dengan lingkup
tugasnya, penerbitan rekomendasi teknis perijinan dan pelayangan umum serta pembinaan terhadap unit pelaksanaan teknis dinas dan cabang dinas dalam lingkup
tugasnya. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dibagi menjadi lima sub dinas yang terdiri
dari: 1. Sub Dinas Pembinaan Hutan
2. Sub Dinas Penyuluhan 3. Sub Dinas Pengusahaan Hutan
4. Sub Dinas Penataan Hutan 5. Sub Dinas Perlindungan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan
Pengelolaan HLGL dalam Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir secara langsung ditangani oleh Sub Dinas Perlindungan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan
yang memiliki tugas membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan sebagian tugas bidang perlindungan dan pengendalian kebakaran hutan sesuai dengan kebijaksanaan
teknis yang telah ditetapkan. Adapun fungsi dari sub dinas ini adalah: 1. Pengumpulan dan pensistematisan, pengolahan, dan penyajian data
2. Pengaturan dan perumusan cara penjagaan, pengawasan guna mewujudakan perlindungan hutan
3. Penghimpunan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah hutan dan kehutanan
4. Penyelesaian masalah yang berhubungan dengan sengketa hukum dan perundang-undangan kehutanan
5. Pengkordinasian upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan 6. Pengaturan dan perumusan bagi terwujudnya perlindungan flora dan fauna
7. Pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan bidang tugasnya 8. Pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Kepala Dinas
9. Pemberian penilaian dan penandatanganan BP3 bawahannya Sub Dinas Perlindungan Hutan dan pengendalian kebakaran hutan terdiri:
1. Seksi Pengamanan Hutan dan Monitiring 2. Seksi Pengeloaan Hutan Lindung
3. Seksi Kebakaran Hutan Seksi pengelolaan hutan lindung mempunyai tugas sebagai berikut:
1. Membantu kepala sub dinas sesuai dengan bidang tugasnya 2. Mengumpulkan, mensistematiskan, mengolah, dan menyajikan data
3. Mengatur, merumuskan pengelolaan hutan lindung, dan mengatur serta merumuskan bagi terwujudnya perlindungan flora dan fauna
4. Melaksanakan kegiatan yang yang sesuai dengan bidang tugasnya 5. Melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya maupun oleh kepala dinas
6. Memberikan penilaian dan menandatangani BP3 bawahannya
B.5 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pasir
Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah merupakan lembaga pemerintah daerah yang bertugas mengumpulkan semua data dan program yang
direncanakan oleh semua instansi-instansi pemerintah di wilayah Kabupaten Pasir. Bappeda merencanakan pembangunan wilayah Kabupaten Pasir dalam skala makro di
semua bidang kerja Kabupaten Pasir termasuk bidang kehutanan. Hasil yang didapat oleh Bappeda dituangkan dalam bentuk Program
Perencanaan Daerah Propeda dan juga dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten. Melalui Propeda dan RTRW, Bappeda menuangkan apa yang
menjadi keinginan dari masing-masing instansi pemerintah kabupaten dengan tujuan untuk menciptakan kesinergisan dan supaya tidak terjadi tumpang tindih kepentingan
masing-masing instansi. Wewenang
Bappeda berdasar Tupoksi tugas pokok dan fungsi Bappeda No.
14 tahun 2002 tentang fungsi Bappeda kabupaten Pasir adalah sebagai lembaga koordinatif dengan perencanaan daerah pada seluruh sektor Nooryashini et. al.,
2004. Dalam pengelolaan HLGL, Bappeda mengambil peran dan posisi sebagai perencana dan pembuat kebijakan tidak sebagai dinas teknis yang bekerja secara
operasional. Menurut Surat Keputusan Bupati Pasir No. 10 tahun 2000, tugas pokok Bappeda adalah membantu Bupati Pasir dalam menentukan kebijaksanaan di bidang
perencanaan pembangunan serta penilaian atas pelaksanaannya. Prinsipnya dalam
suatu program kerja atau kegiatan, Bappeda berwenang dalam masalah makro sedangkan teknisnya dinas terkait yang melaksanakan.
Dalam pengelolaan Kabupaten Pasir, Bappeda bekerjasama dengan instansi- instansi lainnya seperti Dinas Perhubungan, Sub Dinas Pengairan, Kantor Pertanahan,
Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Pasir, Dinas Bapedalda Pasir, Badan Seketariat
Daerah Pasir, dan Dinas Kehutanan Pasir. Dan untuk pengelolaan kawasan HLGL Bappeda bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Pasir, Tropenbos Internasional
Indonesia, dan Badan Pengedalian Dampak Lingkungan Pasir dalam bentuk pelatihan GIS Geographic Information System.
Dalam bidang kerjanya Bappeda tidak mengeluarkan kebijakan yang mengatur secara langsung pengelolaan HLGL, karena Bappeda hanya berbentuk
badan atau lembaga, bukan dinas terkait dengan bidang kehutanan. Bappeda mengumpulkan setiap data yang ada dari Dinas Kehutanan yang dituangkan dalam
RTRW Kabupaten Pasir. Sesuai dengan Surat Keputusan Bupati No. 357 tahun 2005 tentang
Pembentukan Tim Forum Sistem Informasi Geografis Pasir dalam Kegiatan Penyusunan Basis Data Spasial Kabupten Pasir maka dapat dilihat adanya kerjasama
antara seluruh instansi pemerintah untuk menyusun database masing-masing informasi yang hasil akhirnya adalah terciptanya RTRW Kabupaten Pasir tahun
2006-2011. Karena selama ini yang menjadi penyusun utama RTRW adalah Bappeda. Dengan adanya forum ini, RTRW Kabupaten Pasir akan menjadi lebih
valid karena melibatkan semua instansi pemerintah daerah yang mewakili kepentingannya masing-masing. Maka tumpang tindih kepentingan dan konflik lahan
dapat dihindari. Menurut Undang Undang No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang pasal 36
menyebutkan bahwa adalah hak setiap orang untuk mengetahui rencana tata ruang dan berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam buku RTRW Kabupaten Pasir tahun 2001, dapat dilihat bahwa pelibatan masyarakat tidak ada sama sekali. Hanya camat saja
yang mewakili masyarakat, padahal apa yang diinginkan oleh masyarakat belum tentu dapat terakomodir oleh camat.
Desa-desa di sekitar kawasan HLGL tidak mengetahui bahwa desa mereka menjadi bagian dari kawasan lindung menurut RTRWK tahun 2001. Untuk pelibatan
masyarakat di desa-desa sekitar Kawasan HLGL, cukup ketua adat beserta wakilnya saja yang mengetahui rencana penyusunan RTRW Kabupaten Pasir. Ini berguna
untuk menghindari ketidaktahuan masyarakat antara kawasan HLGL dengan lahan yang diusahakan oleh masyarakat untuk berladang dan berkebun rotan.