TINJAUAN PUSTAKA Off-Odor Bau daging dan performa itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta kombinasi komposisi antioksidan (Vitamin A, C, dan E) dalam pakan
terjadi atau muncul sebagai akibat dari adanya interaksi antara makanan dan manusia.
Sensasi rasa taste ditimbulkan oleh senyawa-senyawa kimia yang
mudah larut atau yang tidak volatil non-volatile. Sensasi ini diterima oleh indera
pencecap lidah. Empat rasa dasar yang umum dikenal oleh manusia yaitu manis, pahit, asam, dan asin. Kemudian sejalan dengan perkembangan budaya
manusia, diperkenalkan pula satu jenis rasa yang disebut dengan rasa umami lezat. Berbeda dengan rasa, sensasi bau
odor dihasilkan dari senyawa- senyawa yang bersifat volatil. Rangsangan senyawa-senyawa penghasil bau
ditangkap oleh indera penghidu atau penciuman hidung yang kemudian diteruskan ke saraf-saraf pusat. Pada awalnya manusia hanya mengenal empat
jenis bau, yakni harum, asam, tengik, dan hangus. Setelah itu berkembang menjadi tujuh. Bahkan sekarang ini telah teridentifikasi tidak kurang dari 50
sensasi odor Tortora dan Anagnostakos 1990. Jenis bau yang tertangkap
merupakan akibat dari pengaruh satu senyawa saja atau kombinasi dari berbagai ratusan senyawa flavor yang hingga kini telah teridentifikasi, misalnya untuk
flavor daging sapi terdapat lebih dari 1000 senyawa volatil Mottram 1998, untuk daging ayam tidak kurang dari 450 senyawa volatil Chen dan Ho 1998.
Perhatian dan kewaspadaan manusia terhadap sesuatu yang hendak dimakan, umumnya bermula dari penciuman. Setelah makanan dikunyah di
dalam mulut, sejumlah senyawa volatil dari makanan tersebut akan mengalir dalam rongga mulut, dan masuk pula ke rongga hidung dan ditangkap oleh epitel
olfaktori Gambar 1. Kedinamisan proses-proses biologis, kimia, dan fisika yang berlangsung
di dalam ataupun yang berasal dari luar bahan pangan akan sangat mempengaruhi kondisi flavornya. Bilamana pengaruh itu sampai menimbulkan
flavor yang berbeda dari kesan yang telah dikenal dari bahan itu, maka flavor tersebut dikategorikan sebagai
flavor yang menyimpang yang diistilahkan dengan sebutan
off-flavor Nii 1978; Kilcast 1993. Penyimpangan flavor yang berkaitan dengan penyimpangan rasa diberi istilah
off-taste; sedangkan yang berkaitan dengan bau
, off-odor.
Gambar 1 Anatomi sistem olfaktori. Sinyal dihasilkan oleh sekitar 1000 jenis sel-sel sensori yang melalui
cribriform masuk ke dalam bulbus olfaktori dimana akan disaring melalui
glomeruli sebelum diteruskan ke pusat olfaktori yang lebih tinggi Meilgaard
et al. 1999. Penetapan batas cita rasa antara flavor dan
off-flavor seringkali tidak mudah untuk dilakukan. Dari bahan makanan yang sama, bisa kepada
seseorang menimbulkan sensasi flavor, tetapi kepada orang yang lain, off-flavor.
Hal seperti ini menyebabkan pemahaman terhadap flavor dan off-flavor
dipandang sebagai sesuatu yang bersifat subyektif. Oleh sebab itu dalam mempelajari flavor dan
off-flavor, penetapannya dilakukan berdasarkan indikasi yang berlaku secara umum dalam suatu masyarakat Bernardo-Gil 1997.
Beberapa kesan off-flavor bahan pangan yang seringkali merupakan masalah
bagi konsumen yaitu seperti desinfektan, basi, berlumut, bau tanah, bau feses, rasa logam metalik, amis, bau cat, dan bau plastik.
Meskipun dampak negatif off-flavor dalam industri pangan sangat
signifikan, senyawa pembentuknya merupakan komponen yang sangat kecil dibandingkan dengan senyawa-senyawa lain dalam susunan komposisi zat-zat
makanannya. Menurut Teranishi 1978, komponen senyawa-senyawa flavor dalam suatu bahan makanan berkisar antara 10
-6
sampai 10
-14
persen. Hal ini cribriform
bulbus olfaktori
glomeruli saraf ke pusat
olfaktori
rongga turbinatas
epitel olfaktori
jauh lebih kecil dibandingkan dengan komponen zat-zat makanan lain seperti protein, lipid, karbohidrat, ataupun air, yang dapat mencapai 25 sampai 95
persen. Oleh karena itu penelitian-penelitian yang ditujukan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa
off-flavor seringkali merupakan tantangan utama bagi peneliti pangan, yang dalam melaksanakan penelitian-penelitian
tersebut sangat memerlukan penggunaan beberapa instrumen canggih seperti gas kromatografi GC atau kombinsasi gas kromatografi dan spektrometer
massa GC-MS.
Faktor Penentu Karakteristik dan Penyebab Off-odor pada Daging
Secara umum, pembentukan karakteristik off-odor pada daging dari
setiap spesies ternak disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti: genetik, pakan, perubahan kimia dalam daging, kontaminasi dengan lingkungan, dan aktivitas
mikroorganisme Sink 1979; Heath dan Reineccius 1986. Beberapa dari faktor tersebut dapat dimodifikasi atau dikontrol secara teknis atau relatif sedikit lebih
mudah, namun ada beberapa faktor yang untuk mengatasinya memerlukan kajian yang lebih mendalam dan prinsipil. Faktor-faktor penyebab
off-odor akibat terkontaminasi dengan lingkungan, seperti terkontaminasi dengan udara, air,
atau bahan-bahan kimia desinfektan, detergen, dalam mengatasinya lebih memerlukan pendekatan manajemen. Sedangkan, bilamana hal itu dipengaruhi
oleh faktor genetis atau perubahan-perubahan dalam daging, maka untuk mengatasinya diperlukan suatu penelitian yang cermat Mottram 1998.
Faktor Genetik Spesies
Sumbangan faktor genetik yang meliputi spesies dan jenis kelamin ternak terhadap sensasi
off-odor daging merupakan faktor yang memberi karakteristik spesifik
off-odor bagi setiap spesies ternak MacLeod 1986. Karakterisasi dengan analisis sensori oleh Bailey
et al. 1992 diperoleh bahwa terdapat perbedaan
odor yang signifikan yang dihasilkan dari pemanasan lemak sapi, babi, dan domba. Kesimpulan dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa
lemak domba yang didominasi oleh asam-asam lemak jenuh menghasilkan sedikit senyawa-senyawa karbonil; sedangkan, lemak babi yang kaya asam-
asam lemak tidak jenuh lebih banyak memproduksi senyawa-senyawa karbonil. Dua jenis
off-odor yang sangat berhubungan dengan spesies ternak, yaitu “boar taint” bau jantan pada ternak babi, dan “lamb odor” pada domba.
Pada daging yang berasal dari ternak babi jantan yang tidak dikastrasi terdeteksi suatu jenis
off-odor khas, yang baunya dideskripsi seperti bau keringat atau bau urin. Bau yang tidak disukai ini disebut sebagai bau jantan atau yang
dikenal dalam beberapa istilah seperti boar taint, boar odor, atau male sex odor
Bailey et al. 1992. Bau ini sangat terkait dengan fraksi nonsaponifabel yang
terkandung dalam jaringan lemak babi jantan. Reineccius 1979 menyebutkan beberapa senyawa yang sudah diidentifikasi berperan sebagai penyebab odor
boar taint adalah C
19
-16-ene steroid, 5 α-androst-16-ene-3-one androstenon,
dan 3 α-hydroxy-5α-androst-16-ene. Menurut Bailey et al. 1992 senyawa
C
19
-16 steroid disintesis di dalam sel-sel Leydig testes dan diangkut untuk disimpan ke dalam jaringan adiposa. Dalam penelitian terbaru diperoleh bahwa
boar odor disebabkan pula oleh beberapa senyawa lain, yaitu: androstenon, skatol, dan indol. Bahkan dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa
androstenon dan skatol merupakan dua senyawa yang sangat dominan dalam menghasilkan
boar odor. Analisis korelasi yang dilakukan didapatkan bahwa koefisien korelasi antara level androstenon lemak dan intensitas
boar taint berkisar 0.4 sampai 0.7 Nijssen 1991; Babol
et al. 1999. Analisis terhadap penyebab
off-odor pada daging domba ditemukan bahwa komponen asam-asam lemak sangat bertanggung jawab. Reineccius
1979 melaporkan bahwa komponen asam-asam lemak yang dideteksi dengan spektrometer massa dan diverifikasi melalui pengujian organoleptik, semuanya
menunjukkan asam 4-metil oktanoat dan 4-metil nonanoat terlibat dalam pembentukan
mutton odor. Semakin dewasa umur domba, semakin tinggi intensitas
mutton odor tersebut. Pengaruh
mutton odor ini sangat jelas terlihat pada industri peternakan domba di Amerika Serikat. Keterbatasan dalam meningkatkan permintaan
konsumen terhadap daging domba sangat disebabkan oleh adanya mutton odor,
odor yang sangat tidak disukai oleh sebagian besar konsumen daging di negara tersebut Reineccius 1979; Bailey
et al. 1992. Secara teoritis, Bailey
et al. 1992 melaporkan bahwa flavor karakteristik domba terkonsentrasi pada jaringan-jaringan adiposa. Namun ada pendapat lain
yang menyebutkan bahwa flavor tersebut berasal dari hidrolisis protein dan bahkan tidak terkait sama sekali dengan lemak. Pendapat demikian didukung
oleh beberapa penelitian yang memperlihatkan bahwa senyawa-senyawa yang mengandung sulfur merupakan komponen penting dalam penghasil
mutton odor
pada domba. Juga dikemukakan bahwa domba membutuhkan sulfur yang cukup tinggi dalam pakannya, yang diperlukan untuk produksi wool.
Kajian terhadap asam lemak 4-metil oktanoat dan 4-metil nonanoat, diperoleh bahwa kedua asam lemak tersebut terdeteksi pula pada daging
kambing. Meskipun demikian karena levelnya yang berbeda, off-odor dari kedua
daging tersebut berbeda pula Bailey et al. 1992.
Penelitian yang dilakukan oleh Intarapichet et al. 1994 terhadap ternak
kambing untuk mempelajari pengaruh genetik terhadap karakteristik sensori memperlihatkan bahwa perbedaan genetik menghasilkan sifat aroma yang
berbeda. Aroma daging yang berasal dari kambing anglo-nubian lebih disukai daripada aroma dari daging kambing lokal. Analisis organoleptik dengan uji
skalar garis sepanjang enam inch sekitar 15 cm, diperoleh bahwa intensitas flavor pahit
pungent lebih tinggi pada daging kambing lokal 2.77 dibandingkan dengan yang terdapat pada daging kambing anglo-nubian 2.11.
Perbedaan flavor dan odor pada berbagai spesies ternak unggas lebih diakibatkan oleh komposisi kimia daging, terutama kandungan lemaknya. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lukman 1995 yang melaporkan terdapat perbedaan komposisi kimia daging yang sangat nyata
antara itik afkir dan ayam petelur afkir. Melalui hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa kadar lemak itik, terutama lemak
intramusculer, sangat nyata p 0.01 lebih tinggi daripada kadar lemak ayam.
Penelitian Abdelsamie dan Farrell 1985 menyimpulkan bahwa bangsa- bangsa
breed itik lokal mempunyai lemak daging lebih rendah daripada bangsa-bangsa itik moderen. Selain dipengaruhi oleh jenis bangsa, menurut
Abdelsamie dan Farrell 1985, perbedaan komposisi lemak daging pada itik dipengaruhi pula oleh umur dan jenis kelamin. Proses pembentukan lemak pada
itik betina umumnya lebih awal daripada itik jantan. Sampai umur lima minggu, pembentukan lemak tubuh pada itik peking betina lebih tinggi daripada itik peking
jantan. Setelah itu laju pembentukan lemak tubuh pada betina menurun, sebaliknya pada yang jantan meningkat. Meskipun demikian, hasil analisis ini
masih kontraversial hingga sekarang. Perbandingan komposisi asam-asam lemak pada itik dari beberapa hasil
penelitian dan dibandingkan dengan ternak ayam diperlihatkan pada Tabel 1. Pada tabel ini terlihat bahwa secara rata-rata ternak itik memiliki kandungan
asam-asam lemak jenuh lebih tinggi daripada ternak ayam, sebaliknya rendah pada asam-asam lemak tidak jenuh.
Tabel 1 Komposisi asam-asam lemak pada daging ayam broiler vs itik
A
1
B
2
C
3
D
4
Asam-asam Lemak
Simbol Ayam Itik
Paha Itik k
Dada Itik k
Itik k
Itik tk
Itik k
JENUH SFA: Miristat
14 : 0 0.6
0.7 1.16 1.16 0.2 0.5 0.7 Palmitat
16 : 0 14.8
26.0 25.9 26.4 21.4 28.3 26.0 Stearat
18 : 0 6.8
8.25 6.07 5.25 5.6 17.9 8.7
MUFA: Palmitoleat
16 : 1 2.4
4.0 2.21 1.73 4.8 5.1 4.2 Oleat
18 : 1 25.9
46.2 41.2
39.9 52.8
30.6 45.4
PUFA Linoleat
18 : 2 42.6
12.95 19.5
22.2 14.3
15.1 12.7
Linolenat 18 : 3
5.4 1.0
0.55 0.67 0.6 1.9 1.1 Total SFA
22.2 34.95
33.13 32.81
27.2 46.7
35.4 Total UFA
76.3 64.15
63.46 64.50
72.5 52.7
63.4
1
Abdelsamie dan Farrell 1985;
2
Hustiany 2001;
3
Pereira dan Stadelman 1976;
4
Decker dan Cantor 1992. K: kulit, tk: tanpa kulit, SFA: saturated fatty acid asam lemak jenuh,
UFA: unsaturated fatty acid asam lemak tidak jenuh, MUFA: Monounsaturated Fatty Acids, PUFA: Polyunsaturated Fatty Acids.
Abdelsamie dan Farrell 1985 juga melaporkan bahwa pada umur enam minggu, kandungan lemak itik alabio betina lebih tinggi daripada alabio jantan,
tetapi pada umur 16 minggu terjadi sebaliknya. Pola ini berbeda pada itik hasil persilangan. Kandungan lemak pada itik jantan hasil persilangan peking dan
alabio pada umur enam minggu lebih rendah, kemudian pada umur 10 minggu meningkat, akan tetapi pada umur 16 minggu kandungan lemak betinanya lebih
tinggi. Pola ini berbeda pula pada itik hasil persilangan entok Cairina moschata
dan alabio. Pada ternak hasil persilangan entok dan alabio, sejak umur enam minggu sampai dipotong pada umur 16 minggu, kandungan lemak ternak
betinanya lebih tinggi daripada yang jantan. Penelitian yang dilakukan oleh
Hartatie et al. 1987 memperlihatkan bahwa secara rata-rata persentase
kandungan lemak daging pada itik mojosari betina pada berbagai umur pemotongan lebih tinggi daripada yang jantan; meskipun untuk bobot karkas, itik
mojosari jantan lebih besar.
Itik Alabio Anas platyrynchos borneo. Itik ini merupakan salah satu
galur itik lokal Indonesia yang sudah cukup lama dikenal. Meskipun tergolong sebagai jenis itik penghasil telur, itik alabio juga memiliki potensi yang sangat
baik sebagai penghasil daging. Nama itik ini diambil dari nama sebuah daerah di Kalimantan yaitu tepatnya Kecamatan Alabio yang terletak di Kabupaten Hulu
Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Wilayahnya berawa dan beriklim hutan hujan tropis. Tempat ini merupakan daerah pengembangan utama dan
pusat pemasaran itik alabio Wasito dan Rohaeni 1994. Potensi itik alabio yang besar, baik sebagai penghasil telur maupun
daging, menyebabkan itik ini mulai dikembangkan pula di wilayah Pulau Jawa berdampingan dengan itik-itik lokal yang ada di daerah tersebut. Penelitian yang
dilakukan oleh Brahmantijo dan Prasetyo 2002 mendapatkan bahwa itik alabio memiliki daya tetas hampir mencapai rata-rata 49, hal ini sangat nyata lebih
tinggi P 0.01 dibandingkan dengan daya tetas itik mojosari salah satu itik lokal di Pulau Jawa yang hanya mencapai sekitar 41. Bahkan Setioko dan
Rohaeni 2002 melaporkan bahwa kemampuan daya tetas itik alabio mencapai sekitar 67.
Gambar 2 Itik jantan alabio anak dan dewasa.
Secara morfologi, itik alabio ini sangat mudah dibedakan dengan itik lokal jawa pada umumnya. Itik alabio yang masih anak umur 1-2 minggu, bulu
bagian leher, dada dan perut berwarna kuning, sedangkan bulu sayap dan punggungnya berwana coklat. Setelah dewasa, bulu kuning pada bagian leher
berubah menjadi keputihan, bagian dada coklat cerah, sedangkan bulu bagian punggungnya keabu-abuan, dan di ujung-ujung sayapnya terdapat kombinasi
warna hijau kebiru-biruan. Warna paruh dan shank-nya kuning.
Mengoptimalkan potensi itik alabio yang dipelihara di Pulau Jawa, para peternak dan juga beberapa peneliti menyilangkannya dengan itik-itik lokal yang
berasal dari Pulau Jawa itu sendiri, salah satunya yaitu dengan itik mojosari. Hasil persilangan kedua jenis itik lokal ini disebut dengan nama itik MA. Itik MA
sebagai hasil persilangan ini memiliki nilai konversi pakan yang lebih baik dari kedua tetuanya, yaitu itik alabio dan itik mojosari Ketaren dan Prasetyo 2002.
Itik Cihateup Anas platyrynchos javanica. Sesuai dengan namanya,
itik ini berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Selain di Kabupaten Tasikmalaya, itik ini juga
berkembang pesat di Kabupaten Garut. Oleh masyarakat setempat itik ini disebut juga dengan nama itik gunung, karena ternak ini mampu beradaptasi
dengan baik pada suhu dingin daerah pegunungan.
Gambar 3 Itik cihateup anak dan dewasa.
Dari potensi produksi, itik cihateup lebih ditujukan sebagai itik petelur, dengan kemampuan produksi sekitar 200 butirtahun. Akan tetapi kemampuan
pertumbuhan yang cukup baik pada ternak jantannya, itik ini mulai dikembangkan pula sebagai penghasil daging. Bobot potong itik cihateup jantan berkisar antara
1470 – 1550 gram, dengan nilai konversi ransum sekitar 6.7 Wulandari et al.
2005. Berdasarkan ciri-ciri fisik secara umum, itik cihateup mirip dengan itik-itik
jawa lainnya, seperti itik kerawang, itik cirebon ataupun itik tegal. Walaupun demikian, secara genetik terdapat sedikit keragaman di antara itik-itik tersebut
Muzani 2005. Bulu itik cihateup berwarna coklat, sedangkan paruh dan shank-
nya berwarna hitam. Warna itik cihateup jantan dewasa lebih gelap, bahkan bulu disekitar kepala mengarah kehitaman; akan tetapi yang betina, warna bulunya
lebih cerah. Bentuk badan itik cihateup serupa dengan itik jawa pada umumnya, yakni berbadan langsing seperti botol, dengan leher bulat panjang. Kalau
berjalan lebih tegak dibandingkan dengan itik alabio. Lebih dekatnya kesamaan sifat antara itik cihateup dengan beberapa itik di sekitar Jawa Barat dan Jawa
Tengah dibandingkan dengan itik alabio, sebab dalam dendogram, jarak genetika antara itik cihateup dengan itik-itik lokal yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa
Tengah lebih dekat dibandingkan antara itik cihateup dengan itik alabio Hetzel 1985.
Beberapa ukuran tubuh itik cihateup, misalnya lingkar dada, lebih besar dari itik cirebon maupun itik mojosari Muzani 2005, dapat menjadi indikasi
bahwa itik cihateup memiliki cukup potensi penghasil daging yang lebih baik daripada itik cirebon dan mojosari.
Faktor Pakan
Pembentukan off-odor yang dipengaruhi oleh pakan lebih sering dan
mudah terjadi pada unggas. Bau apek atau amis dapat dengan sangat mudah dirasakan pada telur maupun daging broiler bilamana pakan yang diberikan
kepada ternaknya berpotensi menghasilkan senyawa-senyawa off-odor itu. Bau
amis atau anyir pada daging kalkun yang disebabkan oleh pakan yang mengandung tepung ikan atau minyak ikan yang relatif tinggi, sudah mulai
diketahui pada tahun 1937 Asmundson dan Jukes 1938; bahkan, pada daging ayam, bau tersebut sudah dikenal sejak tahun 1926 Marble
et al. 1938. Pengaruh tepung dan minyak ikan terhadap produksi
off-odor pada daging ayam
dilaporkan pula oleh Hardin et al. 1964 yang menyebutkan bahwa produksi off-
odor dapat dideteksi pada ransum yang berkomposisi kombinasi 15 tepung ikan dan 1.5 minyak ikan. Dari sejumlah penelitian yang sudah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa pengaruh tepung ikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan minyak ikan dalam menghasilkan
off-odor pada daging. Hal ini juga dibuktikan oleh Fry
et al. 1965 yang memperlihatkan bahwa pemakaian tepung ikan sampai 25.25 sebagai pengganti 100 tepung kedelai, tetapi tanpa
menggunakan minyak ikan, tidak menghasilkan bau amis pada daging broiler. Selain disebabkan oleh ransum yang mengandung tepung atau minyak
ikan yang tinggi, bau anyir fishy dapat juga terjadi dari bahan-bahan makanan
lain, terutama biji-bijian yang mengandung minyak yang tinggi. Hawrysh et al.
1975 melaporkan bahwa penggunaan rapeseed sebanyak 10 dalam ransum ayam petelur
White Plymouth Rocks menyebabkan adanya bau amis yang dapat terdeteksi pada telurnya. Demikian pula Bailey
et al. 1992 menyebutkan bahwa pemberian beberapa jenis pakan seperti kedelai mentah, minyak kanola, rumput-
rumput pastura dapat menghasilkan flavor yang tidak disukai konsumen pada daging-daging merah, seperti sapi, domba, dan kambing. Sejumlah penelitian
yang dirangkum oleh Bailey et al. 1992 memperlihatkan bahwa daging sapi
yang berasal dari ternak yang digemukkan dengan hijaun berenergi rendah seringkali memiliki flavor yang menyimpang, seperti
grassy, milky-oily, sour, fishy, sweet, dan gamey. untuk mengatasi hal ini, seringkali peternak harus
memberi tambahan biji-bijian kepada ternak sapi, baik yang dipelihara di pastura ataupun pada sistem
feedlot. Pengaruh jenis pakan dalam menghasilkan
off-flavor pada daging sapi yaitu dengan adanya perubahan-perubahan kimia dalam daging sapi, seperti
perubahan kandungan karbohidrat atau komposisi asam-asam lemak daging. Pemberian jagung berenergi tinggi dapat menghasilkan daging sapi dengan
kandungan glikogen dan gula tereduksi yang sangat tinggi. Pada proses glikolisis anaerobik saat postmortem, glikogen daging akan diubah menjadi asam
laktat yang menyebabkan daging menjadi terasa asam. Hal serupa diperlihatkan pula oleh Bou
et al. 2001 bahwa jenis sumber lemak pakan mempengaruhi komposisi asam lemak daging dan kestabilan oksidatif, yang pada akhirnya ikut
menentukan terbentuknya off-odor pada daging. Pendapat yang agak berbeda
dijumpai dalam penelitian Ruiz et al. 2001 yang menyimpulkan bahwa untuk
masa penyimpanan daging ayam broiler yang relatif pendek, perbedaan jenis
lemak berdasarkan derajat ketidakjenuhannya tidak begitu berpengaruh terhadap ketengikan. Meskipun dalam penelitian tersebut dijumpai bahwa daging ayam
broiler yang berasal dari ternak yang disuplementasi dengan vitamin E menghasilkan derajat ketengikan yang lebih rendah daripada daging dari ternak
yang tidak diberi suplementasi vitamin E. Bailey
et al. 1992 melaporkan bahwa asam-asam lemak merupakan sumber utama flavor daging sapi yang terbentuk dari senyawa-senyawa karbonil.
Oksidasi yang terjadi pada asam-asam lemak tidak jenuh pada daging menghasilkan
off-odor. Sebagai contoh, bau grassy pada daging sapi merupakan akibat terdegradasinya asam-asam lemak tidak jenuh ganda ALTJG
karena pemanasan. Pengamatan yang dilakukan pada domba memperlihatkan bahwa ternak
yang lebih banyak diberi leguminosa misalnya: clover, alfalfa mempunyai intensitas
off-odor yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi rumput- rumputan. Demikian pula, daging domba yang berasal dari ternak yang
mengkonsumsi biji-bijian, flavornya lebih disukai daripada yang mengkonsumsi leguminosa. Namun pemberian biji-bijian yang berlebihan, terutama yang
berenergi tinggi, akan mempengaruhi komposisi asam-asam lemak pada lemak subkutan domba, yang menyebabkan lemak tersebut menjadi lunak dan
berminyak Young dan Braggins 1998. Cendawan
Pithomyces chartarum yang banyak tumbuh pada bahan- bahan pakan di pastura telah teridentifikasi sebagai salah satu penyebab
off-odor pada daging domba. Meskipun demikian, kejadian oleh cendawan ini hanya
tampak pada saa-saat tertentu, yaitu pada musim yang cocok bagi pertumbuhannya Bailey
et al. 1992. Seperti pada unggas, pemberian ransum dengan kandungan tepung ikan
yang berlebihan kepada ternak babi dapat juga menghasilkan off-flavor pada
dagingnya. Hasil penelitian pada ternak babi yang dilaporkan oleh Bailey et al.
1992 merekomendasikan bahwa untuk mencegah munculnya off-flavor,
pemberian tepung ikan tidak melebihi dari 5 dalam ransum. Tetapi pada penelitian yang menggunakan tepung silase ikan, diperoleh bahwa penggantian
tepung kedelai dengan tepung silase ikan sampai pada tingkat 9 tidak megubah flavor daging babi.
Perubahan Kimia
Pembentukan off-flavor atau khususnya off-odor pada bahan pangan
secara umum, termasuk daging, dapat berlangsung karena terjadi perubahan- perubahan atas komponen-komponen organik yang terkandung dalam bahan
pangan tersebut. Perubahan-perubahan seperti itu dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu oksidasi lipid, pencoklatan nonenzimatik, perubahan
enzimatis, dan reaksi fotokatalisis Heath dan Reineccius 1986. Pada daging, pembentukan
off-odor karena adanya perubahan kimia lebih banyak disebabkan oleh oksidasi lipid, dibandingkan dengan karena proses
yang lain. Berlangsungnya oksidasi lipid pada daging menurut Apriyantono dan Lingganingrum 2002 secara garis besar dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti: komposisi asam lemak daging, kandungan prooksidan dan antioksidan, dan temperatur. Mekanisme pembentukan
off-odor melalui proses oksidasi lipid yang lebih rinci akan dibahas dalam bagian berikut dari bab Tinjauan Pustaka ini.
Dua jenis off-odor penting pada daging yang dapat terjadi akibat oksidasi
lipid yaitu ketengikan rancidity dan warmed-over flavor WOF. Oksidasi lipid
pada daging menjadi masalah yang sangat serius, karena dengannya terjadinya penurunan kualitas daging, yang bukan saja karena adanya penyimpangan
terhadap flavor, tetapi juga karena terkait dengan adanya perubahan di dalam tekstur dan warna daging, yang berkonsekuensi pada penolakan konsumen
terhadap daging tersebut. Reaksi pencoklatan nonenzimatis sekalipun berperan penting dalam
pembentukan flavor aroma, namun tidak jarang pula, reaksi tersebut menjadi penyebab munculnya
off-odor pada bahan pangan. Off-odor yang terjadi melalui reaksi ini, seringkali dijumpai pada daging yang diproses dengan teknologi
pengalengan. Off-odor yang menjadi karakteristik dari reaksi pencoklatan
enzimatik diistilahkan dengan stale, atau hilangnya sifat segar pangan. Dua
senyawa kimia yang paling berkontribusi melalui proses pencoklatan enzimatik adalah
benzotiasol dan O-aminoaseptopenon. Pada mekanisme yang lain, reaksi enzimatik dalam pembentukan
off-odor lebih terkait dengan fungsinya sebagai katalis dalam oksidasi lipid, yang antara
lain bekerja mereduksi ion Fe
3+
menjadi Fe
2+
. Salah satu jenis enzim yang terlibat dalam oksidasi asam-asam lemak pada daging ayam yaitu enzim
lipoksigenase Gray dan Pearson 1994.
Faktor Pengolahan Processing
Prosedur atau metode yang digunakan dalam pengolahan daging dapat mempengaruhi flavor daging yaitu melalui perubahan pada komposisi sistem
flavor , baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Perubahan komposisi itu dapat
berupa perubahan kimia atau hilangnya beberapa senyawa flavor Bailey et al.
1992. Salah satu metode pengolahan daging yang paling banyak mendapat
perhatian terhadap dampaknya dalam menghasilkan off-flavor yaitu metode
iradiasi. Pada prinsipnya metode ini digunakan terutama untuk mengontrol Salmonella atau beberapa mikroorganisme patogen yang terdapat pada daging.
Beberapa off-odor yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan iradiasi pada daging
yaitu seperti “ metallic”, “sulfide”, “wet dog”, “wet grain”, “goaty”, atau “burnt”.
Hasil-hasil penelitian yang dirangkum oleh Bailey et al. 1992 menyebutkan
bahwa asumsi yang dipakai untuk menjelaskan pembentukan off-odor pada
daging yang diiradiasi yaitu sebagai hasil dari meningkatnya oksidasi radikal bebas dalam jaringan adiposa. Asumsi ini dibenarkan dengan berbagai
penelitian yang menggunakan antioksidan dapat mengurangi off-odor pada
daging yang diiradiasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ahn et al. 1997
memperlihatkan bahwa penggunaan dl-
α-tokoferol asetat pada level di atas 200 IUkg sebagai antioksidan dalam ransum dapat mengurangi oksidasi lipid
dan volatil total pada daging kalkun setelah disimpan selama tujuh hari. Meskipun sudah banyak penelitian yang dikembangkan dalam mengatasi
off-odor sebagai akibat dari iradiasi, sampai saat ini belum dapat diidentifikasi secara pasti senyawa-senyawa “
character impact” dari off-odor tersebut. Oleh karena itu satu-satunya rekomendasi yang masih berlaku dalam pelaksanaan
iradiasi yaitu dengan menggunakan iradiasi pada kondisi vakum pada temperatur beku Reinneccius 1979; Bailey
et al. 1992. Jenis
off-odor lain yang sering pula terdeteksi dalam pengolahan daging yaitu
off-odor yang terjadi pada daging yang dikalengkan; off-odor jenis ini diberi istilah “
retort flavor”. Sekalipun off-odor ini sangat tidak disukai oleh konsumen, penelitian untuk mengidentifikasi senyawa kimia yang bertanggung jawab
terhadap pembentukan off-odor tersebut masih sangat sedikit. Pendugaan yang
sementara ini diterima bahwa “ retart off-odor” disebabkan oleh perlakuan
pemanasan saat dilakukan sterilisasi. Penelitian pada daging sapi diperoleh bahwa daging sapi yang dikalengkan dengan cara konvensional mengandung
hidrogen sulfida yang lebih tinggi daripada yang dikalengkan dengan menggunakan metode pemanasan tinggi dalam waktu singkat Bailey
et al. 1992.
Daging yang dimasak dengan menggunakan mikrowave juga merupakan salah satu penyebab terjadinya
off-odor pada bahan pangan itu. Daging yang diolah dengan mikrowave mempunyai kandungan senyawa-senyawa
off-odor yang tinggi, seperti alkana, pirazin dan alkohol. Untuk mengatasi hal ini,
beberapa produk mikrowave dirancang sedemikian rupa sehingga dampak off-
odor-nya dapat dikurangi Hornstein dan Wasserman 1987.
Pengaruh Mikroorganisme
Penyimpanan daging sangat dibatasi karena pengaruh pertumbuhan mikrooraganisme. Masa simpan daging segar pada temperatur 4
o
C biasanya hanya sekitar 3 sampai 4 hari. Kelompok mikroorganisme yang sering dijumpai
pada daging-daging yang disimpan secara aerobik yaitu antara lain Pseudomonas, Moraxella, dan Accinetobactor. Sedangkan pada penyimpanan
anaerobik lebih didominasi oleh kelompok Lactobacilli.
Prekursor utama bagi perkembangan off-odor oleh bakteri adalah asam-
asam amino yang dihasilkan dari degradasi protein. Sebagai contoh, Pseudomonas fragi sangat dipastikan sebagai penyebab pembusukan daging.
Mikroorganisme ini berfungsi meningkatkan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan pula meningkatnya kandungan asam-asam amino bebas dalam
daging. Pada daging ayam, bakteri Pseudomonas putrifaciens berperan
menghasilkan senyawa-senyawa volatil seperti metil merkaptan, dimetil disulfida, metanol, etanol, dan hidrogen sulfida Bailey
et al. 1992. Aktivitas mikroba dalam berperan menghasilkan
off-odor pada daging dapat terjadi melalui beberapa cara seperti, proses fermentasi yang tidak tepat,
pemasakan yang tidak sempurna, atau terkontaminasinya bahan pangan dengan produk-produk metabolis yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan mikroba.
Mikroorganisme mempunyai kemampuan yang sangat beragam dalam menghasilkan
off-odor, bergantung pada komponen metabolis yang dihasilkan dan dikeluarkan ke dalam media pertumbuhannya. Sebagai contoh, ayam yang
dipelihara dengan menggunakan sistem lantai beralas litter floor dari bahan
ampas gergaji, pada dagingnya sangat mudah terkontaminasi oleh jamur Reineccius 1994.
Pembentukan Aroma dan Off-Odor Daging
Aroma daging dimaksudkan sebagai odor yang menghasilkan sensasi khas daging yang diterima oleh manusia. Aroma dihasilkan oleh senyawa-
senyawa volatil yang sebagian besar diproduksi melalui degradasi prekursor lipid. Mottram 1991 menyebutkan bahwa lipid menghasilkan senyawa-senyawa
volatil yang memberikan sensasi flavor karakteristik dari setiap spesies ternak yang berbeda; sedangkan,
lean daging tanpa lemak bertanggung jawab memberikan flavor dasar yang umum terdapat pada daging semua spesies
ternak. Peran lemak dalam pembentukan aroma yang dihasilkan oleh daging,
menurut Mottram 1991, hal itu dikaitkan dengan fungsi lemak sebagai pelarut bagi senyawa-senyawa aroma yang diproduksi, baik itu aroma yang berasal dari
luar maupun sebagai bagian dari reaksi-reaksi pembentuk flavor di dalam daging. Namun sejalan dengan kemajuan penelitian flavor daging, mekanisme tersebut
dianggap sebagai asumsi yang amat sederhana. Sebaliknya, proses pembentukan flavor pada daging sesungguhnya merupakan suatu interaksi yang
bersifat kompleks antara senyawa-senyawa yang berasal dari lipid dan komponen-komponen yang berasal dari
lean Waserman 1979; Mottram 1991. Hal ini dimaksudkan bahwa pembentukan aroma tersebut merupakan interaksi
yang berlangsung antara gugus-gugus amino yang terdapat pada protein dengan gugus-gugus karbonil yang berasal dari lipid. Sebagai contoh, aroma ayam
dihasilkan dari reaksi yang terjadi antara hidrogen sulfida dari asam amino bersulfur dengan karbonil yang berasal dari degradasi asam lemak oleh
pemanasan. Kelompok lemak yang berperan dalam pembentukan aroma, tidak saja
didominasi oleh lemak-lemak trigliserida lemak netrallemak sederhana; akan tetapi beberapa penelitian memperlihatkan bahwa, kelompok fosfolipid turut andil
pula di dalam pembentukan aroma pada daging yang dimasak. Farmer 1999 menyebutkan bahwa semakin banyak terdapat fosfolipid tak jenuh di dalam
daging, semakin pentingnya perannya dalam pembentukan flavor. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian terhadap pembentukan aroma
daging, Mottram 1991 menyebutkan bahwa sejumlah reaksi yang dapat menghasilkan senyawa-senyawa volatil odor pada daging yaitu: reaksi
pemanasan, pirolisis asam amino dan peptida, degradasi gula, reaksi Maillard,
degradasi Strecker, degradasi tiamina, dan degradasi lipid. Dari semua reaksi tersebut yang memungkinkan terbentuknya aroma daging, reaksi Maillard dan
degradasi lipid merupakan dua reaksi penting.
Reaksi Maillard
Reaksi Maillard, reaksi yang berlangsung antara gula tereduksi dan senyawa amino, merupakan jalur pembentukan flavor yang sangat penting dalam
bahan pangan, khususnya daging yang dimasak. Reaksi ini pertama kali dijelaskan oleh seorang ahli kimia Perancis, Louis Maillard, pada tahun 1912,
yang menemukan adanya pembentukan warna oleh melanoidin akibat pemanasan larutan glukosa dan glisina.
Secara garis besar, alur interaksi lipid dalam reaksi Maillard adalah sebagai berikut: 1 reaksi senyawa karbonil lipid dengan gugus amino sisteina
dan amonia yang dihasilkan dari degradasi Strecker; 2 reaksi gugus amino fosfatidiletanolamina dengan senyawa karbonil gula; 3 interaksi radikal bebas
dari lipid yang teroksidasi dalam reaksi Maillard; dan 4 reaksi hidroksi dan karbonil lipid dengan hidrogen sulfida bebas. Skema pembentukan flavor melalui
reaksi Maillard diperlihatkan pada Gambar 4. Heath dan Reineccius 1986 menyatakan bahwa dari sekitar 3000
senyawa volatil yang teridentifikasi dalam bahan pangan, dua pertiganya adalah hasil dari reaksi Maillard. Komponen-komponen flavor yang paling banyak
terbentuk dari reaksi ini, yaitu antara lain: alifatik, aldehid, dan keton. Sebagian besar dari senyawa
−senyawa yang menentukan flavor daging melalui reaksi Maillard adalah senyawa
−senyawa N, S, O − heterosiklik dan bahan
−bahan lain yang mengandung sulfur. Prekursor−prekursor penting untuk pembentukan senyawa
−senyawa flavor pada daging dikelompokan atas kelompok senyawa
−senyawa yang larut air, seperti gula, asam−asam amino, gula fosfat dan komponen
−komponen asam nukleat, dan kelompok senyawa
−senyawa lipid. Odor sulfuris yang dihasilkan melalui reaksi asam-asam amino bersulfur
dengan gula, sangat penting bagi pembentukan flavor daging yang dimasak. Hidrogen sulfida yang terbentuk dari reaksi sisteina dengan senyawa karbonil
merupakan komponen utama aroma daging.
Gambar 4 Pembentukan senyawa −senyawa flavor pada daging melalui reaksi
Maillard dari gula dan amin Bailey 1998. Melalui penelitian yang dilakukan dalam bentuk sistem
−sistem model, diperoleh bahwa kelompok lipid yang berperan adalah fosfolipid dan beberapa
hasil degradasinya seperti aldehid, keton, dan alkohol. Senyawa −senyawa ini
akan bereaksi dengan produk −produk hasil reaksi Maillard seperti hidrogen
sulfida dan amonia menghasilkan komponen −komponen pembentuk aroma pada
daging. Salah satu senyawa volatil flavor yang seringkali ditemukan pada daging yang dimasak yaitu 2
−pentilpiridin; senyawa ini terbentuk dari reaksi 2,4
−dekadienal dan amonia. Flavor pada ayam goreng dipengaruhi oleh 5
−butil−3−metil−1,2,4−tritiolan yang terbentuk dari reaksi senyawa−senyawa aldehid dengan hidrogen sulfida.
Gula reduksi + α-asam amino N-gula amin
Intermediet Amadori dan Heynes
1-Deoksiredukton Degradasi strecker
1-Deoksioson 3-Deoksioson
Retro-aldolisasi Dikarbonil diasetil,
dihidroksiaseton glioksal
Aldehid Asetaldehid Metional
Amonia Hidrogen disulfida
HD-fone HM-fone
Isomaltol Maltol
Siklotene 2-Furfurals
Asetaldehid Produk
degradasi Strecker
H
2
S NH
3
CH
3
SH Aldehid
Pirazin N,S,O-heterosiklik
Senyawa siklik sulfur Sulfida
Senyawa Flavor
Daging Senyawa sulfur siklik
N, S, O-heterosiklik
4-Mercapto-5-metiltetrahidro-3-furanon 2,5-Dimetil-2,4-dihidroksi-3-2H-tiopenon
2-Metil-3-furantiol 2-Furfuriltiol
2-Metil-3-metiltio-furan 2-metil-3-metilditio-furan
Bis-2-metil-3-furil-disulfida 2-Furfuril-2-metil-3-furil-disulfida
1,2,4-Tritiolan 1,2,4,6-Tetratiepan
1-2-Metil-2-tieniltio-etanetiol 1-2-Metil-3-furiltiol-etanetiol
Degradasi Lipid
Mekanisme lain dalam pembentukan volatil aroma ketika daging dimasak yaitu oksidasi rantai-asil lipid tidak jenuh. Senyawa-senyawa volatil aroma yang
terbentuk melalui reaksi lipid ini umumnya mengikuti jalur yang sama; baik itu yang melalui reaksi oksidasi termal, maupun oksidasi ketengikan. Perbedaan
yang tidak begitu tampak dalam mekanisme kedua reaksi tersebut, menghasilkan profil volatil yang berbeda Mottram 1998.
Pemecahan rantai alkil lipid tidak jenuh melibatkan mekanisme radikal bebas. Reaksi ini diawali ketika satu atom hidrogen labil diambil dari bagian lipid,
sehingga menghasilkan radikal lipid, dengan persamaan: RH R
•
+ H
•
Selanjutnya reaksi dengan oksigen menghasilkan radikal peroksil, dan kemudian diikuti dengan pengambilan hidrogen yang lain dari molekul lipid. Hidroperoksida
dan radikal bebas lain yang terbentuk menghasilkan suatu reaksi berantai yang berkesinambungan:
R
•
+ O2 ROO
•
ROO
•
+ RH ROOH + H
•
Keterangan: RH = asam lemak; R
.
= radikal alkil, ROO
.
= radikal peroksil
Secara umum flavor daging mentah adalah bland, metalic, dan sedikit
berasa asin. Flavor daging yang diinginkan baru terbentuk dan terdeteksi setelah daging dimasak. Pembentukan flavor
seperti itu selain melalui proses oksidasi termal, juga melalui proses reaksi lemak dengan senyawa-senyawa lain yang
terdapat di dalam jaringan daging. Dengan pemanasan terbentuklah komponen- komponen volatil yang berasal dari sejumlah prekursor larut air, seperti tiamina,
glikogen, glikoprotein, nukleotida, nukleosida, gula bebas, asam-asam amino, peptida, gula fosfat, amin, dan asam-asam amino. Prekursor ini bereaksi dalam
daging selama proses pemanasan. Dalam reaksi primer, interaksi komponen prekursor membentuk senyawa-senyawa intermediet yang dapat bereaksi
selanjutnya dengan produk-produk degradasi lain menghasilkan campuran volatil kompleks yang berfungsi dalam pembentukan flavor daging. Apriyantono
et al. 1994 dalam mencari prekursor utama pembentuk flavor daging ayam
menyimpulkan bahwa flavor daging ayam terbentuk melalui interaksi antara lemak asam oleat dan linoleat dengan sisteina dan glukosa.
Produksi aroma dari fraksi −fraksi lipid seperti yang berasal dari jaringan
adiposa dan lean masih terus dipelajari. Pemanasan terhadap lemak daging
menghasilkan sifat −sifat aroma yang berbeda−beda antar jenis daging.
Aroma −aroma tersebut memberi ciri khas bagi setiap daging. Lemak−lemak
pada daging yang berperan dalam pembentukan aroma adalah lemak −lemak
subkutan, lemak yang terdeposit dalam jaringan, triasilgliserol, dan fosfolipid. Pemecahan oksidatif terhadap rantai
−rantai alkil lipid tak jenuh meliputi mekanisme radikal bebas dan pembentukan senyawa
−senyawa intermediet hidroperoksida. Dekomposisi hidroperoksida akan melibatkan mekanisme
radikal bebas lanjut dan pembentukan produk −produk nonradikal termasuk di
dalamnya adalah senyawa −senyawa aroma Grosch 1982; Mottram 1998.
Degradasi hidroperoksida dimulai dengan proses homolisis yang menghasilkan satu radikal alkoksi RO
.
dan satu radikal hidroksi
.
OH. Proses selanjutnya adalah terjadi pemecahan pada rantai asam
−asam lemak yang berikatan dengan radikal alkoksi. Sifat volatil yang berasal dari suatu hidroperoksida bergantung
pada komposisi rantai alkil dan posisi dimana terjadi pembelahan rantai. Mekanisme degradasi hidroperoksida ditunjukkan pada Gambar 5. Posisi
pembelahan rantai dapat terjadi pada dua tempat, di sebelah kanan radikal alkoksi posisi A atau di sebelah kiri posisi B.
Jika gugus alkil jenuh dan pembelahan terjadi pada posisi A maka akan menghasilkan suatu aldehid jenuh; sedangkan apabila pembelahan terjadi di
posisi B akan menghasilkan satu radikal akil yang dapat diikuti dengan pembentukan satu senyawa alkana. Alternatif lain, apabila alkil radikal bereaksi
dengan oksigen akan menghasilkan satu senyawa hidroperoksida. Pada tahap berikut, hidroperoksida pecah dan menghasilkan radikal alkoksi yang dapat
memproduksi senyawa −senyawa nonradikal yang lebih stabil seperti alkohol dan
aldehid. Senyawa −senyawa lain yang dapat terbentuk melalui reaksi ini yaitu
keton, furan dan senyawa −senyawa aromatik dari hidrokarbon dan aldehid.
Meskipun pada daging yang dimasak ditemukan banyak sekali senyawa volatil, hanya sedikit saja yang memberi pengaruh terhadap flavor daging; sebab,
umumnya senyawa −senyawa yang lain merupakan senyawa−senyawa yang
mempunyai batas ambang odor yang tinggi. Senyawa −senyawa yang
mempunyai batas ambang rendah yang berpengaruh langsung terhadap flavor adalah aldehid, alkohol tak jenuh, keton dan lakton.
Gambar 5 Pembentukan volatil melalui pemecahan hidroperoksida lipid sederhana Mottram 1998.
Identifikasi terhadap senyawa −senyawa flavor pada daging unggas
ditemukan bahwa beberapa senyawa yang berpengaruh adalah 2
−metil−3−furantiol, 2−furfuritiol, metional, 2,4,5−trimetiltiazol, nonanal, dan lain
−lain. Senyawa yang paling penting yang memberi aroma khas pada ayam yaitu 2
−metil−3−furantiol Chen dan Ho 1998. Sedangkan pada itik, belum banyak penelitian yang berkaitan dengan flavor. Penelitian yang dilakukan oleh
Wu dan Liou 1992 melaporkan bahwa senyawa −senyawa volatil pada daging
itik sebagian besar merupakan hasil oksidasi lipid. Senyawa penentu flavor pada daging itik berasal dari kelompok indol, yang merupakan satu
−satunya senyawa pada daging itik yang mengandung nitrogen. Melalui proses pemanasan
senyawa indol akan dipecah membentuk senyawa −senyawa heterosiklik, yakni
pirazina, piridina, dan tiazol.
Oksidasi Lipid Pembentuk Off-Odor
Oksidasi lipid merupakan reaksi utama perusakan bahan pangan yang menyebabkan penurunan kualitas yang signifikan. Kerusakan oksidatif pada
lemak daging akan berakibat pada pembentukan senyawa-senyawa off-odor dan
hilangnya aroma khas daging. Oksidasi lemak berlangsung pada bagian yang tidak jenuh dan kemudian diikuti dengan pembentukan radikal bebas. Dua
produk penting dari reaksi-reaksi oksidasi yaitu hidroperoksida dan senyawa- senyawa volatil. Hidroperoksida dihasilkan pada reaksi primer. Senyawa ini
berfungsi dalam propagasi reaksi-reaksi autokatalitik; sedangkan, senyawa- senyawa volatil seperti aldehid dan keton terbentuk pada reaksi sekunder; dan
merupakan sumber terbentuknya off-odor Gray dan Pearson 1994. Beberapa
jenis istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya perubahan odor daging, khususnya pada daging yang dipanaskan kembali, yaitu antara lain: odor
teroksidasi, tengik, off-odor, terlalu masak WOF, warmed-over flavor, basi, dan
apek. Umumnya istilah-istilah yang dipakai sulit didefinisikan secara tegas. Dua bentuk hasil oksidasi lipid pada daging yang menimbulkan
off-odor pada daging, yaitu ketengikan
rancidity dan WOF. Ketengikan merupakan ukuran penilaian sensori terhadap kualitas yang tidak dikehendaki dari bahan
pangan berlemak dan berminyak. Terdapat tiga jenis ketengikan yang berbeda yang terkait dengan kerusakan flavor lipid. Pertama, ketengikan yang terjadi
melalui proses penyerapan oleh lemak daging terkontaminasi terhadap bahan- bahan larut lemak. Ketengikan jenis ini disebut dengan
taint. Kejadian seperti ini umumnya pada daging-daging yang diolah atau yang disimpan. Kedua,
ketengikan yang terbentuk oleh adanya reaksi-reaksi hidrolitik yang dikatalisis oleh enzim lipase; atau yang disebut dengan ketengikan hidrolitik. Ketengikan
seperti ini tidak umum terjadi pada daging segar, kecuali setelah pembusukan oleh mikroba. Ketiga, ketengikan yang terjadi oleh adanya perubahan-
perubahan dalam lipid sebagai akibat dari interaksinya dengan oksigen atmosfir; atau yang dikenal dengan ketengikan oksidatif Hamilton 1983; Bailey
et al. 1992.
Ketengikan oksidatif berbeda dari reaksi-reaksi oksidasi yang menyebabkan WOF. Ketengikan yang terjadi secara oksidatif merupakan suatu
proses degradasi lambat dari asam-asam lemak tidak jenuh pada daging mentah, yang kemudian proses tersebut berlanjut pada pembentukan radikal
bebas dan hidroperoksida. Hasil-hasil reaksi dari proses lanjutan inilah yang menghasilkan senyawa-senyawa volatil
off-odor, yang terdiri atas aldehid, alkohol, hidrokarbon, dan asam-asam.
Berges 1999 menjelaskan bahwa oksidasi lipid merupakan suatu proses autokatalitik yang terjadi di dalam membran-membran biologis. Umumnya
oksigen yang digunakan oleh sel tereduksi di dalam mitokondria. Sebagian kecil digunakan oleh reaksi-reaksi yang terjadi di dalam sitosol, nukleus, dan membran
sel. Oksigen pada membran sel menerima empat elektron setelah menghasilkan sejumlah molekul NADH yang diperlukan untuk peningkatan energi ATP. Melalui
kerja enzim-enzim tertentu, NADH akan menerima hanya satu elektron yang menyebabkan meningkatnya produksi anion superoksida O
2 -•
, atau hidrogen peroksida H
2
O
2
. Anion O
2 -•
merupakan salah satu dari radikal-radikal bebas yang mengawali terjadinya proses-proses oksidasi di dalam sel. Anion-anion
tersebut bilamana bereaksi dengan H
2
O
2
membentuk senyawa yang lebih agresif yaitu radikal hidroksi
•
OH. Mekanisme proses oksidasi asam-asam lemak dan pembentukan produk senyawa-senyawa yang dapat menghasilkan
off-odor diperlihatkan pada Gambar 6.
Selanjutnya Berges 1999 menyimpulkan bahwa proses oksidasi dapat terjadi pada ternak apabila didukung oleh sejumlah faktor penyebab yang antara
lain adalah: tingkat kejenuhan asam lemak pada daging; radikal bebas, mioglobin, hemoglobin, sitokrom, logam-logam berat, seperti: besi, tembaga, dan
logam-logam berat lain; kondisi ternak saat pemotongan stress, pH, temperatur karkas, rangsangan elektrikal; dan, hilangnya integritas membran otot yang
disebabkan oleh penggilingan, pengolahan, dan pemasakan. Sebagai akibat dari peroksidasi yang terjadi pada ternak hidup dan
ketengikan oksidatif yang mulai berlangsung sesaat setelah ternak dipotong, asam-asam lemak tidak jenuh jamak PUFA terdekomposisi menjadi senyawa-
senyawa dengan rantai yang lebih pendek, seperti aldehid, keton, dll, yang mana merupakan senyawa-senyawa yang dapat menghasilkan odor dan rasa yang
tidak disukai. Odor dan rasa seperti itu menyebabkan penerimaan daging oleh konsumen berkurang.
PUFA - RH
Radikal Asam Lemak - R
Radikal Peroksida - ROO
Hidroperoksida + Radikal Asam Lemak ROOH R
Aldehid, Keton, Asam, polimer, dll + Oksigen
Fe
2+
Cu
+
+ PUFA RH
Gambar 6 Mekanisme oksidasi asam lemak Berges 1999. Ketengikan oksidatif merupakan faktor pembatas dalam memperpanjang
penyimpanan daging segar pada temperatur beku. Bou et al. 2001
mengemukakan bahwa oksidasi lipid merupakan penyebab utama pada kerusakan produk-produk unggas, terutama dalam menghasilkan odor atau flavor
yang tidak disukai konsumen, serta menyebabkan masa simpan yang pendek. Oleh karena itu dalam prosedur pengolahan yang sudah dilakukan secara
moderen, biasanya terdapat perlakuan-perlakuan awal sebelum penyimpanan yang ditujukan untuk memperpanjang masa simpan daging. Beberapa prosedur
tersebut yaitu seperti pengepakan vakum dan pengepakan atmosfir terkontrol dengan karbon dioksida dan nitrogen Bailey
et al. 1992. Masalah ketengikan pada daging unggas dan upaya-upaya untuk
mengatasinya sejak tahun 1940-an sudah mulai mendapatkan perhatian dari sejumlah peneliti. Kummerow
et al. 1948 telah mempelajari pengaruh berbagai
jenis pakan terhadap derajat ketengikan pada daging kalkun. Kemudian pada 1970-an Marusich
et al. 1975 mengembangkan penelitian serupa melalui penggunaan vitamin E dalam mengatasi ketengikan pada ayam broiler dan
kalkun. Dari sejumlah penelitian mengenai ketengikan pada daging diperoleh bahwa laju ketengikan oksidasi mempunyai hubungan yang erat dengan
peningkatan senyawa asam 2-thiobarbiturat TBA. Oleh karena itu untuk menetapkan laju oksidasi pada suatu produk daging dilakukan pengukuran
terhadap nilai TBA. Nijssen 1991 melaporkan bahwa dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa pada jaringan broiler, peningkatan nilai TBA paling
tinggi pada hati dan daging dada, kemudian diikuti oleh daging paha, kulit, dan lemak depot. Dari penelitian tersebut diperoleh juga bahwa laju oksidasi selama
penyimpanan berkorelasi positif dengan kandungan protein, air, fosfolipid dan besi nonheme; sebaliknya berkorelasi negatif dengan lipid.
Bentuk off-flavor lain yang seringkali terjadi pada daging yaitu yang
diistilahkan dengan “ warmed-over flavor” WOF. Istilah ini pertama kali
digunakan pada 1958 oleh Tims dan Watts Pearson et al. 1977. WOF
seringkali terjadi pada daging yang sudah dimasak dan disimpan dalam lemari pendingin dengan temperatur 4
o
C selama 48 jam, dan dipanaskan kembali. Meskipun pada awalnya,
off-flavor ini lebih dijumpai pada daging yang telah dimasak, namun kini ditemui juga pada daging mentah yang digiling dan terkena
kontak dengan udara Cross et al. 1987. Kesan flavor yang ditangkap
konsumen terhadap WOF yaitu serupa dengan flavor daging panggang atau steak yang terlalu masak lama dipanggang, atau ada pula konsumen yang
mendeskripsi sebagai flavor tengik. Penelitian yang dikembangkan dalam mempelajari WOF didapatkan bahwa penyebab utama adalah akibat lemak
daging yang teroksidasi dan berkorelasi pula dengan intensitas pemanasan Cross
et al. 1987. Tidak seperti ketengikan oksidatif yang lebih lambat pembentukannya dan
yang umum terjadi pada daging mentah, WOF merupakan off-flavor yang lebih
cepat terbentuk dan pada daging yang sudah dimasak. Dari penelitian-penelitian sensori mengenai WOF diperoleh beberapa bahasa flavor yang dapat digunakan
untuk mendeskripsikannya yaitu seperti “ warmed-over”, “rancid”, dan “oxidized”.
Katalis Oksidasi
Laju dan tingkat oksidasi lipid daging bergantung pada sejumlah faktor, di antaranya yang terpenting adalah tingkat asam-lemak tidak jenuh jamak yang
terkandung dalam daging Gray dan Pearson 1994. Sudah sejak lama diketahui bahwa kelompok lipid yang terlibat sebagai penyebab kerusakan flavor pada
daging yang dimasak adalah asam-asam lemak tidak jenuh, terutama sebagai fosfolipid yang terdapat pada jaringan
lean dan lipid tingkat sel. Pembentukan
off-odor ketengikan berbeda bergantung spesies, karena adanya perbedaan dalam kandungan fosfolipid dan komposisi asam lemak.
Kerentanan fosfolipid terhadap oksidasi merupakan bagian dari tingginya asam lemak tidak jenuh jamak, khususnya asam linoleat dan arakidonat Igene dan
Pearson 1979. Sebagai contoh, fosfolipid pada daging sapi mengandung asam lemak tidak jenuh 15 persen lebih banyak daripada triasilgliserol-nya.
Selain itu, kerentanan fosfolipid terhadap oksidasi juga terkait dengan posisinya di dalam membran yang dekat dengan katalis-katalis oksidasi jaringan.
Kerusakan membran dan pengeksposan fosfolipid terhadap oksigen, enzim, pigmen heme dan ion-ion logam, dapat merupakan faktor penyebab cepatnya
terjadi ketengikan, termasuk kerusakan pada daging mentah Asghar et al.
1988. Hal yang banyak mendapat perhatian dari faktor-faktor pendukung proses
oksidasi yaitu unsur-unsur katalis. Teori yang telah berkembang sejak lama bahwa oksidasi lipid sangat dipengaruhi oleh beberapa katalis heme, seperti:
hemoglobin, mioglobin, dan sitokrom. Daging mengandung besi nonheme dan besi heme. Dalam oksidasi lipid daging, besi nonheme lebih berperan dalam
mempercepat berjalannya oksidasi. Pemasakan daging dapat mempercepat terjadinya oksidasi, karena dengan pemanasan molekul-molekul heme menjadi
rusak, tetapi sebaliknya meningkatkan besi nonheme. Pigmen heme akan berperan efektif sebagai katalis dalam oksidasi
bilamana terdapat hidrogen peroksida, terutama jika hidrogen peroksida dikombinasikan dengan metmioglobin teraktivasi, yang dikenal sebagai kation
radikal porpirin. Metmioglobin teraktivasi umumnya berfungsi sebagai katalis oksidasi lipid pada daging mentah.
Katalis lain yang juga berpengaruh dalam proses oksidasi lipid daging adalah ferritin, yaitu besi terlarut yang terkandung dalam protein yang tersimpan
dalam hati, limpa, dan otot rangka. Kandungan ion besi dalam ferritin
yaitu 4500 ion per molekul protein. Ferritin membebaskan besi sebagai Fe
2+
dengan tersedianya agen-agen pereduksi seperti askorbat, anion superoksida, dan tiol.
Fungsi ferritin sebagai katalis dalam oksidasi lipid sangat efektif pada daging yang dimasak. Pemanasan merusak molekul-molekul ferritin dan
membebaskan besi yang kemudian mengkatalisis oksidasi lipid diikuti dengan pembentuk
an off-odor. Ion-ion fero Fe
2+
bekerja memutuskan ikatan O – O dan membentuk radikal alkoksi yang sangat reaktif untuk reaksi propagasi;
sedangkan ion feri Fe
3+
membentuk radikal peroksil LOO
.
dan radikal alkoksi, LO
.
sebagaimana diperlihatkan dalam persamaan berikut: LOOH + Fe
2+
LO
•
+ OH ֿ + Fe
3+
LOOH + Fe
3+
LOO
•
+ H
+
+ Fe
2+
Ketersediaan Fe
2+
dapat pula dihasilkan melalui proses katalisasi pentransferan satu elektron dari NADPH ke Fe
3+
dengan bantuan enzim NADPH- sitokrom P-450 reduktase. Reaksi ion-ion Fe
2+
dengan oksigen menghasilkan senyawa-senyawa radikal yang dapat mengambil hidrogen dari asam-asam
lemak tidak jenuh jamak untuk memulai oksidasi.
Flavor dan Off-flavor Daging Itik
Secara umum telah diterima bahwa asal mula itik domestik saat ini berasal dari mallard berkepala hijau yaitu
Anas platyrhynchos platyrhynchos. Hampir di sebagian besar dunia sudah memanfaatkan fungsi ternak itik,
khususnya dalam fungsi sebagai penyedia daging dan telur. Hanya saja sampai sekarang di beberapa daerah, misalnya di Indonesia, peran itik yang lebih
menonjol adalah sebagai ternak penghasil telur dan dalam mengusahakannya masih pada skala kecil. Hal ini juga terkait dengan masih terbatasnya konsumen
daging itik. Namun di sebagian negara, sebagai contoh di Thailand, untuk memenuhi permintaan daging itik yang tinggi, saat ini sudah dihasilkan itik
broiler yang diusahakan pada skala komersil Bird 1995; Hardjosworo dan Rukmiasih 2000.
Daging itik umumnya mempunyai warna lebih gelap atau yang dikenal sebagai daging merah
red meat dibandingkan daging ayam. Sekalipun
demikian, komposisi nutrisi daging itik, khususnya protein, tidak berbeda dengan protein yang terkandung pada daging ayam 21.4 vs 20.8. Hanya saja,
untuk kadar lemak, daging itik memiliki kandungan lemak dua kali lebih tinggi daripada daging ayam 8.2 vs 4.8; tetapi kandungan tersebut masih jauh
lebih rendah apabila dibandingkan dengan kandungan lemak pada daging sapi 17, domba 22.4 ataupun babi 32 Srigandono 1997.
Kandungan lemak yang relatif tinggi pada daging itik bilamana dibandingkan dengan yang terdapat pada daging ayam, merupakan salah satu
kendala kurang tertariknya konsumen pada daging itik. Selain itu, banyak konsumen tidak menyukai daging itik karena ada kesan bahwa daging tersebut
mempunyai flavor amis atau anyir. Sehingga seringkali ternak itik sebelum diolah dianjurkan untuk dipanggang atau dengan membuang kelenjar ekornya tunggir,
eropygium Samosir 1993; Srigandono 1997. Lemak pada ternak itik ini merupakan prekursor utama dalam
pembentukan flavor maupun off-flavor pada daging itik. Hal ini diperlihatkan oleh
Wu dan Liou 1992 yang dari penelitiannya menyimpulkan bahwa senyawa- senyawa volatil yang terbentuk pada daging itik sebagian besar adalah hasil
degradasi asam-asam lemak. Komponen-komponen volatil tersebut terdiri atas aldehid, alkohol, keton, hidrokarbon, ester, dan furan. Hasil penelitian seperti ini
didapatkan juga oleh Hustiany 2001 yang melaporkan bahwa kelompok- kelompok volatil dari daging bagian paha dan dada itik terdiri atas aldehid,
alkohol, keton, asam karboksilat dan hidrokarbon. Menurut Wu dan Liou 1992, satu-satunya volatil bernitrogen yang teridentifikasi pada daging dan jaringan
lemak itik adalah indol, yang juga sekaligus berperan dalam memberi aroma spesifik pada daging itik, karena menghasilkan odor yang sangat tajam. Secara
kualitatif, senyawa indol pada itik lebih tinggi pada bagian daging 0.73 dibandingkan dengan pada jaringan lemaknya 0.37; akan tetapi secara
kuantitatif terjadi sebaliknya, jaringan lemak mengandung senyawa indol lebih tinggi daripada dagingnya 2.28 vs 1.72 ppb.
Kandungan lemak yang tinggi, terutama asam-asam lemak tidak jenuh, sangat memberi kecenderungan pada daging itik untuk menghasilkan
off-odor. Hustiany 2001 melaporkan bahwa pada daging itik, total asam lemak tidak
jenuh lebih tinggi daripada total asam lemak jenuhnya. Pada daging bagian dada dan paha ternak itik-jawa betina afkir berkulit, total asam lemak tidak jenuh
adalah 5058.8 mg dan 4830.9 mg, sedangkan asam lemak jenuhnya
adalah 2695.8 mg dan 2491.3 mg asam lemak per 100 gram daging segar, secara berturut-turut.
Komponen-komponen off-odor pada daging itik yang berhasil diidentifikasi
oleh Hustiany 2001 terdapat sebanyak 9 komponen, yaitu E-4-penten-2-ol,
1-pentanol, heksanal, E-1-okten-3-ol, nonanal, E-2-okten-1-ol, E-2-dekenal,
E-2-nonen-1-ol, dan trans-2-undekanal. Meskipun demikian, menurut Hustiany 2001, masih terdapat pula dua komponen penghasil
off-odor dengan nilai LRI 1104 dan 1123, yang tidak terdeteksi oleh GC-MS. Kualitas
off-odor yang dihasilkan oleh senyawa-senyawa tersebut diidentifikasi sebagai bau
green, grassy, langu beany, apek musty, amis fishy, pesing urine-like, ammonia,
ubi jalar sweet potatoe, dan unpleasant.
Pengurangan dan Pencegahan Off-odor Daging
Pengaruh flavor terhadap penerimaan daging oleh konsumen sangat memegang peran penting. Keputusan konsumen untuk memilih jenis daging
atau bagian potongannya sangat dipengaruhi oleh flavor dari daging tersebut, terlepas dari faktor-faktor lain seperti budaya dan ekonomi. Berdasarkan aturan
atau norma-norma yang berlaku secara religi ataupun adat-istiadat, konsumen dibatasi untuk tidak mengkonsumsi daging-daging tertentu. Demikian pula
dengan pertimbangan ekonomis, konsumen terpaksa harus memilih daging yang lebih terjangkau harganya.
Adanya bau yang tidak disukai atau yang tidak diharapkan atau yang disebut dengan
off-odor pada daging akan menjadi dasar bagi konsumen untuk tidak menerima atau mengonsumsi daging tersebut, sehingga hal ini menjadi
penting bagi peternak atau produsen daging untuk menyediakan daging dengan flavor yang lebih dapat diterima. Masalah
off-odor pada daging sesungguhnya sudah sejak lama menjadi perhatian produsen daging maupun para ahli pangan.
Sampai sekarang masalah tersebut terus dikembangkan dalam upaya menemukan metode-metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengatasinya.
Langkah awal dalam usaha mencegah atau mengatasi off-odor pada
daging yaitu dengan mengembangkan terlebih dahulu pemahaman terhadap mekanisme pembentukan
off-odor secara terintegrasi. Strategi seperti ini akan sangat membantu didalam penyusunan program yang tepat untuk mengatasi
masalah off-odor tersebut. Pendekatan terintegrasi perlu dilakukan dengan
memperhatikan asal-usul pembentukan off-odor yang sangat bervariasi.
Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab off-odor pada bahan pangan dan
secara khusus pada daging yaitu: terkontaminasi dengan lingkungan off-taint,
proses pengolahan, genetika, pakan, oksidasi lipid, reaksi-reaksi enzimatis dan nonenzimatis, dan mikroorganisme Reineccius 1979; Heath dan Reineccius
1986. Beberapa bentuk pendekatan yang digunakan untuk pencegahan dan
pengatasian off-odor yaitu pendekatan teknis, biologis, dan kimia. Pemilihan
terhadap bentuk pendekatan haruslah berdasar pada penyebab masalah off-
odor. Penyebab off-odor yang diakibatkan karena terkontaminasinya daging dengan lingkungan, jenis pakan, proses dan metode pengolahan, dan
mikroorganisme, cenderung diatasi dengan pendekatan teknis, seperti perbaikan managemen pemeliharaan, perkandangan, teknologi pengolahan, dan deregulasi
sistem sanitasi. Apabila off-odor terjadi karena faktor-faktor genetis, pendekatan
biologis dapat digunakan. Sebagai contoh, dengan sistem seleksi dan program pemuliabiakan dapat dikembangkan ternak-ternak yang memiliki potensi
penghasil daging dengan kualitas terbaik. Demikian pula, apabila penyebab
off-odor terjadi karena mekanisme reaksi kimia dalam tubuh, pendekatan yang dapat digunakan yaitu berupa suatu
pendekatan kimia. Off-flavor atau off-odor yang terbentuk akibat perubahan-
perubahan kimia karena berlangsungnya proses oksidasi lipid dalam daging, pendekatan yang digunakan haruslah berupa pendekatan yang dapat memberi
pencegahan atau penundaan terhadap terjadinya proses tersebut. Pertimbangan utama untuk menetapkan program pendekatan yang tepat
dalam mengatasi off-odor pada daging yaitu dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebabnya yang dominan. Pada daging sebagian besar senyawa, baik odor maupun
off-odor, terbentuk melalui proses degradasi lipid. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang terus dikembangkan sampai saat ini lebih berfokus
pada hal-hal yang berkaitan dengan degradasi lipid. Proses pembentukan
off-odor daging melalui degradasi lipid yang penting yaitu proses oksidasi. Menurut Reineccius 1979 reaksi oksidasi yang
menyebabkan terbentuknya off-odor pada daging meliputi oksidasi ketengikan
dan oksidasi warmed-over flavor WOF. Dengan demikian, upaya yang perlu
dilakukan untuk mengatasi masalah off-odor haruslah berupa sesuatu yang
dapat menghambat keberlangsungan proses-proses yang terkait dengan terjadinya oksidasi lipid dalam daging.
Proses-proses oksidatif dan akumulasi produk-produk oksidasi lipid sudah mulai terjadi pada ternak yang masih hidup dan terus berlangsung saat ternak
dipotong dan bahkan saat sistem-sistem homeostatik tubuh telah berhenti berfungsi. Laju proses oksidasi bergantung pada keaksesan terhadap oksigen,
kandungan prooksidan dan antioksidan dalam tubuh, dan kondisi-kondisi pengolahan serta penyimpanan daging.
Potensi terjadinya oksidasi lipid pada daging bervariasi diantara spesies ternak. Perbedaan ini bergantung pada sejumlah faktor baik yang dapat dikontrol
maupun tidak, yaitu seperti struktur jaringan daging, kandungan lemak, komposisi asam-asam lemak, pakan ternak, kandungan prooksidan dan
antioksidan dalam otot, serta kondisi pada saat pemotongan, pelayuan karkas, dan penyimpanan Skibsted
et al. 1998. Oleh karena itu, untuk mengatasi secara optimal masalah oksidasi lipid
pada daging, pemahaman terhadap saat mana terjadinya proses tersebut sangatlah diperlukan. Gambar 7 memperlihatkan peluang terjadinya proses
oksidasi lipid dalam suatu rantai produksi daging. Bagian dari rantai produksi dimana potensi terjadinya oksidasi lipid disebut dengan titik kontrol kritis.
Dengan merujuk pada titik kontrol sebagaimana diidentifikasi pada Gambar 7, akan sangat membantu dalam pelaksanaan upaya pengatasian
masalah oksidasi lipid secara terarah dan sistematis. Titik kontrol dalam rantai produksi daging dimana terdapat kemungkinan terjadinya oksidasi lipid yaitu: 1
pemberian pakan, 2 penanganan terhadap daging segar dan beku, 3 proses pengolahan daging, dan 4 proses pengepakan dan penyimpanan. Titik
−titik kontrol tersebut dapat menjadi acuan dan pemilihan terhadap program
pengendalian oksidasi lipid sekaligus untuk mengatasi persoalan off
−
flavor pada daging.
Pembahasan dalam bahan diskusi ini meskipun hanya difokuskan pada penghambatan oksidasi melalui tahapan pemberian pakan, beberapa contoh dari
tahapan yang lain disajikan pula. Pembatasan ini didasarkan bahwa penggunaan bahan
−bahan antioksidan lebih efektif dengan cara pemberian melalui makanan proses
in vivo dibandingkan dengan ketiga tahapan lainnya Skibsted
et al. 1998.
Rantai Produksi Titik Kontrol Kritis
Gambar 7 Titik kontrol kritis sepanjang rantai produksi dari ternak sampai menjadi makanan Skibsted
et al. 1998.
Antioksidan
Sampai saat ini, antioksidan merupakan satu-satunya bahan yang diakui sangat efektif dalam mengendalikan oksidasi lipid pada daging. Tanpa
pengontrolan terhadap oksidasi lipid menyebabkan kualitas daging, terutama kualitas organoleptik seperti flavor dan warna daging menurun Berges 1999.
Bahan pakan yang banyak digunakan dalam bentuk suplemen yang sekaligus berfungsi sebagai antioksidan adalah vitamin E tokoferol. Berbagai penelitian
penggunaan vitamin E pada beberapa jenis ternak seperti ayam, kalkun, babi, sapi, dan ikan, memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh signifikan dari vitamin
Pengolahan
: Pemanasan
Pemotongan pengirisan Perlakuan tekanan
Penambahan antioksidan dan bahan pengawet
Pengepakan dan Penyimpanan
: Cahaya
Ketersediaan oksigen Temperatur
Pertumbuhan mikroba
Perlakuan Pakan
: Antioksidan tokoferol, asam
askorbat, karotenoid, dan polifenol
Prooksidan Fe dan Cu
Proses Pemotongan
: Metode Pemisahan Tulang
Laju Pelayuan pendinginan
Daging Mentah Ternak
Produk daging
Pangan makanan
E terhadap penurunan oksidasi lipid di dalam daging dan jaringan adiposa ternak
−ternak tersebut Skibsted et al. 1998. Secara garis besar Kochhar dan Rossell 1990 mengklasifikasi
antioksidan ke dalam lima jenis, yaitu: 1. Antioksidan primer: termasuk dalam kelompok ini adalah senyawa
−senyawa fenolik yang berfungsi memutuskan rantai radikal bebas dalam oksidasi lipid.
Senyawa −senyawa dalam kelompok ini yaitu seperti tokoferol alami dan
sintetis, butylated hydroxyanisole BHA, butylated hydroxytoluene BHT,
tertiary butyl hydroquinone TBHQ, dll. 2. Penangkap oksigen
Oxygen Scavenger: Contohnya adalah vitamin C, askorbil palmitat. Senyawa
−senyawa dalam kelompok ini bereaksi dengan oksigen dan menempatkannya di dalam sistem tertutup. Kelompok antioksidan
ini disebut juga sebagai antioksidan sinergistik Rajalakshmi dan Narasimhan 1995.
3. Antioksidan sekunder: Kelompok ini berfungsi mendekomposisi hidrofenolik lipid sehingga menghasilkan produk akhir yang lebih stabil. Contoh: asam dilauril
tiopropionat, dan asam tiodipropionat. 4. Antioksidan enzim: Senyawa dalam kelompok ini berfungsi menghilangkan
oksigen −oksigen dengan menggunakan enzim misalnya enzim glukosa oksidase
dan enzim superoksida dismutase. Beberapa enzim yang tergolong dalam kelompok ini yaitu: enzim katalase, enzim glutation peroksidase, dll.
5. Pengikat logam chelating agent atau sekuestran: Fungsi dari kelompok ini
yaitu mengikat ion −ion logam seperti tembaga dan besi yang merupakan ion−ion
logam katalis dalam oksidasi lipid. Contoh senyawa dalam kelompok ini yaitu asam sitrat, asam
−asam amino, asam etilen diaminotetra asetat EDTA, dll.
Berdasarkan pada sumber dari mana diperoleh, antioksidan dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu antioksidan sintetis konvensional dan
antioksidan alami. Penggunaan antioksidan alami lebih populer daripada yang sintetis. Pertimbangan terhadap kesehatan, penggunaan antioksidan terutama
yang sintetis sangat dibatasi. Beberapa jenis antioksidan sintetis yang tersedia secara komersil dan aman digunakan yaitu BHT, BHA, TBHQ, dan
DL −α−tokoferol.
Antioksidan alami berasal dari berbagai sumber seperti dari sayur
−sayuran, buah−buahan, minyak biji−bijian, rempah−rempah,
tanaman −tanaman herba, hidrolisat protein, dan juga hasil−hasil reaksi
nonenzimatik browning. Senyawa −senyawa seperti vitamin E, vitamin C, dan
minyak nabati yang kaya beta −karoten merupakan antioksidan alami yang sudah
sangat umum digunakan dan luas aplikasinya. Senyawa
−senyawa antioksidan mengurangi oksidasi lemak dengan mengoksidasikan dirinya atau dengan mendonasikan hidrogen kepada
radikal −radikal bebas asam−asam lemak agar mempercepat reaksi berantai
radikal bebas langsung berada pada tahapan terminal. Dengan kata lain, antioksidan menghentikan proses berantai dari reaksi radikal bebas
Bernardo −Gil 1997.
Mekanisme Kerja Antioksidan
Aktivitas antioksidan dalam fungsinya menghambat reaksi oksidasi sangatlah relevan dengan proses
−proses yang berlangsung dalam oksidasi itu sendiri. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa proses oksidasi
berlangsung sebagai suatu reaksi yang berawal dari reaksi inisiasi atau reaksi pembentukan radikal; kemudian berlanjut ke tahapan propagasi atau
pengubahan suatu radikal menjadi radikal lain; dan tahap terakhir atau terminasi, yaitu dimana kombinasi dua radikal membentuk produk yang lebih stabil.
Antioksidan primer bekerja dengan mengubah radikal −radikal lipid
menjadi produk yang lebih stabil. Proses ini dapat dilakukan dimana antioksidan berfungsi sebagai donor atom hidrogen kepada radikal lipid dengan mengikuti
persamaan reaksi sebagai berikut: RO
•
+ AH ROH + A
•
Radikal fenoksil A
•
yang terbentuk lebih stabil sehingga dapat mengurangi laju propagasi dari rangkaian reaksi otoksidasi Gordon 1990.
Kelompok antioksidan yang bekerja sebagai penangkap oksigen juga dapat diandalkan dalam penghambatan oksidasi lipid. Senyawa
β−karoten merupakan salah satu contoh penting dalam kelompok ini.
Berbeda dengan antioksidan primer, antioksidan sekunder bekerja secara tidak langsung terhadap aktivitas radikal dalam menghambat oksidasi.
Antioksidan sekunder bekerja dengan memproses senyawa −senyawa tertentu
agar tidak berpotensi membentuk suatu radikal. Proses ini dapat berlangsung dalam beberapa mekanisme, misalnya antara lain pengikatan ion
−ion logam
yang berfungsi sebagai pengaktif enzim yang dapat mengkatalis suatu reaksi penghasil radikal, atau dengan mendekomposisi hidroperoksida menjadi
senyawa yang bersifat nonradikal. Contoh bahan yang bekerja sebagai antioksidan sekunder yaitu vitamin C, EDTA dan asam sitrat. Aktivitas
antioksidan sekunder akan bertambah efektif bilamana disertai dengan adanya antioksidan primer. Hal ini dibuktikan bahwa aktivitas vitamin C sebagai agen
pereduksi dapat semakin efektif bilamana terdapat bersama vitamin E Gordon 1990.
Senyawa −senyawa pengikat logam yang membentuk suatu ikatan−σ
dengan suatu logam merupakan antioksidan sekunder yang efektif, sebab dapat menurunkan potensial redoks. Oleh karena itu, bentuk
−bentuk teroksidasi dari ion
−ion logam dapat distabilkan. Sebab sebaliknya bilamana chelating agent membentuk suatu
π−kompleks, justru akan meningkatkan potensial redoks, dan karenanya akan mempunyai efek sebagai prooksidan.
Enzim superoksida dismutase dan enzim katalase juga memainkan peranan penting dalam menghambat proses oksidasi lipid. Radikal superoksida
O
2 •−
yang diproduksi oleh enzim xantin oksidase dan hidrogen peroksida dapat dihilangkan oleh enzim superoksida dismutase seperti terlihat pada persamaan
berikut: Superoksida dismutase
2 O
2 •−
+ 2 H
+
H
2
O
2
+
3
O
2
Hampir serupa dengan enzim superoksida dismutase, enzim katalase berfungsi mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen, sebagaimana
dalam persamaan berikut: katalase
2H
2
O
2
2H
2
O +
3
O
2
Aplikasi Antioksidan dalam Upaya Menghambat Oksidasi Lipid
Penelitian yang dilakukan oleh Webb et al. 1972 yang mempelajari
pengaruh suplementasi vitamin E pada kalkun memperlihatkan bahwa pemberian vitamin E sebanyak 10 IU atau 100 IU, baik dengan penambahan langsung ke
dalam pakan maupun diinjeksi, menurunkan proses oksidasi lipid yang
ditunjukkan dengan menurunnya nilai asam tioabarbiturat TBA secara signifikan. Hasil penelitian itu juga memperlihatkan bahwa dosis pemberian
vitamin E menurunkan secara nyata off-odor daging kalkun. Dilaporkan pula
bahwa kadar off-odor dipengaruhi oleh bagian potongan daging dan jenis
kelamin ternak. Potongan daging pada bagian paha memiliki nilai off-odor lebih
tinggi daripada bagian dada; demikian pula kalkun betina mempunyai derajat off-
odor yang lebih tinggi daripada kalkun jantan Tabel 2. Pencegahan oksidasi lipid di dalam daging ayam dengan pemberian
vitamin E juga diperlihatkan oleh Sheehy et al. 1993 yang mengkombinasikan
vitamin E dengan minyak nabati yang dipanaskan dan menyimpulkan bahwa kadar
α−tokoferol dalam plasma berkorelasi dengan kadar α−tokoferol di dalam otot paha dan dada ayam. Demikian pula Whang
et al. 1986 melaporkan bahwa pemberian
α−tokoferol memperlambat laju oksidasi pada daging babi yang setelah dimasak disimpan pada suhu 4
o
C atau −20
o
C. Pemberian α−tokoferol sampai level 200 ppm, mampu memperpanjang daya simpannya
sampai 60 hari. Tabel 2 Nilai tengah flavor
, off
−
flavor dan off
−
odor berdasar perlakuan Perlakuan pemberian vitamin E
Parameter Sex
Kontrol Oral Injeksi
10 IU 100 IU
10 IU 100 IU
Flavor F 4.79
a
5.01
ab
5.50
c
5.16b
c
5.21
bc
M 4.90
a
4.89
a
4.90
a
5.22
a
4.88
a
Off −flavor
F 2.89
a
2.66
ab
2.13
ab
2.41
bc
2.04
c
M 2.26
a
2.06
a
2.11
a
1.67
b
2.26
a
Off −odor
F 2.00
a
2.05
a
1.69
b
1.74
b
1.76
b
M 1.71
a
1.50
a
1.43
a
1.40
a
1.46
a a
nilai yang tidak diikuti dengan huruf yang sama menyatakan adanya perbedaan sangat nyata pada p 0.01 Webb
et al. 1972.
Penurunan senyawa-senyawa volatil off-odor pada daging ayam juga
diperlihatkan oleh De Winne dan Dirinck 1996 dengan pemberian vitamin E
Tabel 3. Konsentrasi senyawa −senyawa aldehid tak jenuh pada ayam seperti
2-heptenal, 2-oktenal, 2-nonenal, 2-dekenal, dan 2-undekenal, jauh lebih kecil pada ayam
−ayam yang diberi vitamin E dibandingkan kontrol. Hasil ini juga sangat relevan pada pengujian
off-flavor, sebab pada daging yang disuplementasi vitamin E flavornya lebih baik daripada kontrol.
Pengaruh suplementasi vitamin E terhadap pengendalian ketengikan pada daging unggas diperlihatkan dalam penelitian Marusich
et al. 1975 yang melaporkan bahwa pemberian vitamin E pada level 40 IUkg selama 8 minggu
atau 160 IUkg selama 5 hari sangat efektif dalam menunda terjadinya ketengikan pada ternak ayam. Sedangkan pada kalkun pemberian suplementasi
vitamin E pada level 200 IUkg selama 4 minggu atau 400 IUkg selama 3 minggu memberi hasil yang sangat baik dalam menghambat proses ketengikan. Melalui
penelitian ini Marusich et al. 1975 menyimpulkan bahwa baik tokoferol bebas
dan asetat ester-nya sangat efektif dan serupa sebagai pakan sumber antioksidan yang berfungsi dalam menunda pembentukan malonaldehid selama
penyimpanan pada suhu 1
o
C. Kadar pembentukan malonaldehid diukur berdasarkan nilai TBA yang
sangat berkorelasi dengan derajat off-flavor dan off-odor. Hasil penelitian
Marusich et al. 1975 menunjukkan pula bahwa meningkatnya kandungan
malonaldehid atau TBA akan sejalan dengan meningkatnya oksidasi lipid jaringan.
Upaya penghambatan ketengikan pada daging dengan antioksidan juga dilakukan oleh Younathan
et al. 1980 dengan mengaplikasikan beberapa bahan sayuran seperti jus bawang, kentang, dan ubijalar sebagai sumber antioksidan
untuk daging kalkun dan sapi. Hasil penelitian yang dilakukan memperlihatkan bahwa penggunaan bahan-bahan sayuran yang banyak mengandung pigmen
flavonoid itu cukup efektif dalam mengontrol laju ketengikan dari daging kalkun dan sapi yang disimpan dalam beberapa waktu, yang diukur dengan nilai TBA.
Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara nilai TBA daging dan kualitas organoleptiknya. Adanya korelasi antara nilai organoleptik
dan TBA pada daging juga diamati dalam penelitian yang dilakukan pada ayam broiler Bou
et al. 2001 dan pada sapi Scollan et al. 2005.
Tabel 3 Nilai tengah konsentrasi senyawa −senyawa aldehid jenuh dan tak jenuh
pada paha dan dada ayam
1
Paha Dada Senyawa volatil
Kontrol Vitamin E
Kontrol Vitamin E
Aldehid jenuh Pentanal
0.145 0.032
0.069 0.010
Heksanal 0.959
0.176 0.376
0.102 Heptanal
0.174 0.035
0.092 0.051
Oktanal 0.198
0.043 0.108
0.042 Nonanal
0.431 0.091
0.216 0.067
Aldehid tak jenuh 2
−heptenal 0.151 0.034 0.069
0.010 2
−oktenal 0.305 0.038 0.113
0.010 2
−nonenal 0.115 0.023 0.076
0.010 2
−dekenal 0.214 0.030 0.146
0.010 cis,trans
−2,4−dekadienal 0.111
0.010 0.057
0.010 trans,trans
−2,4−dekadienal 0.525 0.037 0.141
0.010 2
−undekenal 0.154 0.024 0.125
0.010 Sumber:
1
De Winne dan Dirinck 1996 Menurut O’Neill
et al. 1998 peningkatan komposisi lemak jenuh pada ayam tidak mempengaruhi mutu daging dengan adanya suplementasi vitamin E.
Dalam penelitian ini juga diperlihatkan bahwa pembentukan WOF dapat berkurang dengan pemberian vitamin E. Ruiz
et al. 2001 melaporkan pula bahwa pemberian ransum yang kaya vitamin E dapat meniadakan pengaruh
suplementasi lemak terhadap kualitas daging ayam. Demikian pula Chan et al.
1995 melaporkan bahwa suplementasi vitamin E dapat mempertahankan dan memperbaiki kualitas produk daging, sebab ditemukan bahwa steak sapi dari
ternak yang disuplementasi vitamin E lebih disukai oleh konsumen. Penelitian pada daging sapi oleh Arnold
et al. 1993 memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam intensitas
off-flavor pada daging yang disimpan pada suhu
−20
o
C antara yang tanpa diberi vitamin E dengan masa simpan dua hari dengan yang diberi vitamin E 500 IUhari untuk masa
penyimpanan lima hari.
O R
3
HO R
2
R
1
Fungsi dan Mekanisme Kerja Vitamin E
Secara garis besar vitamin E dikelompokkan ke dalam dua kelas, yaitu tokol dan tokotrienol trienol. Kelompok tokol mempunyai rantai samping jenuh;
sedangkan kelompok tokotrienol mempunyai rantai samping tidak jenuh. Senyawa-senyawa dalam kelompok tokol, terutama
α-tokoferol, lebih dikenal dibandingkan dengan yang dalam kelompok trienol. Aktivitas
α-tokoferol paling besar diantara anggota tokol yang lain, yakni
β, , dan δ -tokoferol. Penamaan jenis tokoferol didasarkan atas jumlah dan posisi dari gugus metilnya,
sebagaimana pada Gambar 8. Penyerapan vitamin E sebagai alkohol bebas terjadi terutama di jejunum
melalui difusi pasif. Tokoferol yang terabsorpsi digabungkan ke dalam kilomikron yang terdapat di dalam enterosit mukosa, dan dibawa melalui limfa cairan
getah bening ke dalam sirkulasi sistem limfatik. Selanjutnya tokoferol akan didistribusi ke dalam jaringan tubuh dengan transpor LDL; di sini tokoferol
sekaligus berfungsi melindungi LDL dari oksidasi. Di dalam sitoplasma, vitamin E terikat pada “tochopherol-binding protein”, sebagai alat transpornya. Selain
terdapat dalam plasma, vitamin E banyak dijumpai dalam mitokondria. Organ dimana vitamin E banyak tersimpan yaitu di jaringan adiposa. Konsentrasi
vitamin E di jaringan ini meningkat linier sejalan dengan peningkatan level vitamin E dalam pakan Surai 2003.
Gambar 8 Struktur bangun tokoferol.
Keterangan: Senyawa R
1
R
2
R
3
α-tokoferol CH
3
CH
3
CH
3
β-tokoferol CH
3
H CH
3
-tokoferol H CH
3
CH
3
δ-tokoferol H H CH
3
Perbedaan afinitas tokoferol terhadap membran sel pada berbagai organ dan jaringan menghasilkan konsentrasi tokoferol yang berbeda pada lokasi yang
berbeda. Dua faktor penting yang menentukan konsentrasi tokoferol dalam jaringan yaitu lama periode pemberian dan jumlahnya yang ditambahkan ke
dalam makanan. Hasil penelitian yang diacu oleh Berges 1999 melaporkan bahwa dengan mengsuplementasikan 200 mg
α-tokoferol asetatkg pakan broiler dalam periode yang berbeda 1, 2, 3, 4, dan 5 minggu sebelum pemotongan
diperoleh bahwa konsentasi α-tokoferol berbeda-beda di antara jaringan.
Konsentrasi paling tinggi terdapat di dalam jantung dan terendah di dalam otak. Konsentrasi sedang dijumpai pada paru-paru, hati, paha, dan dada. Pada
jantung, konsentrasi tertinggi dicapai pada suplementasi tiga minggu sebelum pemotongan, sedangkan pada paha dan dada, konsentrasi tertinggi baru dapat
dicapai pada peride empat minggu sebelum pemotongan. Sheldon 1984 mengemukakan bahwa daging paha kalkun dapat mengandung
α-tokoferol sampai enam kali lebih tinggi daripada yang terdapat pada bagian dada atau
lemaknya. Kenyataan ini dijelaskan dengan berasumsi bahwa adanya vaskularitas yang lebih besar pada kaki kalkun dibandingkan dengan bagian
tubuh yang lain. Berdasarkan pada bangsa ternak, Berges 1999 menyimpulkan bahwa
terdapat perbedaan di antara ayam dan kalkun dalam mendeposisikan vitamin E. Kalkun kurang efisien dalam mendeposisikan
α-tokoferol, baik pada lemak ataupun pada ototnya. Rendahnya vitamin E dalam kalkun disebabkan oleh
tingginya metabolisme α-tokoferol pada ternak ini dibandingkan dengan ayam.
Oleh karena itu Sheldon 1984 menyatakan bahwa daging kalkun sangat rentan terhadap oksidasi. Sehingga kepada ternak ini pemberian vitamin E perlu
disediakan dalam jumlah yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan kepada ternak ayam.
Fosfolipid pada membran sel lebih banyak mengandung asam-asam lemak tak jenuh; sehingga adanya vitamin E sangat berguna untuk melindungi
membran dari kerusakan akibat oksidasi. Membran sel sangat sensitif terhadap oksidasi, terutama bila bereaksi dengan radikal yang terdapat di dalam tubuh,
khususnya radikal hidroksi OH
•
. Mekanisme oksidasi lipid membran dapat dijelaskan berikut ini:
1 Pada tahapan inisiasi senyawa lipid organik LH bereaksi dengan radikal hidroksi OH
.
bebas, yang menghasilkan terbentuknya suatu radikal lipid dan air, dengan persamaan:
LH + OH
•
L
•
+ H
2
O 2 Atau suatu kemungkinan lain, senyawa lipid LH bereaksi dengan
oksigen dan menghasilkan radikal lipid dan radikal hidroperoksi HO
2
.
. LH + O
2
L
•
+ HO
2
•
Sekali radikal lipid terbentuk, mereka dapat bereaksi membentuk radikal- radikal tambahan dalam reaksi atau tahapan propagasi.
3 Radikal lipid bereaksi dengan oksigen dalam reaksi propagasi membentuk radikal peroksil LOO
.
L
•
+ O
2
LOO
•
4 Radikal peroksil lipid dapat pula dihasilkan dari reaksi antara Fe
3+
dengan hidroperoksida lipid LOOH.
Fe
3+
+ LOOH Fe
2+
+ LOO
•
Radikal peroksil yang terbentuk dapat menarik satu atom hidrogen dari senyawa organik lain termasuk dari lemak jenuh di dalam membran untuk
menghasilkan suatu reaksi berantai dengan radikal lipid L
•
. LOO
•
+ LH L
•
+ LOOH Reaksi berantai yang melibatkan radikal lipid L
•
harus dihentikan untuk mencegah kerusakan sel. Peranan vitamin E diperlukan dalam proses ini.
Vitamin E yang terdapat di dalam membran berperan untuk memutus rantai radikal dengan bereaksi dengan radikal peroksil LOO
•
dan mencegah penarikan hidrogen dari asam-asam lemak atau senyawa organik lainnya.
Dengan demikian dalam hal ini vitamin E berperan menghentikan reaksi pada rantai propagasi. Namun vitamin E belum efektif dalam menghentikan produksi
radikal hidroksi OH
•
atau radikal alkoksi LO
•
. Reaksi vitamin E EH, status tereduksi dengan radikal peroksi lipid atau nonlipid sebagai berikut:
LOO
•
+ EH LOOH + E
•
atau ROO
•
+ EH ROOH + E
•
E
•
adalah vitamin E yang tereduksi. Pereduksian ini memerlukan adanya vitamin C, glutation GSH, dan NADPH. Proses yang sedemikian tadi seringkali
disebut sebagai “ free-radical scavenging”. Terminasi dicapai ketika dua radikal
bebas bergabung membentuk suatu molekul yang bukan lagi sebagai radikal bebas atau yang tidak dapat lagi melanjutkan reaksi Groff dan Gropper 2000.
Gambar 9 memperlihatkan reaksi berantai pada tahapan inisiasi yang disebabkan oleh radikal bebas hidroksi menyerang suatu asam lemak tak jenuh.
Radikal hidroksi air OH
•
H
2
O CH3CH = CHCH2CH2nCOOH CH3CH
= CHĊHCH2nCOOH Asam lemak tak jenuh radikal lipid O
2
LH L
•
Reaksi rantai berlanjut LH O — OH
•
O — O │ │
CH
3
CH = CHCHCH
2 n
COOH CH
3
CH = CHCHCH
2 n
COOH Hidroperoksida lipid Radikal peroksil lipid
LOOH LOO
•
L
•
Gambar 9 Reaksi inisiasi dan berantai yang disebabkan oleh radikal bebas hidroksi menyerang asam lemak tak jenuh Groff dan Gropper 2000.
Metabolisme Vitamin E
Penyerapan tokoferol terjadi pada sistem limfatik dimana tokoferol dibawa sebagai suatu kompleks lipoprotein. Efisiensi penyerapan tokoferol dipengaruhi
oleh pencernaan dan penyerapan lipid. Senyawa-senyawa trigliserida umumnya meningkatkan penyerapan tokoferol; sebaliknya asam lemak tak jenuh
menghambatnya Machlin 1990.
Pada ternak, vitamin E lebih siap diserap dalam bentuk emulsi cairan daripada yang dalam bentuk larutan minyak; karena itu pada ternak biasanya
vitamin E diberikan dalam bentuk tokoferol asetat yang lebih mudah dihidrolisis dengan enzim esterase yang terdapat pada mukosa duodenum.
Sirkulasi vitamin E berlangsung melalui limfa dan darah yang tergabung dalam lipoprotein. Perletakan tokoferol oleh jaringan bervariasi sejalan dengan
pengambilan tokoferol. Konsentrasi vitamin E banyak terdapat pada kelenjar adrenal, pituitari, dan testis; dengan konsentrasi tertinggi dalam membran sel
seperti mitokondria dan mikrosom. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa
α-tokoferol dapat berfungsi sebagai antioksidan secara
in vivo. Asam-asam lemak jamak tidak jenuh PUFA paling sensitif terhadap oksidasi. Semakin banyak ikatan rangkap, semakin
besar konsentrasi terhadap oksidasi. Faktor-faktor pendukung yang makin meningkatkan fungsi vitamin E yaitu dengan tersedianya beberapa enzim, seperti
enzim superoksida dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase.
Rantai cincin tokoferol atau kromonal terdapat pada permukaan membran yang polar dan rantai samping fitil berinteraksi dengan PUFA dari fosfolipid di
dalam membran nonpolar. Satu aspek penting yang membuat α-tokoferol sangat
unik sebagai antioksidan in vivo adalah kemampuannya untuk dihasilkan dari
radikal tokoperoksi oleh vitamin C dengan glutation tereduksi. Ada atau tidaknya vitamin E dalam jaringan ternak merupakan faktor yang
sangat kritis terhadap stabilitas lipid selama penyimpanan daging. Dengan menangkap radikal-radikal bebas, vitamin E melindungi asam-asam lemak dan
kolesterol dari oksidasi. Dalam proses ini vitamin E melepaskan satu atom hidrogen yang kemudian ditangkap oleh suatu radikal peroksil, selanjutnya
tereduksi membentuk hidroperoksida. Radikal vitamin E bersifat stabil dan tidak bereaksi dengan asam-asam lemak PUFA. Vitamin E dapat juga bereaksi
dengan radikal-radikal lain, yang dengan ini, reaksi rantai oksidasi lipid dapat dihentikan. Proses mekanisme reaksi vitamin E dengan suatu senyawa radikal
diperlihatkan dalam Gambar 10.
Gambar 10 Mekanisme efek antioksidan vitamin E.
Interaksi Vitamin E dengan Vitamin Antioksidan yang Lain
Metabolisme unsur-unsur nutrisi sesuai fungsinya masing-masing di dalam tubuh, telah diketahui bahwa mereka tidak bekerja sendiri. Sebaliknya
unsur-unsur tersebut akan bekerja secara interaksi, apakah itu dalam bentuk sinergis atau antagonis antara satu unsur dengan unsur lainnya. Demikian
halnya dengan vitamin. Berperan sebagai senyawa antioksidan di dalam tubuh, setiap vitamin akan bekerja secara interaksi, baik dengan sesama unsur vitamin
atau dengan unsur lain, misalnya dengan mineral, untuk menghasilkan fungsinya sebagai antioksidan secara optimal Machlin dan Langseth 1988.
Interaksi antara senyawa-senyawa vitamin dapat berlangsung pada proses absorpsi. metabolisme, katabolisme, dan ekskresi. Satu vitamin mungkin
saja diperlukan untuk optimalisasi absorpsi dari vitamin lain, atau satu vitamin diperlukan untuk melindungi katabolisme berlebih dari vitamin yang lain. Sebagai
contoh, vitamin C berperan melindungi kerusakan vitamin E, sedangkan vitamin E berfungsi melindungi vitamin A Leung
et al. 1981; Abawi et al. 1985; Lambelet et al. 1985.
ROOH
Senyawa intermediet sangat stabil
O CH
3
HO
CH
3
CH
3
ROO
O CH
3
O
.
CH
3
CH
3
ROO
ROOH
Terminal
O CH
3
O
.
CH
3
CH
3
Interaksi Vitamin E dengan Vitamin C
Vitamin C atau yang dikenal pula sebagai L-ascorbic acid dengan struktur molekul pada Gambar 11, merupakan vitamin yang bersifat larut air dan sebagai
antioksidan yang penting dalam cairan ekstraseluler. Vitamin C sangat efisien dalam menangkap beberapa senyawa seperti: superoksida, hidrogen peroksida,
radikal hidroksi, dan radikal peroksil Sies dan Stahl 1995. Akan tetapi menurut Bou
et al. 2001 aplikasi vitamin C sebagai antioksidan pada ternak untuk menghambat oksidasi masih sedikit yang dilakukan penenelitiannya.
Gambar 11 Struktur molekul vitamin C.
Penelitian yang dilakukan secara in-vitro diperoleh bahwa interaksi antara vitamin E dan C bersifat sinergistik dalam fungsinya sebagai antioksidan. Vitamin
E berperan sebagai antioksidan lipofilik, sedangkan vitamin C sebagai antioksidan hidrofilik Niki
et al. 1995. Hasil beberapa penelitian yang disitir oleh Machlin dan Langseth 1988 memperlihatkan bahwa kombinasi vitamin E dan C
lebih efektif dalam menekan terjadinya peroksidasi pada mikrosoma hati tikus daripada kedua vitamin tersebut apabila diberikan secara sendiri-sendiri. Dalam
penelitian in-vitro yang lain diperlihatkan bahwa vitamin E dan C berfungsi
sebagai penangkap radikal bebas dan bekerja secara sinergistik dalam antioksidasi lipid. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan pada manusia,
diperoleh bahwa suplementasi kedua vitamin tersebut secara sinergis menurunkan lipid peroksida.
Vitamin C diketahui berperan meregenerasikan tokoferol dari radikal tokoperoksil, sehingga dapat mempertahankan keaktifan vitamin E sebagai
antioksidan. Oleh karena itu disimpulkan bahwa vitamin C membantu mengendalikan peroksidasi lipid. Hasil seperti dalam penelitian Reinton dan
Rogstad 1981 yang menggunakan kombinasi tokoferol dan asam askorbat
O HO
O OH
OH OH
Z E
E E
E E
E E
E E
Z
H
3
C CH
3
H
3
C CH
3
CH
3
H
3
C CH
3
CH
3
CH
3
CH
3
diperoleh bahwa kombinasi tersebut dapat menghasilkan efek penghambatan terhadap oksidasi asam lemak yang disimpan dalam beberapa lama waktu. Hal
yang sama dikemukakan pula oleh Sies dan Stahl 1995 bahwa vitamin C berfungsi melindungi membran terhadap peroksidasi melalui peningkatan
aktivitas tokoferol. Kemampuan vitamin C yang dapat menurunkan pembentukan radikal tokoperoksil, memfungsikannya mempertahankan aktivitas penangkapan
radikal oleh tokoferol. Radikal tokoperoksil yang terbentuk dalam membran diduga bereaksi dengan asam askorbat dan kemudian menghasilkan tokoferol.
Namun demikian hipotesis ini masih terus perlu dikaji.
Interaksi Vitamin E dengan Vitamin A β-Karoten
Senyawa β-karoten merupakan salah satu dari sekitar 500 senyawa
karotenoid alami atau sebagai senyawa provitamin A yang paling aktif. Sifat penting dari senyawa ini adalah lipofilik dan memiliki ikatan rangkap konjugasi.
Dari beberapa bentuk struktur isomer molekul β-karoten, isomer bentuk all-trans
Gambar 12 memiliki sifat aktif yang tinggi. Pada struktur β-karoten, terlihat
bahwa senyawa tersebut terdiri atas dua cincin β-ionon dan 18 rantai karbon.
Gambar 12 Struktur bangun senyawa all-trans β-karoten.
Sebagai senyawa antioksidan, β-karoten lebih terbatas bekerja pada
kondisi rendah oksigen. Pada kondisi oksigen yang tinggi, β-karoten justru dapat
menjadi prooksidan. Oleh karenanya senyawa ini sangat sensitif mengalami dekomposisi oksidatif apabila terkena udara. Sifat ini dimungkinkan terjadi
karena struktur molekulnya yang berikatan rangkap konjugasi Madhavi et al.
1996. Selain itu juga, β-karoten sangat sensitif terhadap cahaya, temperatur
dan kondisi asam. Penelitian memperlihatkan bahwa pada temperatur 45
o
C dalam kondisi terkena udara, senyawa
β-karoten menjadi rusak total setelah 6 minggu.
Hasil penelitian Niki et al. 1995 memperlihatkan bahwa sifat
penghambatan oksidasi oleh β-karoten dalam minyak kedelai dapat diperpanjang
apabila dikombinasikan dengan tokoferol. Demikian juga penggunaannya bagi kesehatan manusia terutama dalam mengatasi beberapa penyakit seperti
kanker, kardiovaskular, dan katarak. Sies dan Krinsky 1995 melaporkan bahwa β-karoten efektif untuk hal itu, terutama bilamana diaplikasikan bersama
tokoferol. Efek sinergistik antioksidan dari kombinasi vitamin E dan
β-karoten bersifat aditif dalam oksidasi lipid, dibandingkan apabila kedua senyawa tersebut
berada secara individu. Namun efek ini tidak sebesar apabila kombinasi tersebut adalah vitamin E dan vitamin C Niki
et al. 1995. Mekanisme sinergistik antara ketiga vitamin tersebut dalam perannya sebagai antioksidan diperlihatkan dalam
Gambar 13. C
•
C Air
LOOH LH LOOH E E
•
LH oksidasi berantai
Permukaan
LH L
•
LO
2
•
LO
2 •
E
•
BO
2 •
B
•
B B
•
BO
2 •
BOOH O
2
LH Interior oksidasi berantai
Gambar 13 Skema penghambatan oksidasi pada membran dan LDL oleh
kombinasi β-karoten B, vitamin C C, dan vitamin E E.
LH = Lipid; L
•
= radikal lipid; LO
2 •
= radikal lipid peroksil; LOOH = lipid hidroperoksida; B
•
= radikal derivasi β- karoten;
BO
2 •
= radikal β-karoten peroksil; BOOH = β-karoten hidroperoksida;
E
•
= radikal vitamin E; C
•
= radikal vitamin C Niki et al.1995.
Peranan β-karoten sebagai antioksidan untuk menangkap radikal, bukan
dengan menggunakan donasi atom hidrogen, tetapi dengan penambahan ikatan rangkap membentuk radikal karbon terpusat. Karena itu aktivitas antioksidan
β- karoten lebih tinggi pada tekanan oksigen yang lebih rendah.
Sifat sinergistik vitamin E dan β-karoten dapat pula dilihat pada kerjanya
di dalam membran dan LDL. Pada kondisi ini, vitamin E dan β-karoten bekerja
pada bagian yang berbeda. Vitamin E bekerja pada permukaan, sedangkan β-
karoten bekerja di bagian dalam membran Niki et al.1995
Analisis Sensori Off-Odor
Salah satu cara yang dapat dipakai untuk menilai intensitas off
−
odor yaitu dengan menggunakan teknik sensori. Metode ini dilakukan dengan melibatkan
sejumlah orang panelis yang mampu mendeteksi dan mendeskripsi off
−
odor. Sistem analisis sensori pada prinsipnya mencakup faktor fisiologis dan
psikologis. Lima jenis masalah berbeda dimana teknik sensori diterapkan, yaitu: 1 pengembangan produk baru, 2 usaha pengurangan biaya, 3 peningkatan
kualitas, 4 evaluasi penerimaan produk, dan 5 kontrol kualitas dan jaminan. Pendekatan yang paling mudah dalam analisis sensori, baik praktis
maupun teoritis, dibedakan dalam empat bidang utama, yaitu: 1. Analisis
Deskriptif: suatu analisis dengan menghasilkan bahasa
makanan atau minuman. Jadi bagaimana seseorang menjelaskan persepsinya tentang
makanan yang diujinya. 2. Pengukuran Intensitas: Persepsi sensori dengan menggunakan skala yang
memperlihatkan bagaimana rangsangan fisik berkembang menghasilkan respon sensori.
3. Pengukuran Hedonik: Metode analisis yang menguji suka atau tidak suka
4. Analisis GC-Sniffing: Teknik GCO yang menggabungkan instrumentasi
dan manusia. Pengembangan terhadap kualitas hasil penelitian flavor terus meningkat,
khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini sejalan dengan ditemukannya berbagai metode-metode baru dalam pengujian sensori. Aspek-
aspek metode pengujian yang lebih banyak mendapat perhatian yaitu: uji pembedaan, ranking dan rating, dan profil.
Uji pembedaan biasanya dilakukan dengan melibatkan jumlah panelis asesor yang lebih sedikit, bahkan seringkali tidak harus diperlukan mereka yang
berpengalaman. Metode uji pembedaan yang paling banyak dipakai yaitu: uji segitiga triangular, uji berpasangan, dan metode duo-trio. Sampel yang diuji
dengan metode ini harus diberi kode sedemikian rupa agar gambarannya tidak menimbulkan bias. Pembanding berpasangan jarang digunakan dalam uji
pembedaan karena tidak adanya hipotesis nol yang dibangun dengan penggunaan metode tersebut. Hasil dari pengujian berpasangan ini semata-
mata hanya di dasarkan pada peluang saja. Metode penjenjangan dan rating umumnya dilaksanakan dengan
menggunakan panelis yang terlatih baik dan berpengalaman. Peran utama panelis dalam metode ini yaitu mengevaluasi dan menempatkan secara berurut
intensitas dari sifat-sifat spesifik berjenjang, ranking, mengkuantifikasi dan
memberi skor rating, serta mengklasifikasi grading. Hasil penilaian panelis
biasanya dibuat dalam bentuk skala atau grafik. Skala kategori dipakai secara luas dalam berbagai bidang pengolahan makanan yang produknya memiliki sifat-
sifat multivariat yang mempengaruhi kualitas produk tersebut. Shand 1985 menyebutkan bahwa evaluasi dengan menggunakan sistem skala mempunyai
dua kelemahan, yaitu: a panelis seringkali menghindari menggunakan nilai-nilai ujung dari skala, sehingga hasil terhadap kategori dan pengaruhnya dapat
menghasilkan rating yang bias; b interval di dalam skala bisa saja tidak seimbang dalam derajat subyektivitasnya, sekalipun analisis datanya didasarkan
pada asumsi tersebut. Penyempurnaan dalam metode skala oleh Stone
et al. 1980 dipakai skala semistruktur. Metode ini lebih sensitif terhadap produk yang berbeda
dibandingkan dengan metode skala terstruktur. Metode skala semistruktur juga mengurangi kelemahan dalam hal keseimbangan interval skala, karena dengan
metode ini panelis lebih bebas dalam menentukan nilai skala dari suatu pengujian produk.
Metode profil yang digunakan secara analisis deskriptif akan lebih memampukan peneliti untuk mengidentifikasi dan menguraikan secara
kuantifikasi suatu produk berdasarkan kualitas visual, tekstur, auditori, olfaktori dan gustatori. Metode ini lebih banyak bergantung pada istilah-istilah kualitas
yang telah dikembangkan sebelumnya, dan biasanya tiap-tiap industri mengembangkan istilah-istilah yang lebih sesuai dengan industri tersebut. Oleh
karena itu, satu masalah penting yang dijumpai dalam metode ini yaitu adanya keragaman yang luas, sehingga seringkali menjadi kendala dalam analisis
statistik Meilgaard et al. 1999