2.50 3.50 PERBEDAAN GALUR TERNAK DAN JENIS LEMAK PAKAN TERHADAP BAU DAGING ITIK

cihateup yang diberi perlakuan lemak sapi, bau “ beany” dan “earthy” tidak ditemukan oleh semua panelis. Pola pemetaan intensitas komponen off-odor diperlihatkan melalui diagram jaring laba-laba sebagaimana pada Gambar 18 dan 19. Pada gambar- gambar tersebut terlihat bahwa atribut off-odor daging dari kedua jenis ternak membentuk pola yang mirip. Kedua gambar memperlihatkan bahwa arah komponen off-odor lebih dominan bergerak ke arah fishy, dan melebar ke arah fatty dan rancid. Gambar 18 Diagram jaring laba-laba atribut off-odor daging itik alabio. Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: ransun minyak kelapa. Alabio 30 60 90 120 150 Fishy Fatty Rancid Moldy Earthy Beany Ko LS MKp MKd Gambar 19 Diagram jaring laba-laba atribut off-odor daging itik cihateup. Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: ransun minyak kelapa. Hasil analisis dengan menggunakan metode Komponen Utama PCA, Principal Component Analysis tentang hubungan antara pemberian jenis lemak pakan dan off-odor yang terbentuk diperlihatkan pada Tabel 20, dan grafiknya pada Gambar 20 untuk itik alabio, dan Gambar 21 untuk itik cihateup. Secara umum berdasarkan perhitungan nilai kumulatif eigenvalues yang berada di atas 80 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara perlakuan pemberian berbagai jenis lemak pakan dan sifat off-odor yang dihasilkan. Eigenvalues untuk variabel jenis lemak, baik pada itik alabio maupun cihateup, yang paling tinggi diperoleh pada variabel MKp minyak kelapa, kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Ko kontrol, MKd minyak kedelai dan LS lemak sapi. Sedangkan eigenvalues untuk variabel off-odor, dua variabel tertinggi, baik pada itik alabio maupun itik cihateup, yaitu fishy dan fatty. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian minyak kelapa MKp memiliki keterkaitan kuat dengan terbentuknya off-odor fishy dan fatty pada itik alabio dan itik cihateup. Cihateup 30 60 90 120 150 Fishy Fatty Rancid Moldy Earthy Beany Ko LS MKp MKd Tabel 20 Hasil analisis komponen utama variabel off-odor dan jenis lemak pakan pada itik alabio dan cihateup Eigenvalues Parameter pengukuran Alabio Cihateup Variabel off-odor Rancid 0.41551 0.38651 Fishy 0.61136 0.53729 Fatty 0.51343 0.55011 Moldy 0.41729 0.31189 Beany 0.10153 0.32512 Earthy 0.07448 0.23735 Variabel jenis lemak Ko 0.31315 0.17759 LS -0.67622 -0.63208 MKp 0.61671 0.70977 MKd -0.25364 -0.25528 Kumulatif eigenvalues PC-1 0.82519 0.86785 PC-2 0.97290 0.98047 Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: ransun minyak kelapa, PC: principal component. Pada Gambar 20 untuk itik alabio, meskipun atribut fishy dan fatty berada pada diagram yang berbeda, tetapi keduanya dekat dengan MKp. Demikian pula yang terjadi pada itik cihateup Gambar 21, yang memperlihatkan bahwa bukan saja atribut off-odor fishy dan fatty dekat dengan MKp, tetapi lebih daripada itu, keduanya berada dalam satu diagram bersama-sama dengan MKp. Dengan gambaran yang ditunjukkan dari kedua grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa atribut off-odor fishy dan fatty lebih tinggi intensitasnya pada daging itik alabio dan itik cihateup yang diberi pakan yang mengandung minyak kelapa. Penjelasan lain yang dapat diungkapkan dari Gambar 20 dan 21 bahwa pada ternak-ternak yang tidak diberi perlakuan lemak, atau sebagai kontrol Ko, tampak bahwa ada sifat off-odor dasar yang berbeda antara itik alabio dan itik cihateup. Itik alabio memiliki off-odor dasar yang lebih dekat dengan bau moldy, sedangkan itik cihateup memilki bau dasar off-odor yang kuat pada bau earthy. Perbedaan ini menyatakan bahwa perbedaan galur merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kualitas off-odor ternak. Gambar 20 Hubungan atribut off-odor daging dengan jenis lemak pakan pada itik alabio yang dianalisis dengan metode komponen utama. Gambar 21 Hubungan atribut off-odor daging dengan jenis lemak pakan pada itik cihateup yang dianalisis dengan metode komponen utama. Alabio Earthy Beany Moldy Fatty Fishy Rancid MKd MKp LS Ko -3 -2 -1 1 2 3 4 -6 -4 -2 2 4 6 PC-1 82.5 PC-2 14.7 Cihateup Earthy Beany Moldy Fatty Fishy Rancid MKd MKp LS Ko -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 -6 -4 -2 2 4 6 8 PC-1 86.8 PC-2 11.2 Sebagaimana yang diperoleh melalui pengujian ranking, juga terlihat melalui analisis komponen utama bahwa penggunaan lemak sapi LS dalam ransum ternak dapat menghasilkan off-odor yang rendah. Tabel 20 memperlihatkan bahwa eigenvalues untuk LS yang terkecil dibandingkan dengan ketiga eigenvalues lainnya. Demikian pula pada Gambar 20 dan 21, posisi LS dalam diagram terlihat terpisah jauh dengan posisi sebaran off-odor. Rendahnya off-odor pada daging ternak yang diberi lemak sapi diduga karena volatil-volatil odor lemak sapi yang umumnya dipersepsi sebagai bau meaty atau tallowy yang masuk bersama makanan menutupi terdeteksinya off-odor fishy atau fatty yang merupakan off-odor dasar ternak itik. Proses yang terjadi ini oleh Takahashi et al. 2004 disebutkan sebagai proses masking dari volatil-volatil lemak sapi terhadap volatil-volatil lemak daging itik. Simpulan 1. Pemberian ransum bersuplementasi lemak mempengaruhi konsentrasi kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak, baik yang terdapat pada daging, hati, kulit, dan tunggir ternak itik. 2. Berdasarkan pada analisis ranking, perbedaan galur menghasilkan intensitas off-odor yang berbeda. Intensitas off-odor pada itik cihateup lebih tinggi daripada itik alabio. 3. Atribut off-odor yang terdeteksi pada daging itik terdiri atas amis fishy, berlemak fatty, tengik rancid, bau jamur moldy, langu beany, dan bau tanah earthy. Dari keenam komponen off-odor ini, bau fishy merupakan atribut yang paling tinggi intensitasnya. 4. Ransum bersuplementasi minyak kelapa berpotensi menghasilkan intensitas off-odor yang tinggi pada daging ternak itik.

5. SUPLEMENTASI ANTIOKSIDAN TERHADAP BAU DAN STABILITAS OKSIDATIF DAGING ITIK

Pendahuluan Penggunaan antioksidan untuk mempertahankan kualitas bahan pangan dari kerusakan, khususnya kerusakan yang diakibatkan oleh oksidasi, sudah banyak diteliti. Hasil-hasil penelitiannya membuktikan bahwa antioksidan merupakan salah satu cara efektif mengatasi persoalan tersebut. Oksidasi suatu bahan pangan tidak hanya mengakibatkan kualitasnya menurun dan kemudian menjadi rusak sehingga tidak layak lagi dikonsumsi Russell et al. 2004, akan tetapi oksidasi juga merupakan penyebab dari terbentuknya radikal-radikal bebas dalam bahan pangan Morrissey et al. 1994. Radikal-radikal bebas yang terdapat dalam bahan pangan bila terkonsumsi oleh manusia dapat menjadi penyebab terjadinya berbagai penyakit, khususnya penyakit-penyakit degeneratif, seperti kanker dan jantung koroner Doll 1995; Surai 2003. Daging merupakan salah satu bahan pangan yang rentan terhadap kerusakan oksidasi. Kandungan lemak pada daging menjadi faktor utama terjadinya proses autoksidasi yang menyebabkan kualitas daging, seperti bau, warna dan teksturnya menjadi berubah. Dekomposisi oksidatif asam-asam lemak tidak jenuh mengakibatkan ketengikan oksidatif pada daging, yaitu dengan terbentuknya flavor menyimpang off-flavor dari daging tersebut Skibsted et al. 1998. Kajian pada bagian ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Penelitian terdahulu menghasilkan temuan bahwa itik cihateup mempunyai bau amis off-odor yang lebih kuat daripada itik alabio. Demikian pula penggunaan minyak kelapa dalam ransum menghasilkan daging itik yang lebih amis fishy daripada yang diberi minyak kedelai atau lemak sapi. Oleh karena itu, pada tahapan penelitian ini, untuk menguji efektivitas antioksidan dalam mengatasi persoalan bau amis pada daging itik dipakai itik cihateup dengan ransum basal yang diberi minyak kelapa. Pemakaian vitamin E α-tokoferol dalam ransum dapat bersifat ganda. Vitamin E selain dimanfaatkan oleh ternak sebagai komponen nutrisi yang diperlukan dalam proses-proses fisiologis dan metabolisme tubuh, juga berperan sebagai senyawa antioksidan. Pada tahap penelitian ini, vitamin E dipakai dalam fungsinya sebagai antioksidan. Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, diperloleh bahwa vitamin E sebagai antioksidan efektif dan efisien dalam mengatasi persoalan-persoalan penurunan mutu bahan pangan, khususnya daging ternak, akibat degradasi oksidatif Kennedy et al. 1992; De Wine dan Dirinck 1996; Russell et al. 2003. Beberapa penelitian melaporkan pula bahwa aktivitas antioksidan vitamin E lebih tinggi bilamana dapat bersinergisme dengan antioksidan lain daripada hanya bekerja sebagai senyawa tunggal. Vitamin antioksidan lain yang dapat bersinergis dengan vitamin E untuk meningkatkan daya antioksidannya, yaitu vitamin A dan C Leung et al.1981; Lambelet et al. 1985; Anderson et al.1995. Itik cihateup banyak dipelihara oleh peternak di wilayah Jawa Barat, terutama di daerah Garut dan Cirebon. Akan tetapi umumnya masyarakat lebih menyukai memelihara ternak itik cihateup betina daripada yang jantan. Ternak betina dipelihara untuk produksi telur. Sedangkan itik jantan biasanya dipelihara sebagai usaha sampingan bilamana ada konsumen yang memerlukan daging itik, atau sebagai stok pejantan saja. Sebenarnya itik cihateup jantan memiliki rataan bobot badan dewasa yang lebih besar daripada itik-itik jantan lain yang sama-sama tergolong dalam kelompok itik jawa Muzani 2005. Walaupun itik cihateup jantan berpotensi sebagai penghasil daging yang baik, namun belum diupayakan secara maksimal. Kendala utama dalam pengembangan itik sebagai sumber penghasil daging yaitu belum banyak konsumen yang menyukai daging itik. Sebagian besar konsumen beranggapan bahwa daging itik memiliki bau amis off-odor, sehingga banyak dari mereka yang menolak mengkonsumsinya. Dengan persoalan seperti itu penelitian ini dilaksanakan untuk mencoba memanfaatkan kemampuan vitamin sebagai antioksidan, khususnya vitamin E, guna menghambat dan mengurangi pembentukan bau amis pada daging itik, yang diduga bau tersebut terbentuk akibat adanya proses oksidasi yang dialami oleh lemak yang terdapat dalam daging ataupun dalam depot-depot lemak lainnya. Oleh karena itu hipotesis yang ditetapkan untuk penelitian ini bahwa supplementasi vitamin E sebagai antioksidan, baik secara tunggal ataupun yang dikombinasikan dengan vitamin antioksidan lain, yakni vitamin A dan C, dapat mengurangi dan atau menghilangkan bau amisanyir off-odor pada daging itik cihateup. Selain itu diharapkan bahwa pemberian antioksidan ini dapat mempertahankan stabilitas daging terhadap pengaruh oksidasi. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bagian IPT Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB; dan di Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu sejak Februari sampai dengan Juli 2006. Ternak dan Ransum Percobaan Ternak yang dipakai dalam percobaan ini yaitu itik cihateup jantan sebanyak 80 ekor, yang diperoleh dari Laboratorium Bagian IPT Unggas IPB. Ransum dasar yang diberikan kepada ternak-ternak coba ini mengandung 7.5 minyak kelapa Tabel 4 dan 5. Penetapan jenis ternak dan ransum basal didasarkan pada percobaan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa perlakuan ransum yang mengandung minyak kelapa dan jenis itik cihateup menghasilkan intensitas off-odor daging yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Metode Penelitian Ternak-ternak dipelihara di dalam kandang box, kandang yang sama dipakai pada percobaan pertama. Untuk menguji pengaruh antioksidan terhadap kualitas off-odor daging, ransum percobaan disusun dalam lima perlakuan ransum, yaitu: 1. Ransum dasar tanpa suplementasi vitamin E, berfungsi sebagai kontrol E0; 2. Ransum dasar yang hanya disuplementasi vitamin E tanpa kombinasi dengan vitamin lain E1; 3. Ransum dasar yang disuplementasi kombinasi vitamin E dengan A EA; 4. Ransum dasar yang disuplementasi kombinasi vitamin E dengan C EC; 5. Ransum dasar yang disuplementasi kombinasi vitamin E, A dan C EAC Jenis vitamin E yang dipakai adalah d- α-tokoferil-asetat dengan dosis pada setiap penggunaan adalah 400 IUkg. Dosis pemakaian vitamin C 250 mgkg, dan dosis vitamin A 20 000 IUkg. Masing-masing ransum perlakuan diberi dalam empat kali ulangan. Setiap ulangan pada satu unit percobaan terdapat empat ekor ternak.