cihateup yang diberi perlakuan lemak sapi, bau “ beany” dan “earthy” tidak
ditemukan oleh semua panelis. Pola pemetaan intensitas komponen
off-odor diperlihatkan melalui diagram jaring laba-laba sebagaimana pada Gambar 18 dan 19. Pada gambar-
gambar tersebut terlihat bahwa atribut off-odor daging dari kedua jenis ternak
membentuk pola yang mirip. Kedua gambar memperlihatkan bahwa arah komponen
off-odor lebih dominan bergerak ke arah fishy, dan melebar ke arah fatty dan rancid.
Gambar 18 Diagram jaring laba-laba atribut off-odor daging itik alabio.
Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: ransun minyak kelapa.
Alabio
30 60
90 120
150
Fishy
Fatty
Rancid
Moldy Earthy
Beany
Ko LS
MKp MKd
Gambar 19 Diagram jaring laba-laba atribut off-odor daging itik cihateup.
Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: ransun minyak kelapa.
Hasil analisis dengan menggunakan metode Komponen Utama PCA,
Principal Component Analysis tentang hubungan antara pemberian jenis lemak pakan dan
off-odor yang terbentuk diperlihatkan pada Tabel 20, dan grafiknya pada Gambar 20 untuk itik alabio, dan Gambar 21 untuk itik cihateup. Secara
umum berdasarkan perhitungan nilai kumulatif eigenvalues yang berada di atas
80 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara perlakuan pemberian berbagai jenis lemak pakan dan sifat
off-odor yang dihasilkan. Eigenvalues untuk variabel jenis lemak, baik pada itik alabio maupun
cihateup, yang paling tinggi diperoleh pada variabel MKp minyak kelapa, kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Ko kontrol, MKd minyak kedelai
dan LS lemak sapi. Sedangkan eigenvalues untuk variabel off-odor, dua
variabel tertinggi, baik pada itik alabio maupun itik cihateup, yaitu fishy dan fatty.
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian minyak kelapa MKp memiliki keterkaitan kuat dengan terbentuknya
off-odor fishy dan fatty pada itik alabio dan itik cihateup.
Cihateup
30 60
90 120
150
Fishy
Fatty
Rancid
Moldy Earthy
Beany
Ko LS
MKp MKd
Tabel 20 Hasil analisis komponen utama variabel off-odor dan jenis lemak
pakan pada itik alabio dan cihateup Eigenvalues
Parameter pengukuran Alabio
Cihateup Variabel
off-odor Rancid
0.41551 0.38651 Fishy
0.61136 0.53729 Fatty
0.51343 0.55011 Moldy
0.41729 0.31189 Beany
0.10153 0.32512 Earthy
0.07448 0.23735 Variabel jenis lemak
Ko 0.31315
0.17759 LS
-0.67622 -0.63208
MKp 0.61671
0.70977
MKd -0.25364 -0.25528
Kumulatif eigenvalues
PC-1 0.82519
0.86785 PC-2
0.97290 0.98047
Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: ransun minyak kelapa, PC: principal component.
Pada Gambar 20 untuk itik alabio, meskipun atribut fishy dan fatty berada
pada diagram yang berbeda, tetapi keduanya dekat dengan MKp. Demikian pula yang terjadi pada itik cihateup Gambar 21, yang memperlihatkan bahwa bukan
saja atribut off-odor fishy dan fatty dekat dengan MKp, tetapi lebih daripada itu,
keduanya berada dalam satu diagram bersama-sama dengan MKp. Dengan gambaran yang ditunjukkan dari kedua grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa
atribut off-odor fishy dan fatty lebih tinggi intensitasnya pada daging itik alabio
dan itik cihateup yang diberi pakan yang mengandung minyak kelapa. Penjelasan lain yang dapat diungkapkan dari Gambar 20 dan 21 bahwa
pada ternak-ternak yang tidak diberi perlakuan lemak, atau sebagai kontrol Ko, tampak bahwa ada sifat
off-odor dasar yang berbeda antara itik alabio dan itik cihateup. Itik alabio memiliki
off-odor dasar yang lebih dekat dengan bau moldy, sedangkan itik cihateup memilki bau dasar
off-odor yang kuat pada bau earthy. Perbedaan ini menyatakan bahwa perbedaan galur merupakan salah satu faktor
penting yang menentukan kualitas off-odor ternak.
Gambar 20 Hubungan atribut
off-odor daging dengan jenis lemak pakan pada itik alabio yang dianalisis dengan metode komponen utama.
Gambar 21 Hubungan atribut off-odor daging dengan jenis lemak pakan pada
itik cihateup yang dianalisis dengan metode komponen utama. Alabio
Earthy Beany
Moldy Fatty
Fishy Rancid
MKd
MKp
LS Ko
-3 -2
-1 1
2 3
4
-6 -4
-2 2
4 6
PC-1 82.5 PC-2 14.7
Cihateup
Earthy Beany
Moldy Fatty
Fishy
Rancid
MKd
MKp LS
Ko
-5 -4
-3 -2
-1 1
2 3
4
-6 -4
-2 2
4 6
8
PC-1 86.8 PC-2 11.2
Sebagaimana yang diperoleh melalui pengujian ranking, juga terlihat melalui analisis komponen utama bahwa penggunaan lemak sapi LS dalam
ransum ternak dapat menghasilkan off-odor yang rendah. Tabel 20
memperlihatkan bahwa eigenvalues untuk LS yang terkecil dibandingkan dengan
ketiga eigenvalues lainnya. Demikian pula pada Gambar 20 dan 21, posisi LS
dalam diagram terlihat terpisah jauh dengan posisi sebaran off-odor. Rendahnya
off-odor pada daging ternak yang diberi lemak sapi diduga karena volatil-volatil odor lemak sapi yang umumnya dipersepsi sebagai bau
meaty atau tallowy yang masuk bersama makanan menutupi terdeteksinya
off-odor fishy atau fatty yang merupakan
off-odor dasar ternak itik. Proses yang terjadi ini oleh Takahashi et al. 2004 disebutkan sebagai proses masking dari volatil-volatil lemak sapi
terhadap volatil-volatil lemak daging itik.
Simpulan
1. Pemberian ransum bersuplementasi lemak mempengaruhi konsentrasi kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak, baik yang terdapat
pada daging, hati, kulit, dan tunggir ternak itik. 2. Berdasarkan pada analisis ranking, perbedaan galur menghasilkan
intensitas off-odor yang berbeda. Intensitas off-odor pada itik cihateup
lebih tinggi daripada itik alabio. 3. Atribut
off-odor yang terdeteksi pada daging itik terdiri atas amis fishy, berlemak
fatty, tengik rancid, bau jamur moldy, langu beany, dan bau tanah
earthy. Dari keenam komponen off-odor ini, bau fishy merupakan atribut yang paling tinggi intensitasnya.
4. Ransum bersuplementasi minyak kelapa berpotensi menghasilkan intensitas
off-odor yang tinggi pada daging ternak itik.
5. SUPLEMENTASI ANTIOKSIDAN TERHADAP BAU DAN STABILITAS OKSIDATIF DAGING ITIK
Pendahuluan
Penggunaan antioksidan untuk mempertahankan kualitas bahan pangan dari kerusakan, khususnya kerusakan yang diakibatkan oleh oksidasi, sudah
banyak diteliti. Hasil-hasil penelitiannya membuktikan bahwa antioksidan merupakan salah satu cara efektif mengatasi persoalan tersebut. Oksidasi suatu
bahan pangan tidak hanya mengakibatkan kualitasnya menurun dan kemudian menjadi rusak sehingga tidak layak lagi dikonsumsi Russell
et al. 2004, akan tetapi oksidasi juga merupakan penyebab dari terbentuknya radikal-radikal bebas
dalam bahan pangan Morrissey et al. 1994. Radikal-radikal bebas yang
terdapat dalam bahan pangan bila terkonsumsi oleh manusia dapat menjadi penyebab terjadinya berbagai penyakit, khususnya penyakit-penyakit
degeneratif, seperti kanker dan jantung koroner Doll 1995; Surai 2003. Daging merupakan salah satu bahan pangan yang rentan terhadap
kerusakan oksidasi. Kandungan lemak pada daging menjadi faktor utama terjadinya proses autoksidasi yang menyebabkan kualitas daging, seperti bau,
warna dan teksturnya menjadi berubah. Dekomposisi oksidatif asam-asam lemak tidak jenuh mengakibatkan ketengikan oksidatif pada daging, yaitu dengan
terbentuknya flavor menyimpang off-flavor dari daging tersebut Skibsted et al.
1998. Kajian pada bagian ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang sudah
dilaksanakan sebelumnya. Penelitian terdahulu menghasilkan temuan bahwa itik cihateup mempunyai bau amis
off-odor yang lebih kuat daripada itik alabio. Demikian pula penggunaan minyak kelapa dalam ransum menghasilkan daging
itik yang lebih amis fishy daripada yang diberi minyak kedelai atau lemak sapi.
Oleh karena itu, pada tahapan penelitian ini, untuk menguji efektivitas antioksidan dalam mengatasi persoalan bau amis pada daging itik dipakai itik
cihateup dengan ransum basal yang diberi minyak kelapa. Pemakaian vitamin E
α-tokoferol dalam ransum dapat bersifat ganda. Vitamin E selain dimanfaatkan oleh ternak sebagai komponen nutrisi yang
diperlukan dalam proses-proses fisiologis dan metabolisme tubuh, juga berperan sebagai senyawa antioksidan. Pada tahap penelitian ini, vitamin E dipakai dalam
fungsinya sebagai antioksidan. Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan,
diperloleh bahwa vitamin E sebagai antioksidan efektif dan efisien dalam mengatasi persoalan-persoalan penurunan mutu bahan pangan, khususnya
daging ternak, akibat degradasi oksidatif Kennedy et al. 1992; De Wine dan
Dirinck 1996; Russell et al. 2003.
Beberapa penelitian melaporkan pula bahwa aktivitas antioksidan vitamin E lebih tinggi bilamana dapat bersinergisme dengan antioksidan lain daripada
hanya bekerja sebagai senyawa tunggal. Vitamin antioksidan lain yang dapat bersinergis dengan vitamin E untuk meningkatkan daya antioksidannya, yaitu
vitamin A dan C Leung et al.1981; Lambelet et al. 1985; Anderson et al.1995.
Itik cihateup banyak dipelihara oleh peternak di wilayah Jawa Barat, terutama di daerah Garut dan Cirebon. Akan tetapi umumnya masyarakat lebih
menyukai memelihara ternak itik cihateup betina daripada yang jantan. Ternak betina dipelihara untuk produksi telur. Sedangkan itik jantan biasanya dipelihara
sebagai usaha sampingan bilamana ada konsumen yang memerlukan daging itik, atau sebagai stok pejantan saja. Sebenarnya itik cihateup jantan memiliki
rataan bobot badan dewasa yang lebih besar daripada itik-itik jantan lain yang sama-sama tergolong dalam kelompok itik jawa Muzani 2005. Walaupun itik
cihateup jantan berpotensi sebagai penghasil daging yang baik, namun belum diupayakan secara maksimal. Kendala utama dalam pengembangan itik sebagai
sumber penghasil daging yaitu belum banyak konsumen yang menyukai daging itik. Sebagian besar konsumen beranggapan bahwa daging itik memiliki bau
amis off-odor, sehingga banyak dari mereka yang menolak mengkonsumsinya.
Dengan persoalan seperti itu penelitian ini dilaksanakan untuk mencoba memanfaatkan kemampuan vitamin sebagai antioksidan, khususnya vitamin E,
guna menghambat dan mengurangi pembentukan bau amis pada daging itik, yang diduga bau tersebut terbentuk akibat adanya proses oksidasi yang dialami
oleh lemak yang terdapat dalam daging ataupun dalam depot-depot lemak lainnya. Oleh karena itu hipotesis yang ditetapkan untuk penelitian ini bahwa
supplementasi vitamin E sebagai antioksidan, baik secara tunggal ataupun yang dikombinasikan dengan vitamin antioksidan lain, yakni vitamin A dan C, dapat
mengurangi dan atau menghilangkan bau amisanyir off-odor pada daging itik
cihateup. Selain itu diharapkan bahwa pemberian antioksidan ini dapat mempertahankan stabilitas daging terhadap pengaruh oksidasi.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bagian IPT Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB;
dan di Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu sejak Februari sampai dengan
Juli 2006.
Ternak dan Ransum Percobaan
Ternak yang dipakai dalam percobaan ini yaitu itik cihateup jantan sebanyak 80 ekor, yang diperoleh dari Laboratorium Bagian IPT Unggas IPB.
Ransum dasar yang diberikan kepada ternak-ternak coba ini mengandung 7.5 minyak kelapa Tabel 4 dan 5. Penetapan jenis ternak dan ransum basal
didasarkan pada percobaan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa perlakuan ransum yang mengandung minyak kelapa dan jenis itik cihateup menghasilkan
intensitas off-odor daging yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya.
Metode Penelitian
Ternak-ternak dipelihara di dalam kandang box, kandang yang sama dipakai pada percobaan pertama. Untuk menguji pengaruh antioksidan terhadap
kualitas off-odor daging, ransum percobaan disusun dalam lima perlakuan
ransum, yaitu: 1. Ransum dasar tanpa suplementasi vitamin E, berfungsi sebagai kontrol E0;
2. Ransum dasar yang hanya disuplementasi vitamin E tanpa kombinasi dengan vitamin lain E1;
3. Ransum dasar yang disuplementasi kombinasi vitamin E dengan A EA; 4. Ransum dasar yang disuplementasi kombinasi vitamin E dengan C EC;
5. Ransum dasar yang disuplementasi kombinasi vitamin E, A dan C EAC Jenis vitamin E yang dipakai adalah d-
α-tokoferil-asetat dengan dosis pada setiap penggunaan adalah 400 IUkg. Dosis pemakaian vitamin C
250 mgkg, dan dosis vitamin A 20 000 IUkg. Masing-masing ransum perlakuan diberi dalam empat kali ulangan. Setiap ulangan pada satu unit percobaan
terdapat empat ekor ternak.