Rumusan Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Kerangka Pemikiran

4 Bogor. PKBM Damai Mekar adalah salah satu yang saat ini masih konsisten menyelenggarakan program pemberantasan buta aksara KF dan telah cukup dikenal oleh beberapa PKBM lain dan Dinas Pendidikan Luar Sekolah Kota Bogor. Pengalaman pada program pemberantasan buta aksara di PKBM Damai Mekar sejak tahun 2005 diharapkan mampu menjelaskan keberhasilan pelaksanaan program KF yang mempengaruhi peningkatan kemampuan melek aksara warga belajarnya.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Analisis keberhasilan program KF di PKBM Damai Mekar akan ditelusuri oleh beberapa pertanyaan penelitian yang lebih terfokus dan terarah, dengan rumusan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan program KF di PKBM Damai Mekar ? 2. Bagaimana keberhasilan program KF di PKBM Damai Mekar ? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan program KF tersebut? 4. Upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan program ? 5

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan masalah penelitian antara lain: 1. Mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan program KF yang ada di PKBM Damai Mekar. 2. Mengetahui dan menjelaskan keberhasilan program KF pada PKBM tersebut. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program KF yang ada di PKBM Damai Mekar. 4. Menemukan upaya-upaya yang dilakukan untuk keberhasilan program KF.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian diharapkan dapat: 1. Menjadi referensi bagi instansi-instansi terkait pada program pemberantasan buta aksara mengenai keberhasilan program KF. 2. Menjadi bahan pertimbangan dan penentu kebijakan dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan lebih lanjut untuk pemberantasan buta aksara. 3. Sebagai tambahan pengetahuan dan perkembangan program Keaksaraan Fungsional, khususnya Dinas PLS Pendidikan Luar Sekolah wilayah Bogor. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Konsep Buta Aksara dan Melek Aksara Pengertian buta aksara menurut Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas tahun 2006, yaitu ketidakmampuan yang dimiliki seseorang untuk membaca dan menulis dengan huruf latin dan angka arab dalam bahasa Indonesia, serta tidak memiliki keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan. Terdapat pula pengertian buta aksara fungsional menurut Depdiknas, yang berarti ketidakmampuan melakukan kegiatan yang memerlukan kecakapan keaksaraan, misalnya membaca, menulis dan berhitung untuk bidang usaha yang menjadi mata pencaharian. Sebaliknya pengertian melek aksara fungsional adalah kemampuan seseorang paling tidak dapat membaca dan menulis dengan huruf latin dan berhitung dengan angka arab dalam setiap kegiatannya yang memerlukan kecakapan tersebut dan juga memungkinkannya untuk melanjutkan pemanfaatan kecakapan membaca, menulis dan berhitung untuk pengembangan diri dan masyarakat. Buta aksara menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Meneg PP 2007 terbagi menjadi dua bentuk, yaitu buta aksara murni dan buta aksara praktis. Buta aksara murni yaitu dimana penduduk sama sekali tidak dapat membaca, menulis dan berhitung dengan aksara apapun. Sedangkan buta aksara praktis dialami penduduk yang tidak dapat membaca, menulis dan berhitung dengan aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. 7 Pada konferensi UNESCO tahun 1978, pengertian melek aksara merupakan penggunaaan keaksaraan dalam seluruh aktivitas seseorang dan berfungsi efektif bagi kelompoknya dan masyarakat, yang juga memberi kemungkinan bagi dia untuk menggunakannya dalam membaca, menulis dan berhitung bagi perkembangan dirinya sendiri maupun masyarakat. Setelah tahun 1980-an dan 1990 keaksaraan atau melek aksara diperluas maknanya untuk mengakomodasi tantangan globalisasi termasuk dampak teknologi baru dan media informasi serta pengetahuan ekonomi UNESCO, 2006. Secara mantap digariskan bahwa keaksaraan adalah hak dan kunci menuju hak yang lain, serta memberikan bukti tentang multipersonal, manfaat sosial dan ekonomi UNESCO, 2006. Pengukuran melek aksara seseorang yang digunakan dalam sensus nasional adalah kemampuan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana tentang keaksaraannya sehari-hari Djalal, 2006. Melek aksara di Indonesia memainkan peranan penting dalam dalam meningkatkan kehidupan perekonomian individu yang aman dan kesehatannya bagus serta memperkaya masyarakat dengan pembangunan modal manusia, pengembangan identitas budaya dan toleransi, serta mempromosikan partisipasi warga negara Djalal, 2006.

2.1.2 Hakekat Pemberdayaan

Menurut Meriam Webster dan Oxford English Dictionary dalam Zarida 2000, kata empower mempunyai dua arti, yaitu pertama, to give power or authority to dan kedua, to give ability to or enable. Pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuasaan atau mendelegasikan otoritas ke pihak 8 lain. Sedangkan hal yang kedua diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan. Pemberdayaan masyarakat juga diartikan sebagai upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan Sumodiningrat, 1999. Menurutnya upaya pemberdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, dengan kata lain pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Selain itu, strategi pemberdayaan masyarakat erat kaitannya dengan penciptaan kesempatan kerja dan peluang berusaha yang memberikan pendapatan yang memadai bagi masyarakat. Pemberdayaan tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan kelembaagaan. Suatu pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya kuasa untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka untuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan Nasdian, 2003. Konsep dan gerakan pemberdayaan menurut Pranarka 1996 memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa manusia atau sekelompok manusia dapat mengalami kendala dan hambatan dalam proses dan gerak aktualisasi eksistensinya. Dengan demikian, pemberdayaan dalam hal ini adalah berusaha untuk menciptakan kondisi yang memberikan kemungkinan bagi setiap manusia untuk dapat menunaikan tugas aktualisasi eksistensinya seluas-luasnya dan setinggi-tingginya Zaridah, 2000. 9 Pengukuran keberhasilan dari suatu pemberdayaan dapat dilakukan dengan melihat dari adanya indikator keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat. Menurut Sumodiningrat 1999 terdapat lima indikator keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat, antara lain: 1 berkurangnya jumlah penduduk miskin; 2 berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia; 3 meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya; 4 meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi, serta makin luasnya interaksi kelompok dengan kelompok lain di dalam masyarakat; 5 serta meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya.

2.1.3 Pemberdayaan Perempuan Melalui Pemberantasan Buta Aksara

Upaya pemberantasan buta aksara merupakan suatu bentuk pemberdayaan perempuan yang berdampak pada pembangunan nasional. Menurut Rosalina 2007 pemberdayaan perempuan harus dimulai dari sektor pendidikan untuk meningkatkan angka melek huruf perempuan dan angka partisipasinya dalam pembangunan. Perempuan yang telah melek aksara merupakan dasar kemandirian bagi mereka dalam mengatur perekonomian keluarga dan secara tidak langsung akan meningkatkan pendapatan perkapita suatu daerah. Kemampuan keaksaraan yang 10 dimiliki seseorang bermanfaat sebagai penghargaan diri itu sendiri, kepercayaan dan pemberdayaan pribadi UNESCO, 2006. Selain manfaat tersebut, berdasarkan hasil penelitian UNESCO 2006 menunjukan bahwa pemberantasan buta aksara berdampak langsung terhadap: 1. Menurunnya angka kematian bayi dan ibu melahirkan 2. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya minimal tamat SD 3. Berhasilnya program pelaksanaan Program Keluarga Berencana 4. Naiknya tingkat gizi dan usia harapan hidup masyarakat terhadap program pembangunan 5. Makin demokratisnya sikap dan perilaku masyarakat. Pemberdayaan perempuan melalui peningkatan keaksaraan telah mendapat perhatian, melalui beberapa komitmen besar, seperti Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia atau Millenium Development Goal MDG yang memiliki dua tujuan terkait pada tujuan untuk membangun pendidikan dan mendorong kesetaraan gender di dalamnya UNDP, 2005. Selain itu komitmen dari deklarasi Dakkar tentang PUS Pendidikan Untuk Semua yang berfokus pada perbaikan sebesar 50 persen pada tingkat kemelekaksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar serta berkelanjutan bagi semua orang dewasa. Terdapat juga komitmen nasional dalam peningkatan keaksaraan melalui gerakan percepatan pemberantasan buta aksara khususnya untuk perempuan, dan merupakan hasil dari surat keputusan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pemberdayaan Perempuan 11 yang telah dilaksanakan pada 12 Mei 2005, serta dikeluarkannya instruksi Presiden Presiden Republik Indonesia No.5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. GNP-PWBPBA.

2.1.4 Program Keaksaraan Fungsional KF

Keaksaraan Fungsional sesungguhnya merupakan suatu bentuk pendekatan dalam strategi belajar dalam upaya pemberantasan buta aksara Depdiknas, 2006. Aktivitas belajar secara fungsional berarti mengkaitkan proses belajar pada situasi atau kondisi warga belajar yang merupakan pola pembelajaran dan pemberdayaan penduduk secara terpadu bagi penduduk usia dewasa melalui pendekatan andragogi dan integratif. Pada pendekatan ini, ada konsekuensi logis bagi warga belajar, mereka sadar bahwa bekerja sambil belajar merupakan suatu kebutuhan di samping kewajiban. Pola pembelajaran lain juga perlu diikuti, seperti pembangunan jaringan belajar, agar warga belajar senantiasa melek ilmu pengetahuan dan keterampilan, warga belajar tidak berhenti seusai mengikuti program KF. Pelaksanaan program KF tidak serta merta hanya belajar membaca, menulis dan menghitung, namun dilengkapi pula dengan tahapan lanjutan lainnya yang bertujuan memandirikan kemampuan melek aksara warga belajar. KF merupakan bagian dari lingkup kegiatan Pendidikan Luar Sekolah PLS yang dilaksanakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM yang dipusatkan pada suatu wilayah sehingga mudah diakses oleh masyarakat setempat Sihombing, 1999. Selain itu KF juga dapat dibentuk oleh beberapa organisasi masyarakat seperti LSM Lembaga 12 Swadaya Masyarakat, PKK, SKB Sanggar Kegiatan Belajar, Perguruan Tinggi, Aissyiyah, GOWBKOW, Muslimah NU, atau Wanita Islam. Untuk menyelenggarakan program KF dibutuhkan delapan prinsip utama pemahaman penyelenggaraan program ini Depdiknas, 2006, yaitu: 1. Konteks lokal, program dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus pada setiap warga belajar dan masyarakat sekitarnya 2. Desain lokal, merupakan rancangan kegiatan belajar yang dirancang oleh tutor dan warga belajar berdasarkan minat, kebutuhan, masalah, kenyataan dan potensi sumber-sumber setempat 3. Proses partisipatif adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan program keaksaraan fungsional harus dilakukan berdasarkan strategi partisipatif 4. Fungsionalisasi hasil belajar. Hasil belajar diharapkan warga belajar dapat memfungsikan keaksaraannya untuk menganalisis dan memecahkan masalah keaksaran yang dihadapi warga belajar 5. Kesadaran. Proses pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian warga belajar terhadap keadaan dan permasalahan lingkungan untuk melakukan aktivitas kehidupannya 6. Fleksibilitas, program KF harus fleksibel, agar memungkinkan untuk dimodifikasi sehingga responsif terhadap minat dan kebutuhan belajar serta kondisi lingkungan warga belajar yang berubah dari waktu ke waktu 13 7. Keanekaragaman, hendaknya bervariasi dilihat dari segi materi, metode, maupun strategi pembelajaran sehingga mampu memenuhi minat dan kebutuhan belajar warga belajar di setiap daerah yang berbeda-beda 8. Kesesuaian hubungan belajar, dimulai dari hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan oleh warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat dan kebutuhan belajar menjadi dasar dalam menjalin hubungan yang harmonis dan dinamis antara tutor dan warga belajar. Selain itu terdapat tiga tahapan kompetensi dalam menyempurnakan pelaksanaan program KF Depdiknas, 2006. Tahapan tersebut terdiri dari: 1. Tahap pemberantasan, atau merupakan tingkat keaksaraan dasar Terdapat beberapa metode pada tahap ini, antara lain: 1. Metode Dasar. Metode pembelajaran bagi warga belajar buta aksara permulaan untuk meningkatkan kecakapan membaca dan menulis permulaan terutama pada keterampilan pemenggalan kata, suku kata, dan huruf demi huruf untuk disusun kembali menjadi kalimat yang bermakna 2. Metode Drill. Belajar dengan cara melakukan latihan berulang-ulang baik membaca, menulis dan berhitung 3. Metode Kata Kunci. Pembelajaran ini merupakan penerapan pendekatan tematik dimana kata-kata kunci yang dipelajari harus sesuai dengan tema yang dikembangkan. Metode ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan warga belajar membuat kata baru dari suku kata yang telah dikenal 4. Metode Bahasa Ibu. Ditujukan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia melalui bahasa ibu. 14 2. Tahap Pembinaan atau Lanjutan, atau sudah berada pada tingkat keaksaraan fungsional. Tahap ini memiliki tiga bentuk model pembinaan, antara lain: 1. Model belajar sambil bekerja 2. Model belajar sambil beraksi 3. Model kelompok belajar usaha. 3. Tahap Pelestarian atau Mandiri, atau telah berada pada tingkat mandiri. Terdapat pula bentuk model pembinaan pada tahap ini, yaitu: 1. Model taman bacaan masyarakat 2. Model arisan bersama 3. Model paguyuban. Ketiga tahapan di atas dilaksanakan secara berkelanjutan guna mencapai tujuan program KF yang optimal. Hasil belajar melalui program KF juga dilakukan melalui mekanisme yang disesuaikan dengan SKK Standar Kompetensi Keaksaraan. Warga belajar yang diperbolehkan mengikuti penilaian hasil belajar adalah mereka yang aktif mengikuti proses pembelajaran secara sistematis dan kontinu. Mereka juga berhak mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara SUKMA. Berdasarkan Laporan Akhir Penyusunan Data Buta Aksara Perempuan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Meneg PP tahun 2005, terdapat beberapa kendala yang mempengaruhi penerimaan warga belajar terhadap ketiga pelaksanaan tahapan tersebut. Kendala penerimaan warga belajar atas program lanjutan KF antara lain rendahnya motivasi masyarakat, kesibukan pada pekerjaan domestik atau publik, dan masih melekatnya pengaruh budaya patriarki dengan anggapan-anggapan diskriminasi perempuan dalam pendidikan Meneg PP, 2005. 15 Adanya kendala seperti di atas menjadi tantangan bagi strategi pelaksanaan KF dalam keefektifannya memberantas buta aksara. Dilaporkan juga oleh Depdiknas 2006 bahwa peserta program KF sebanyak 36,2 persen dari kelompok tua di atas 45 tahun, yang mengindikasikan masih besarnya minat buta aksara kelompok tua untuk mengikuti program KF. 16 BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Suatu program pemberdayaan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, dengan melakukan berbagai kegiatan yang kompleks. Salah satu bentuk program pemberdayaan masyarakat dalam bidang pendidikan yaitu program pemberantasan buta aksara melalui program keaksaraan fungsional KF. Keaksaraan fungsional KF merupakan salah satu bentuk program pemberantasan buta aksara yang diprioritaskan untuk kelompok usia 15 tahun sampai dengan 45 tahun, dengan mengkaitkan proses belajar sesuai konteks kehidupan sasaran program atau warga belajar. Keberhasilan program KF dapat dilihat dari sejauhmana pencapaian tujuan program ini, dengan melihat manfaat dan dampak yang diperoleh warga belajar setelah mengikuti program. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi keberhasilan program KF, antara lain faktor internal dan eksternal dari warga belajar. Faktor tersebut berpengaruh langsung terhadap keberhasilan program, dalam hal ini manfaat yang didapat dari pelaksanaan program KF, yang kemudian memberikan manfaat tak langsung kepada WB atau yang disebut dampak program kepada warga belajar. 17 Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Keberhasilan Program Keterangan: : Mempengaruhi terhadap Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program KF Faktor eksternal WB: 1. Tingkat pendidikan keluarga 2. Dukungan dari lingkungan tempat tinggal 3. Teknik pembelajaran oleh tutor 4. Alokasi waktu dan tempat pembelajaran Dampak Impacts: 1. Motivasi untuk mau belajar baca, tulis, hitung lagi 2. Penerapan fungsional kemampuan keaksaraan kemampuan fungsional membaca, menulis, berhitung 3. Kepercayaan diri WB berhubungan dengan lingkungan masyarakat Faktor internal WB: 1. Umur 2. Tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti 3. Status perkawinan 4. Pekerjaan 5. Jumlah anak 6. Penilaian WB terhadap program KF 7. Motif WB mengikuti KF Manfaat langsungoutcomes: 1.Kemampuan keaksaraan a. Membaca b. Menulis c. Berhitung 18

3.2 Definisi Konseptual