55
Pencapaian keberhasilan program KF dapat saja dilakukan melalui memperpanjang jadwal belajar bagi warga belajar yang masih ingin melancarkan
kemampuannya dengan membuka kelas yang dapat didatangi oleh warga belajar atau memberikan kesempatan warga belajar untuk memberikan saran agar mereka tetap
dapat belajar. Dengan demikian warga belajar yang masih memiliki motivasi tinggi untuk belajar dapat melanjutkan atau melancarkan kemampuannya.
Selain itu, jika terdapat rencana pembentukan kelompok belajar tahap lanjutan segera dibentuk sehingga kemampuan keaksaraan warga belajar tidak banyak yang
hilang atau kelanggengan kemampuan keaksaraan dapat segera dipelihara dengan kegiatan-kegiatan yang menerapkan kemampuan keaksaraan. Hal lain yang dapat
dilakukan yaitu dengan meningkatkan kerjasama kepada SKB Kecamatan Tanah Sareal dan PKK Kecamatan Tanah Sareal maupun Kota Bogor dalam upaya
mewujudkan rencana tahap pembinaan atau lanjutan yang lebih memakan banyak dana dalam kegiatan praktek dan belajar usaha yang dapat diterapkan oleh warga
belajar.
7.3 Ikhtisar Bab VII
Program KF dinyatakan tidak berhasil karena hanya 17,1 persen responden yang kemampuan keaksaraannya tinggi atau hanya 6 orang yang mampu membaca
dan menulis. Sebagian responden lainnya masih buta aksara atau kembali buta aksara karena telah lupa pada pelajaran. Salah satu penyebabnya yaitu ketidakberlanjutan
program menjaga kemampuan keaksaraan WB. Selanjutnya pada Bab VIII akan membahas faktor-faktor yang berhubungan terhadap kemampuan keaksaraan WB.
56
BAB VIII HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN
KEMAMPUAN KEAKSARAAN
Keberhasilan program keaksaraan fungsional KF diperhitungkan berdasarkan peningkatan kemampuan keaksaraan baca tulis hitung yang dimiliki
warga belajar WB setelah ia mengikuti program KF pasca pembelajaran terhitung sejak bulan Desember 2008. Selain itu juga diharapkan WB mampu menerapkan
kemampuan keaksaraannya secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan keaksaraan fungsional WB. Faktor
tersebut terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal diri WB.
8.1 Hubungan Faktor Internal dengan Kemampuan Keaksaraan
Faktor internal berasal dari dan melekat dalam diri WB, yang terdiri dari umur, tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti, status perkawinan, pekerjaan,
jumlah anak, penilaian WB terhadap program KF, dan motif WB mengikuti KF. Hubungan variabel faktor internal dengan kemampuan keaksaraan WB akan disajikan
pada Tabel 9 yang merupakan analisis data dengan menggunakan tabulasi silang.
57
Tabel 9. Hubungan antara Faktor Internal dengan Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008
Kemampuan Keaksaraan
Faktor Internal
Rendah Tinggi Total
1. Umur
• 16-45 tahun • Di atas 45 tahun
19 10
82,6 83,4
4 2
17,4 16,6
23 12
100 100
X²
hitung
= 0,003; X² α
0.05 db 1 = 3,84
2. Status Perkawinan • Menikah
• Janda
26 3
81,3 100
6 18,8
32 3
100 100
3. Pekerjaan • Tidak Bekerja
• Bekerja
9 20
75 87
3 3
25 13
12 23
100 100
X²
hitung
= 0,794
;
X² α
0.05 db 1 = 3,84
4. Tingkat Pendidikan • Rendah
• Tinggi
28 1
82,4 100
6 17,6
34 1
100 100
5. Jumlah Anak • Rendah
• Tinggi
12 17
80 85
3 3
20 15
15 20
100 100
X²
hitung
= 0,151
;
X² α
0.05 db 1 = 3,84
6. Penilaian WB terhadap Program KF
• Rendah • Tinggi
2 27
100 81,8
6 18,2
2 33
100 100
7. Motif Mengikuti Program KF • Internal
• Eksternal
20 9
80 90
5 1
20 10
25 10
100 100
X²
hitung
= 0,503
;
X² α
0.05 db 1 = 3,84
Total 29 82,9 6 17,1
35 100
8.1.1 Hubungan Umur dengan Kemampuan Keaksaraan Pada Tabel 9 dapat dilihat hubungan antara umur dengan kemampuan
keaksaraan. Responden yang berumur 16-45 tahun memiliki tingkat kemampuan
58
keaksaraan tinggi sebanyak 4 orang 17,4 persen dari 23 responden berumur 16-45 tahun. Responden berumur di atas 45 tahun yang memiliki kemampuan keaksaraan
tinggi sebanyak 2 orang 16,6 persen dari 12 responden berumur di atas 45 tahun. Berdasarkan
hasil uji
chi-square menunjukan bahwa nilai X²
hitung
0,003 X² tabel pada taraf nyata 5 persen 0,05 dan derajat bebas 1 yaitu 3,84, yang berarti H
o
diterima, sehingga tidak terdapat hubungan antara tingkatan umur dengan tingkat kemampuan keaksaraan menjadi.
Analisis pada tabulasi silang pun menunjukan warga belajar dengan tingkat umur 16-45 tahun maupun di atas 45 tahun memiliki kemampuan keaksaraan rendah.
Meskipun terdapat responden umur 16-45 tahun dan di atas 45 tahun yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi, namun persentasenya kecil 17,4 persen dan 16,6
persen. Adapun terdapat tiga responden berumur di atas 45 tahun dengan kemampuan keaksaraan tinggi, diantaranya ada yang memang mengaku melatih
kemampuannya tersebut di rumah meskipun program telah selesai.
8.1.2 Hubungan Status Perkawinan dengan Kemampuan Keaksaraan
Berdasarkan analisis tabulasi silang pada hubungan status perkawinan dengan kemampuan keaksaraan seperti yang disajikan tabel 9, didapat responden dengan
status menikah ada sebanyak 32 orang dan yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan status menikah ada sebanyak 6 orang 18,8 persen.
Sementara warga belajar dengan status janda ada sebanyak 3 orang dan secara keseluruhan tingkat keaksaraan mereka rendah atau tidak ada satu pun yang memiliki
tingkat keaksaraan tinggi.
59
Pada kedua hubungan variabel ini tidak dilakukan analisis menggunakan chi square
karena telah dapat disimpulkan berdasarkan pada analisis tabulasi silang, baik responden dengan status menikah maupun janda kemampuan keaksaraannya tetap
rendah. Bahkan semua responden pada kelompok berstatus kemampuan keaksaraannya rendah. Data kemampuan keaksaraan tersebut dapat dilihat pada Tabel
9. Menurut keterangan dari warga belajar yang memiliki status janda, mereka tidak dapat belajar dengan aktif di program KF karena kesibukan mereka bekerja sebagai
tulang punggung keluarga. Mereka semua yang berstatus janda bekerja sebagai buruh, yaitu 2 orang sebagai pembantu rumah tangga dan 1 orang bekerja sebagai
pemisah benang. Menurut mereka, pekerjaan mereka memakan banyak waktu dan merasa capek jika harus belajar pula, dan belum lagi mereka harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga. Beban kerja inilah yang menyebabkan kemampuan keaksaraan mereka menjadi rendah.
8.1.3 Hubungan Pekerjaan dengan Kemampuan Keaksaraan
Berdasarkan analisis tabulasi silang pada Tabel 9 diperoleh jumlah responden berkategori bekerja dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi ada 3 orang 13
persen dari 23 responden yang bekerja. Responden berkategori tidak bekerja dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 3 orang 25 persen dari 12
responden berkategori tidak bekerja. Setelah dilakukan pengujian menggunakan analisis uji chi square, didapatkan
X²
hitung
0,794 dan X²
α
0.05
db 1 3,84, dengan melihat kedua nilai tersebut X²
hitung
0,794 X²
α
0.05
db 1 3,84 maka disimpulkan tidak terdapat hubungan antara
60
pekerjaan warga belajar dengan kemampuan keaksaraannya. Dugaan sebelumnya bahwa pekerjaan yang dilakukan warga belajar mempengaruhi kemampuan
keaksaraannya, karena semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka sedikit kesempatan untuk membagi waktu belajar, maka kemampuan keaksaraan
semakin rendah. Namun terdapat warga belajar yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi meskipun memiliki pekerjaan. Mereka yang memiliki kemampuan
keaksaraan tinggi dan bekerja, tetap dapat mengikuti belajar di program KF karena menurut mereka masih dapat membagi waktu dan pekerjaan mereka tidak membatasi
untuk belajar di program KF, selain itu juga mereka memiliki keinginan yang tinggi untuk dapat bisa membaca, menulis dan berhitung dengan mencoba belajar kembali
di rumah meski tidak sering. Seperti yang telah dituturkan oleh seorang responden yang bekerja dan memiliki kemampuan keaksaraan tinggi sebagai berikut.
”...Belajar mah tetap bisa, karena pulang kerja juga biasanya sekitar jam 12. Majikan saya juga malah ngedukung saya supaya mau belajar ama
ngaji” Rini, 36 tahun. ”...Kerjaan misahin benang dari karet mah kan bisa dikerjain pagi atau
sebelum belajar. Bisa dikerjain kapan aja ini mah, nanti juga ada yang datang kiloin benangnya yang udah kita rurut pisah dari karet ban” Eni,
46 tahun.
Berdasarkan pernyataan di atas ternyata jumlah jam kerja yang mempengaruhi responden untuk belajar pada program. Terbukti pada responden yang jumlah jam
kerjanya lebih longgar, ia mampu membagi waktu untuk tetap bisa belajar dibandingkan pada responden yang jam kerjanya lebih padat, seperti responden yang
bekerja sebagai PRT hingga sore hari.
61
8.1.4 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kemampuan Keaksaraan
Pengalaman pendidikan formal akan menjadi dasar pengetahuan responden memiliki kemampuan keaksaraan sebelum mengikuti program KF. Responden yang
pernah mengecap pendidikan berarti telah memiliki pengalaman belajar membaca, menulis atau berhitung, dan hal ini diharapkan mempengaruhi kemampuan
keaksaraannya setelah mengikuti program KF. Menurut data tabulasi silang yang ditampilkan pada Tabel 9, responden dengan kategori tingkat pendidikan formal
rendah dan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi berjumlah 6 orang 17,6 dari 34 responden yang tingkat pendidikan formalnya rendah. Sedangkan warga belajar
dengan tingkat pendidikan tinggi tidak ada satu pun yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dari 1 responden yang terbilang tingkat pendidikannya
tinggi. Tidak dilakukan uji hipotesis pada kedua variabel ini karena terdapat data
yang kosong pada sel tabulasi silang kedua hubungan variabel tersebut sehingga tidak memenuhi syarat pengujian. Selain itu juga telah dapat disimpulkan tidak terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti responden dengan kemampuan keaksaraannya, karena berdasarkan hasil data, responden dengan tingkat
pendidikan terbilang tinggi pun kemampuan keaksaraannya rendah. Hampir keseluruhan warga belajar 97,1 persen memang sangat minim mengecap pendidikan
bahkan banyak diantara mereka yang tidak pernah sama sekali merasakan pendidikan formal 40 persen. Mereka tidak pernah mengerti huruf latin, namun mereka dapat
membaca huruf arab karena sejak kecil mereka hanya diajarkan di sekolah agama
62
madrasah yang tidak mengajarkan huruf latin. Meskipun ada 51,4 persen yang merasakan pendidikan dasar, namun rata-rata hanya sampai kelas 1 SD.
Meskipun tingkat pendidikan mereka rendah tidak menyebabkan kemampuan keaksaraan mereka rendah. Beberapa alasan yang mendukung kemampuan mereka
antara lain motivasi mereka yang tinggi untuk dapat bisa membaca, menulis dan berhitung, lingkungan keluarga yang dapat membantu membaca, menulis dan
berhitung seperti saudara dan suami dari warga belajar dan ada pula yang telah memiliki pengalaman belajar dari orang lain seperti majikan dari warga belajar yang
menjadi pembantu rumah tangga.
8.1.5 Hubungan Jumlah Anak dengan Kemampuan Keaksaraan
Menurut Tabel 9 responden dengan kategori jumlah anak tinggi dan memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi berjumlah 3 orang 15 persen dari 20
responden yang berkategori jumlah anak tinggi. Sementara warga belajar dengan kategori jumlah anak rendah dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak
3 orang pula 20 persen dari semua responden dengan jumlah anak rendah 15 orang.
Setelah dilakukan
analisis chi-square
didapatkan X²
hitung
0,151
X
² α
0.05
db 1 3,84, yang berarti tidak terdapat hubungan antara tingkat jumlah anak dengan
kemampuan keaksaraan. Selain itu persentase kemampuan keaksaraan antara responden jumlah anak tinggi maupun responden dengan jumlah anak rendah, tetap
rendah 15 persen dan 20 persen. Berdasarkan wawancara mendalam kepada warga belajar, dengan banyaknya anak namun mereka tidak merasa terganggu untuk
63
mengikuti belajar, karena selain anak mereka yang telah mengerti kegiatan belajar ibunya, mereka juga melatih kembali kemampuan baca tulis di rumah bersama anak
atau suami mereka. Namun sebagian besar responden yang memiliki balita 11,4 persen mengaku tidak dapat berkonsentrasi untuk belajar hingga kemampuan
keaksaraannya pun rendah. Ini berarti jumlah balita mempengaruhi kegiatan belajar responden, sehingga mempengaruhi kemampuan keaksaraannya juga.
8.1.6 Hubungan Penilaian WB terhadap Program KF dengan Kemampuan Keaksaraan
Penilaian WB terhadap program KF merupakan tanggapan awal ketika warga belajar hendak mengikuti program hingga selama mereka mengikuti kegiatan belajar
dalam program tersebut. Dapat dilihat pada Tabel 9, responden dengan kategori penilaian tinggi terhadap program dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi
sebanyak 6 orang 18,2 persen dari 33 responden dengan kategori penilaian tinggi terhadap program. Sementara tidak ada satu pun warga belajar yang memiliki tingkat
kemampuan keaksaraan tinggi dengan kategori penilaian rendah terhadap program dari 2 warga belajar yang memiliki kategori penilaian rendah terhadap program.
Tidak dilakukan analisis chi-square kedua hubungan variabel ini, karena terdapat sel yang kosong pada tabulasi silang hubungan kedua variabel ini, sehingga
tidak memenuhi syarat pengujian. Meski tidak dilakukan pengujian, hubungan antara penilaian WB terhadap program dengan kemampuan keaksaraannya tidak nyata atau
tidak berhubungan. Hal ini dapat dilihat pada data pada Tabel 9, baik responden dengan penilaian rendah maupun tinggi, kemampuan keaksaraannya tetap rendah.
64
Meskipun tidak terdapat hubungan antara kedua variabel namun seluruh warga belajar yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi sepakat bahwa mereka
memiliki penilaian yang tinggi terhadap program. Sementara warga belajar dengan penilaian rendah terhadap program merasa tidak yakin bahwa program tersebut
membawa perubahan pada kemampuan baca, tulis dan hitung mereka. Selain itu juga mereka tidak aktif mengikuti program hanya sekitar 2-3 bulan saja.
8.1.7 Hubungan Motif WB Mengikuti Program KF dengan Kemampuan Keaksaraan
Motif responden untuk mengikuti program menjadi dasar dorongan responden mau mengikuti program KF. Pada Tabel 9 diperoleh data responden yang
memiliki motif internal dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 5 orang 20 persen dari semua responden yang bermotif internal 25 orang. Sementara
jumlah responden yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan motif eksternal sebanyak 1 orang 10 persen dari seluruh responden bermotif eksternal
mengikuti program 10 orang. Berdasarkan hasil analisis uji chi-square, diperoleh X²
hitung
0,503 X² α
0.05
db 1 sebesar 3,84, maka tidak terdapat hubungan antara motif warga belajar untuk mengikuti program dengan kemampuan keaksaraan. Meskipun tidak terdapat
hubungan pada kedua variabel tersebut, namun data pada tabulasi silang menunjukan warga belajar dengan kemampuan keaksaraan tinggi cenderung memiliki motif
internal untuk mengikuti program. Ini menjelaskan bahwa warga belajar yang bermotif internal akan mempengaruhi kemampuan keaksaraannya menjadi tinggi.
65
8.2 Hubungan Faktor Eksternal dengan Kemampuan Keaksaraan
Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berasal dari luar diri WB, berkaitan dengan lingkungan sosial keluarga, masyarakat, dan lingkungan program
KF. Faktor eksternal terdiri dari tingkat pendidikan keluarga, dukungan dari lingkungan tempat tinggal, teknik pembelajaran oleh tutor, alokasi tempat dan waktu
pembelajaran.
Tabel 10. Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008
Kemampuan Keaksaraan Faktor Eksternal
Rendah Tinggi Total
1. Tingkat Pendidikan keluarga • Rendah skor 4
• Tinggi skor ≥ 4
16 13
88,9 76,5
2 4
11,1 23,5
18 17
100 100
X²
hitung
=
0,949
; X² α
0.05 db 1 = 3,84
2. Dukungan dari Keluarga • Rendah skor 4
• Tinggi skor ≥ 4
19 10
86,4 76,9
3 3
13,6 23,1
22 13
100 100
X²
hitung
=
0,513
; X² α
0.05 db 1 = 3,84
3. Teknik Pembelajaran oleh Tutor
• Rendah skor 16 • Tinggi skor
≥ 16
17 12
81 85,7
4 2
19 14,3
21 14
100 100
X²
hitung
=
0,134
;
X² α
0.05 db 1 = 3,84
4. Alokasi Waktu dan Tempat Belajar
• Sesuai keinginan WB • Sesuai keinginan selain oleh
WB
29 82,9
6 17,1
35
100 100
Total
29 82,9 6 17,1 35 100
66
8.2.1 Hubungan Tingkat Pendidikan Keluarga dengan Kemampuan Keaksaraan
Menurut pada Tabel 10, terdapat responden dengan tingkat pendidikan keluarga rendah dan memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 2
orang 11,1 dari 18 responden yang tingkat pendidikan keluarganya rendah. Responden dengan tingkat pendidikan keluarga tinggi dan memiliki tingkat
kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 4 orang 23,5 persen dari 17 responden yang tingkat pendidikan keluarganya tinggi.
Diantara responden yang tingkat pendidikan keluarganya tinggi memiliki orang tua dan saudara yang pernah mengikuti sekolah rakyat. Menurut mereka,
mereka tidak dapat ikut merasakan sekolah tersebut karena terdapat deskriminasi terhadap perempuan untuk mengikutinya. Selain itu ada anggapan bahwa perempuan
akan kembali mengurus rumah tangga dan akan bekerja di dapur maka belajar membaca dan menulis tidak perlu dimiliki perempuan.
Diperoleh hasil analisis menggunakan uji chi square bahwa hubungan tingkat pendidikan keluarga dengan kemampuan keaksaraan tidak terdapat hubungan. Hal ini
dapat dilihat dari hasil uji analisis tersebut, yaitu X²
hitung
0,949 X²
α
0.05
db 1 3,84. Dari hasil analisis menunjukan bahwa tingkat pendidikan keluarga tidak
memiliki hubungan terhadap kemampuan keaksaraan warga belajar. Hasil lapangan pun menunjukan bahwa terdapat 2 responden yang memiliki tingkat kemampuan
keaksaraan tinggi namun tingkat pendidikan keluarganya rendah. Berdasarkan wawancara kepada responden tersebut, meskipun keluarga mereka tidak ada yang
dapat membaca dan menulis namun mereka memiliki semangat yang tinggi untuk
67
bisa baca tulis yaitu dengan sungguh-sungguh belajar pada program KF dan belajar kembali di rumah, seperti yang dituturkan oleh salah seorang responden:
”...Bapak ama ibu saya seinget saya gak bisa baca. Tapi alhamdulilah belajar sedikit demi sedikit bisa, biar masih beuleut bodoh. Ya belajar
aja waktu dulu di rumah, tanya-tanya ama anak yang masih SD” EN, 46 tahun.
Responden dengan kemampuan keaksaraan tinggi dan tingkat pendidikan keluarganya tinggi, merasa keluarga mereka cukup membantu peningkatan
kemampuan keaksaraannya. Seperti responden yang orangtua, saudara, suami atau anaknya bisa membaca memberi pengalaman mereka untuk dapat mengenal huruf
sebelum mengikuti program. Selain itu responden yang pendidikan keluarganya tinggi memberikan motivasi dan membantu responden untuk bisa membaca dan
menulis.
8.2.2 Hubungan Dukungan dari Keluarga dengan Kemampuan Keaksaraan
Berdasarkan dukungan dari keluarga, jumlah responden yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan dukungan dari keluarga rendah sebanyak 3
orang 13,6 persen dari 22 responden dengan dukungan rendah dari keluarga. Begitupun responden dengan dukungan tinggi dari keluarga dan kemampuan
keaksaraan tinggi sebanyak 3 orang 23,1 persen dari semua responden dengan dukungan tinggi dari keluarga 13 orang.
Setelah dilakukan analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh X²
hitung
0,513 X²
α
0.05
db 1 sebesar 3,84. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan dari keluarga dengan kemampuan keaksaraan. Terlihat
68
dari data di atas terdapat warga belajar yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi meskipun dukungan dari keluarga rendah. Mereka yang kurang mendapatkan
perhatian dari keluarga dalam belajar namun tetap memiliki motivasi untuk tetap belajar membaca dan menulis meskipun tidak hanya melalui program KF.
Berdasarkan hasil penuturan warga belajar yang memiliki dukungan tinggi dari keluarga, mereka merasa dukungan dari keluarga sangat mempengaruhi semangat
mereka untuk belajar membaca dan menulis. Mereka merasa terbantu melancarkan kemampuan keaksaraannya dengan belajar bersama anak atau suami.
8.2.3 Hubungan Teknik Pembelajaran oleh Tutor dengan Kemampuan Keaksaraan
Berdasarkan data yang ada pada Tabel 10 mengenai teknik pembelajaran oleh tutor, responden yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan teknik
pembelajaran oleh tutor tinggi sebanyak 2 orang 14,3 persen dari 14 responden yang menunjukan teknik pembelajaran tinggi oleh tutor, dan sebanyak 4 responden 19
persen dengan kemampuan keaksaraan tinggi dan teknik pembelajaran rendah oleh tutor.
Hasil uji analisis chi square terhadap data di atas menyatakan X²
hitung
0,134 X²
α
0.05
db 1 3,84, sehingga disimpulkan tidak terdapat hubungan antara teknik pembelajaran tutor dengan kemampuan keaksaraan warga belajar. Meskipun
demikian pada tabulasi silang menunjukan lebih banyak responden yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi dengan teknik pembelajaran tinggi oleh tutor 4 orang
dari 6 orang yang kemampuan keaksaraannya tinggi.
69
8.2.4 Hubungan Alokasi Waktu dan Tempat Belajar dengan Kemampuan Keaksaraan
Penetapan alokasi waktu dan tempat belajar dikategorikan menjadi 2, yaitu sesuai keinginan WB dan sesuai keinginan selain oleh WB. Jumlah responden yang
memiliki kemampuan keksaraan tinggi dengan penetapan waktu dan tempat belajar sesuai keinginan selain oleh warga belajar sebanyak 6 17,1 persen. Seluruh warga
belajar menyatakan bahwa lokasi dan waktu belajar di tetapkan oleh kemauan selain oleh mereka yaitu oleh tutor dan ibu RT, namun penyesuaian lokasi dan waktu
disepakati oleh warga belajar pula dan mereka pun tidak keberatan atas kesepakatan tersebut.
Lokasi tempat mereka belajar KF tidak jauh dari tempat mereka tinggal, yaitu di majelis tempat mengaji dan rumah ketua RT. Waktu belajar juga ditetapkan oleh
tutor, dan kebanyakan dari warga belajar tidak keberatan karena waktu belajar dimulai sekitar jam 2 siang atau setelah waktu ashar atau jam 4 sore. Namun untuk
beberapa warga belajar yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, mereka kadang tidak dapat mengikuti kegiatan belajar karena pekerjaan mereka belum selesai.
Pada hubungan antara alokasi tempat dan waktu belajar dengan kemampuan keaksaraan tidak dilakukan analisis uji chi square karena melalui data tabulasi silang
dapat disimpulkan bahwa keseluruhan warga belajar menyatakan bahwa alokasi waktu dan tempat belajar ditetapkan selain oleh mereka, yaitu tutor dan ibu RT, yang
berarti bahwa baik kemampuan keaksaraan warga belajar tinggi maupun rendah, waktu dan lokasi belajar ditetapkan selain warga belajar. Sehingga hal ini
70
menjelaskan bahwa tidak terdapat hubungan antara alokasi waktu dan tempat belajar atau tidak mempengaruhi kemampuan keaksaraan warga belajar.
8.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingginya Kemampuan Keaksaraan Responden
Dari seluruh responden penelitian, hanya 6 orang 17,1 persen yang kemampuan keaksaraannya dinyatakan tinggi. Berdasarkan analisis kualitatif
terhadap keenam responden tersebut, masing-masing responden memiliki faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan keakasaraannya menjadi lebih tinggi. Faktor-
faktor tersebut antara lain, adanya motivasi dan dukungan dari keluarga kepada responden agar mereka dapat membaca, menulis dan berhitung. Faktor ini dirasakan
oleh empat responden, antara lain Rani 39 tahun, Rini 36 tahun, Asma 40 tahun, dan Juju 27 tahun. Keluarga mereka seperti suami dan anak mereka membantu
belajar di rumah baik selama program KF masih berlangsung maupun setelah program berakhir. Rani yang memiliki suami seorang ketua RT sangat merasa
terbantu ketika suaminya sering mengingatkan dia untuk belajar membaca dan menulis, bahkan suaminya yang pertama kali menyuruhnya mengikuti program KF.
Responden yang memiliki dukungan tinggi dari keluarga seperti keempat responden di atas merasa lebih termotivasi untuk terus belajar membaca dan menulis di rumah
meskipun tidak sesering saat mereka mengikuti program KF. Tingkat pendidikan keluarga juga ternyata mempengaruhi dua responden yang
tingkat kemampuan keaksaraannya tinggi, yaitu Asma dan Amin 54 tahun. Mereka merupakan kakak beradik yang dibesarkan oleh keluarga yang terbilang tinggi tingkat
pendidikannya dibandingkan keluarga responden lainnya. Orang tua dan saudara laki-
71
laki mereka dapat membaca dan menulis karena pernah mengikuti sekolah rakyat. Asma dan Amin sebelumnya merupakan warga buta aksara praktis mampu membaca
dan menulis huruf arab dan mampu mengenal huruf latin dan mengeja beberapa suku kata. Kemampuan mengenal huruf latin dan mengeja beberapa suku kata mereka
dapatkan dari pengalaman belajar dengan saudara laki-laki mereka. Program KF yang mereka ikuti sangat membantu meningkatkan kemampuan keaksaraannya. Selain
dengan mengikuti program KF, mereka juga melatih kembali kemampuannya di rumah meski tidak sering, sehingga kemampuan membaca dan menulis mereka tetap
ada hingga kini. Faktor dukungan dari lingkungan sekitar WB selain oleh keluarga, juga
mempengaruhi kegiatan belajar WB. Responden yang memiliki pekerjaan yang menyita banyak waktu mengakibatkan kegiatan belajar mereka terabaikan, namun hal
tersebut tidak terjadi pada Rini yang merupakan seorang pembantu rumah tangga. Meskipun ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, majikannya sangat mendukung
kegiatan belajarnya di program KF jika Rini bersunggung-sungguh ingin belajar. Majikan Rini juga sering ikut membantu melatih kemampuan membaca dan
menulisnya, misalnya dengan membelikannya hand phone dan mengajarkan bagaimana cara mengetik SMS. Kasus yang terjadi pada Rini merupakan bentuk
dukungan dari lingkungan sekitar WB yang turut menjaga kemampuan keaksaraan WB.
Selain dukungan dari keluarga maupun lingkungan sekitar WB, ternyata semangat atau motivasi dalam diri WB untuk dapat bisa membaca dan menulis sangat
mempengaruhi kemampuan keaksaraan mereka. Seperti Eni 46 tahun yang memiliki
72
semangat tinggi untuk bisa membaca dan menulis, meskipun dukungan dari keluarganya rendah. Keinginan Eni untuk bisa membaca dan menulis tersebut ia
lakukan dengan melatih membaca dan menulis di rumah. Ia kadang mengisi waktu kosongnya dengan belajar menulis dan mencoba melihat tugas sekolah anaknya yang
masih SD. Pentingnya dukungan dari keluarga maupun lingkungan di sekitar WB
merupakan faktor yang mendorong motivasi WB untuk belajar membaca dan menulis. Hal tersebut juga harus diiringi dengan semangat dalam diri dan tindakan
nyata oleh WB untuk mau meningkatkan dan melatih kembali kemampuan keaksaraannya. Adanya dukungan yang tinggi dari keluarga namun tidak disertai
dengan dukungan dari lingkungan sekitar dan tindakan nyata dengan membaca dan menulis kembali, mengakibatkan kemampuan keaksaraan akan tetap rendah.
Faktor motivasi dalam diri WB, tindakan mengulang kembali belajar, dan dukungan dari keluarga maupun lingkungan sekitar merupakan pokok penting yang
mempengaruhi tingginya kemampuan keaksaraan WB, terutama faktor mengulang kembali pembelajaran oleh WB. Program KF akan berhasil atau lebih efektif jika
seluruh WB memiliki faktor-faktor tersebut. Maka dari itu perlu upaya sinergi antara pihak penyelenggara program dengan lingkungan sekitar WB guna mendukung
terciptanya kondisi dari faktor-faktor tersebut dalam peningkatan kemampuan keaksaraan WB dan keefektifan program KF.
73
8.4 Ikhtisar Bab VIII