Hubungan Status Perkawinan dengan Kemampuan Keaksaraan Hubungan Pekerjaan dengan Kemampuan Keaksaraan

58 keaksaraan tinggi sebanyak 4 orang 17,4 persen dari 23 responden berumur 16-45 tahun. Responden berumur di atas 45 tahun yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 2 orang 16,6 persen dari 12 responden berumur di atas 45 tahun. Berdasarkan hasil uji chi-square menunjukan bahwa nilai X² hitung 0,003 X² tabel pada taraf nyata 5 persen 0,05 dan derajat bebas 1 yaitu 3,84, yang berarti H o diterima, sehingga tidak terdapat hubungan antara tingkatan umur dengan tingkat kemampuan keaksaraan menjadi. Analisis pada tabulasi silang pun menunjukan warga belajar dengan tingkat umur 16-45 tahun maupun di atas 45 tahun memiliki kemampuan keaksaraan rendah. Meskipun terdapat responden umur 16-45 tahun dan di atas 45 tahun yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi, namun persentasenya kecil 17,4 persen dan 16,6 persen. Adapun terdapat tiga responden berumur di atas 45 tahun dengan kemampuan keaksaraan tinggi, diantaranya ada yang memang mengaku melatih kemampuannya tersebut di rumah meskipun program telah selesai.

8.1.2 Hubungan Status Perkawinan dengan Kemampuan Keaksaraan

Berdasarkan analisis tabulasi silang pada hubungan status perkawinan dengan kemampuan keaksaraan seperti yang disajikan tabel 9, didapat responden dengan status menikah ada sebanyak 32 orang dan yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan status menikah ada sebanyak 6 orang 18,8 persen. Sementara warga belajar dengan status janda ada sebanyak 3 orang dan secara keseluruhan tingkat keaksaraan mereka rendah atau tidak ada satu pun yang memiliki tingkat keaksaraan tinggi. 59 Pada kedua hubungan variabel ini tidak dilakukan analisis menggunakan chi square karena telah dapat disimpulkan berdasarkan pada analisis tabulasi silang, baik responden dengan status menikah maupun janda kemampuan keaksaraannya tetap rendah. Bahkan semua responden pada kelompok berstatus kemampuan keaksaraannya rendah. Data kemampuan keaksaraan tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Menurut keterangan dari warga belajar yang memiliki status janda, mereka tidak dapat belajar dengan aktif di program KF karena kesibukan mereka bekerja sebagai tulang punggung keluarga. Mereka semua yang berstatus janda bekerja sebagai buruh, yaitu 2 orang sebagai pembantu rumah tangga dan 1 orang bekerja sebagai pemisah benang. Menurut mereka, pekerjaan mereka memakan banyak waktu dan merasa capek jika harus belajar pula, dan belum lagi mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Beban kerja inilah yang menyebabkan kemampuan keaksaraan mereka menjadi rendah.

8.1.3 Hubungan Pekerjaan dengan Kemampuan Keaksaraan

Berdasarkan analisis tabulasi silang pada Tabel 9 diperoleh jumlah responden berkategori bekerja dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi ada 3 orang 13 persen dari 23 responden yang bekerja. Responden berkategori tidak bekerja dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 3 orang 25 persen dari 12 responden berkategori tidak bekerja. Setelah dilakukan pengujian menggunakan analisis uji chi square, didapatkan X² hitung 0,794 dan X² α 0.05 db 1 3,84, dengan melihat kedua nilai tersebut X² hitung 0,794 X² α 0.05 db 1 3,84 maka disimpulkan tidak terdapat hubungan antara 60 pekerjaan warga belajar dengan kemampuan keaksaraannya. Dugaan sebelumnya bahwa pekerjaan yang dilakukan warga belajar mempengaruhi kemampuan keaksaraannya, karena semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka sedikit kesempatan untuk membagi waktu belajar, maka kemampuan keaksaraan semakin rendah. Namun terdapat warga belajar yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi meskipun memiliki pekerjaan. Mereka yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi dan bekerja, tetap dapat mengikuti belajar di program KF karena menurut mereka masih dapat membagi waktu dan pekerjaan mereka tidak membatasi untuk belajar di program KF, selain itu juga mereka memiliki keinginan yang tinggi untuk dapat bisa membaca, menulis dan berhitung dengan mencoba belajar kembali di rumah meski tidak sering. Seperti yang telah dituturkan oleh seorang responden yang bekerja dan memiliki kemampuan keaksaraan tinggi sebagai berikut. ”...Belajar mah tetap bisa, karena pulang kerja juga biasanya sekitar jam 12. Majikan saya juga malah ngedukung saya supaya mau belajar ama ngaji” Rini, 36 tahun. ”...Kerjaan misahin benang dari karet mah kan bisa dikerjain pagi atau sebelum belajar. Bisa dikerjain kapan aja ini mah, nanti juga ada yang datang kiloin benangnya yang udah kita rurut pisah dari karet ban” Eni, 46 tahun. Berdasarkan pernyataan di atas ternyata jumlah jam kerja yang mempengaruhi responden untuk belajar pada program. Terbukti pada responden yang jumlah jam kerjanya lebih longgar, ia mampu membagi waktu untuk tetap bisa belajar dibandingkan pada responden yang jam kerjanya lebih padat, seperti responden yang bekerja sebagai PRT hingga sore hari. 61

8.1.4 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kemampuan Keaksaraan