Strategi Koping Orang Tua Pada Anak Yang Menderita Sindrom Down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta

(1)

NEGERI 1 JAKARTA LEBAK BULUS JAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH :

MAYANG SETYO MAGNAWIYAH

NIM : 108104000002

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H / 2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

Nama : Mayang Setyo Magnawiyah Tempat Tanggal Lahir : Bogor, 28 Juli 1990

Agama : Islam

Alamat : Puri Teluk Jambe Blok C14 No. 32 RT 014/ RW 004 Kec. Teluk Jambe Timur Kel. Sirnabaya Kota Karawang 41361

No. Telpon : (0267) 640221 / 081317044282 Riwayat Pendidikan : TK Nurul Huda Tahun 1995-1996

SD Negeri Sirnabaya Satu Tahun 1996-2002 SLTP Negeri 3 Karawang Tahun 2002-2005 SLTA Negeri 3 Karawang Tahun 2005-2008

Program S1 Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013

Pengalaman Organisasi : Anggota Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Tahun 2000-2002

Bendahara Palang Merah Remaja (PMR) Tahun 2003-2004

Anggota OSIS SLTP Negeri 3 Karawang Tahun 2004-2005

Anggota OSIS SLTA Negeri 3 Karawang Tahun 2005-2006

Anggota Kader Penegak Disiplin (KPD) SLTA 3 Karawang Tahun 2006-2007

Anggota Badan Eksekutif Jurusan Bidang Hubungan Masyarakat 2009-2010


(7)

vi

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi, Januari 2013

Mayang Setyo Magnawiyah, NIM: 108104000002

STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA ANAK YANG MENDERITA SINDROM DOWN DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 JAKARTA Xii? + 86 halaman + tabel + 3 bagan + 7 lampiran

Kata Kunci : Sindrom Down, Anak, Orang tua, Strategi Koping, Problem Focus Coping, Emotional focus Coping

ABSTRAK

Sindrom down merupakan suatu kelainan genetik yang mengakibatkan terjadinya kelainan kromosom sehingga anak terlahir cacat kongenital dengan kelebihan kromosom 21 yang dinamakan trisonomy 21. Hal ini dapat menyebabkan suatu stresor tersendiri yang dapat menimbulkan stress bila tidak diatasi dengan baik, dan akan berdampak pada pola asuh orang tua terhadap anak, maka orang tua memerlukan strategi koping untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Jakarta. Tujuan khusus mengidentifikasi stresor pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down, mengidentifikasi jenis strategi koping problem focus coping dan emotional focus coping yang digunakan orang tua. Desain penelitian adalah deskriptif kualitatif. Populasi pada penelitian ini adalah orang tua pada anak yang menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah di SLB Negeri 1 Jakarta. Sampel diambil sebanyak 7 partisipan utama dan 2 partisipan pendukung dengan metode pengambilan sampel homogenus sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara open-ended interview dan catatan lapangan. Validasi data dilakukan dengan triangulasi teknik dan sumber. Teknik analisa data dilakukan dengan cara analisa tematik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stresor yang dihadapi orang tua terbagi menjadi dua, yaitu stresor internal (gangguan pertumbuhan, perkembangan, harapan masa depan anak, kurang pengetahuan) dan stresor eksternal (stigma masyarakat, penolakan anggota keluarga, hambatan keuangan). Orang tua menggunakan kedua jenis strategi koping problem focus coping dan emotional focus coping dengan cara berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah. Peneliti menyarankan pembentukan program edukasi kepada orang tua tentang sindrom down.


(8)

vii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM

ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLLAH JAKARTA

Undergraduates Thesis, January 2013

Mayang Setyo Magnawiyah , NIM: 108104000002

PARENTS’ COPING STRATEGIES FOR DOWN SYNDROM CHILDREN

OF STATE EXTRAORDINARY SCHOOL 1 JAKARTA xiii + 86 pages + tables + 3 charts + 7 attachment

Key Words: Down Syndrom, Children, Parents, Coping Strategies, Problem Focused Coping, Emotional Focused Coping

ABSTRACT

Down Syndrome is a genetic disorder that effects on the abnormality of chromosome so that children are born congenital of the excess of chromosomes 21 named trisonomy 21. It can cause stressor and becomes stress if it is not handled properly and can cause toa the way parents educate their children. Therefore, parents need coping strategy to handle problems that are being faced. This research is aimed at identifying coping strategy of parents to their children who suffer down syndrome at state extraordinary school 1 Jakarta. The main purpose of thje research is to identify stressor of parents to their children suffer down syndrom, identify types of coping strategy problem focus coping and emotional focus coping that are used by parents. The method of the research is qualitative descriptive and the unit analysis are parents and students with down syndrome. Samples conducted are seven (7) main participants and five (5) supporting participants by conducting homogenous sampling. Data collection depicted by interviewing open-ended and field research. Data validation is done by using triangulation of sources and techniques. Data analysis technique is done by using thematic analysis. The research finds that stressor that is faced by parents divided into 2: internal stressor (growth disorder, child development, child future hope and less knowledge) and external stressor (stigma in community, family rejection, and economical problem). In solving problems, parents use these two types of coping strategy in a different way. The writer suggests parents establish educational programs of down syndrome.


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad S.A.W.

Penulis mengambil judul “STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA ANAK YANG MENDERITA SINDROM DOWN DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 JAKARTA”.Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) pada jurusan Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penelitian dan penyusunan skripsi ini, peneliti mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang tercinta Ayahanda Dwijo Setiono dan Ibunda Siti Husnah. Serta penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep. MKM selaku kepala program studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(10)

ix

3. Ibu Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku sekretaris program studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Maulina Handayani, S.kep, M.Sc selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan ilmu dan masukan kepada peneliti.

5. Ibu Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan ilmu dan masukan kepada peneliti.

6. Bapak dan ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah mengajarkan dan membimbing penulis, serta staf akademik Bapak Azib Rosyidi S. Psi dan Ibu Syamsiayah.

7. Kakak yang tersayang (Reantina Setyo Oktahandini) serta kedua adikku tercinta (Fatahillah Setyo Rizky dan Ikhsan Fadillah Setyo Rizky) yang selalu memberikan dukungan dan doa serta yang menjadi inspirasi penulis.

8. Om dan tante yang selalu mendukung dan menyemanggati selama menjalankan program kuliah sarjana keperwatan.

9. Terima kasih buat sahabat-sahabatku Marina Ulfa, Wulan Ambarwati, Dita Puspita, Khaerunissa, Ica solihatunnisa, Desy Ratnasari, Rosalina Permata, serta teman-teman PSIK angkatan 2008 yang telah memberikan masukan dan semangat kepada peneliti.

10.Seluruh teman-teman PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2008 yang selalu saya sayangi, memberikan kebersamaan dan motivasi.


(11)

x

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penyusun khususnya. Wassalamu’alaikum wr.wb

Penulis


(12)

xi DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan Persetujuan ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Pengesahan Sidang Skripsi ... iii

Lembar Pernyataan ... iv

Daftar Riwayat Hidup ... v

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xv

Daftar Lampiran ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan masalah ... 7

C. Pertanyaan penelitian ... 8


(13)

xii

E. Manfaat penelitian ... 9

F. Ruang lingkup penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep dasar ... 11

1. Sindrom down ... 11

a. Definisi sindrom down ... 11

b. Angka kejadian ... 12

c. Penyebab sindrom down ... 12

d. Gambaran klinis ... 13

f. Diagnosis ... 14

g. Penatalaksanaan ... 16

h. Prognosis ... 16

B. Orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus ... 17

C. Stres ... 18

D. Stresor ... 23

E. Koping dan strategi koping ... 27

F. Kerangka teori ... 31

BAB III KERANGKA KONSEP dan DEFINISI ISTILAH A. Kerangka konsentrasi ... 32


(14)

xiii BAB IV METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian ... 34

B. Tempat dan waktu penelitian ... 34

C. Instrument penelitian ... 34

D. Populasi ... 35

E. Sampe l ... 35

F. Teknik pengumpulan data ... 37

G. Validasi data ... 41

H. Teknik analisa data ... 42

I. Etika penelitian ... 44

BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum wilayah penelitian ... 47

1. Sejarah sekolah luar biasa Negeri 1 Jakarta ... 47

2. Visi dan Misi sekolah luar biasa Negeri 1 Jakarta ... 48

B. Karakteristik Demografi Partisipan ... 49

C. Analisa Data ... 52

1. Stresor pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down ... 52

2. Strategi koping berpusat pada masalah (problem focus coping) ... 64

3. Strategi koping berpusat pada emosi (emotional focus coping) ... 73


(15)

xiv BAB VI PEMBAHASAN

A. Interpretasi Penelitian dan Hasil Diskusi ... 80

1. Stresor orang tua pada anak yang terdiagnosa sindrom down ... 81

2. Strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down ... 85

1.1 Strategi koping yang berpusat pada masalah ... 86

2.1 Strategi koping yang berpusat pada emosi ... 88

B. Keterbatasan Penelitian ... 91

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 94


(16)

xv

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

5.1 Lembar Pernyataan Persetujuan ... 49 5.2 Lembar Pengesahan ... 50 5.3 Lembar Pengesahan Sidang Skripsi ... 51


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran

1. Surat Pemberitahuan

2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden 3. Data Demografi Informan

4. Pedoman Wawancara Mendalam (Indepth Interview Informan Kunci) 5. Pedoman Wawancara Partisipan Pendukung

6. Analisa Tematik Partisipan Utama 7. Analisis Tematik Partisipan Pendukung


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan anak berkebutuhan khusus di indonesia, bukan merupakan permasalahan yang kecil. World Health Organization (WHO) dan kementrian kesehatan (2010) memperkirakan bahwa, jumlah anak berkebutuhan khusus berkisar antara 7-10 % dari total jumlah anak-anak di indonesia usia 0-18 tahun. Data yang lebih terperinci hanya didapatkan pada susenas BPS (2003) yaitu terdapat 361.860 anak usia sekolah berkebutuhan khusus. Dari jumlah tersebut, sekitar 66.610 anak usia sekolah penyandang cacat yang terdaftar disekolah Luar Biasa (SLB), sedangkan sisanya anak penyandang cacat sebanyak 295.250 berada didalam masyarakat, dibawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga yang pada umumnya belum memperoleh akses pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar yang memerlukan penanganan secara khusus, atau bisa disebut juga sebagai anak penyandang cacat. Anak yang termasuk dalam kategori penyandang cacat adalah anak dengan tunagrahita (mengalami retardasi mental), tunanetra (mengalami hambatan penglihatan), tunarungu (mengalami hambatan pendengaran), tunadaksa (mengalami cacat tubuh), attention deficit and hyperactivity disorder (perilaku hiperaktif), autism, sindrom down dan tunaganda (memiliki hambatan lebih dari satu), yang


(19)

2

masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan memerlukan penanganan dan pelayanan yang berbeda (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

Anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu sumber daya manusia yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan aktif dalam kehidupannya, anak berkebutuhan khusus perlu dikenali dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat khusus, seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan akibat kelainan yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami atau beresiko tinggi mengalami kondisi fisik, perkembangan, perilaku maupun emosional kronis dan memerlukan layanan kesehatan serta layanan terkait dalam jenis atau jumlah lebih dari yang dibutuhkan anak lain pada umumnya (Wong, 2008). Salah satu kasus anak berkebutuhan khusus adalah anak yang menderita sindrom down dan salah satu penyebab sindrom down adalah suatu kelainan genetika yang mengakibatkan terjadinya kelainan kromosom sehingga anak terlahir dengan cacat congenital dengan kelebihan kromosom 21 yang dinamakan trisomi 21.

Sindrom down dapat ditemukan pada semua etnik penduduk, sekitar 1 diantara 700 bayi yang lahir hidup menderita kelainan ini, salah satu faktor pemicu kejadian sindrom down yang diketahui adalah adanya hubungan yang erat antara kejadian sindrom down dengan semakin lanjutnya usia ibu, yaitu


(20)

3

terjadi peningkatan insiden sebesar 1% bila usia ibu mencapai 40 tahun (Hull & Jhonston, 2008).

Secara umum, penderita pada sindrom down mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang agak kecil, yaitu wajah khas dengan mata sipit yang membujur keatas, jarak antara kedua mata berjauhan dengan tampak sela hidung yang rata dan datar (seperti mongol), hidung kecil, mulut mengecil dengan lidah yang besar sehingga cenderung dijulurkan keluar (macroglossia), gambaran telapak tangan tidak normal yaitu terdapat satu garis besar melintang (simian crease). Masalah intelegensi pada anak sindrom down bervariasi dari retardasi ringan sampai sedang dengan nilai IQ berkisar dari 25-70 (Hull dan Jhonston, 2008).

Dengan gambaran klinis tersebut, anak dengan sindrom down membutuhkan perhatian dan perawatan yang lebih khusus dari orang tua dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya, serta orang tua harus dapat melakukan pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh anak sindrom down dengan keterbatasan fisik dan intelektual yang tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat dilakukan dengan terapi, perawatan khusus, serta program pendidikan khusus untuk mencapai kelangsungan hidup secara optimal. Hal ini akan menjadi suatu stresor tersendiri bagi keluarga khususnya pada orang tua (Maramis, 2005). Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun social dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, maupun lingkungan luar lainnya (Patel, 1996 dalam Nasir & Muhith, 2011).


(21)

4

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid, (2004) dalam Tiana dan Andriany, (2010) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak tunagrahita menunjukkan perasaan sedih, denial, depresi, marah dan menerima keadaan anaknya. Orang tua merasa khawatir tentang masa depan anak dan stigma yang melekat pada anak.

Pada anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Berdasarkan American Association on Mental Retardation (AAMR) menjelaskan bahwa keterbelakangan mental menunjukan adanya keterbatasan yang signifikan dalam berfungsi, baik secara intelektual maupun perilaku adaptif yang terwujud melelu adaptif konseptual , social maupun partikal (Hallan & Kauffman, 2006 dalam Magunsong, 2009).

Dari penelitian ini menunjukan bahwa memiliki anak dengan kebutuhan khusus merupakan suatu stessor tersendiri bagi orang tua dan respon yang muncul pada orang tua tersebut harus diimbangi dengan strategi koping yang tepat agar orang tua dapat mengatasi stressor sehingga tidak menimbulkan stres.

Strategi koping adalah cara untuk mengatasi masalah-masalah dan usaha-usaha untuk mengatasi stres (Sundberg dkk, 2007). Keluarga dan orang tua pada kondisi tersebut sangat membutuhkan motivasi, dukungan social ekonomi, teknik pertahanan, keterampilan dan kemampuan. Oleh karena itu, dalam menghadapi kondisi seperti ini, memerlukan suatu strategi koping yang efektif (Lazarus, 1984 dalam Rasmun 2009).


(22)

5

Menurut Lazarus dan Folkman,(1984 dalam Nasir & Muhith,2011) ada dua strategi koping yang bisa dilakukan, yaitu problem focused coping (koping yang berfokus pada masalah) dan emotional focused coping (koping yang berfokus pada emosi) . Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan, sedangkan emotional focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.

Sebuah penelitian mengenai stres dan koping keluarga pada anak tunagrahita di SLB C dan SLB C1 Widya Bhakti Semarang yang dilakukan oleh Tiana dan Andriany (2010), menunjukan bahwa stressor keluarga dengan anak tunagrahita adalah pengorbanan waktu kerja, finansial, penegakkan kedisiplinan, stigma masyarakat, pertumbuhan anak terhambat dan kekhawatiran masa depan anak. Penelitian ini juga menerangkan jenis koping yang digunakan oleh orang tua pada anak tunagrahita yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. dalam penelitian ini juga menjelaskan bagaimana keluarga memaknai stres dan koping yaitu dengan penerimaan, tanggung jawab, pelajaran hidup, ujian, cobaan dan kesedihan.

Penelitian lain terkait strategi koping orang tua pada anak yang memiliki anak dengan cacat mental (tuna grahita) yang dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) semarang, yang dilakukan oleh Atikah (2008) ditemukan bahwa memiliki anak dengan


(23)

6

retardasi mental merupakan stressor tersendiri bagi orang tua, kondisi anak yang berbeda dengan anak normal pada umumnya menjadi stressor tambahan yang harus dihadapi orang tua dengan berbagai bentuk koping, koping yang digunakan orang tua adalah koping yang berorientasi pada tugas (Task Oriented) dan koping yang berorientasi pada pertahanan ego (Deffence Mechanism).

Studi pendahuluan pada tanggal 19 maret 2012 di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Jakarta, mendapatkan bahwa respon yang ditunjukan pada saat itu adalah orang tua kaget dan menunjukan perasaan putus asa, bahkan sempat menyalahkan diri sendiri dan berfikir dosa apa yang telah mereka lakukan hingga mendapatkan anak seperti ini (ibu tampak menangis), ditambah pandangan orang lain tentang anaknya yang tidak normal. Orang tua mencari berbagai macam dukungan dan saran, baik dari dokter rumah sakit Fatmawati dan pemuka agama. Orang tua mendekatkan diri kepada Tuhan dengan pasrah dan menerima bahwa anak adalah titipan Tuhan yang harus dirawat dengan baik. Setiap respon keluarga yang mempunyai anak dengan kebutuhan khusus berbeda-beda dan dipengaruhi oleh pengalaman. Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta merupakan suatu sekolah yang memberikan program pendidikan pada anak dengan kriteria khusus yang akan menjadi suatu acuan sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di Jakarta selatan. Maka peran sekolah tersebut sangat penting dalam melibatkan orang tua untuk melakukan optimalisasi pengasuhan anak berkebutuhan khusus.

Dengan adanya beban yang dihadapi orang tua akan dapat menimbulkan stress, Stres yang terjadi pada orang tua akan berdampak buruk


(24)

7

pada anaknya jika tidak menggunakan strategi koping yang tepat. Strategi koping sangat bervariasi, mulai dari positif sampai negatif. Bila orang tua menggunakan koping yang negatif, seperti avoidance (penyangkalan), self-blame (menyalahkan diri sendiri) dan wishfull thinking (pasrah), hal ini akan dapat menimbulkan suatu gangguan tingkah laku yang terjadi pada orang tua dan akan berdampak pula pada pola asuh perawatan anak, seperti penelantaran, depresi, dan isolasi sosial (Sunberg dkk, 2007)

Berdasarkan latar belakang dan studi pendahuluan tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai “Strategi Coping Orang Tua pada Anak yang Menderita Sindrom Down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta”.

B. Rumusan masalah

Memiliki anak berkebutuhan khusus yang disertai dengan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan, seperti pada anak dengan sindrom down merupakan suatu stressor tersendiri pada orang tua, maka orang tua harus dapat melakukan pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh anak sindrom down dengan keterbatasan fisik dan intelektual yang tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat dilakukan dengan terapi, perawatan khusus, serta program pendidikan khusus untuk mencapai kelangsungan hidup secara optimal. Hal ini akan menjadi suatu stresor tersendiri bagi keluarga khususnya pada orang tua, sehingga orang tua memerlukan suatu strategi koping yang tepat dalam menghadapinnya. Ketidaktepatan koping, akan dapat berdampak pada pola asuh perawatan anak, seperti penelantaran, depresi, dan isolasi sosial.


(25)

8

Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam bagaimana strategi koping pada orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down dalam menghadapi masalah dan meminimalkan suatu stesor yang timbul terkait dengan kondisi anak tersebut. Strategi koping sangat diperlukan dalam menghadapi suatu masalah agar dapat berespon positif dalam pola asuh perawatan anak untuk meningkatkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat. Dengan adanya kondisi diatas maka peneliti tertarik untuk mengambil judul “Strategi coping orang tua pada anak yang menderita sindrom down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta”.

C. Pertanyaan Peneliti

1. Apa saja yang menjadi stresor orang tua pada anak yang terdiagnosa sindrom down?

2. Jenis strategi coping apa yang digunakan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom down ?.

D. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi coping orang tua dengan anak yang menderita sindrom down.

2. Tujuan Khusus

a. Mengedintifikasi stresor pada orang tua dengan anak terdiagnosa sindrom down.

b. Mengedintifikasi jenis strategi koping problem focused coping yang digunakan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom down.


(26)

9

c. Mengedintifikasi jenis strategi koping Emotional focused coping yang digunakan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom down.

E. Manfaat penelitian

1. Bagi Profesi Ilmu Keperawatan

Hasil Penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan pengetahuan dan informasi kesehatan pada keluarga terutama pada anak dengan kebutuhan khusus sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan yang komperhensif.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan serta keterampilan mahasiswa keperawatan terkait dengan pemberian asuhan keperawatan dan sebagai ragam informasi mengenai strategi koping orang tua pada anak dengan kebutuhan khusus untuk yang dapat menjadi sumber referensi tambahan dalam konsep keperawatan anak dengan keperawatan khusus.

3. Bagi Masyarakat

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk menambah informasi masyarakat dalam memberi dukungan terhadap anak sindrom down dan orang tua. Serta membantu memberikan motivasi pada keluarga agar dapat menggunakan koping yang tepat dalam merawat anak dengan sindrom down.


(27)

10

Hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran dan informasi untuk melakukan pengembangan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan koping orang tua dengan anak yang menderita sindrom down.

F. Ruang lingkup penelitian

Penelitian ini merupakan metode desain penelitian kualitatif dengan rumusan masalah deskriptif yang dapat memandu peneliti untuk mengeksplorasi masalah yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan mendalam tentang strategi coping orang tua pada anak yang menderita sindrom down. Sampel pada penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2012.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini , teori dan konsep-konsep yang digunakan sebagai acuan adalah : sindrom down, orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, stresor, stres dan strategi koping. Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang


(28)

11

anak yang menderita sindrom down dan strategi koping dari orang tua. Teori dan konsep yang akan diuraikan sebagai berikut :

A. Konsep Dasar 1. Sindrom Down

a. Definisi

Sindrom down merupakan suatu kelainan genetic yang dapat terjadi pada pria dan wanita, kelainan ini adalah hasil dari kelainan kromosom yang tidak selalu diturunkan kepada keturunan berikutnya. Kelainan kromosom yang sering ditemukan adalah kelebihan kromosom 21 yang dinamakan trisomi 21 (Sudiono,2008).

Sindrom ini pertama kali diuraikan oleh Langdon Down pada tahun 1866, walaupun sudah lama dikenal, pada tahun 1969 ditemukan dan dibuktikan adanya kelainan pada kromosom (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).

Sindrom down adalah suatu gangguan pada seseorang yang dapat dikenali dari fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebihan, dan menyebabkan terjadinya interaksi dengan fungsi gen lainnya sehingga menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat (soetjiningsih, 1995).

b. Angka Kejadian

Angka kejadian sindrom down terjadi antara 1 per 600 sampai 1 per 700 kelahiran, lebih dari separuh bayi yang terdiagnosa sindrom down


(29)

12

dapat mengalami abortus spontan selama kehamilan dini. Di indonesia ditemukan 1 dalam 600 kelahiran hidup, Sebagian besar kasus trisonomi 21 sebanyak 94% yang disebabkan oleh kromosom ekstra.

c. Penyebab Sindrom Down

Menurut Soetjiningsih (1995), Penyebab sindrom down adalah non-disjunction yang menghasilkan kromosom ekstra (trisonomi 21) sebagai penyebabnya, yaitu :

1. Genetik

Diperkirakan terdapat predisposisi genetik terhadap non-disjuctional. Bukti yang mendukung teori ini, yaitu berdasarkan atas hasil penelitian epidemologi yang menyatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom down. 2. Radiasi

Radiasi merupakan salah satu penyebab terjadinya non-disjunctional , sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjaadinya konsepsi. 3. Autoimun

Faktor lain penyebab terjadinya sindrom down adalah autoimun, dimana autoimun ini karena adanya penyakit yang dikaitkan dengan tiroid.

4. Umur ibu

Faktor usia sangat berpengaruh, apabila umur ibu diatas 35 tahun, maka diperkirakan perubahan hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunction pada kromosom. Dengan adanya perubahan hormon,


(30)

13

maka akan terjadi perubahan pada endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon) hal ini yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya “non-disjunction”

5. Umur Ayah

Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom down, umur ayah juga dilaporkan adanya pengaruh terhadap kejadian sindrom down yang didasarkan atas penelitian sitogenik pada orang tua dari anak dengan sindrom down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayah, akan tetapi korelasinya tidak setinggi umur ibu.

d. Gambaran klinis

Gambaran klinis anak dengan sindrom down, yaitu kepala terdapat ciri yang khas seperti sutura sagitalis terpisah, brachicephalic , tulang tengkorak mebulat dan berukuran kecil, bagian belakang kepala datar, fontanela anterior membesar, Rambut tipis (variabel). wajah penderita sindrom down lebih kearah bentuk bulat dengan brachicephalic serta pangkal hidung lebar dan datar. Mata berbentuk almond dengan fisura palpebra miring ke arah atas, ada bercak brushfield pada iris mata. Hidung tampak kecil dan pesek . Telinga pendek dan terletak agak rendah. Mulut terdapat palatum tinggi, melengkung sempit, tulang orbita kecil, lidah menonjol keluar , mungkin terpisah dibagian bibir dan


(31)

14

memiliki alur dibagian permukaanya, mandibula hipoplastik, melengkung kerah bawah (terutama terlihat ketika menangis), mulut terus terbuka. Rambut terlihat jarang dan halus. Gigi terlambat tumbuh dengan kesejajaran tidak normal umum terjadi, mikrodontia. Dada terdapat tulang iga memendek dengan anomali pada iga kedua belas. Leher memiliki kulit berlipat dan kendur, pendek dan besar. Abdomen membuncit, otot kendur. Genitalia pria terdapat penis kecil dengan riptorkidisme, pada wanita terdapat vulva bulat. Tangan besar dengan jari-jari tangan pendek dan gemuk, jari kelingking melengkung, terdapat lipatan telapak tangan melintang (simian crease). Kaki anak dengan sindrom down mempunyai jarak yang lebar antara ibu jari kaki dengan jari telunjuk pada jari kaki. Muskoloskeletal terdapat hiperfleksibelitas dan kelemahan otot (Wong, 2008).

e. Diagnosis

Sindrom down dapat didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis yang khas serta ditunjang oleh pemeriksaan kromosom untuk melihat abnormalitas genetik (Wong, 2008) .

Menurut Soetjeningsih (1995) dalam mendiagnosa anak sindrom down diperlukan pemeriksaan radiologi pada kasus yang tidak khas, pemeriksaan radiologi akan didapatkan “brachycephalic”, sutura dan fontanela yang terlambat menutup. Selanjutnya dapat dilakukan pemerikasaan kariotiping pada semua penderita sindrom down yang bertujuan untuk mencari adanya translokasi kromosom. Jika ditemukan, maka kedua ayah dan ibunya harus diperiksa, bila salah satu ayah atau


(32)

15

ibunya karier, maka keluarga lainnya juga perlu diperiksa, hal ini sangat berguna untuk pencegahan, kemungkinan terulang pada orang tua karier dengan kejadian sindrom down yang disebabkan translokasi kromosom adalah 5-15%, sedangkan trisomi 1%. Diagnosis antenatal dengan pemeriksaan cairan amnion atau vili korionik, dapat dilakukan secepatnya pada kehamilan tiga bulan, dengan kultur jaringan dan kariotiping. Diagnosis antenatal perlu pada ibu hamil yang berumur lebih dari 35 tahun, atau pada ibu yang sebelumnya pernah melahirkan anak dengan sindrom down. Jika didapatkan bahwa janin yang dikandung menderita sindrom down, maka dapat ditawarkan terminasi kehamilan kepada orang tuanya.

Pemeriksaan sindrom down secara klinis pada bayi sering kali meragukan, maka pemeriksaan dermatoglifik (sidik jari, telapak tangan dan kaki), pada sindrom down menunjukan adanya gambaran yang khas. Dermatoglifik ini merupakan cara yang sederhana, mudah dan cepat serta mempunyai ketepatan yang cukup tinggi dalam mendiagnosis sindrom Down (Winata ,1993 dalam Soetjiningsih, 1995)

f. Penatalaksanaan

Walaupun tidak ada obat untuk sindrom down sejumlah terapi telah disarankan, seperti pembedahan untuk mengoreksi anomali kongenital dan kemungkinan cacat fisik. Anak ini juga akan mendapatkan manfaat dari perawatan medis yang teratur, anak dengan sindrom down memerlukan penanganan secara multidisiplin. Selain penangan medis, pendidikan anak juga perlu mendapat perhatian serta partisipasi dari


(33)

16

keluarga khususnya orang tua (Wong, 2008). Memberikan dukungan pada orang tua dalam merawat anak sindrom down. Dengan memberikan dukungan pada orang tua pada anak sindrom down, akan membentuk suatu keinginan yang kuat dalam merawat anak dengan baik. Memberikan informasi pada orang tua untuk melakukan intervensi dini pada anak sindrom down dengan melakukan stimulasi sensori dini, latihan khusus yang mencakup aktivitas motorik kasar dan halus, serta memberikan petunjuk pedoman pada orang tua agar anak mampu berbahasa.

g. Prognosis

Harapan hidup untuk anak yang menderita sindrom Down telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir tetapi tetap lebih rendah dibandingkan populasi umum. Lebih dari 80% bertahan sampai usia 30 tahun dan diatas 30 tahun. Seiring dengan prognosis yang semakin baik untuk individu ini, penting untuk memenuhi kebutuhan perawatan, kesehatan jangka panjang, sosial, dan waktu luang mereka (Carr 1994 dalam Wong, 2008).

B. Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus

Orang tua teridiri dari ayah dan ibu. Tanggung jawab orang tua ialah memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak, baik dari sudut organis yaitu makanan dan kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan akan perkembangan intelektual melalui pendidikan, kebutuhan akan rasa dikasihi, dimengerti, dan rasa aman melalui perawatan, asuhan, serta kasih dan sayang (Gunarsa, 2004).

Syok dan pengingkaran dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa bulan, dan akan dapat berlangsung lebih panjang, contohnya


(34)

17

pengingkarang yang mungkin ditunjukan pada saat diagnosis, meliputi melakukan pemeriksaan lebih dari satu dokter, menghubungkan gejala penyakit aktual dengan kondisi minor, menolak untuk mempercayai uji diagnostik, menunda persetujuan terhadap terapi, bertingkah sangat gembira dan optimis walaupun diagnosis telah terungkap, menolak untuk memberitahu keadaannya dengan siapapun, mengingkari alasan masuk rumah sakit.

Pada umumnya, mekanisme ini harus dihargai sebagai respon jangka pendek yang memungkinkan individu memberi jarak pada diri sendiri dari adanya dampak emosional orang tua dengan anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan tujuan tertentu, yaitu perilaku pemecahan masalah. Pada beberapa contoh, berbagai indikator pengingkaran sebenarnya dapat menjadi prilaku adaptif. Dengan mencari pendapat dari profesi lain, menunjukan bahwa orang tua tidak memperoleh jawaban dari pertanyaan yang ditanyakan, sehingga orang tua mencari pendekatan yang berbeda untuk penatalaksanaan agar dapat memenuhi kebutuhan anak dan keluarga secara baik.

Bagi setiap keluarga khususnya orang tua, penyesuaian setelah syok terjadi secara bertahap dan biasanya ditandai dengan pengakuan terbuka bahwa kondisi tersebut nyata. Pada tahapan penyesuaian, dapat disertai beberapa respon yang merupakan suatu bagian dari adaptasi. Perasaan yang paling universal adalah rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Sering kali rasa bersalah berasal dari asumsi yang salah bahwa ketidakmampuan orang tua dalam melakukan sesuatu yang benar selama kehamilan atau kelahiran. Rasa bersalah juga dapat dihubungkan dengan keyakinan budaya


(35)

18

dan agama. Beberapa orang tua meyakinkan bahwa kondisi yang menimpanya merupakan suatu hukuman dari beberapa tindakan jahat yang pernah orang tua lakukan sebelumnya. Adapula orang tua yang melihat kondisi anak yang berkebutuhan khusus sebagai suatu pengorbanan yang dikirim tuhan untuk menguji kekuatan dan keyakinan agama mereka. Dengan adanya suatu informasi, dukungan dan waktu yang tepat, sebagian besar orang tua dapat menguasai rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Kemampuan dalam menguasai perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan penerimaan orang tua terhadap anak (Wong, 2008).

C. Stres

Stres adalah suatu keadaan yang dinamis yang berlangsung setiap kali manusia berinteraksi dengan lingkungan yang bertujuan memelihara keseimbangan pertumbuhan, perkembangan dan perbuatan yang meliputi pertukaran energi dan informasi atara individu dan lingkungan guna mengatur stresor (Tomey & Alligoog,1998 dalam Asmadi,2008 ).

Stres merupakan suatu hal yang menjadi bagian dari kehidupan manusia, yang bersumber dari dalam diri individu, keluarga maupun dalam komunitas dan masyarakat. Menurut Colman (2001 dalam Nasir & Muhith, 2011) stres dapat didefinisikan sebagai suatu stres psikologis dan fisik yang merupakan ketegangan disebabkan oleh fisik, emosi, sosial, ekonomi, pekerjaan, keadaan, peristiwa atau pengalaman yang sulit untuk mengelola atau bertahan.


(36)

19

Stres adalah kondisi yang tidak menyenangkan dimana manusia melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai beban atau diluar batas kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dengan demikian, stres dapat diartikan bahwa stres merupakan suatu sistem pertahanan tubuh, dimana terjadi sesuatu yang mengganggu integritas diri, sehingga mengakibatkan terganggunya ketentraman yang dimaknai sebagai suatu tuntutan yang harus diselesaikan (Nasir & Muhith,2011).

Menurut Taylor (1991 dalam Nasir & Muhith,2011) Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek sebagai berikut :

a. Respon fisiologis

Respon fsiologis dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, nadi, dan sistem pernafasan.

b. Respon kongnitif

Respon kongnitif dapat terlihat melalui terganggunya proses kongnitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikirin tidak wajar.

c. Respon emosi

Respon emosi akan dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.

d. Respon tingkah laku

Respon tingkah laku dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan dan filght yaitu menghindari situasi yang menekan.


(37)

20

Hans selye (1946 dalam Nasir & Muhith, 2011) telah melakukan riset terhadap dua respon fisiologis tubuh terhadap stres, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS).

1) Local Adaptation Syndrome (LAS)

Local Adaptation Syndrome adalah suatu mekanisme tubuh dalam mengatasi dan mengontrol efek fisik penyebab stres. Tubuh akan menghasilkan banyak respon setempat terhadap stres. Respon setempat ini termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya dan sebagainya. Respon ini berjangka pendek, berikut ini adalah karakteristik LAS :

a. Respon terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem. b. Respon bersifat adaptif, maka diperlukan stresor untuk

menstimulasikannya.

c. Respon bersifat jangka pendek dan tidak terus-menerus. d. Respon bersifat restoratif.

2) General Adaptation Syndrome (GAS)

General Adaptation Syndrome merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap sters, disertai gejala-gejala tertentu yang muncul melalui sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Reaksi General Adaptation Syndrome (GAS) terjadi dalam tiga tahap, yaitu :

a. Fase alarm (waspada)

Fase alarm merupakan fase yang melibatkan pengarahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stesor. Dalam fase ini,terjadi reaksi psikologis fight or flight dan


(38)

21

reaksi fisiologis. Pada fase ini tubuh mengaktifkan hormon yang dapat membuat terjadinya peningkatan volume darah, yang pada akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan guna menyiapkan energy untuk keperluan adaptasi. Teraktivasinya epinefrin dan norefineprin mengakibatkan denyut jantung meningkat dan terjadi peningkatan aliran darah ke otot. Selain itu, juga terjadi peningkatan ambilan O2 (oksigen) dan meningkatnya kewaspadaan mental. Dengan aktivitas hormonal yang luas ini, individu melakukan persiapan untuk melakuakan “respon melawan atau menghindar”. Respon ini berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam. Bila stresor ini masih menetap, maka individu akan masuk dalam fase resisteni. b. Fase resistence (resistensi/melawan)

Dalam fase ini individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh akan berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya pada keadaan normal, dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Bila teratasi, gejala stres akan menurun dan tubuh akan kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah dan curah jantung. Hal ini terjadi karena individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stresor, bila individu tersebut berhasil maka tubuh akan memperbaiki sel-sel yang rusak , dan bila gagal, maka individu tersebut akan masuk kedalam tahapan terakhir dari general adaptation syndrome, yaitu fase kehabisan tenaga.


(39)

22 c. Fase exhaustion ( kelelahan)

Fase ini merupakan fase perpanjangan stres yang belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi yang dipakai dalam penyesuain sudah terkuras dan akibatnya akan timbul gejala penyesuain diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner dan sebagainya. Bila usaha untuk melawan tidak dapat diusahakan lagi, maka kelelahan akan mengakibatkan kematian. Pada tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu dalam menghadapi stres. Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap stresor inilah yang akan berdampak pada kematian.

Respon stres pada orang tua dengan anak sindrom down berdasarkan penelitian Cuskelly, dkk (2007) merujuk pada respon emosional dari orang tua untuk tuntutan peran pengasuhan, seperti merasa terisolasi, terjebak, kewalahan dengan tanggung jawab pengasuhan anak sindrom down.

D. Stresor

Stresor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stresor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial dan lingkungan luar lainnya (Patel,1996 dalam Nasir & Muhith,2011). Secara garis besar, stresor bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu :


(40)

23

1) Stresor mayor, yaitu berupa major live events yang meliputi peristiwa kematian orang yang disayangi, masuk sekolah pertama kali dan perpisahan.

2) Stesor minor, yaitu biasanya berawal dari stimulus tentan masalah hidup sehari-hari, misalnya ketidakseimbagan emosional terhadap hal-hal tertentu sehingga menyebabkan munculnya stress.

Taylor memandang stresor sebagai suatu kejadian yang dapat berpotensi timbulnya stres, berikut ini merupakan beberapa karakteristik kejadian yang berpotensi dan dinilai dapat memicu terjadinya stesor:

1. Kejadian negatif

2. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi 3. Kejadian “ambigu” (kejadian yang tidak jelas)

4. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas (overload) lebih mudah mengalami stres daripada orang yang memiliki tugas lebih sedikit.

Ada beberapa sumber stres yang berasal dari lingkungan, diantaranya adalah lingkungan fisik, seperti: polusi udara, kebisingan, kesesakan, lingkungan, serta kompetisi hidup yang tinggi (Howart dan Gilham,1981 dalam Nasir & Muhith,2011). Selain itu, sumber sters yang lain meliputi hal-hal sebagai berikut :

1) Dalam diri individu

Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Pendorong dan penarik konflik menghasilkan dua kecendurungan yang berkebalikan, yaitu


(41)

24

approach dan avoidance. Kecendrungan ini menghasilkan tipe dasar konflik, yaitu sebagai berikut :

a. Approach-approach conflict

Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik.

b. Avoidance-avoidance conflict

Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang tidak menyenangkan.

c. Approach-avoidance

Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam satu tujuan atau situasi.

2) Dalam keluarga

Perilaku, kebutuhan dan kepribadian tiap anggota keluarga yang berbeda-beda mempunyai pengaruh besar pada saat berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, kadang menimbulkan suatu konflik dalam keluarga dengan berbagai macam perilaku, kebutuhan dan kepribadian. Konflik interpersonal dapat timbul sebagai akibat dari masalah keuangan, tujuan yang bertolak belakang. Dari banyak stresor dalam keluarga, ada tiga hal yang paling sering terjadi , yaitu sebagai berikut :

a. Bertambahnya anggota keluarga dengan kelahiran anak yang dapat menimbulkan stres yang berkaitan dengan masalah keuangan (bertambahnya anak, bertambah pula biaya pengeluran), masalah


(42)

25

kesehatan, dan ketakutan bahwa hubungan antara suami istri dapat terganggu.

b. Perceraian dapat menghsilkan banyak perubahan yang penuh dengan stres untuk semua anggota keluarga karena mereka harus menghadapi perubahan dalam status sosial, pindah rumah, dan perubahan kondisi keuangan.

c. Anggota keluarga yang sakit, cacat, dan mati, yang pada umumnya memerlukan adaptasi, kemampuan untuk mengatasi perasaan sedih atau duka yang mendalam dan kesabaran.

3) Dalam komunitas dan masyarakat

Kontak dengan orang diluar keluarga merupakn banyak sumber stres, misalnya pengalaman anak disekolah dan persaingan. Berdasarkan penjelasan diatas, maka stresor atau hal-hal yang menyebabkan terjadinya stres dapat berupa foktor-faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan disekitar individu (baik fisik maupun social).

Stesor orang tua dengan anak sindrom down

Anak dengan sindrom down memiliki resiko lebih tinggi akan masalah kesehatan dibandingkan dengan anak-anak normal. Beberapa masalah yang erat kaitannya dengan anak sindrom down, seperti: kelainan jantung, kepekaan terdadap infeksi pada mata maupun kelainan pada bentuk otak. Cacat tambahan seperti usus pendek, tidak beranus/dubur, lemah otot maupun kerusakan syaraf yang menyebabkan anak mengalami retardasi mental. Pada usia dewasa kemungkinan terserang penyakit Alzhimer


(43)

26

(kehilangan sebagian besar memori) lebih besar 25% dibandingkan dewasa normal yang hanya 6%. Dengan adanya resiko yang tinggi tehadap masalah kesehatan, maka diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pemerikasaan rutin dan perawatan khusus, pendidikan khusus, serta terapi-terapi dalam mengoptimalkan perkembangan anak (Jhonston dan Hull, 2008).

Berdasarkan sebuah penelitian Cram Hauser, dkk (2001) dengan pengumpulan data longitudinal selama tujuh tahun (anak usia 3 sampai 10 tahun) yang terkait dengan pengalaman pengasuhan orang tua pada anak sindrom down, didapatkan tuntutan dalam pola asuh perawatan anak dalam membesarkan anak dengan sindrom down meningkat untuk kedua orang tua yaitu ibu dan ayah, peningkatan ini lebih besar dialami oleh ibu pada anak dengan sindrom down yang mengalami gangguan motorik dan dengan keterlambatan perkembangan. Respon orang tua yang sangat kritis pada akhirnya secara langsung akan mempengaruhi reaksi anggota keluarga lain dan koping anak itu sendiri.

E. Koping dan Strategi Koping

Koping merupakan suatu tindakan yang mengubah kongnitif secara konstan dan usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Koping yang efektif adalah koping yang membantu seseorang untuk


(44)

27

menoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainnya ( Lazarus dan Folkman,1984 dalam Nasir & Muhith, 2011).

Setiap orang akan menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan stess yang sedang di deritanya. Banyaknya sumber koping yang tersedia, memungkinkan untuk setiap individu memilih satu bahkan lebih sumber koping. Setiap individu dari semua umur dapat mengalami stres dan mencoba mengatasinya, ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyamanan, hal ini membuat seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu demi mengurangi stres, usaha yang dilakukan oleh individu tersebut merupakan bagian dari koping. Koping adalah suatu proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources) yang dinilai dalam suatu kejadian maupun keadaan yang penuh tekanan ( Nasir & Muhith, 2011).

Menurut Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011) dalam melakukan koping, ada dua strategi yang bisa dilakukan :

1. Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping). problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. problem focused coping ditunjukan dengan mengurangi demans dari


(45)

28

situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk mengatasinnya. Seseorang akan cenderung menggunakan metode problem focused coping apabila mereka percaya bahwa sumber atau demans dari situasi dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem focus coping antara lain sebagai berikut :

a. Confrontative coping : usaha untuk mengubah suatu keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko. b.Seeking social support : usaha untuk mendapatkan

kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

c. Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap dan analisis.

2. Emotional Focused Coping

Emotional focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotional focused coping ditunjukan untuk mengontrol repon emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan perilaku dan kongnitif. Strategi yang digunakan dalam emotional focused coping, yaitu sebagai berikut :


(46)

29 a.Self-control

Usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.

b.Distancing

Usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan –pandangan yang positif, seperti menggangap masalah sebagai lelucon.

c. Positive reapparsial

Usaha mencari suatu makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.

d.Accepting responsibility

Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dari permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuannya menjadi lebih baik.

e. Escape/avoidance

Usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.


(47)

30

individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut mereka dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotional focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol. Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi koping pasti digunakan oleh individu (Taylor,1991 dalam Nasir dan Muhith, 2011).


(48)

31 F. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijabarkan sebelumnya, penulis membuat skema kerangka teori yang merupakan gabungan dari teori Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011), Wong (2008), Jhonston dan Hull (2008).

Sumber : Gabungan Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011), Wong (2008), Jhonston dan Hull (2008).

Strategi coping Orang tua yang

memiliki anak dengan sindrom

down

Problem focused coping Emotional focus coping Stresor :

 Masalah kesehatan

 Perawatan khusus

 Biaya

 Pendidikan khusus

 terapi-terapi

Sumber koping : - Ekonomi

- Keterampilan & Kemampuan - Teknik pertahanan - Dukungan sosial - motivasi


(49)

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN DEFINISI ISTILAH

A. Kerangka konsep

Bab III ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka konsep, pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam yang berkaitan dengan “strategi coping orang tua pada anak yang menderita dwon sindrom”. Kerangka konseptual dituangkan dalam skema sebagai berikut.

Bagan 3.1 kerangka konsep menurut Lazarus (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011) Orang tua yang

memiliki anak dengan sindrom

down

Strategi coping


(50)

Definisi istilah

Komponen Definisi Metode Alat ukur Informan Hasil ukur

1. Stresor faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stress

Wawancara mendalam

Pedoman wawancara

Orang tua Stresor

2. Strategy coping

Suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu

Wawancara mendalam

Pedoman wawancara

Orang tua Strategi koping

a. Problem focused coping

Strategi koping yang dilakukan untuk mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya stres.

Wawancara mendalam

Pedoman wawancara

Orang tua Problem focused coping

b. Emotional focused coping

Strategi koping yang mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan

Wawancara mendalam

Pedoman wawancara

Orang tua Emotional focused coping


(51)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan rumusan masalah deskriptif yang dapat memandu peneliti untuk mengeksplorasi masalah yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan mendalam. Dengan menggunakan instrument pedoman wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi yang jelas, luas dan akurat .

Penelitian kualitatif memiliki sifat holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan), meliputi aspek tempat (pleace), pelaku (actor) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono, 2011). B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2012.

C. Instrument Penelitian

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara in-dept interview (wawancara mendalam) dengan menggunakan pedoman wawancara dan alat perekam suara. Alat perekam yang digunakan peneliti yaitu berupa recorder digital handphone dengan pertimbangan durasi yang lebih panjang kurang lebih 120 menit dan pemutaran hasil rekaman ulang akan lebih mudah dibandingkan dengan tape recorder manual. Dengan pertimbangan sebelumnya handphone tersebut menggunakan simcard yang


(52)

35

baru sehingga tidak mengganggu proses pengumpulan data. Bila menggunakan tape recorder manual yang menggunakan kaset perekam, peneliti mengalami kesulitan pada saat memutar ulang kaset sehingga pita kaset tersebut mudah kusut dan menyulitkan proses penulisan laporan hasil penelitian, maka peneliti menggunakan tape recorder digital berupa handphone. Sebelum melakukan perekaman, peneliti meminta izin terlebih dahulu untuk melakukan perekaman.

D. Populasi

Populasi adalah sebagai suatu wilayah generalisasi yang terdiri atas objek maupun subjek yang memnpunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugioyono, 2011). Populasi pada penelitian ini adalah semua orang tua siswa maupun siswi yang terdiagnosa sindrom down dan masih tercatat aktif bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negri 1 Jakarta yang berjumlah tujuh orang siswa.

E. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti (Sugiyono, 2011). Sampel dalam penelitian ini adalah nara sumber atau informan yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan cara pengambilan sampel sebelum pengumpulan data yaitu teknik pengambilan sampel sumber data berdasarkan keanggotaan dalam subkelompok dengan karakteristik yang sama atau tipe homogeneous sampling (Creswell, 2008) yang akan dilakukan di SLB (sekolah luar biasa) sesuai dengan karakteristik informan dengan jumlah sampel


(53)

36

sebanyak tujuh partisipan orang tua (bapak/Ibu ) dari lima siswa anak sindrom down. Dari berbagai referensi penelitian kualitatif tidak ditentukan batas minimal jumlah sampel sebagai informan yang akan diteliti, apabila data yang diperoleh dari informan sudah mencapai saturasi (data telah jenuh atau informan melakukan pengulanggan informasi sehingga informan tidak lagi memberikan informasi yang baru) maka jumlah sampel yang telah ditentukan sudah cukup. Sumber informasi atau partisipan dalam penelitian ini yaitu :

1. Partisipan utama

Partisipan utama ini terdiri dari orang tua pada anak yang menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah di SLB (sekolah luar biasa) dengan jumlah lima orang, dengan kriteria :

a. Orang tua pada anak yang menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negri 1 jakarta.

b. Sehat jasmani dan rohani. c. Bersedia diwawancarai. 2. Partisipan pendukung

Partisipan ini terdiri dari 2 orang guru yang masih aktif mengajar di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta yang memiliki siswa dikelasnya menderita sindrom down. Partisipan tersebut merupakan suatu sumber informasi yang akan membantu peneliti dalam melakukan validasi data.


(54)

37 F. Teknik Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data akan dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2012. Pengumpulan data dilakukan peneliti dengan open-ended interview (wawancara terbuka atau tidak terstruktur), open-ended interview akan memberikan informasi yang lebih dalam tentang partisipan terhadap fenomena yang akan diteliti (Creswell, 2008). Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang memberikan kebebasan terhadap partisipan dalam memberikan jawaban, dimana pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan pada partisipan, wawancara ini dilakukan dengan face to face (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian ini, wawancara dilengkapi alat perekam suara dan cacatan lapangan seperti dalam melakukan penulisan Analisa Proses Interaksi (API) untuk mengedentifikasi respon non verbal informan, seperti menanggis, sedih, gembira dan sebagainya, serta mencatat semua percakapan. Data yang dikumpulkan oleh peneliti sudah dianggap memadai apabila telah sampai ketaraf “saturacy” (data telah jenuh, ditambah sampel tidak lagi memberikan informasi yang baru atau jika partisipan sudah mulai terjadi pengulangan informasi).

2. Tahap Pengumpulan Data

a. Tahap Persiapan Pengumpulan Data

Peneliti sebelumnya mengurus surat izin untuk melakukan pengumpulan data, surat izin penelitian diberikan kepada kepala


(55)

38

sekolah dan kepada responden yang akan diteliti. Setelah memperoleh izin dari kepala sekolah dan responden, selanjutnya peneliti mulai melakukan observasi kesetiap kelas yang terdapat siswa dengan anak sindrom down, kemudian peneliti mengadakan pertemuan dengan partisipan utama dan partisipan pendukung untuk menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian serta kriteria yang dipilih sebagai partisipan dan memberikan informed consent pada partisipan untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian ini. Setelah partisipan memberikan pernyataan kesediaannya dengan menandatangani lembar persetujuan, maka peneliti melakukan proses pengambilan data dengan melakukan teknik open-ended interview. Sebelum melakukan wawancara, peneliti membina hubungan saling percaya dengan partisipan dengan melakukan pendekatan awal, agar partisipan dapat lebih terbuka memberikan informasi. Setelah responden mulai menunjukan sikap terbuka dan saling percaya dengan peneliti, maka peneliti membuat penawaran dengan partisipan terlebih dulu, waktu, tempat dan durasi wawancara. Kemudian peneliti meminta izin kembali untuk melakukan pertemuan selanjutnya setelah selesai pengambilan data bila ada data yang kurang atau hilang.

b. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data

Pada tahap pelaksanaan pengumpulan data, data yang dikumpulkan merupakan hasil dari perolehan informasi yang diberikan oleh responden, kemudian informasi tersebut digunakan


(56)

39

peneliti sebagai data yang dibutuhkan dalam penulisan suatu laporan penelitian dengan mengkategorikan informasi yang diberikan responden sehingga hasil informasi tersebut menjadi subtema dan tema. Wawancara pertama dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara garis-garis besar tentang strategi koping orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down, wawancara dilakukan dengan (face to face) untuk memperoleh informasi secara jelas dan mendalam. Dengan face to face peneliti memperoleh pandangan yang menyeluruh tentang strategi koping serta mendapatkan pengalaman langsung terhadap fenomena yang diteliti dan menemukan hal-hal yang tidak terungkap oleh partisipan dalam wawancara sehingga akan menguatkan data yang diperoleh. Bila dengan pertanyaan yang diberikan kurang dipahami oleh partisipan, maka peneliti menggunakan pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan untuk menguraikan pertanyaan inti. Dalam ini peneliti durasi wawancara berlangsung selama 20-60 menit, Sehingga informasi yang didapatkan dari partisipan lebih dalam dan luas terhadap strategi koping yang digunakan oleh orang tua yang menderita anak dengan sindrom down. Data yang dikumpulkan peneliti merupakan data yang sudah jenuh dimana data tersebut merupakan informasi yang diperoleh dari reponden yang berlangsung secara terus menerus sampai tuntas hingga jawaban yang diberikan sama.


(57)

40

Dengan metode wawancara ini peneliti tidak hanya mendapatkan informasi secara lisan saja, akan tetap peneliti juga akan mendapatkan nilai kebenaran yang dikatakan oleh responden, membaca mimik muka partisipan, serta memberikan penjelasan bila pertanyaan tidak dimengerti partisipan (Notoatmodjo, 2010).

Patton dan Molleong (2002 dalam Sugiyono, 2011) menggolongkan enam jenis pertanyaan dalam wawancara, yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman, pendapat, perasaan, pengetahuan, indera dan berkaitan dengan latar belakang atau demografi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman dan perasaan. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti membuat catatan lapangan yang berupa hal-hal penting atau kata-kata kunci dan gambaran ekspresi non-verbal partisipan serta hal-hal lain yang dianggap penting untuk memperkaya data penelitian dan menggunakan alat perekam.

c. Tahap Penutupan

Diakhir proses wawancara, peneliti melakukan terminasi pada semua partisipan dengan melakukan validasi hasil wawancara yang sudah dilakukan selama penelitian, setelah peneliti menganalisa data dengan menggunakan analisa tematik sehingga tergali subtema dan tema. Setelah peneliti mendapatkan tema dari informasi tersebut peneliti kembali mendatangi responden untuk memvalidasi atau mengecek ulang informasi yang diberikan


(58)

41

responden. Kemudian peneliti mengucapkan terimakasih serta menyatakan penelitian telah selesai.

G. Validasi Data

Untuk menjaga validasi data, maka peneliti menggunakan metode validitas internal dengan melakukan triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini dapat diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Triangulasi meliputi (Sugiyono, 2011)

1. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data dari sumber yang berupa informan berbeda-beda. Data yang telah dianalisis akan menghasilkan suatu kesimpulan yang akurat.

2. Triagulasi Teknik

Triangulasi teknik dilakukan untuk menguji kreadibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data yang diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dokumentasi atau kuesioner. Bila dengan menggunakan teknik tersebut mendapatkan hasil yang berbeda-beda, maka peneliti akan melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data untuk memastikan data mana yang dianggap benar, atau mungkin semua benar karena sudut pandangnya berbeda-beda.


(59)

42 3. Triangulasi Waktu

Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat nara sumber masih segar, sehingga partisipan belum mempunyai banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kreadibel. Pengujian kreadibilitas data dlakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda maka dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan kepastian data.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji validitas dengan melakukan pengecekan triangulasi teknik dan triangulasi sumber untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid, realible dan objektif.

H. Teknik Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down. Analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan metode fenomenologi yang dikembangkan oleh Colaizzi (1978). Langkah-langkah analisis data berdasarkan Colaizzi (1978) dalam Streubert (2003), meliputi:

1. Peneliti mencatat semua simbol yang didapatkan dari responden tentang fenomena yang diteliti yaitu strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down.


(60)

43

2. Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai stresor dan membuat transkip. Data yang dianggap penting kemudian dilakukan pengkodean data.

3. Mendengar ulang hasil wawancara dan membaca semua gambaran partisipan secara berulang-ulang dari fenomena yang dialami partisipan mengenai strategi koping yang dilakukan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom down sampai diperoleh pemahaman yang benar

4. Membaca ulang catatan asli dan kutipan pertanyaan penting dengan mengelompokkan kata kunci dari partisipan mengenai strategi koping. 5. Membaca ulang kembali data yang sudah didapatkan.

6. Tulis ulang kembali data yang ada, kemudian peneliti membentuk pegertian dari kelompok tema dengan membuat sub-tema dan kategori. 7. Selanjutnya mengintegrasi hasil analisis ke dalam bentuk deskriptif

dengan mengambil tema dari kategori yang sudah dianalisa.

8. Peneliti membaca kembali data dalam pembentukan kategori data hasil penelitian untuk dijadikan tema.

9. Membuat abstraksi dari tema yang sudah ditentukan ( Streubert dan Carpenter, 2003)


(61)

44 Gambaran proses analisis data

Gambar 4.2 Teknik analisa data Colaizzi (1978) Sumber: Streubert & Carpenter (2003).

I. Etika Penelitian

Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (partisipan) dan masyarakat yang akan memperoleh hasil penelitian tersebut (Notoatmojo, 2010). Etika penelitian ini bertujuan untuk menjaga privasi dan kerahasiaan informan, serta peneliti memberikan kebebasan kepada partisipan untuk memberikan informasi atau tidak memberikan informasi (tidak berpartisipasi). Sebelum

Menggabungkan data yang baru diperoleh saat dilakukan validasi Memiliki gambaran yang jelas

tentang fenomena yang diteliti

Mencatat data yang diperoleh (hasil wawancara)

Kembali ke responden untuk klarifikasi data hasil penelitian

Mengintegrasikan hasil analisis ke dalam bentuk deskriptif Membaca transkrip secara

berulang-ulang

Merumuskan tema Mengelompokkan kata kunci


(62)

45

melakukan pengumpulan data, peneliti meminta izin kepada Kepala Sekolah Luar Biasa Negri 1 Jakarta dengan menyerahkan surat permohonan melakukan pengambilan data untuk proposal penelitian dan penelitian.

Sesuai dengan kode etik, sebelum peneliti melakukan penelitian untuk mendapatkan suatu informasi dari partisipan, maka peneliti menggunakan pendekatan kepada partisipan dengan menjelaskan tentang isi surat persetujuan menjadi partisipan yang berisi tetang jaminan kerahasiaan identitas partisipan dan tujuan dari penelitian. Peneliti selanjutnya meminta kesediaan partisipan untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut sebagai bukti kesediaan partisipan menjadi responden peneliti. Seluruh informasi yang mencantumkan identitas partisipan hanya digunakan sebagai pengolahan data dan bila sudah tidak digunakan maka data akan dihilangkan. Dengan adanya inform concent dari partisipan tersebut, artinya partisipan sudah mempunyai keterikatan dengan peneliti untuk memberikan informasi yang diperlukan peneliti.

Peneliti dalam melakukan penelitian hendaknya memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta berpegang teguh pada etika penelitian, meskipun mungkin penelitian yang dilakukan tidak akan merugikan atau membahayakan bagi subjek penelitian. Secara garis besar, dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat prinsip yang harus dipegang teguh, yakni:


(63)

46

b. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privasi and confidentiality)

c. Keadilan dan inklusivitas/ keterbukaan (respect for justice an inclusiveness)

d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits)


(64)

47 BAB V

HASIL PENELITAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

1. Sejarah Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta

SLB Negeri A persiapan B-C adalah sekolah negeri pertama di Jakarta didirikan oleh pemerintah dengan surat keputusan dari menteri pendidikan dan kebudayaan No.2/SK/B/III tanggal 13 maret 1862, yang terletak di jalan R.S. Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan. Sesuai surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan RI (Republik Indonesia) No.0384/0/1987 tanggal 1 Juli 1987, Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri A persiapan B-C dipindahkan dari R.S. Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan ke kompleks SLB A Pembina Tingkat Nasional, Jl. Pertanian Raya, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan. Berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No.1368/2007 SLB Negeri A persiapan B-C Jakarta menjadi SLB Negeri 1 Jakarta, yang melayani satuan pendidikan TKLB (taman kanak-kanak luar biasa), SDLB (sekolah dasar luar biasa), SMPLB (sekolah menengah pertama luar biasa), dan SMALB (sekolah menengah atas luar biasa). Sejak tahun 2006 SLB Negeri 1 Jakarta oleh direktorat pembina sekolah luar biasa ditunjuk sebagai sentra pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus untuk wilayak DKI Jakarta.


(65)

48

Data siswa SLB A persiapan B-C tahun 2010 untuk pendidikan TKLB (taman kanak-kanak luar biasa) berjumlah 6 siswa, SDLB (sekolah dasar luar biasa) 80 siswa, SMPLB (sekolah menengah pertama luar biasa) 67 siswa, dan SMALB (sekolah menengah atas luar biasa) 55. Dan peserta didik kursus keterampilan sebanyak 12 siswa. Jumlah total siswa SLB A persiapan B-C sebanyak 220 siswa. Sumber tenaga kerja SLB A persiapan B-C tahun 2010 sebagai guru dan pegawai berjumlah 57 orang, yaitu guru 47 orang, tata usaha 3 orang, tenaga kebersihan 4 orang, penjaga sekolah 2 orang, serta pustakawan 1 orang.

2. Visi dan Misi Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakrta a. Visi Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta

Terwujudnya pelayanan pendidikan bagi anak berke butuhan khusus dan pendidikan layanan khusus menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, sehat, cerdas, terampil dan mandiri dalam masyarakat insklusif.

b. Misi Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta

1. Mengurangi dampak gangguan melalui rehabilitasi, terapi ringan, keterampilan, dan lain-lain.

2. Meningkatkan dan memperluas pengetahua, wawasan, pengalaman dan sikap percaya diri melalui kegiatan belajar dan mengajar.


(66)

49

3. Meningkatkan keterampilan dan memperluas peluang kerja melalui program pilihan keterampilan pada bengkel kerja PLB Jakarta.

B. Karakteristik Demografi Informan

Dalam penelitan ini informan dibagi menjadi dua yaitu informan utama dan informan pendukung. Informan utama terdiri dari tujuh orang tua pada anak yang menderia sindrom down dan informan pendukung terdiri dari dua orang guru kelas yang didalam kelasnya terdapat siswa atau siswi yang terdiagnosa sindrom down.

Peneliti melakukan wawancara mendalam pada orang tua dan guru setelah menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dan informan tersebut bersedia menjadi respoden dengan mengisi lembar informed consent. Secara umum gambaran karakteristik informan yang berhasil diwawancarai adalah sebagai berikut

a. Partisipan Utama

Tabel 5.1 karakteristik partisipan.

Keterangan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7

Inisial Tn. A Ny. N Tn. D Tn. S Tn. Z Ny. M Ny. P Usia 50

tahun 46 tahun 50 tahun 56 tahun 59 tahun 54 tahun 47 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perem-puan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perem-puan Perem-puan Anak yang

terdiagnosa sindrom

3 dari 3 bersau-dara

3 dari 3 bersau-dara

2 dari 2 bersau-dara

3 dari 3 bersau-dara

4 dari 4 bersau-dara

4 dari 4 bersau-dara

1 dari 1 bersau-dara


(67)

50 Tabel 5.2 Usia kehamilan responden

No Inisial Usia Kehamilan 1 Ny. N 35 tahun 2 Ny. Q 47 tahun 3 Ny. M 43 tahun 4 Ny. P 39 tahun

Diketahui :

a. Jumlah responden = 7 orang , (4 perempuan dan 3 laki-laki)

b. Usia ibu saat kehamilan > 35 tahun = 4 orang

Maka , 4/7 x 100 = 57,14 %

Usia responden pada saat kehamilan rata-rata > 35 tahun, pada kehamilan usia ibu diatas 35 tahun maka ibu akan beresiko melahirkan anak dengan sindrom down dan diperkirakan terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan non-down anak

ke-

Pendidikan terakhir

SD SLTP SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA

Pekerjaan Buruh Ibu rumah tangga

Karyaw an swasta

Pensiun Pegawa i swasta

Ibu rumah tangga

Ibu rumah tangga


(68)

51

disjunction pada kromosom. Dengan adanya perubahan hormon, maka akan terjadi perubahan pada endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon) hal ini yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya “non-disjunction”.

b. Partisipan pendukung

Tabel 5.3 karakteristik partisipan

Keterangan Informan pendukung 1 Informan pendukung 2

Inisial Guru M Guru N

Usia 37 tahun 38 tahun

Jenis kelamin Perempuan Perempuan

Pendidikan terakhir S1 S1

Pekerjaan Guru Tetap kelas 1 SLB Negeri 1 Jakarta

Guru Tetap kelas 6 SLB Negeri 1 Jakarta


(1)

106 Lampiran 5

PEDOMAN WAWANCARA Partisipan Pendukung

1. Sudah berapa lama anda mengajar disini, dari kelas berapa ? 2. Bagaimana sikap orang tua saat mengantar anaknya ke kelas?

3. Pernahkah orang tua murid mencari informasi tentang perkembangan anak disekolah ?

4. Bagaimana penerimaan orang tua terhadap kondisi perkembangan anak? 5. Pernahkah orang tua menyatakan kepada anda tentang harapan yang tinggi


(2)

107 Lampiran 6

ANALISIS TEMATIK PARTISIPAN UTAMA Stresor

Kategori P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Subtema Tema Lambat jalan dan

Lambat bicara

√ √ √ √ √ √ √ Gangguan

Pertumbuhan dan

perkembangan anak

Harapan akan masa depan anak

Stresor Internal

Sering sakit-sakitan √ √

Harapan masa depan anak

√ √ √ √

Tidak tahu tentang sindrom down

√ √ Kurang

pengetahuan Dipandang sebelah

mata

√ √

Stigma Masyarakat

Stresor Eksternal

Dijauhi /dikucilkan √ √

Ejekan √ √ √ √

Dihina √ √

Istri kurang terima kehadiran anak

√ Penolakan

Biaya terapi mahal √ √ √ √ √ Hambatan keuangan

Kategori P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Subtema Tema

Binggung √ √ Pikiran kacau

Menurun daya konsentrasi

Respon kongnitif Kepala saya pusing

(banyak pertanyaan dikepala saya)

Kecewa √ Bentuk marah Respon

Kehilangan

Respon

Malu √

Marah √

Pasrah √ √ Toleransi

terhadap beban

Kaget √ √ √


(3)

108 Respon stresor yang tergali

Problem focus coping

Sedih √ √ √ √ tingkah laku

Kategori P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Subtema Tema Langsung kerumah

sakit / rutin ke dokter

√ √ √ √ √ √ √ Pengobatan

Medis Usaha langsung (confrontative coping) Mencari Dukungan Sosial (seeking sosial support) Perencanaan pemecahan masalah (planful problem solving) Terapi rutin (terapi

jalan & bicara)

√ √ √ √ √ √ √

Pergi ketukang urut √ √ √ Pengobatan Alternatif Pergi kedukun kampung √ √ Berbagi cerita dengan suami Berbagi cerita dengan teman Berbagi cerita dengan Guru √ √ √ √ √ √ Dukungan internal keluarga Dukungan ekternal Dukungan spiritual Berbagi dengan guru ngaji √ √ √ Merawat dengan hati-hati jangan sampai sakit √ Merawat secara bertahap Memberikan pendidikan formal Menyekolahkan

anak di SLB

(sekolah luar biasa)

√ √ √ √ √ √ √


(4)

109 Emotional focus coping

Membuat SKTM (surat keterangan tidak mampu)

mendapatkan pengobatan gratis

Kategori P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Subtema Tema

Menyadari √ √

Menerima keadaan

Beradaptasi pada keadaan

Penerimaan dan tanggung jawab

(accepting responsibility)

Pengontrolan diri (self control)

Penilaian positif (positif reapparsial) Menerima keadaan √ √ √ √ √

Pasrah √

Takdir yang harus dijalani dengan Ikhlas

√ √ √

Mencoba bersabar

√ √ √ √ √

Yakin pada Allah anak adalah titipan

√ √ √

Berdo’a √ √ √ Pengontrolan

diri secara spiritual

Bersyukur √ √

Mengambil hikmah √ √ Mengambil

pelajaran pada suatu keadaan


(5)

110 Lampiran 7

ANALISIS TEMATIK PARTISIPAN PENDUKUNG

Strategi Koping

Problem focus coping

Kategori P1 P2 Subtema Tema

Orang tua sudah

mendapatkan informasi dari comite sekolah dan gambaran tentang kondisi anak

√ √ Dukungan internal sekolah

Dukungan

Pengobatan medis

Mendapatkan dukungan sosial (seking sosial support) Orang tua sudah

mendapatkan terapi psikologi .

√ √

Respon yang ditunjukan orang tua sangat baik.

√ Penerimaan dan tanggung jawab

Dampak koping keluarga

Kategori P1 P2 Subtema Tema

Sering menanyakan perkembangan anak dikelas

√ √ Rasa ingin tahu Bentuk pencarian informasi

Menyakan tentang pelajaran dikelas

√ Menanyakan

keterampilan bantu diri anaknya


(6)

111 Emotional Focus Coping

Kategori P1 P2 Subtema Tema

Rata-rata orang tua sudah menerima keadaan anaknya

√ √ Dampak Koping positif

Dampak koping yang digunakan oleh orang tua.

Orang tua tampak memperhatikan kegiatan anaknya

√ √

Orang tua terlihat sayang sekali


Dokumen yang terkait

Strategi Mekanisme Koping Orangtua yang Memiliki Anak dengan Retardas Mental di Sekolah Luar Biasa (SLB) E Negeri Kecamatan Sei Agul Medan

21 115 82

Peran dan Sikap Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di Sekolah Luar Biasa-C Yayasan Pembinaan Anak Cacat Medan

6 58 87

STRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR BIASA Strategi Pembelajaran Matematika Pada Anak Autis Di Sekolah Luar Biasa (Studi Kasus di Sekolah Mitra Ananda Colomadu Karanganyar).

0 6 10

PEMBELAJARAN MEWARNAI ANAK DOWN SYNDROME KELAS V SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 YOGYAKARTA.

8 43 128

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Strategi Koping pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahta di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Salatiga

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Strategi Koping pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahta di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Salatiga

0 0 50

Gambaran Kualitas Hidup Orang Tua Anak Sindrom Down di Yayasan Persatuan Orang Tua Anak dengan Sindrom Down Jakarta - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 58

Strategi Mekanisme Koping Orangtua yang Memiliki Anak dengan Retardas Mental di Sekolah Luar Biasa (SLB) E Negeri Kecamatan Sei Agul Medan

0 0 28

Peran dan Sikap Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di Sekolah Luar Biasa-C Yayasan Pembinaan Anak Cacat Medan

0 0 22

HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI ORANG TUA DENGAN KOPING ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK TUNA DAKSA DI SLB NEGERI 1 BANTUL NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI ORANG TUA DENGAN KOPING ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK TUNA DAKSA DI SLB NEGERI 1 BANTUL - DIGILIB

0 0 10