56
Bukan hanya dipandang sebelah mata saja, tapi terkadang sebagian masyarakat juga menjauhi anak sindrom down tersebut,
beberapa ungkapan
2 partisipan
berikut saat
anaknya dijauhidikucilkan :
“…., anak saya itu mau pegang adik kecil anak tetangga sebelah malah dijauhin sama orang tuannya, saya sih..
engga apa-apa.. Cuma sakit hati aja sama orang-orang, kok gitu banget.” Tn.S
“… ya itu.. anak saya kalo lagi pengen main sama anak tetangga, eh malah pada ngejauh mata tampak berkaca-
kaca” Ny.M
Partisipan lain juga menggungkapkan saat anaknya diejek oleh orang-orang dilingkungan sekitar :
“….,sering sekali anak saya diejek anak-anak seumuran dia, makannya anak saya maunya main sama orang yang
sudah dewasa.”Tn.A “….kalo ada anak saya pasti langsung diejek, ejekannya
seperti ini .. “ada…An.A… ada An.A… partisipan tampak sedih”. Ny.N
“….,dilingkungan saya memang menerima, tapi tetap saja ada temannya dirumah yang suka mengolok-olok anak
saya.”Tn.Z
57
“….,anak-anak suka mengolok-olok anak saya kaya gini … Partisipan meneteskan air mata An.D bego.., An.D bego,
sedih juga.. Ya Allah..”Ny.M
Pada saat dihina, juga membuat partisipan semakin tambah merasa terbebani dengan keadaan yang dialami olehnya, 2
partisipan mengungkapkan sebagai berikut: “….,Anak saya pernah dihina wajah tampak
murung”Tn.D “…., yang membuat saya merasa tambah sedih dan beban
itu karena ada orang yang menghina anak saya mata tampak berkaca-
kaca”.Ny.P
Penolakan dari anggota keluarga juga menjadi suatu stresor tersendiri bagi orang tua saat merawat anak dengan sindrom down,
karena peran dalam keluarga sangat dibutuhkan dalam merawat dan membangun kasih sayang terhadap anak. Seorang partisipan
mengemukakan alasan sang istri menolakan untuk merawat anaknya:
“…..,belum lagi istri saya yang gag mau terima anak ini, memang dari sebelum hamil dia tidak mau punya anak,
makannya waktu itu istri saya minum jamu biar haid, tapi gagal haid, akhirnya anak ini lahir, dan istri saya tidak
mau merawat, jadi ya.. saya yang rawat ” Tn. Z
58
Stresor lain juga diungkapkan oleh beberapa partisipan terhadap hambatan keuangan yang menambah beban saat
melakukan terapi dan pengobatan : “ ya,,terapinya itu mahal.., saya kerjanya juga apa
adanya ”. Tn. A
“sudah terapi mahal, belum lagi kalau uang saya habis.. saya sedih mba, jadi anak saya engga terapi dulu, jadi
nunggu kalo ada rezekinya baru terapi lagi” Tn.D “…,Kalo biayanya udah gag kehitung, ya…masalahnya
memang biayanya agak berat, waktu di Hembing itu terapinya mahal sekitar 300rb-500rb, obatnya juga mahal-
mahal, terus kita kudu beli buku juga”. Tn.S
“….,biaya terapi juga mahal”Tn.Z “…,untuk masalah biaya terapi, saya dulu bayar sendiri,
itu juga bikin saya binggung karna bapanya kan sudah pensiun ya akhirnya sempet ngga terapi dulu, kalo punya
uang baru terapi lagi ”Ny.P.
Semua partisipan utama mendapatkan stresor internal dan eksternal yang bervariasi. Orang tua tidak mengetahui apa itu
sindrom down, karena sindrom down bukan penyakit yang sering didengar dikalangan masyarakat awam. Orang tua mengetahui
anaknya terdiagnosa sindrom down bermacam-macam, ada yang
59
mengetahuinya sesaat setelah lahir dan ada yang sudah berjalan usia lima tahun baru tahu bahwa anaknya terdiagnosa sindrom
down. Ketika tahu dari dokter, dan dokter menjelaskan tentang sindrom down, penyebab, pengobatan, serta perawatannya, maka
tergalilah tiga tema dari respon stresor tersebut, yaitu respon kongnitif, respon emosi dan respon tingkah laku.
Tema 3 : Respon kongnitif
Tema ini muncul dari kategori binggung dan kepala saya pusing banyak pertanyaan dikepala saya. Respon stresor
binggung yang diungkapkan beberapa partisipan sebagai berikut : “Dalam hati saya, ada apa ini, kenapa memangnya?
kelainan apaan? ..fisiknya normal… jadi saya masih
binggung dan ga..tau, dikasih tahunnya pas satu minggu anak saya lahir, saya kan orang awam, ga.. tau kelainan
apa, saya taunnya kelainan aja, sadar-sadarnya pas udah lima tahun waktu terapi Rs.Famawati kalo ternyata anak
saya down sindrom. Ya saya sedih, mau digimanain lagi mata tampak merah dan berkaca-
kaca” Tn. A “Awalnya saya ga tau kalo anak saya sindrom down, dokter
waktu itu
bilangnya anak
saya akan
terlambat perkembangannya,
saya binggung waktu itu”. Ny.N
60
Satu partisipan menggungkapkan pada saat mengetahui anaknya terdiagnosa sindrom down banyak pertanyaan terdapat
dibenaknya hingga iya merasa pusing: “Waktu saya tahu anak saya sindrom down, kepala saya
pusing, banyak sekali pertanyaan dikepala saya pada saat itu
“
nanti anak saya biasa apa? Bagaimana nanti ? Sekolah dmn? Ntar kedepannya bagaimana?”
,
itu pas usia anak saya dua bulan, kata dokter bilangnya ada kelainan, beda
dari yang lain, saya kaget, pada saat hamil sehat-sehat saja gak ada apa-apa, lahir normal tapi kecil banget
1600gr mata tampak merah dana berkaca-kaca, meneteskan air mata”.Tn.D
Tema 4 : Respon emosi
Respon emosi yang teridentifikasi pada tema ini meliputi : sedih, kecewa, malu dan marah. Seperti ungkapan beberapa
partisipan berikut : “… ya, seedihlah.. mau digimanain lagi mata tampak
merah dan berkaca- kaca”Tn.A
“….sedihlah pada saat itu mata tampak berkaca-kaca” Tn. D
61
“Saya ngomong sama ibu… ya kita terima ini anak kita mau digimanain lagi, saya kecewa dan nangis-nangis
sambil doain dia..” Tn. S “Gimana ya rasanya perasaan saya...ibu tampak sedih
karena dari sebelas anak dari ibu saya ya saya doang yang punya anak kaya begini. pertama ya malu, ya jengkel,
pertama saya gag terima.. dosa apa saya ini, saya punya anak kaya gini.. apa saya dikutuk, apa gimana ibu
meneteskan air m ata” Ny.M
“Pada saat saya tahu, saya pasrah aja.. ini titipan, ya kita terima, ngomong sama ibu ya kita terima ini anak kita mau
digimanain lagi, saya kecewa dan nangis-nangis sambil doain dia..” Tn. S
“Waktu lahir saya langsung di kasih tahu, Ya Allah… saya sempat kaget, sedih ya pasti, saya sudah dikasih seperti itu
mau diapain lagi” Ny.P.
Tema 5 : Respon Tingkah laku
Tema ini terdiri dari satu sub-tema yaitu dampak dari stresor yang muncul sebagai respon pasrah, kaget dan menangis.
Dua partisipan menggungkapkan pasrah terhadap keadaan yang dialaminya :
62
“….,pada saat saya tahu, saya pasrah aja… inititipan, ya.. kita terima”.Tn.S
“saya sudah dikasih seperti ini mau diapain lagi, say pasrah aja ..”Ny.P
Tiga partisipan lain merasa kaget saat mengetahui anaknya terdiagnosa sindrom down, berikut ungkapannya :
“…itu awalnya saya kaget banget, engga tau harus ngapain, kok bisa gitu anak saya seperti itu?”Ny.N
“saya kaget, pada saat hamil sehat-sehat saja gak ada apa- apa”. Tn.D
“…Ya Allah…saya simpet kaget, kenapa begini?”Ny.P
Beberapa partisipan berespon dengan menaggis, sebagai suatu bentuk dampak dari stresor yang dirasakannya :
“….,anak saya itu kecil banget pas lahir beratnya saja hanya 1600gr mata tampak merah dan meneteskan air
mata, kecil banget mba, saya adzanin aja saya gag kuat, saya menaggis pada saat itu, sedihlah mba”.Tn.D
“saya kecewa pada saat itu,kenapa harus saya? Saya menaggis sambil doa’in anak saya itu”Tn.S
Menurut pandangan dua partisipan pendukung, partisipan pendukung tidak mengetahui dengan jelas respon orang tua pada
63
saat mengetahui anak mereka terdiagnosa down sindrom. Karena mereka rata-rata datang menyekolahkan anaknya disekolah luar
biasa SLB mulai dari TK taman kanak-kanak dan SD sekolah dasar, adapula yang dulu TKnya pernah bersekolah disekolah
umum, Respon yang ditunjukan orang tua pada saat mengantarkan anaknya bermacam-macam, seperti kutipan berikut :
“Alhamdulillah…karena dari awal sebelum masuk kesekolahan ini, orang tua sudah tahu sedikit gambaran
tentang kondisi anaknya karenakan sebelum masuk sekolah ini dites IQ dulu dan ada terapi psikologi untuk orang tua,
jadi responnya mereka sangat baik, tapi ada juga yang malu ketika bertemu saya, lalu saya beri nasihat bahwa
anak ini anak special, tak perlu malu, besoknya ibu itu sudah mulai terbuka dan mau bergabung dengan ibu-ibu
yang lain. mereka rata-rata meneriman keadaan anaknya. Orang tua mensyukuri anugrah dari Allah, karena sudah
dapat informasi dari psikologi jadi orang tua menerima ketika sudah mu
lai bersekolah”. Ny.GN “Orang tua rata-rata mengantarkan anaknya seperti biasa,
karena pada awalnya kan sudah mendapatkan banyak informasi dari psikologi komite sekolah tentang anaknya,
jadi pada saat masuk kelas, hanya mengantar saja dan sikapnya pun bi
asa saja”Ny.GM
64
2. Strategi koping yang digunakan orang tua yang berpusat pada masalah problem focus coping
Hasil penelitian didapatkan bahwa semua partisipan utama menggunakan strategi koping berupa problem focus coping, yaitu
usaha untuk mengatasi stress dengan cara mengubah atau mengatur masalah yang dihadapi. Koping ketujuh partisipan tergambar pada
tema ke-enam, yaitu confrontative coping usaha langsung.
Tema 6 : Confrontative coping usaha langsung
Hasil penelitian didapatkan bahwa orang tua melakukan suatu bentuk usaha secara langsung ketika anaknya mulai
menunjukan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan, dalam bentuk usaha secara langsung untuk mengatasi masalah
yang ada, dengan cara membawa anaknya kedokter atau langsung terapi ke rumah sakit, ada juga yang diurut-urut dukun kampung,
serta mengikuti saran-saran kuno lainnya dan menempatkan anak pada sekolah khusus. Hal ini merupakan suatu tindakan yang
dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi, berikut ini adalah ungkapan partisipan yang menggunakan usaha langsung
dengan melakukan pengobatan medis :
65
”pokoknya pas saya tahu anak saya down sindrom, saya langsung usaha kerumah sakit, untuk terapi, karena
jalannya lambat, bicaranya juga lambat ” Tn.A
“…,ya saya juga terapi-terapi kerumah sakit, terapi jalan, terapi bicara walupun sedikit-sedikit terus terapi biar bisa
bicara, ya pokoknya terapi jalan terus sampe akhirnya dia bisa jalan sekarang”. Ny.N
“Pada saat itu saya disarankan terapi-terapi, saya ikutin terus itu terapi-terapi.. seperti terapi bicara, jalan,
memegang suatu benda, gag lama terapi bisa jalan, terapi iya tetep jalan, rutin kedokter, saya usahain kemana aja
terapi pokoknya harus berperan nanti anak supaya bisa mandiri. Setelah terapi-terapi semakin bertahap terus ada
perubahan , kemana aja udah saya lakukan”. Tn.D
“Saya rutin kedokter, ikut terapi-terapi… terapi jalan, terapi bicara, sampai sekarang masih terapi”.Tn.S
“….Langsung kedokter, terapi juga”.Tn.Z “saya langsung kedokter, terapi juga…..”Ny.M
“Anak saya juga sering panas, batuk lalu langsung saya bawa kedokter,semua terapi saya lakuin, dari terapi
wicara, terapi konsentrasi di fatmawati, terapi terus berjalan sampai sekarang”Ny. P
66
Beberapa responden yang menggunakan pengobatan alternatif dengan menggunakan jasa tukang urut ,mengungkapkan
sebagai berikut : “….,karena jalannya lambat, bicaranya juga lambat, saya
juga bawa dia ketukang urut biar bisa jalan”Tn.A “….,saya juga usahakan membawa dia ke orang pinter urut
sampe tujuh kali, gada perubahan, terus mencoba lagi ketempat lain urutnya”.Ny.N
“…., setiap minggu rutin saya bawa ketukang urut”.Tn.Z
Dua partisipan lain mengungkapkan bahwa mereka juga menggunakan jasa dukun kampung untuk menyebuhkan penyakit
anak yang dideritanya : “saya bawa juga dia kedukun-dukun kampung, disuruh
potong ayam kampung, beli beras dipedaleman, ya.. saya lakuin disruh ini.. disuru itu.. saya kerjain”. Tn.A
“….,obat kampung iya… yang diketokin centong iya.. itukan gag masuk akal yaa… secara logika tapi yang
penting saya usaha, dikasih saran kesana, kesini juga saya langsung lakuin, saya usahain agar anak saya sekolah,
sebisa mungkin anak saya mandiri ”Ny.M
. Tema 7 : Seeking social support mencari dukungan sosial
Peneliti mencoba mengkategorikan pencarian dukungan sosial dengan cara mencari informasi baik dukungan internal,
67
ekternal dan dukungan spiritual. Beberapa partisipan utama lain dalam penelitian ini cenderung mencari dukungan social untuk
mendapatkan suatu kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain. Orang tua cenderung mendapatkan kenyamanan
ketika sudah menceritakan masalah yang ada dan mendapatkan dukungan yang diberikan seseorang sehingga dapat menenangkan
situasi yang membuatnya merasa sedih saat menghadapi masalah atau stressor. Seperti ungkapkan partisipan sebagai pencarian
dukungan internal keluarga : “Pada saat saya sedang ada masalah, saya cerita sama
orang terdekat saya yaitu suami saya, saya sering berdikusi dengan suami saya tentang anak saya ini, pokoknya lebih
tenang kalo udah cerita sama suami”. Ny.N
Saya sering berbagi cerita dan masalah dengan keluarga, keluarga mendukung, suami saya dan kakaknya juga
mendukung, suami dan keluarga sayang sekali dengan dia”. Ny.P
Sementara satu partisipan mengungkapkan pencarian dukungan ekstrenal didapatkan dari teman dengan berbagi cerita
untuk dapat menenangkan perasaan khawatir yang dirasakannya, berikut ungkapan partisipan :
“…., dan saya disini sering berbagi cerita ibu-ibu yang sama dengan saya diSLB sekolah luar biasa ini, banyak
68
masukan yang saya dapatkan, isi pembicaraan kita seperti “gimana ya masa depan anak kita, gimana kalo kita sudah
gada” yaa.. kita saling menguatkan dan mendukung, usaha ya usaha terus, kita sekolahin, kita doa’ain, kita latih juga
dirumah Ny.N “…, saya sering berbagi cerita sama teman dirumah,
disekolah ini juga sering saya dan orang tua disini saling dukung buat kemajuan anak kita, biar lebih mandiri, ya..
paling engga anak saya ini bisa sosialisasi. Kalo udah cerita bikin hati saya jadi agak enteng gitu, soalnya mereka
juga ngerasain punya anak kaya gini .” Ny.M
Selain berbagi informasi dengan suami dan teman, partisipan juga mengungkapkan bahwa partisipan juga mencari
informasi dan dukungan dari pihak sekolah, yaitu guru yang mengajar dikelas berikut ungkapan partisipan :
“…, ya..saya
sering menanyakan
bagaimana perkembangan anak saya disekolah, kadang saya mikir koq
gitu-gitu aja, padahal dirumah sudah saya ajarkan juga kaya yang gurunya kasih buat PR pekerjaan rumah,
akhirnya lama-lama saya sadar kalo anak kaya gini ya emang begini, gurunya juga bilang, kalo anak kaya gini
cuma bisa dioptimalisasikan dibina dirinnya. Tapi saya
69
tetep sering nanya gimana perkembangan anak saya” Tn.A
“…, karena ibunya tidak mau mengantarkan kesekolah dan apa-apa saya, ya.. saya jadi suka nanya gimana
perkembangan An.I kalo dikelas, Alhamdulillah sih ada kemajuan dikit-dikit. Ya.. kadang kakaknya juga ikut bantu
kalo belajar dirumah. Apa-apa saya nanya langsung sama gurunya itu.”Tn.Z
Orang tua sangat berespon sekali untuk mengetahui perkembangan anaknya dibidang akademik dan pengembangan diri
agar anaknya dapat hidup mandiri, orang tua mencari informasi pada guru kelas merupakan suatu usaha orang tua dalam mencari
dukungan informasi untuk memberi ketenangan pada dirinya, berikut beberapa ungkapan dari informan pendukung :
“iya, mereka sering menanyakan kepada saya, “bagaimana perkembangan anak saya dikelas?” saya hanya menyampaikan
seperti ini… “saya sudah usaha untuk mengajarkan, karena kemapuannya memang seperti itu, dirumah juga tolong
diajarkan, yang penting tujuan anak ibu disini bisa mandiri saja, biar bisa pakai baju sendiri, makan sendiri. Orang
tuapun paham akan kemapuan anaknya dan harapannya tidak terlalu muluk-muluk, mereka hanya berharap agar agar
anaknya bisa mandiri”. Ny.GN
70
“Pernah, rata-rata orang tuannya sering menanyakan seperti ini “Bu, bagaimana si A? perkembangan saya anak
bagaimana kalo dikelas?, perkembangan kemajuan belajar, keterampilan bantu dirinya , kadang2 kalo dikelas bagaimana
anak saya bu ? biasa nya tentang pelajaran juga yang mereka tanyakan, saya bilang ibu pelan
– pelan saja, misalnya meniru tulisan dari saya guru, akan sama seperti itu, kalo di lepas
tidak bisa, tapi harus dibimbing juga”. Ny.GM
Tema 8 : Planful problem solving perencanaan pemecahan masalah
Perencanaan pemecahan masalah dalam sub-tema yang didapatkan dari hasil wawancara adalah merawat anak dengan hati-
hati dalam menjaga kesehatannya jangan sampai sakit, menyekolahkan anak di Sekolah Luar Biasa SLB. Berikut adalah
ungkapan partisipan dalam merawat anak dengan hati-hati sehingga anak tidak mudah sakit :
“karena ibunya engga mau urus, ya.. mau tidak mau memang harus saya yang urus dan merawatnya. Saya
merawat anak saya dengan hati-hati, jangan sampe sakit, saya jaga makanannya, kegiatannya, semuannya saya
71
perhatiin satu persatu, ya mudah-mudahan berhasil saya merawatnya
”.Tn.Z Selain melakukan usaha merawat anak secara hati-hati,
partisipan juga melakukan usaha pemecahan masalah secara bertahap dengan menyekolahkan anaknya di sekolah khusus untuk
anak-anak disability ini. Sebelumnya ada beberapa partisipan yang memasukkan anaknya disekolah taman kana-kanak umum untuk
anak-anak yang normal, namun secara bertahap partisipan menyadari akan keterbatasan anaknya dan memasukkan anaknya
disekolah luar biasa SLB. Berikut ini ungkapan semua partisipan :
“…,saya juga nyari-nyari sekolahan yang khusus kaya anak saya ini,
akhirnya dapet juga di SLB ini”.Tn.A “Saya binggung waktu itu, karna taunya anak saya ini
Cuma terlambat aja, saya sempet sekolahkan An.A disekolah umum, tapi akhirnya guru disekolah umum itu
bilang kalo anak saya tidak kuat kalo sekolahnya masih diumum ibu tampak sedih, harusnya disekolah khusus,
akhirnya saya anak saya sekolah disekolah luar biasa SLB ini.”Ny.N
“Dulu anak saya pernah saya masukkan di TK taman kanak-kanak normal dan akhirnya saya sadar karna sudah
beda kemampuannya akhinya saya sekolahkan di SLB sekolah luar bias
a” Tn.D
72
“Saya masukkan anak saya ke sekolah luar biasa, anak kita gitu mau digimanaiin lagi, lalu saya lihat disekolahan ada
yg lebih parah, dari SLB sekolah luar biasa itu saya jadi dapet ilmu, dan berfikir.. ternyata anak saya tidak terlalu
parah bahkan disana ada yang lebih parah dari anak saya”.Tn.S
“….,pada saat milih sekolah ibunya malah daftarin ke sekolah umum tapi kakaknya anak saya yg ke-1 suruh
masuk SLB sekolah luar biasa, saya sadar anak ini kemampuannya kurang, makannya saya masukkan ke
SLB”.Tn. Z “Saya sekolahkan juga anak saya diSLB” Ny.M
“saya cari sekolahan yang khusus untuk anak saya, ya.. akhirnya dapet diSLB ini, dulunya di TK normal” Ny.P
Tiga partisipan lain menggunakan usaha dengan membuat SKTM surat keterangan tidak mampu agar mendapatkan biaya
pengobatan dan terapi secara gratis, berikut ungkapan beberapa partisipan :
“biaya terapi itu dulu saya masih pusing, karena mahal kalau mau terapi, terus akhirnya sekarang kita buat SKTM,
dan sekarang kalo mau berobat dan terapi untuk anak saya bisa gratis.Tn.A
73
“saya juga membuat SKTM, supaya ada ringan biaya terapinya. Dan ternyata sekarang sudah gratis, ya.. tinggal
biaya mondar- mandirnya itu” Tn.S
“….., suami saya kan sudah pension, jadi kalo lagi ngga punya uang, anak saya gak terapi dulu, akhirnya saya pake
bantua SK TM, jadi bisa gratis sekarang”.Ny.P
3. Strategi koping yang berpusat pada emosi emotional focus coping
Hasil penelitian didapatkan bahwa orang tua menggunakan usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur respon
emosional dalam rangka menyesuaikan diri terhadap apa yang
dihadapinya. Tema 9 : Penerimaan dan tanggung jawab Accepting
responsibility
Tema ini terdiri dari sub tema yang terdiri dari menerima keadaan dan beradaptasi pada keadaan. Menerima keadaan
meliputi menyadari, menerima keadaan, anak adalah bagian orang tua yang harus dirawat dan dijaga, pasrah, takdir yang harus
dijalani dengan ikhlas, mencoba bersabar, yakin pada Allah anak adalah titipan. Beradaptasi pada keadaan yaitu mencoba bersabar.
Beberapa partisipan utama melakukan usaha untuk mengontrol emosinya dengan cara menyadari tanggung jawab
sebagai orang tua dan mencoba menerima keadaan yang terjadi
74
agar menjadi lebih baik lagi, berikut ini adalah ungkapan partisipan dengan kategori menyadari :
“Awalnya saya tidak terima, dan agak iri kenapa harus saya?,
akhirnya lama-lama
yaa..saya terima
saja ,….”Tn.A
“Yang jelas saya sadar aja punya anak seperti ini, ya… harus dirwat dengan baik ibu meneteskan air mata”
Ny.P Berikut ini adalah ungkapan partisipan dalam menerima
keadaan bahwa anak adalah bagian dari dirinya : “…., diakan anak saya, bagian saya, walaupun anak
seumuran dia itu udah pinter-pinter, ini belum bisa apa- apa. Ya.. saya pikir ya sudah, saya ikhlas saja. Kadang
anak ini juga suka bikin emosi, kalo dipanggil itu kaya orang
engga peduli gitu, kalau dikasih tau susah, ya… memang anak-anak seperti ini sama, saya ikutin aja, dia
bebas mau main kemana”. Tn.A “Pertama saya ngga percaya, rasanya kaget, binggung,
gimana nanti anak saya kedepannya partisipan tampak sedih tapi.. Allah kasih gini ya harus saya terima
meneteskan air mata,dengan segera dihapusnya air matanya” Tn.D
75
“….., ya..kita terima saja, saya ngomong sama ibunya kita mau
gimanain lagi,
kami menerimanya
dengan lapang”Tn.S
“…., saya terima apa adanya untuk merawat anak saya, melatih kesabaran aja”. Tn.Z
“Begitu saya dikasih tau kalau anak saya ini down sindrom, rasanya kaya mau kiamat, waktu itu saya belum
bisa menerima, saya tanya ke dokter “ anak saya idiot, dok?” lalu dokternya jawab “Bukan bu, anak ibu lambat”.
bener dok anak saya idiot ? “bukan ibu.. bukan..”. kalo anak begini saya jangan bermimpi punya impian, anak bisa
begini, begini, harus dengan sabar, saya jalani aja, saya terima toh anak adalah titipan yang harus dijaga dan
disayang partisipan menanggis”Ny.M.
Sementara satu patisipan menerima keadaan anaknya dengan sikap yang pasrah, seperti ungkapan partisipan berikut :
“….,Tadinya kecewa, ya… kita kan orang beragama, ya saya pasrah , perasaan sedih ya… pasti. kadang anak ini
juga suka emosi mulu, paling saya istigfar aja dan belajar menerima dengan lapang”.saya pasrah aja, inikan titipan
Allah SWT , saya serahkan semua pada Allah, anak inikan titipan, mau kaya gimana saya pasrah aja.Tn.S
Penerimaan dan tanggung jawab yang diungkapkan partisipan dilakukan dengan cara beradaptasi pada suatu keadaan,
76
berikut ini ungkapan beberapa partisipan dengan cara memcoba bersabar dalam mengontrol perasaannya :
“…, punya anak kaya gini bikin saya kadang emosi mba, ya.. saat saya sedang emosi, saya mencoba bersabar
menghadapinnya ”Tn.A
“…., punya anak seperti ini membuat saya mencoba menjadi lebih sabar ibu menangis hingga diam sejenak.
Yaa… saya sayang sekali, beda dengan sayang yang lain, dia lebih pokoknya, segala-galanya lebihlah ibu
menanggis saya bersabar Saya mencoba untuk bersabar, karena mempunyai anak ini membuat saya lebih harus
banyak sabar.” Ny.N “…., pas saya tahu anak saya sindrom down rasanya ya…
berusaha sabar aja walaupun hati saya sedih, saya berusaha sabar untuk menghadapi semu
anya”.Tn.S “…., kalo punya anak kaya begini saya jangan bermimpi
punya impian, anak bisa begini, begini harus dengan sabar.” Ny.M
Begitupula yang disampaikan oleh guru sebagai partisipasn pendukung tentang penerimaan orang tua terhadap anaknya yang
tampak dan terlihat disekolah, seperti ungkapan sebagai berikut :
77
“Diawal pertemuan dikumpulkan dulu untuk memberikan informasi kepada orang tua tentang kondisi perkembangan
anaknya seperti apa, gambarannya proses akademiknya bagaimana bila dilihat dari IQ, Alhamdulillah mereka
menerima dan tampak terlihat sayang sekali pada anaknya, dan karena disisni rata-rata islam, mereka sudah
menerima lapang” Ny.GN “Disini orang tua sudah dapat menerima anaknya, orang
tua juga rata-rata ingin anaknya bisa membaca dengan baik, saya sering memberi anak-anak PR, orang tua
membimbingnya dirumah itu juga suatu bentuk kalo orang tuanya menerima
keadaan anaknya dengan cara memperhatikan kegiatannya”Ny.GM
Tema 10 : Pengontrolan diri self control
Pada tema ini hasil penelitian didapatkan bahwa partisipan mencoba untuk beradaptasi dengan masalah menggunakan
pengontrolan diri agar membuat keadaan yang dirasakannya menjadi lebih nyaman dan beradaptasi dengan baik dengan cara
mengontrol dirinya seperti bersyukur, berdo’a dan yakin pada Allah bahwa anak adalah titipan yang harus dijalani dengan ikhlas.
Berikut ini adalah ungkapan usaha yang dilakukan dengan cara bersyukur dari dua partisipan :
“…., ya.. saya bersyukur punya anak ini, masih ada yang lebih parah dari anak say
a”.Tn.S
78
“Saya bersyukur punya anak kaya gini bisa melatih kesabaran saya….”. Ny.M
Tiga partisipan
lain mengungkapkan
melakukkan pengontrolan diri dengan cara berdo’a, berikut ungkapannya :
“Saya berdo’a setiap malam , saya bagun malam, solat dan berdo’a terus untuk anak saya ini, setiap shalat saya doain
supaya bisa jaga dirinya kalo bukan saya siapa lagi, saya berdo’a jam 2 atau jam 3 malam, partisipan menangis dan
diam sejenak…”Ny.N “Saya berdo’a terus, yakin pada Allah SWT kalau ini
adalah titipa n yang harus diterima dan dijaga” Tn.D
“….., saya terus berdo’a agar diberi kesabaran dan ketenangan hati” Ny.M
Tidak hanya berdo’a dan bersyukur usaha yang diungkapkan partisipan dalam mengontrol perasaan dirinya,
ungkapan lain juga diungkapkan oleh empat partisipan yang mengontrol dirinya dengan meyakini bahwa anak adalah titipan
yang harus dijaga dengan ikhlas. Seperti ungkapan berikut : “…., anak ini adalah takdir yang harus saya jalani ibu
meneteskan air mata dengan ikhlas saya rawat penuh sayan
g” Ny.N “… saya yakin, ini adalah anugrah dan titipan Allah yang
harus saya jaga.”Tn.D
79
“…., emang udah bagiannya. ya.. titipan Allah, amanah untuk dijaga. Kalo ada orang suka dijauhin, diusir, saya
sedih liat anak saya digituin sama orang lain, sekali pernah emosi.. lama-lama saya coba sabar, melatih kesabaran
aja” Tn.S “… ya, ini adalah bagian dari saya.. takdir yang harus
saya jalani…”Ny.M
Tema 11 : Penilaian positif Positive reapparsial
Dua orang partisipan mencari arti postif dari keadaan yang dialaminya, dengan mengambil pelajaran pada suatu keadaan atau
mengambil hikmah. Seperti ungkapan beberapa partisipan utama,
sebagai berikut :
“punya anak kaya gini paling berkesan dan paling enak ada hikmah dibalik ini semua yang bisa saya ambil agar
lebih kuat ”. Ny.N
“Banyak hikmahnya punya anak kaya gini, melatih kesabaran saya dan istri, kalo untuk kebutuhannya kita
gentian”Tn.S
80
BAB VI PEMBAHASAN
A. Interpretasi Penelitian dan Hasil Diskusi
Peneliti telah mengidentifikasi 11 tema yang merupakan hasil dari penelitian ini. Beberapa diantaranya memiliki sub-tema dengan kategori-
kategori makna tertentu. Tema-tema tersebut teridentifikasi berdasarkan tujuan penelitian. Stresor orang tua dengan anak yang menderita sindrom
down dapat digambarkan dalam dua tema, yaitu : 1 stresor internal dan 2 stresor eksternal. Pada saat pengambilan data, tergalilah respon terhadap
stresor sehingga menghasilkan tiga tema, yaitu : 3. Respon kongnitif, 4 respon kehilangan 5 Respon tingkah laku. Strategi koping problem focus
coping tergambar pada tema ke-enam, tujuh dan delapan, yaitu usaha langsung confrontative coping, mencari dukungan sosial seeking sosial
support , perencanaan pemecahan masalah planful problem solving. Sedangkan strategi koping emotional focus coping tergambar dalam tiga
tema, yaitu penerimaan dan tanggung jawab accepting responsibility teredintifikasi pada tema ke-sembilan, tema ke-sepuluh yaitu pengontrolan
diri self control, serta penilaian positif positif reapparsial terdapat pada tema ke-sebelas. Selanjutnya peneliti akan membahas masing-masing tema
yang teridentifikasi berdasarkan tujuan penelitian.
81
1. Stresor orang tua pada anak yang terdiagnosa sindrom down Tema 1: Stresor Internal
Down sindrom merupakan suatu gangguan kelainan kromosom yang menyebabkan terjadinya interaksi dengan fungsi gen lainnya
sehingga menghasilkan
suatu perubahan
homeostasis yang
memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat Soetjiningsih, 1995. Dalam penelitian ini,
seluruh partisipan yang memiliki anak down sindrom di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta mendapatkan stresor yang sama, stresor yang
didapatkan oleh partisipan terjadi pada saat orang tua mengetahui informasi tentang kondisi anak yang terdiagnosa sindrom down.
Dengan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh anaknya tersebut, merupakan suatu stresor bagi keluarga
khususnya orang tua. Masalah lain juga diungkapkan oleh partisipan yang dianggap sebagai suatu stresor tambahan dalam merawat anak
dengan sindrom down seperti, kekhawatiran akan masa depan anak, dan kurangnya pengetahuan tentang sindrom down sendiri. Stersor
yang dialami orang tua dengan anak sindrom down dialami juga oleh keluarga dengan anak yang menderita tunagrahita, dalam penelitian
stress dan koping pada anak tunagrahita yang dilakukan Triana dan Andriany 2010 di Semarang mengkategorikan masalah pertumbuhan
anak, kecemasan orang tua, sebagai kendala yang dihadapi dengan
tema masalah stresor keluarga.
82
Hal ini sesuai dengan teori Howart dan Gilham 1981 dalam Nasir Muhith 2011 menyatakan bahwa sumber stress terjadi
meliputi diri individu, keluarga, dan dalam komunitas atau masyarakat. Hasil analisa tematik yang didapatkan oleh peneliti dalam tema ini
sumber stress terjadi dalam keluarga, bertambahnya anggota keluarga dengan masalah kesehatan akan menimbulkan stresor tersendiri bagi
orang tua. Tema 2 : Stresor eksternal
Tema ini meliputi stigma masyarakat, penolakan anggota keluarga dan hambatan keuangan. Stigma masyarakat terdiri dari pandangan
sebelah mata, dijauhidikucilkan, ejekan, dan dihina. Sedangkan penolakan anggota keluarga yang diungkapkan partisipan yaitu adanya
penolakan kehadiran anak dari istrinya tersebut. Dan hambatan keuangan terjadi pada saat menjalani terapi rutin dengan biaya yang
mahal.
Berdasarkan sumber stresor yang diungkapkan oleh semua partisipan tersebut merupakan asal dari penyebab stres. Stres
merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dimana manusia melihat adanya tuntutan dalam situasi sebagai beban diluar batas
kemampuan mereka atau memaknai sebagai suatu tuntutan yang harus diselesaikan. Selain stigma masyarakat yang berada dilingkungan luar,
penolakan dari anggota keluarga juga merupakan suatu stresor yang akan berdampak pula pada pola asuh terhadap anak, serta biaya terapi
yang cukup mahal juga diungkapkan oleh partisipan sebegai suatu
83
masalah yang harus dihadapi. Hal ini sesuai dengan teori Patel 1996 dalam Nasir Muhith 2011 stresor dapat berasal dari berbagai
sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga dari lingkungan lainnya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian terkait
tentang stress dan koping keluarga pada anak menderita tunagrahita yang dilakukan oleh Triana dan Andriany 2010 di Semarang,
mendapatkan pengorbanan waktu, finansial, penegakan kedisiplinan dan stigma masyarakat sebagai salah suatu masalah yang dihadapi
keluarga.
Respon Stresor
Pada penelitian ini teridentifikasi suatu respon stresor yang diungkapkan oleh partisipan. Dengan adanya stresor yang dialami oleh
partisipan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan seperti adanya tuntutan dalam situasi sebagai suatu beban yang harus dihadapi,
sehingga dapat menimbulkan stress yang dapat dilihat dari respon terhadap stresor.
Tema 3 : Respon Kongnitif
Dalam tema ini terdiri dari dua sub-tema yaitu pikaran kacau dan menurun daya konsentrasi yang diungkapkan partisipan pada saat
mengetahui anak terdiagnosa down sindrom yaitu binggung, dan kepala terasa pusing karena banyak pertanyaan yang ada dikepalanya
pada saat terdiagnosa sindrom down. Hal ini sesuai dengan teori Taylor 1991 dalam Nasir Muhith 2011 yang menyatakan bahwa
84
respon stress yang terlihat dari respon kongnitif dapat tampak melalui terganggunya proses kongnitif individu, seperti pikiran menjadi kacau,
menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang-ulang dan pikiran tidak wajar.
Tema 4 : Respon Kehilangan
Pada tema ini respon kehilangan partisipan yang teridentifikasi peneliti didapatkan bahwa partisipan merasa kecewa, marah dan malu
ketika partisipan mengetahui bahwa anaknya terdiganosa sindrom down. Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa mengapa harus
dirinya yang menadapatkan anak dengan sindrom down, mengapa tidak yang lain? , partsipan tersebut merasa kecewa dan marah. Hal ini
sesuai dengan teori tahapan berduka menurut Kubler-Ross, ketika klien berduka akibat kehilangan sesuatu yang diharapkannya maka akan
terbentuk lima tahapan, yaitu tahapan penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar , depresi dan penerimaan.
Tema 5 : Respon tingkah laku
Pada tema ini respon tingkah laku yang teridentifikasi adanya respon kaget, pasrah , sedih dan menanggis. Hal ini sesuai dengan teori
yang mengungkapkan bahwa bertambahnya anggota keluarga yang mempunyai masalah kesehatan seperti hadirnya seorang anak dengan
sindrom down merupakan suatu pemicu yang menyebabkan terjadinya respon stres yang dapat menimbulkan suatu reaksi emosional yang
berdampak pada pola perilaku, seperti rasa takut, rasa cemas, malu, marah, kaget dan menanggis NasirMuhith, 2011.