Masa Sebelum Kemerdekaan Sesudah Kemerdekaan

Cukai Hasil Tembakau Peraturan Menteri Keuangan No. 203PMK.0112008 Tarif Cukai Hasil Tembakau Peraturan Menteri Keuangan No. 60PMK.072008 Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2008 Peraturan Menteri Keuangan No. 84PMK.072008 Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau DBH CHT Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau DBH CHT Peraturan Menteri Keuangan No. 181PMK.0112009 Tarif Cukai Hasil Tembakau Peraturan Menteri Keuangan No. 85PMK.072009 Alokasi Dana Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009 Peraturan Menteri Keuangan No. 66PMK.072010 Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau DBH CHT Tahun Anggaran 2010 Peraturan Menteri Keuangan No. 126PMK.072010 Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah Sumber : Website resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional, www.bphn.go.id., diakses pada 08 September 2010

1. Masa Sebelum Kemerdekaan

Cukai tembakau pada masa ini diatur dengan yang disebut Staatsblad No. 517 Tahun 1932, Staatsblad No. 560 Tahun 1932, dan terakhir dengan Staatsblad No. 234 Tahun 1949 tentang ”Tabaksaccijns-Ordonnantie”. Peraturan tersebut memakai teks asli berbahasa Belanda. Peraturan-peraturan tersebut diatas mengatur tentang pita cukai, eksportir dan importir dalam hal bea masuk. Juga mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dalam pengutipan cukai tersebut. Universitas Sumatera Utara

2. Sesudah Kemerdekaan

Sesudah kemerdekaan cukai tembakau diatur dalam Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau. Penetapan dalam peraturan ini mengatur tentang Harga Jual Eceran HJE, pemungutan cukai yang diturunkan, dan penetapan golongan-golongan pengusaha. Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau pada Pasal 10 menyebutkan bahwa : 1 ”Cukainya berjumlah : a. Untuk rokok-rokok sigaret yang dibuat dengan mesin dan tembakau iris lima puluh persen dari harga eceran; b. Untuk rokok-rokok sigaret lain dari pada yang dibuat dengan mesin empat puluh persen dari harga eceran; c. Untuk hasil-hasil lain yang dikenai cukai tiga puluh persen dari harga eceran. 2 Dalam hal keragu-raguan atau perbedaan pendapat apa hasil-hasil tembakau yang dikenakan cukai termasuk di bawah a. dari ayat di muka ini, atau di bawah b. atau c. dari ayat itu, diputuskan oleh Menteri Keuangan. 3 Jikalau menurut Pasal 31 penjualan diizinkan dengan harga yang lebih tinggi dari harga eceran yang tersebut di pita yang dilekatkan menurut Pasal 12, maka dengan tidak memperhatikan perbedaan pada ayat 1 harus dibayar cukai sebanyak lima puluh persen dari jumlah yang melampaui harga itu”. 65 Penetapan cukai dengan persentase yang ditetapkan dihitung dari Harga Jual Eceran setiap bungkus rokok. Misalnya satu bungkus rokok dijual dengan harga Rp. 5.000,- maka cukai tembakau tersebut adalah 50 dari Harga Jual Eceran yaitu Rp. 2.500,- jadi, total jualnya adalah Rp. 7.500,-. Untuk pita cukainya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1951 yang ditetapkan pada 20 Januari 1951. Peraturan ini mengatur tentang warna- 65 Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 21. Universitas Sumatera Utara warna pita yang ditempelkan pada setiap bungkus rokok tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa : 3 ”Pita-pita itu, yang diperuntukkan guna memenuhi cukai dari barang-barang tembakau yang bersama-sama disebut sebagai berikut, dikeluarkan dengan jenis-jenis sebagai berikut : dengan warna hijau : seri A : serutu, yang dipitai satu demi satu; seri B : rokok-rokok daun dan tembakau senggruk, begitu pula serutu-serutu dalam bungkusan eceran berisi kurang dari 50 batang; seri D : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih; seri E : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih; dengan warna hitam : seri B : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin; seri C : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin; seri E : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin; dengan warna blau : seri B : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau iris; seri C : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau iris; seri E : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau iris;” Pada masa pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan sudah diatur penetapan cukai dan warna-warna pita cukai untuk produk tembakau, yaitu warna hijau, hitam, dan blau sekarang biru. Penentuan warna ini digunakan untuk penggolongan hasil tembakau yang diproduksi, yaitu : cerutu, rokok yang dibuat dengan mesin disebut Sigaret Kretek Mesin pada masa sekarang. Pada tahun 1956 dikeluarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Peraturan ini dikeluarkan dengan maksud untuk mengurangi dampak banyaknya perusahaan-perusahaan rokok yang tutup akibat tingginya pengenaan cukai tembakau, juga peraturan-peraturan yang tidak tersusun secara rapi mengenai rokok. Dalam hal ini pemerintah Universitas Sumatera Utara memberikan tunjangan kepada perusahaan-perusahaan rokok berupa penurunan cukai tembakau pada jumlah tertentu dan cukai yang tidak dikutip dari pengusaha- pengusaha rokok selama satu tahun. Pada memori penjelasan peraturan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Dijelaskan bahwa : ”a. sigaret-kretek, kelembakmenyan 40 dari 5 lima sen sebatang; dan b. rokok daun strootjes 30 dari 212 sen sebatang”. 66 Penetapan tersebut diatas tidak lagi berdasarkan Harga Jual Eceran melainkan dikenakan atas jumlah batang rokok pada setiap bungkusnya. Jadi, yang tadinya dihitung berdasarkan Harga Jual Eceran, pada peraturan ini dikurangin dengan menerapkan cukai pada setiap batang rokok. Pengawasan dan pemungutan dengan jalan pita cukai tidak dapat diterapkan dengan baik karena sumber daya manusia yang tidak memadai untuk melakukan hal tersebut. Jadi, cara yang ditempuh oleh peraturan ini adalah menetapkan isi per bungkus rokok tersebut bahwa bungkusan harus berisi 2, 5, atau 10 batang saja dengan cara melekatkan pita cukai dengan harga eceran masing-masing dari 10, 25 dan 50 sen untuk batang-batang rokok tersebut. 67 Kebaikan peraturan ini adalah bahwa pengusaha dapat menghitung harga penjualan rokok tersebut dengan cara menghitung jumlah cukai yang ditetapkan dan 66 Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau Staatsblad 1932 No. 517, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1043. 67 Memori Penjelasan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau Staatsblad 1932 No. 517, Ibid. Universitas Sumatera Utara harga penjualan rokok dapat diubah sewaktu-waktu apabila pangsa pasar dari harga bahan baku berubah-ubah dengan tidak perlu menambah pita cukainya. 68

3. Orde Baru Reformasi