Tarif Cukai Hasil Tembakau yang Single Tariff

pejabat terkait dengan cara membuat proyek fiktif, alasannya jelas adalah untuk biaya administrasi. Setelah dana masuk ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara, sisanya hanya digunakan untuk proyek-proyek pembangunan dan tidak jelas kemana tujuan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau DBH CHT dialokasikan. Hal ini tidak seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 84PMK.072008. 186

B. Tarif Cukai Hasil Tembakau yang Single Tariff

Mengenai tarif cukai yang mengarah kepada single spesifik tarif atau kebijakan single tariff, akan membuka peluang bagi industri rokok untuk melakukan monopoli. Jika perusahaan rokok di Indonesia diakuisisi oleh perusahaan asing, termasuk perusahaan di Sumatera Utara. Maka akan terjadi monopoli rokok, perusahaan-perusahaan lokal akan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dengan begitu suatu negara yang tidak punya daun tembakau satu lembar pun akan dapat mengendalikan peredaran rokok di Indonesia karena konsumen terbesar adalah Indonesia. Tembakaunya ditanam di Indonesia, dibuat oleh orang Indonesia, pabrik- pabrik produksi di Indonesia, dan dipasarkan di Indonesia tapi hasil penjualan produk rokok tersebut lari ke luar negeri. Hasil yang didapat Indonesia adalah hanya penyakit saja yang diderita akibat merokok. 186 Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Op.cit. Universitas Sumatera Utara Hal ini disebut dengan monopoli karena yang mengendalikan harga adalah perusahaan rokok multinasional tadi. Bisa saja satu bungkus rokok dijual dengan harga mencapai Rp. 50.000,- yang biasanya dapat dibeli dengan harga Rp. 10.000,-. Bagi konsumen Golongan I dan Golongan II, hal ini tidak jadi masalah karena loyalitas mereka terhadap suatu produk tinggi. Monopoli yang dilakukan adalah dengan cara kartel yaitu perjanjian antara perusahaan-perusahaan rokok yang ada dengan menentukan harga rokok di atas harga pasaran. Disebut monopoli karena hanya beberapa perusahaan yang menguasainya. Namun, kartel dapat tidak terjadi apabila ada salah satu perusahaan yang ingkar janji dengan cara menurunkan Harga Jual Ecerannya HJE demi mendapatkan konsumen yang lebih banyak dari pesaingnya. 187 Namun dalam teori ekonomi industri, kartel dalam industri beragam bentuknya, tetapi umumnya terjadi dalam 2 dua cara yaitu : dengan penetapan harga; dan penetapan output. Mengacu pada teori tersebut, dapat dipastikan bahwa industri rokok tidak akan membentuk kartel melalui penetapan harga karena harga jugal produk rokok diatur oleh pemerintah melalui Harga Jual Eceran dan penetapan cukai yang sejatinya sebagai alat untuk mengontrol konsumsi barang berbahaya. Industri rokok juga tidak akan membentuk kartel melalui penetapan output, karena 187 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia : Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 57-71. Universitas Sumatera Utara pada prinsipnya setiap perusahaan berkeinginan untuk memaksimalkan keuntungan. 188 Bentuk kartel yang paling memungkinkan adalah dalam bentuk lobi yang sampai saat ini dipraktekkan. Lobi yang telah dilakukan salah satunya adalah ancaman bahwa perusahaan rokok akan beralih ke mekanisasi apabila pemerintah Republik Indonesia memberlakukan cukai spesifik, dan tentunya lagi-lagi akan tercipta pengangguran tambahan akibat pengalihan tersebut. Meskipun menurut penelitian yang dilakukan sebenarnya tidak terdapat pengaruh antara kenaikan cukai dan penetapan kebijakan terhadap pertumbuhan tenaga kerja, namun lobi semacam ini ternyata terbukti efektif mempengaruhi implementasi kebijakan pemerintah, karena telah berhasil melemahkan, membuat ambigu danatau tidak implementatifnya peraturan perundang-undangan yang dihasilkan di masa lalu, dan berlaku sampai saat ini. Seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 46 butir 3, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 59 dan 89 ayat 2. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada Pasal 44, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok, setelah diubah sebanyak 2 dua kali dan justru menjadi lebih lemah dibandingkan peraturan sebelumnya. Lobi semacam itu juga telah berhasil menggagalkan Rancangan Undang-Undang 188 Indonesian Forum of Parlieamentarians on Population and Development, “Meraup Keuntungan dari Kematian Taktik Industri Rokok di Indonesia”, IFPPD, Rabu 26 Mei 2010. Universitas Sumatera Utara Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas pada masa pemerintahan berjalan. 189 Keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah untuk mengatasi dilema tersebut. Sekarang pemerintah hanya memilih pihak mana yang akan dibela kepentingannya, masyarakat umum yang terdiri dari wanita, anak-anak dan kaum miskin, terutama bukan perokok namun terancam kesehatan dan masa depannya, atau industri yang pada dasarnya tidak dirugikan secara signifikan eksistensinya. 190

C. Aspek Keadilan Terhadap Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau