BAB III PENGARUH KEBIJAKAN TARIF TERHADAP INDUSTRI HASIL
TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA
A. Pengaruh Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Kebijakan tarif cukai tembakau yang diterapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan berpengaruh kepada industri rokok itu sendiri, masyarakat, dan
negara. Pada industri rokok terbagi 2 dua yaitu : a Perusahaan besar tembakau; dan b Perusahaan tembakau dalam negeri. Pengaruhnya terhadap masyarakat berkaitan
dengan tenaga kerja dan efek yang ditimbulkan dari hilangnya lapangan pekerjaan. Pengaruh terhadap pendapatan negara adalah bahwa kebijakan tarif tersebut
meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk pendapatan melalui cukai. Adapun pengaruh tersebut di atas, antara lain :
1. Industri Rokok
Industri Hasil Tembakau adalah sama dengan industri rokok yang artinya adalah kumpulan perusahaan yang sangat berbeda ukuran dan makna atau
pengaruhnya. Ada yang bersifat lokal atau nasional, ada yang dimiliki pemerintah, namun yang paling besar dan berkuasa adalah beberapa perusahaan multinasional
yang memiliki usaha pada skala global. Seperti perusahaan lain, mereka berjuang meningkatkan pangsa pasar dan keuntungan untuk kepentingan para pemegang
Universitas Sumatera Utara
sahamnya. Tidak heran, industri rokok sangat kuat menentang semua upaya yang dirancang untuk mengurangi konsumsi tembakau. Penolakan mereka bisa terbuka dan
diketahui oleh masyarakat luas. Namun, seringkali akan lebih berbahaya bila bersifat tidak langsung dan tersembunyi.
85
a. Perusahaan Besar Tembakau
Di samping China, yang menyerap sepertiga lebih konsumsi rokok dunia, perdagangan tembakau dunia selebihnya didominasi oleh sejumlah kecil perusahaan
tembakau multi nasional. Perusahaan multi nasional yang terbesar adalah Philip Morris International, British American Tobacco BAT, dan Japan Tobacco
International.
86
Phillip Morris International mencakup kegiatan internasional perusahaan Philip Morris asli, si pembuat merek rokok yang paling besar penjualannya di dunia
yaitu Marlboro. Perusahaan induk Philip Morris adalah Altria yang masih menjadi pemilik perusahaan yang berada di Amerika yakni Philip Morris Amerika Serikat.
Hasil penjualan rokok Philip Morris International yang merek utamanya adalah Marlboro dan LM, mencapai 63 miliar dollar AS pada tahun 2008. Pendapatan
tersebut lebih besar daripada seluruh kegiatan ekonomi di banyak negara berpendapatan rendah.
87
85
John Crofton dan David Simpson, Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan oleh Angela N. Abidin, et.al., Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009, hal. 135.
86
Ibid., hal. 137.
87
Ibid., hal. 138.
Universitas Sumatera Utara
Dua perusahaan internasional raksasa lainnya adalah British American Tobacco BAT yang merek dunianya mencakup Dunhill, Lucky Strike, dan Pall
Mall; dan Japan Tobacco International JTI dengan merek Winston, Camel, Mild Seven, Benson Hedges.
88
China memiliki sekitar seperempat perokok dunia, yang menghisap sekitar sepertiga dari rokok dunia. Pangsa pasarnya begitu besar hingga seorang eksekutif
tembakau di Barat mencoba memikirkan statistik merokok orang China seperti memikirkan batas ruang angkasa. Sejauh ini, perusahaan tembakau paling besar
adalah Chinese National Tobacco Corporation, namun beberapa perusahaan patungan dengan perusahaan asing telah terbentuk pada tahun-tahun terakhir.
89
Tabel 7 Perusahaan Tembakau Teratas Tahun 1999
No. Nama Perusahaan
Pusat Jumlah Produksi
miliar batang rokok
1. Perusahaan Nasional Tembakau China
Cina 1.600
2. Philip Morris
Amerika Serikat 800
3. British American Tobacco BAT
Inggris 400
4. Japan Tobacco
Jepang 100
5. Tabakprom
Rusia 100
6. Altadis
PrancisSpanyol 100
7. RJ Reynolds
Amerika Serikat 100
8. KT G
Korea Selatan 100
9. Tekel
Turkey 100
10. Reemtsma
Jerman 100
11. Gudang Garam
Indonesia 100
12. ITC
India 100
13. AAMS
Italia 100
14. Imperial Tobacco
Inggris 100
15. Lorillard
Amerika Serikat 100
16. TTM
Thailand 100
17. Gallaher
Inggris 100
18. Fortune Tobacco
Filipina 100
19. HM Sampoerna
Indonesia 100
20. Austria Tobacco
Austria 100
21. Taiwan Monopoly
Taiwan 100
88
Ibid.
89
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sumber :
Goldman Sachs Global Equity Reasearch, dalam John Crofton dan David Simpson, Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan oleh Angela N. Abidin, et.al., Jakarta :
Elex Media Komputindo, 2009, hal. 138.
Dalam 50 tahun terakhir, upaya aktivis kampanye anti tembakau telah menghasilkan penurunan pasar tembakau di Amerika Utara, Eropa khususnya Eropa
Selatan dan Australia. Sebagai jawabannya, perusahaan multinasional telah beralih membangun pasarnya di negara sedang berkembang dan di pasar yang baru dibuka di
Eropa Tengah dan Timur serta bekas Uni Soviet. Berkembangnya ekonomi di beberapa negara Asia begitu menarik. Angka merokok yang rendah di kalangan
perempuan di banyak negara sedang berkembang dipandang sebagai peluang besar untuk perluasan pasar, menggunakan iklan dan taktik promosi lainnya.
90
b. Perusahaan Tembakau Dalam Negeri Khususnya Sumatera Utara
Di Indonesia industri rokok dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Bentoel Internasional Investama, Tbk., PT. HM. Sampoerna, Tbk., Gudang
Garam, dan lain sebagainya. Sedangkan di Sumatera Utara, perusahaan rokok yang tersisa saat sekarang ini, antara lain : PT. Stabat Industri; PT. Pagi Tobacco
Company; PT. Sumatera Tobacco Trading Company; PT. Senang Jaya; PT. Wongso Prawiro; dan PT. Permona.
Setelah cukai tembakau dinaikkan rata-rata 7, perusahaan-perusahaan rokok yang ada di Sumatera Utara mengalami dampak yang berbeda antara satu dengan
90
Ibid., hal. 139.
Universitas Sumatera Utara
yang lain. Namun, tetap memiliki satu esensi yaitu takut kehilangan konsumen mereka.
Pada rokok kelas menengah bawah atau Golongan III sangat sensitif terhadap perubahan harga. Disini berlaku teori ekonomi bahwa apabila harga naik maka akan
terjadi substitusi produk. Enam perusahaan yang ada di Sumatera Utara adalah termasuk ke dalam Golongan III. Jika dibandingkan dengan Golongan I dan
Golongan II, konsumennya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap produk tersebut. Persaingan pasar rokok pada Golongan III sangat ketat karena terlalu banyak
perusahaan rokok yang berkembang tanpa terdaftar dan diketahui oleh pemerintah. Belum lagi disebabkan oleh peredaran cukai palsu yang merugikan negara.
Perusahaan rokok yang tidak terdaftar tadi menggunakan cukai palsu tersebut untuk mengedarkan dan menjual produknya. Dengan begitu produk tersebut sudah pasti
murah dan menjadi substitusi produk.
91
Saat ini produsen Golongan III segmentasi bawah, kondisi kenaikan cukai membuat sulit untuk berusaha. Saat ini harga produk mereka dijual paling murah Rp.
2.500,- per bungkus. Dengan adanya Harga Jual Eceran HJE yang baru, akan memaksa mereka untuk menaikkan harga rokok jualannya. Padahal, dalam hal ini
rokok ilegal dijual dengan kisaran harga Rp. 2.000,- sd Rp. 2.500,- per bungkusnya. Dapat dikatakan permintaan rokok kelas bawah lebih elastis terhadap perubahan
harga, berubah saja harga maka akan direspon dengan penurunan permintaan. Konsumen juga akan beralih pada rokok ilegal, sebagai barang substitusinya.
92
91
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 157.
92
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi tersebut berbeda dengan kelas menengah dan kelas atas. Pada konsumen level ini, mereka lebih memiliki loyalitas terhadap produk. Merokok jenis
tertentu adalah merupakan hal yang tidak bisa dicari substitusinya. Hal yang demikian membuat produsen rokok Golongan I dan Golongan II dapat membebankan
cukainya kepada konsumen.
93
Pada kondisi tersebut di atas posisi produsen rokok Golongan III menaikkan harga jual akan ditinggal konsumen, sedangkan menurunkan harga jual akan dapat
membuat perusahaan tidak mampu menutup biaya produksi dan akhirnya bangkrut atau mati dengan sendirinya.
Selain dari beban cukai yang menyulitkan industri rokok di Sumatera Utara, Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara juga dipersulit lagi dengan kelangkaan
bahan baku atau tembakau lokal. Tingginya biaya produksi akibat bahan baku harus dipasok dari Pulau Jawa dapat mengancam keberadaan industri rokok di daerah ini.
94
Target produksi rokok Sumatera Utara pada 2009 mencapai 1,8 miliar batang atau turun dari tahun sebelumnya sebesar 2 miliar batang. Selain itu, industri rokok
juga harus menghadapi kenaikan biaya produksi rokok juga harus menghadapi kenaikan harga biaya produksi hingga mencapai 10 dari tahun lalu. Padahal harga
produk tidak mungkin disesuaikan karena pertimbangan daya beli masyarakat, serta persaingan ketat rokok asal luar negeri, baik legal maupun ilegal. Gencarnya anjuran
93
Ibid.
94
Eva Simanjuntak, “Industri Rokok Sumut Terancam”, Harian Global, http:www.harian- global.comindex.php?option=com_contentview=articleid=20448:industri-rokok-sumut-
terancamcatid=27:bisnisItemid=59., diakses pada 31 Agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah akan bahaya rokok terhadap kesehatan, berpengaruh besar pada permintaannya.
95
Ironisnya, pemerintah setempat belum memberikan perhatian serius sehingga kalangan industri rokok di daerah menjadi resah. Sementara, dukungan pemerintah
sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi industri padat karya. Dapat dikatakan peran pemerintah tidak ada. Padahal, ada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
DBH CHT yang harus dialokasikan untuk mendorong pertumbuhan industri rokok.
96
Adanya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau DBH CHT untuk mendorong pertumbuhan industri rokok tersebut seharusnya dialokasikan sebenar-
benarnya untuk meningkatkan sektor pertanian tembakau. Memang, benar adanya bahwa dana yang dialokasikan ke Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp.
1.558.056.950,- untuk Bulan Juli 2010 pada pembagian tahun 2010. Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau DBH CHT tersebut
masih tidak jelas keberadaannya apakah digunakan dengan metode block grant ataukah untuk kegiatan sosialisasi, pemberantasan cukai ilegal, pembinaan bahan
baku dan pembinaan industri rokok seperti yang diamanatkan Peraturan Menteri Keuangan No. 84PMK.072008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.
95
Ibid.
96
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Belum lagi masalah pekerja yang teranjam menganggur karena kenaikan cukai yang menyulitkan industri rokok. Bila pemerintah memberlakukan Roadmap
Industri Hasil Tembakau 2007-2020 maka sudah pasti para pekerja rokok yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan orang pada jangka waktu 2015-2020 akan habis dan
industri rokok akan tutup. Hal ini karena pemerintah lebih mementingkan aspek kesehatan daripada aspek tenaga kerja dan penerimaan negara.
Dalam hal kenaikan cukai yang baru sudah mulai terjadi gejolak seperti aksi unjukrasa di Jawa. Bisa saja aksi serupa turut terjadi di daerah-daerah lainnya yang
ada pabrik rokok. Pada tahun 2008, ada satu perusahaan rokok yang tutup akibat dari kenaikan cukai tembakau. Sedangkan pada tahun 2010 akan terancam dua perusahaan
rokok akan menyusul bankrut. Dengan demikian, ribuan pekerja rokok di Sumatera Utara pasti akan kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran.
97
2. Masyarakat