Kebanggaan diri 287
5 x 4 =20 287 : 25 =
11,48 57.4
Cukup tinggi
Rata-rata
59,85 Cukup tinggi
Dari tabel tersebut diketahui bahwa tingkat konsumsi berlebihan memiliki persentase 69 dengan kategori nilai tinggi, tingkat keinginan bukan kebutuhan
memiliki persentase 54,6 dengan kategori nilai cukup tinggi, tingkat ingin berbeda dengan orang lain memiliki persentase 58,4 dengan kategori nilai
cukup tinggi, dan tingkat kebanggaan diri memiliki persentase 57,4 dengan kategori nilai cukup tinggi. Dengan demikian, keempat aspek yang merupakan
tingkat gaya hidup perilaku konsumtif tersebut memiliki persentase 59,85 yaitu, berkategori cukup tinggi.
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Pada point pembahasan ini, penulis berusaha untuk menjelaskan tentang beberapa data yang sudah ditemukan, baik dari hasil observasi, wawancara,
angket, dokumentasi untuk menjawab hal-hal yang tercantum dalam perumusan masalah.
1. Gaya hidup
perilaku konsumtif
guru sertifikasi
Yayasan Sa’adatuddarain
Gaya hidup konsumtif adalah sebuah perilaku boros, yang mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam arti yang luas
konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala
prioritas. Perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai gaya hidup bermewah- mewah, kemudian berimbas kepada pembentukan perilaku individu yang
dikarenakan sifat dasar manusia yang cenderung materialistik. Dari hasil angket tentang dampak sertifikasi terhadap gaya hidup guru
di Yayasan Sa’adatuudarain menunjukkan bahwa secara keseluruhan,
keempat aspek yang merupakan tingkat gaya hidup konsumtif tersebut memiliki persentase 59,85, yaitu berkategori cukup tinggi. Penulis juga
akan menjelaskan persentase tingkat perilaku konsumtif guru sertifikasi sesuai dengan aspek-aspek perilaku konsumtif berikut ini.
Aspek atau dimensi pertama adalah konsumsi yang berlebihan. Pada aspek ini dijelaskan mengenai kecenderungan manusia untuk mengkonsumsi
barang tanpa batas berfoya-foya dan lebih mementingkan faktor keinginan. Dari hasil angket diperoleh interpretasi data dari aspek konsumsi yang
berlebihan mendapatkan presentase 69. Dengan demikian bisa diartikan tingkat konsumsi berlebihan pada guru pasca sertifikasi sangat tinggi. Hal ini
terlihat dari guru yang kebanyakan wanita mengkonsumsi barang-barang secara berlebihan pasca mendapatkan tunjangan sertifikasi.
Dimensi kedua adalah pembelian yang tidak berdasarkan kebutuhan melainkan keinginan. Pada aspek ini dijelaskan mengenai kecenderungan
manusia yang bersifat materialistik dan hasrat yang besar untuk memiliki benda-benda tanpa memperhatikan kebutuhannya. Dengan kata lain, aspek ini
mengukur kepuasaan yang seharusnya dapat ditunda menjadi kepuasan yang harus segera dipenuhi manusia. Dari interpretasi data aspek keinginan bukan
kebutuhan yaitu 54,6. Dengan demikian, bisa diartikan tingkatan pembelian karena keinginan bukan kebutuhan cukup tinggi. Persentase dalam tingkat
pembelian keinginan bukan kebutuhan ini lebih kecil daripada tingkat konsumsi berlebihan. Hal ini terlihat dari jawaban angket responden yang
menyatakan bahwa guru di Yayasan Sa’adatuddarain membeli barang dengan berlebihan dan bukan karena kebutuhan.
Dimensi yang ketiga adalah ingin tampak berbeda dengan orang lain. Pada aspek ini dijelaskan mengenai bagaimana seseorang melakukan kegiatan
membeli barang dengan maksud untuk menunjukan dirinya berbeda dengan yang lainnya. Dengan kata lain, aspek ini mengukur bagaimana seseorang
dalam memakai atau menggunakan suatu barang selalu ingin lebih dari yang dimiliki orang lain, dan pembelian terhadap suatu barang dilakukan karena
seseorang ingin menarik perhatian orang lain dengan menggunakan barang yang sedang populer saat itu. Dari interpretasi data aspek ingin tampak
berbeda denga orang lain, yaitu 58,4. Dengan demikian bisa diartikan
tingkatan ingin tampak berbeda dengan orang lain cukup tinggi. Hal ini terlihat dari jawaban angket respoden yang mengukur keinginnan untuk
tampak berbeda dengan orang lain Aspek atau dimensi yang keempat adalah kebanggaan diri. Pada aspek
ini dijelaskan mengenai bagaimana orang biasanya akan merasa bangga apabila ia dapat memiliki barang yang berbeda dari orang lain, terlebih lagi
apabila barang tersebut jauh lebih bagus dan lebih bergengsi daripada milik orang lain. Dari interpretasi data aspek kebanggaan diri diperoleh angka
persentase 57,4. Dengan demikian bisa diartikan tingkatan kebanggaan diri guru sertifikasi dalam gaya hidup perilaku konsumtifnya cukup tinggi. Hal ini
terlihat dari hasil jawaban angket responden yang mengukur tingkat kebanggaan diri seseorang ketika membeli suatu produk atau barang.
2. Dampak tunjangan sertifikasi terhadap gaya hidup konsumtif di Yayasan Sa’adatuddarain
Sertifikasi pada dasarnya mengacu pada sebuah proses pemberian pengakuan terhadap suatu profesi tertentu sebagai bukti kelayakan yang
bersangkutan untuk melakukan praktik profesinya. Bagi pendidik, maka sertifikasi merupakan pengakuan terhadap profesi pendidik sekaligus
pemberian izin untuk melaksanakan praktik mendidik. Salah satu manfaat dari sertifikasi adalah memperoleh tunjangan profesi bagi guru yang lulus
ujian sertifikasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan guru. Akan tetapi, penulis menemukan hal menarik di sini yang berkaitan mengenai
tunjangan profesi guru yang dengan tunjangan tersebut apakah gaya hidup konsumtif guru mendapatkan dampak negatif atau positif.
Dari hasil angket diperoleh interpretasi data dari aspek konsumsi yang berlebihan 69. Dengan demikian bisa diartikan tingkatan sangat tinggi. Hal
ini sesuai dengan hasil wawancara dengan beberapa pengajar diYayasan sa’adatuddarain. Seperti yang dilakukan oleh salah seorang responden yaitu
Ibu Elis Maryam, beliau menuturkan bahwa dengan adanya tunjangan tersebut sangat merasakan manfaat yang lebih dari sebelumnya, walaupun