Fungsi Kesadaran Hukum Kesadaran Hukum

27 Landasan hukum keharusan adanya pencatatan perkawinan ini disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974 pasal 2: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.” Apabila kita lihat dalam peraturan pelaksana dari UU No. 1 Tahun 1974, yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dalam Pasal 2 nya antara lain menyebutkan bahwa, Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama setempat KUA daerah di mana perkawinan dilaksanakan . 24 Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Jadi dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan oleh 2 dua instansi pemerintah, yaitu, a Kantor Urusan Agama KUA, bagi mereka yang 24 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976, hal.75. 28 beragama Islam, b Kantor Catatan Sipil KCS, bagi mereka yang bukan beragama Islam. Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat diakui dan tidaknya perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. 25 Dengan demikian dengan dicatatkannya perkawinan akan memberikan perlindungan hukum kepada kedua belah pihak dan akan memudahkan pembuktian akan adanya perkawinan.

2. Urgensi Pencatatan Perkawinan

Untuk kondisi saat ini, pencatatan perkawinan dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen sekali, karena menyangkut banyak kepentingan. Perkawinan bukan hanya ikatan antara mempelai laki-laki dan perempuan, akan tetapi merupakan penyatuan dua keluarga besar yang masing- masingnya punya hak dan kepentingan dari perkawinan. Dilangsungkannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah adalah dengan maksud Pegawai Pencatat Nikah dapat mengawasi langsung terjadinya perkawinan tersebut. Mengawasi disini dalam artian menjaga jangan sampai perkawinan 25 Saidus Syahar, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, Jakarta: Alumni, 1981, hal.108. 29 tersebut melanggar ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 26 Secara eksplisit memang tidak satupun nash baik al-Quran maupun hadis yang menyatakan keharusan adanya pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi seperti sekarang ini, pencatatan perkawinan merupakan sebuah kemestian, karena banyak sekali mudharat yang akan ditimbulkan jika tidak dilakukan pencatatan. sementara Islam menggariskan bahwa setiap kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana ungkapan sebuah kaedah fikih: “Kemudharatan harus dihilangkan”. 27 Menyempurnakan akad nikah adalah wajib, Namun ia tidak sempurna tanpa adanya pencatatan. Oleh sebab itu mencatatkan perkawinanpun hukumnya wajib. Banyak sekali kemaslahatan yang tercapai dengan adanya pencatatan perkawinan. Bahwa ada perbedaan pendapat tentang masalah pencatatan perkawinan ini adalah sesuatu yang lumrah, karena persoalan ini berada dalam koridor ijtihad yang tentunya kebenarannya bersifat relatif. Akan tetapi kita berkewajiban untuk mencari mana yang paling mendekati kebenaran. 28 26 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976, hal.93. 27 Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Beirut: Dar al-Qalam, 1987, Cet. I, h. 252. 28 Raji Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : PT Tintamas Indonesia, 1983, Cet. Ke-2, hal.35.