Perilaku Terhadap Pencatatan Perkawinan

54 keluhan akibat sistem birokrasi hanya sekitar 19, sedangkan yang berlatar karena hamil sebelum nikah sebanyak 45, dan yang berpendapat bahwa perkawinan cukup secara agama saja sebanyak 13. Tabel 4.22 Alasan tidak mencatatkan nikah di KUA N=100 Alasan tidak catat nikah di KUA Frekuensi Biaya KUA terlalu jauh Birokrasi terlalu rumit Hamil diluar nikah Kawin cukup secara agama 13 10 19 45 13 13 10 19 45 13 Total 100 100 Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan Lalu adakah dampak atau kesulitan yang dirasakan bagi mereka yag tidak mencatatkan perkawinan di KUA. Sebanyak 66 menyatakan kesulitan setelah melakukan nikah yang tidak dicatat, terutama bagi mereka yang hendak mensekolahkan anak mereka karena terbentur dengan keharusan memiliki akta kelahiran anak. Dan 34 tidak merasakan kerugian apa-apa. 55 Tabel 4.23 Pengalaman responden akibat nikah yang tidak dicatat N=100 Pernah mengalami kesulitan akibat nikah tidak dicatat Frekuensi Ya Tidak 66 34 66 34 Total 100 100 Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan Tabel 4.24 menjelaskan pendapat responden tentang besar biaya administrasi pernikahan di KUA. Sebanyak 72 menjawab cukup memberatkan, dan 21 menjawab biasa saja, dan 7 merasa sangat keberatan dengan biaya administrasi pernikahan di KUA. Tabel 4.24 Bagaimana saudara menggambarkan besar biaya administrasi pernikahan di KUA? N=100 Biaya administrasi di KUA Frekuensi Sangat ringan Biasa saja Cukup memberatkan Sangat memberatkan 21 72 7 21 72 7 Total 100 100 Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan 56 Tabel 4.24 menjelaskan bentuk kesulitan yang diakibatkan pernikahan yang tidak dicatat. Sebanyak 63 menjawab kesulitan dalam mengurus akta kelahiran anak, dan yang menjawab kesulitan dalam mengurus sekolah anak sebanyak 37. Tabel 4.24 Bentuk kesulitan yang dihadapi dari pernikahan yang tidak dicatat. N=100 Bentuk kesulitan yang dihadapi Frekuensi Mengurus akta kelahiran anak Mengurus sekolah anak Status hukum anak 63 37 63 37 Total 100 100 Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan

F. Analisis dan Interpretasi

Kesadaran hukum merupakan konsep abstrak di dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Kesadaran hukum mencakup beberapa indikator, yakni pengetahuan dan pemahaman tentang hukum, dan pola perilaku hukum. Masing-masing indikator tersebut hendak dihubungkan dengan kepatuhan hukum, untuk memperoleh informasi tentang seberapa jauh indikator- indikator itu berpengaruh kepada tingkat ketaatan hukum masyarakat. Pertama, berdasarkan data yang diperoleh melalui survei lapangan dapat dikemukakan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai hukum 57 perkawinan khususnya pencatatan perkawinan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun1974 Tentang Perkawinan, adalah relatif cukup memadai. Hal ini dapat diamati dari salah satu indikator kesadaran hukum, yakni pengetahuan hukum masyarakat. Dalam hal pengetahuan tentang sistem hukum yang mengatur perkawinan masyarakat Indonesia, sebagian besar responden 81 memandang bahwa hukum Islam adalah sistem yang digunakan dalam mengatur pencatatan perkawinan masyarakat. Besarnya responden yang menjawab sistem hukum Islam menunjukkan bahwa dalam amatan mereka bahwa peraturan perundang-undangan perkawinan yang berlaku adalah sesuai dan selaras dengan hukum Islam, mengingat dalam praktiknya sangat sesuai dengan hukum Islam yang mereka fahami. Dari titik ini pengetahuan hukum masyarakat sangat membanggakan. Bahkan sebanyak 53 responden mengetahui perbedaan diantara sistem hukum yang berkembang di Indonesia. Selanjutnya, dari aspek pengetahuan institusional, responden yang mengetahui keberadaan serta fungsi Kantor Urusan Agama KUA sebanyak 87. Angka tersebut dapat dikatakan cukup signifikan, sedangkan responden yang tidak mengetahui dan tidak menjawab sebanyak 10 dan 3. Suatu persentase yang cukup tinggi. Masih adanya masyarakat yang tidak mengetahui fungsi dari KUA, agaknya disebabkan berbagai faktor. Salah satunya adalah kurangnya sosialisasi hukum yang dilakukan aparat terkait kepada masyarakat. Padahal, penyuluhan atau sosialisasi suatu hukum adalah prasyarat penting agar hukum 58 dapat dilaksanakan dan dpat dipatuhi oleh masyarakat. Bagaimana masyarakat mau patuh? Sementara mereka tidak mengetahui pengetahuan yang cukup mengenai hukum dan institusi yang menyertainya. Dari sisi-sisi yang lainnya, terutama yang menyangkut isi perundang- undangan, seperti pengetahuan masyarakat tentang hak dan kewajiban suami istri, pengetahuan responden tergolong tinggi, yakni 84. Dalam persoalan ini agaknya pengetahuan masyarakat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Cipedak, yang memang Islami. Pembagian- pembagian kerja yang dilakukan menunjukkan pada perilaku yang sesuai dengan aturan Islam. Ketika ditanya mengenai ada atau tidaknya larangan nikah yang tidak dicatat, 43 responden menjawab “ada”. Sedangkan yang menjawab “tidak ada dan tidak perlu” sebanyak 33 dan 11. Ini menunjukkan kurangnya pengetahuan mereka mengenai hal yang satu ini. Hal itu disebabkan dalam pelaksanaan perkawinan terkadang terjadi penyimpangan-penyimpangan. Karena sampai saat ini tidak ada sanksi tegas dari pemerintah bagi pelaku nikah yang tidak dicatat. Dari amatan terhadap hal-hal di atas, maka dapat dikatakan bahwa secara umum pengetahuan masyarakat tentang hukum perkawinan khususnya pencatatan perkawinan sudah cukup memadai. Kedua, indikator kesadaran hukum lainnya, yakni pemahamn hukum merupakan gambaran dari tingkat pengetahuan yang lebih mendalam dan 59 berbobot sifatnya. Untuk persoalan ini dapat dicermati dalam beberapa hal berikut. Seperti halnya dalam persoalan sistem hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, sebanyak 73 responden mengaku menggunakan hukum Islam sebagai pegangan ketika melangsungkan perkawinan. Jika berpegang pada kenyataan yang ada berdasarkan pilihan jawaban yang ditawarkan, maka responden yang menikah dengan menggunakanhukum nasional hanya 23. Dengan kata lain, responden yang menikah tidak dicatat adalah sebanyak 73 orang. Namun realitas ini bertentangan dengan indikasi lain yang tidak menunjuk adanya angka mencolok semacam itu. Jawaban yang mereka kemukakan dilandasi oleh keyakinan mereka terhadap ajaran agamanya. Hal ini wajar karena dalam Islam diatur mengenai hukum perkawinan munakahat yang harus diikuti oleh umat Islam. Jika kini materi itu telah dipositifkan menjadi undang-undang negara, agaknya hal itu di luar pengetahuan mereka. Dalam hal kriteria utama dalam pemilihan calon suami atau istri, sejumlah 55 orang responden memilih aspek agama sebagai pilihan. Sedangkan penampilan, keturunan, dan kekayaan memperoleh score masing- masing 19, 7, 19. Data ini menunjukkan tingkat pertimbangan masyarakat dalam menentukan calon pendamping adalah tepat dan sesuai dengan kehendak syariat dan undang-undang yang berlaku.