4
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
pertanyaan atau masalah sebagai berikut :
Apakah Dexamethason 0,2 mgkgBB I.V lebih efektif dibandingkan dengan Lidokain
1,5 mgkgBBI.V dalam hal mencegah nyeri tenggorokan setelah intubasi
endotrakeal pada anestesi umum.
1.3. Hipotesis
Dexamethason 0,2 mgkgBB I.V lebih efektif dibandingkan dengan Lidokain 1,5
mgkgBBI.V dalam hal mencegah nyeri tenggorokan setelah intubasi endotrakeal
pada anestesi umum.
1.4. Tujuan penelitian
1.4.1. Tujuan
umum
Mendapatkan alternatif obat yang lebih efektif untuk mencegah nyeri
tenggorokan setelah intubasi endotrakeal pada anestesi umum.
1.4.2. Tujuan
khusus
1. Mengetahui
perbandingan efektifitas dexamethason 0,2 mgkgBB I.V dengan
lidokain 1,5 mgkgBB I.V dalam menurunkan angka kejadian nyeri tenggorokan
setelah intubasi endotrakeal pada anestesi umum. 2.
Mengetahui angka kejadian nyeri tenggorokan setelah intubasi endotrakeal
pada anestesi umum dengan menggunakan dexamethason 0,2 mgkgBB I.V.
3. Mengetahui
angka kejadian nyeri tenggorokan setelah intubasi endotrakeal pada
anestesi umum dengan menggunakan lidokain 1,5 mgkgBB I.V.
Universitas Sumatera Utara
5
4. Mengetahui
hubungan antara lama pembedahan dengan angka kejadian nyeri
tenggorokan setelah intubasi endotrakeal pada anestesi umum.
1.5. Manfaat
penelitian
1. Mendapatkan
angka kejadian nyeri tenggorokan setelah intubasi endotrakeal
pada anestesi umum dengan obat pencegahan. 2.
Mendapatkan obat yang lebih efektif untuk mencegah nyeri tenggorokan
setelah intubasi endotrakeal pada anestesi umum.
3. Sebagai
dasar untuk penelitian selanjutnya untuk mendapatkan obat yang tepat
untuk mencegah nyeri tenggorokan setelah intubasi endotrakeal pada anestesi
umum.
Universitas Sumatera Utara
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Intubasi Endotrakeal
Perlengkapan jalan nafas yang ditempatkan ke dalam trakea sudah diperkenalkan
sejak abad ke‐19 ketika dipergunakan untuk resusitasi pada kasus orang
tenggelam. Keterampilan prosedur ini sudah mulai sempurna sejak kira‐kira 100
tahun yang lalu oleh Chevalier Jackson seorang spesialis otorinolaringologi. Laryngoskop
Jackson telah didesain tetapi secara cepat dimodifikasi oleh ahli anestesiologi
untuk keperluan intubasi endotrakeal. Arthur E. Guedel, Ralph M. Waters,
dan Ivan Macintosh telah secara cepat memanfaatkan pipa trakeal, dipergunakan
untuk menjaga jalan nafas pasien, memberikan ventilasi positif ke dalam
paru‐paru, dan akses yang tepat untuk lapangan operasi pada pembedahan kepala
dan leher.
15
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi
adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal,tanpa
pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas
menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena
beberapa efek dari obat‐obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan nafas berjalan dengan baik. Salah satu usaha untuk
menjaga jalan nafas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi
endotrakeal, yakni dengan memasukkan suatu pipa kedalam saluran pernapasan
bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum
adalah menjaga agar jalan nafas selalu bebas dan nafas dapat berjalan dengan
lancar serta teratur.
16
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.1 Tujuan
Intubasi Endotrakeal
Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal adalah untuk membersihkan
saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten,
mencegah aspirasi serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi
bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakeal adalah :
a. Mempermudah
pemberian anesthesia. b.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
c. Mencegah
kemungkinan terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada reflex batuk . d.
Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e. Pemakaian
ventilasi mekanis yang lama. f.
Mengatasi obstruksi laring akut.
17
2.1.2 Indikasi
dan Kontraindikasi
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal menurut Gisele tahun 2002
antara lain :
a. Keadaan
oksigenasi yang tidak adekuat yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal. b.
Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
Universitas Sumatera Utara
8
c. Kebutuhan
untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet. d.
Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang
gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
e. Pada
pasien yang mudah timbul laringospasme. f.
Trakeostomi. g.
Pada pasien dengan fiksasi vocal cord.
17
2.1.3 Posisi
Pasien untuk Tindakan Intubasi
Gambaran klasik yang benar adalah leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air
position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.
16,17
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 1. Sniffing Position
18
2.1.4 Persiapan
intubasi endotrakeal
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan memposisikan
pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes
terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya
dimasukkan ke ETT.
Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus
setentang dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah
ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi
juga melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan nafas yang dalam
dengan oksigen 100 .
18
Persiapan untuk intubasi antara lain :
a Jalur
intravena yang adekuat b
Obat ‐obatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
c Pastikan
alat suction tersedia dan berfungsi d
Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan
blade yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet
e Pastikan
lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsi
f Sumber
oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit
anestesi yang berfungsi
Universitas Sumatera Utara
10
g Monitor
pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan
darah noninvasive h
Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada
kontraindikasi i
Alat ‐alat untuk ventilasi
j Alat
monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT dalam posisi yang
tepat.
19
Gambar 2. Alat‐alat Intubasi Endotrakeal
19
2.1.5 Cara
Intubasi Endotrakeal
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
Universitas Sumatera Utara
11
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. Jeratan
bibir antara gigi dan blade laringoskop sebaiknya dicegah. Tracheal tube diambil
dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon
pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten
diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak
dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon
pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi
dengan plester.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi
intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara
nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru
sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium
atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi dengan stetoskop,
kadang ‐kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali
setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
16,18
2.2. Pipa Endotrakeal.
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 3. Murphy tracheal tube.
18
Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi langsung ke
trakea dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Pipa endotrakeal biasanya terbuat
dari plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan cetakan dari bentuk jalan napas
setelah dilembutkan karena terpapar dengan temperature tubuh. Bahan dari ETT
juga harus bersifat radiopaq untuk mengetahui posisi ujung distal ke karina dan
transparan agar dapat dilihat sekresi atau aliran udara yang dibuktikan oleh adanya
pengembunan uap air pada lumen pipa selama ekshalasi. Bentuk dan rigiditas ETT
dapat diubah dengan penggunaan stylet. Ujung dari pipa dapat dimiringkan untuk
membantu penglihatan dan masuknya melewati pita suara. Pipa Murphy memiliki
lubang Murphy Eye untuk menurunkan resiko oklusi bagian bawah pipa yang
berbatas langsung dengan carina atau trakea. Resistensi aliran udara terutama
tergantung dari diameter pipa, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang dan lekukan
pipa. Ukuran ETT biasanya didesain dalam millimeter dari diameter internal, atau
kadang kadang dalam skala French diameter eksternal dalam millimeter dikalikan
3 . Pemilihan diameter pipa selalu berdasarkan antara aliran maksimal dengan
ukuran besar dan trauma jalan napas yang minimal.
15,18
Tabel 1. Panduan Ukuran Pipa Endotrakeal.
18
Universitas Sumatera Utara
13
Usia Diameter
Dalam mm Panjang
cm
Bayi 3,5
12
Anak
4 + usia4
14 + umur2
Dewasa Perempuan
7,0 ‐7,5
24
Laki Laki
7,5 ‐9,0
24 Keterangan
: mm= millimeter cm=
sentimeter
2.2.1. Cuff
Sistem Pada Pipa Endotrakeal
Kebanyakan ETT untuk dewasa memiliki system inflasi cuff yang terdiri dari
valve, pilot balloon, inflating tube dan cuff. Valve mencegah udara keluar setelah
pengisian cuff. Pilot balloon menyediakan udara untuk pengisian cuff dan berfungsi
sebagai panduan. Inflating tube berfungsi untuk menghubungkan valve dengan cuff
dan menyatukan dengan dinding pipa. Dengan menutupi trakea, cuff ETT
memberikan tekanan positif dan dapat mengurangi aspirasi. TT tanpa cuff biasanya
digunakan pada anak‐ anak untuk meminimalisasi resiko trauma akibat tekanan dan
batuk setelah intubasi. Ada dua tipe utama dari cuff ETT yaitu high pressure low
volume dan low pressure high volume. Cuff yang high pressure memiliki hubungan
dengan iskemik dan kerusakan mukosa trakea sehingga kurang cocok untuk intubasi
yang lama. Cuff low pressure kemungkinan dapat meningkatkan nyeri tenggorokan,
aspirasi, ekstubasi spontan, dan kesulitan insersi. Karena cuff low pressure kurang
menyebabkan kerusakan mukosa, maka cuff tipe ini lebih dianjurkan dalam
pemakaiannya. Tekanan cuff tergantung dari beberapa faktor antara lain inflasi
volum, diameter cuff dan hubungannya dengan trakea, regangan cuff dan trakea
dan tekanan intra torakal. Tekanan cuff mungkin meningkat selama anestesi umum
yang disebabkan oleh diffus N2O dari mukosa trakea ke dalam cuff ETT.
18
Universitas Sumatera Utara
14
Cuff high volume low pressure dikatakan memiliki efek minimal terhadap gangguan
mukosa trakea dari pada cuff high pressure low volume. Cuff low pressure kadang
kadang dengan mudah menjadi over inflasi sehingga menghasilkan tekanan yang
akan melewati tekanan perfusi kapiler.
Gambar 4. Anatomi aliran darah pada sub mukosa Trakea.
23
R D Seegobin dalam tulisannya menilai tracheal mucosal blood flow dalam
hubungannya dengan tekanan cuff yang berbeda. Pada tekanan 25 cmH2O mukosa
anterior dan posterior tampak seragam dan ukuran pembuluh darah yang normal.
Pada tekanan 30 cmH2O mukosa anterior diatas cincin trakea lebih merah
dibandingkan daerah intercartilage. Pada tekanan 40 cmH2O mukosa anterior di
atas cincin cartilage sangat pucat. Mukosa posterior juga pucat. Pada tekanan 50
cmH2O mukosa anterior diatas cincin trakea menjadi lebih pucat dan tidak tampak
aliran darah pada sub mukosa. Pada tekanan 60‐100 cmH2O tidak ada aliran darah
pada sub mukosa.
23
Universitas Sumatera Utara
15
Gambar 5. Efek tekanan cuff pada
aliran darah mokosa ke mukosa
trakea anterior a. 30 cmH2O. b. 40
cmH2O. c. 50 cmH2O. d. 100
cmH2O.
23
Gambar 6. Efek tekanan cuff pada
arteriol submukosa posterior. a. 30
cmH2O. b. 40 cmH2O. c. 80 cmH2O.
d. 100 cmH2O.
23
Tekanan cuff ETT dihantarkan ke mukosa dan dinding trakea, ketika
tekanannya tinggi dapat menyebabkan iskemik pembuluh darah dan perubahan‐
perubahan mukosa lainnya seperti, kehilangan siliar, ulkus, perdarahan, subglotis
stenosis, trakeal oesophageal fistel dan granuloma. Belum ada konsensus yang
menyatakan tekanan cuff maksimum untuk mencegah trakeal injury. Noordin dalam
penelitiannya menganjurkan tidak lebih dari 30 cmHg. Pada percobaan manusia
juga dianjurkan tidak lebih dari 30 cmHg. Emanuel Celice Castilho menyatakan
dalam kesimpulan penelitiannya, pada percobaan terhadap hewan percobaan, TT
dengan high volume low pressure diisi dengan udara yang cukup membuat tekanan
Universitas Sumatera Utara
16
25 cmH2O atau tekanan minimal untuk mencegah kebocoran selama ventilasi
menghasilkan minor injury pada mukosa trakea yang kontak dengan cuff, dan tidak
ada perbedaan antara kedua tekanan.
23,24
Gambar 7. Alat ukur tekanan cuff ETT, Endotest ® RUSCH
Kadang kadang komplikasi dapat terjadi akibat dari kurangnya pengisian cuff TT
tersebut. Lazimnya high volume low pressure tidak dapat mencegah mikroaspirasi
walaupun tekanan cuff sampai 60 cmH2O, walaupun beberapa penelitian
menyarankan 25 cmH2O sudah cukup. Tanpa adanya suatu Guideline, banyak
clinician mempertimbangkan 20 cmH2O dapat dibuat menjadi batas bawah untuk
tekanan cuff dewasa. Lamholt dkk merekomendasikan tekanan cuff 25 cmH2O
sebagai tekanan minimum untuk mencegah aspirasi dan kebocoran melalui cuff.
Seegobin dan Hasselt menyimpulkan dalam penelitiannya merekomendasikan
tekanan cuff tidak lebih dari 30 cmH2O, jadi tekanan cuff harus dipertahankan
Universitas Sumatera Utara
17
antara 20 – 30 cmH2O. Papiya Sengupta dkk dalam akhir penelitiannya
menganjurkan bahwa tekanan cuff harus diukur dengan manometer dan, bila perlu
dikoreksi. Pada penelitian sebelumya menyatakan bahwa tekanan cuff selalu diluar
dugaan bila diukur dengan palpasi manual. Braz dkk menemukan tekanan cuff
sampai 40 cmHg pada 91 pasien di PACU setelah anestesi dengan N2O, 55 pada
pasien ICU Intensive Care Unit dan 45 pada pasien PACU Post Anesthesia Care
Unit dengan anestesi tanpa N2O. Jose Reinaldo dkk dalam artikelnya
menyimpulkan bahwa tekanan cuff TT di ICU dan PACU secara rutin sangat tinggi
dan sangat signifikan tinggi dengan penggunaan N2O. tekanan cuff ETT harus rutin
diukur untuk meminimalisasi trauma pada trakea.
25,26
2.3. Nyeri