pada golongan dewasa dengan kisaran umur 14-44 tahun dan menimpa laki-laki hampir tiga kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan.
8
Berdasarkan penelitian Balitbang Kesehatan bagian terbesar kasus kecelakaan lalu lintas terjadi antara kendaraan bermotor dan pejalan kaki 47 dan sebanyak
43 korban meninggal adalah pejalan kaki.
32
b. Tempat
Menurut WHO 2011 lebih dari 90 kematian akibat kecelakaan lalu lintas terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, kejadian tertinggi adalah di
daerah Afrika dan Timur Tengah.
11
Hasil analisa lanjut data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi cedera akibat lalu lintas secara nasional sebesar
27,0.
15
Menurut wilayah Provinsi proporsi cedera tertinggi akibat kecelakaan lalu lintas terdapat di Provinsi DI Yogyakarta 44,7 dan terendah di Provinsi Nusa
Tenggara Timur 15,1. Berdasarkan data di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta penderita cedera kepala yang rawat inap terdapat paling banyak menderita cedera
kepala ringan sebesar 60-70 dengan CFR tertinggi 35-50 akibat cedera kepala berat.
15
c. Waktu
Penelitian Kleiven di Swedia 1987-2000 terdapat 22.000 pasien cedera kepala menunjukkan insidens tahunan sebesar 229 per 100.000 penduduk.
33
Penelitian Tagliaferri et al, di Eropa tahun 2006 rata-rata kematian akibat cedera kepala sekitar 15 kasus per 100.000 CFR=11.
33
Di Amerika Serikat selama tahun 1997-2007 terdapat sebanyak 53,0 korban kecelakaan yang menderita
Universitas Sumatera Utara
cedera kepala, dengan rata-rata korban yang meninggal sebanyak 18 per 100.000 penduduk.
35
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Woro tahun 2005 terhadap pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati kebanyakan korban kecelakaan
mengalami cedera kepala dengan kondisi yang parah 64,7. Kecelakaan banyak terjadi di siang hari, namun kecelakaan malam hari mempunyai proporsi lebih
tinggi tingkat keparahan cederanya 59.
8
Waktu kejadian kecelakaan lalu lintas yang paling sering adalah antara pukul 07.00-12.00 WIB.
32
2.4.2. Determinan Cedera Kepala
Menurut teori Haddix, cedera dipengaruhi oleh faktor manusia host, penyebab agent, dan lingkungan environment.
15
Hasil penelitian Balitbang Kesehatan menunjukkan bahwa sekitar separuh dari para korban kecelakaan lalu lintas berumur antara 20-39 tahun 47, suatu
golongan umur yang paling aktif dan produktif. Sebanyak 74 dari korban sebagian besar adalah pria. Pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh 25
dan 11 adalah pelajar dan mahasiswa.
32
Menurut WHO 2011 tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas jalan lebih tinggi pada kelompok usia muda, anak-anak dan orang muda di bawah usia
25 tahun mencapai lebih dari 30 dari mereka tewas dan terluka dalam kecelakaan lalu lintas. Dari usia muda tersebut, laki-laki lebih mungkin terlibat
dalam kecelakaan lalu lintas daripada perempuan, laki-laki muda di bawah usia 25 tahun hampir 3 kali lebih mungkin untuk terbunuh dalam kecelakaan mobil.
9
Universitas Sumatera Utara
Berbagai faktor terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Ditemukan kontribusi masing-masing faktor, yaitu manusiapengemudi 75, kendaraan 5, kondisi
jalan 5, dan faktor lainnya. a. Faktor manusia. Faktor manusia meliputi pemakai jalan, penumpang, dan
pengemudi. Faktor pengemudi yang dimaksudkan adalah keterampilan mengemudi, gangguan kesehatan mabuk, mengantuk, letih, kepemilikan SIM,
menaati peraturan dan rambu lalu lintas. Faktor penumpang yang dimaksudkan adalah jumlah muatan yang berlebihan. Faktor pemakai jalan bukan hanya pejalan
kaki atau pengendara, tetapi ada juga pedagang kaki lima, sarana perparkiran, peminta-minta dan semacamnya.
b. Faktor kendaraan. Lalu lintas jalan raya penuh dengan berbagai jenis kendaraan. Pertama kendaraan tidak bermotor yaitu: sepeda, becak, gerobak,
delman. Kedua kendaraan bermotor yaitu: sepeda motor, roda tigabetor, mobil, bus, truk. Di antaranya kecelakaan lalu lintas paling sering pada kendaraan sepeda
motor. c. Faktor jalanan. Faktor jalanan dapat berupa keadaan fisik jalan licin,
berlubang-lubang, lurusberkelok, datarmendakimenurun dan rambu-rambu. Faktor lingkungan mencakup cuaca dan geografik, yaitu diduga bahwa
dengan adanya kabut, hujan, terik matahari, jalan licin akan membawa resiko kecelakaan lalu lintas.
1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Woro tahun 2005 terhadap pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati proporsi cedera akibat
kecelakaan lebih tinggi saat cuaca hujan 64,7 dibandingkan dengan cuaca cerah atau tidak hujan 26,9.
8
Universitas Sumatera Utara
2.5. Klasifikasi Cedera Kepala
2.5.1. Komosio Serebri geger otak
25
Komosio serebri adalah gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak akibat cedera kepala. Gejala-gejala yang terjadi adalah mual,
muntah, nyeri kepala, hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa diertai anamnesia retrogad yaitu hilangnya ingatan pada kejadiaan-kejadian sebelum
terjadinya kecelakaancedera.
2.5.2. Kontusio Serebri memar otak
25
Kontusio serebri adalah gangguan fungsi neurologik akibat cedera kepala yang disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh, Otak
mengalami memar dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan. Gejala yang timbul lebih khas yaitu, penderita kehilangan gerakan,
kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit
2.5.3. Hematoma Epidural
,
Hematoma epidural adalah suatu hematoma yang cepat terakumulasi di antara tulang tengkorak dan durameter, biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningen
media.
36
Gejala yang ditimbulkan yaitu sakit kepala, konfusi, kejang, defisit lokal, koma, dan jika tidak diatasi akan membawa kematian.
Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor perbedaan besarbentuk pupil mata, yaitu pupil melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil
akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada mulanya positif akan menjadi negatif.
37
Universitas Sumatera Utara
2.5.4. Hematoma Subdural
38
Hematoma subdural kebanyakan sering terjadi di atas konveksitas hemisfer, dimana kebebasan bergerak dari otak adalah paling besar dan lokasi yang relatif lebih
jarang adalah di daerah fosa posterior, dimana gerak lebih kecil. Kebanyakan hematoma subdural terjadi di bridging vein yang menghubungkan sistem vena dari
otak dengan sinus venosus yang tertutup dalam durameter. Hematoma subdural bisa akut atau kronik.
a. Hematoma subdural akut Biasanya ada hubungannya dengan cedera yang jelas dan sering kali disertai
laserasi robek atau kontusi memar otak. Timbulnya gejala pada umunya tertunda dan ditandai secara klinis oleh gangguan kesadaran yang fluktuatif. Hasil
dari hematoma subdural akut tergantung bukan saja hanya dari tindakan bedah tetapi juga dari luka pada otak di dekatnya.
b. Hematoma subdural kronik Hematoma subdural kronik terlihat paling sering pada pada orang tua dan
peminum alkohol. Pada penderita demikian biasanya didapatkan sedikit atrofi otak yang berakibat bertambah bebasnya pergerakan otak di dalam ruang tengkorak.
Gejala-gejalanya lebih kurang nyata, pemeriksaan CT scan sangat memudahkan diagnostik.
2.5.5. Hematoma Intraserebral
39
Hematoma intraserebral biasanya terjadi karena cedera kepala berat, ciri khasnya adalah hilang kesadaran dan nyeri kepala berat setelah sadar kembali. Lebih
dari 50 penderita hematoma intraserebral disertai hematoma epidural dan
Universitas Sumatera Utara
hematoma subdural. Paling banyak terjadi di lobus frontalis atau temporalis, dan tidak jarang ditemukan multipel. Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan
besarnya hematoma.
2.5.6. Fraktur Kranii
39
Fraktur pada tengkorak dapat terjadi di tempat benturan maupun di tempat yang jauh dari benturan. Penanggulangan fraktur tulang kepala bergantung pada
jenis fraktur. Terdapat beberapa bentuk fraktur tulang kepala, yakni linear, stelata, komunutif, dan impresi.
Patah tulang impresi ialah fraktur dengan fragmen tulang terdorong ke dalam. Diagnosa dibuat dengan foto rontgen kepala, termasuk foto tangensial pada tempat
yang dicurigai. Indikasi utamanya adalah gangguan neurologik atau kejang. Patah tulang tengkorak dasar pada umumnya terjadi pada petrosum, atap
orbita, atau pada basis oksiput. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan gejala klinis, seperti perdarahan dari hidung atau telinga, dan sekitar mastoid atau orbita. Foto
rontgen pada waktu akut tidak diperlukan karena pada umumnya tidak memberikan tambahan informasi berarti, bahkan dapat membahayakan jiwa penderita. Saraf otak
dapat juga cedera.
2.6. Tingkat Keparahan
25
Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan Glasglow Coma Scale GCS yang pertama kali dikenal oleh Teasdale
dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan sebagai standar internasional. Penilaian
Universitas Sumatera Utara
GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai tingkat keparahan cedera kepala. GCS yang dimaksudkan yaitu:
a. Respon membuka mata E Buka mata spontan
Buka mata bila dirangsang suara Buka mata bila dirangsang nyeri
Tidak membuka mata dengan rangsangan apapun Nilai
4 3
2 1
b. Respon verbal V Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas Tidak ada suara dengan rangsangan apapun
Nilai 5
4 3
2 1
c. Respon motorik M Mengikuti perintah
Mengetahui tempat rangsangan nyeri Menolak rangsangan nyeri menarik ke samping
Menghindari rangsangan nyeri menarik ke belakang Reaksi ekstensi abnormal, kaku
Tidak ada reaksi dengan rangsangan nyeri apapun Nilai
6 5
4 3
2 1
Berdasarkan nilai GCS maka pembagian tingkat keparahan cedera kepala sebagai berikut:
2.6.1. Cedera Kepala Ringan GCS 13-15
21,36
Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat kelainan pada CT scan otak, rawat rumah sakit 48 jam, amnesia pasca trauma
APT 1 jam, dan biasanya tidak memerlukan tindakan operasi.
2.6.2. Cedera Kepala Sedang GCS 9-12
21,36
Hilang kesadaran antara 30 menit sampai 22 jam, tidak terdapat kelainan pada CT scan otak, rawat rumah sakit 48 jam, APT 1-22 jam, dan biasanya tidak
memerlukan tindakan operasi.
Universitas Sumatera Utara
2.6.3. Cedera Kepala Berat GCS 3-8
21,36
Hilang kesadaran lebih dari 22 jam akibat penurunan kesadaran yang sangat progresif, GCS menetap dalam 48 jam sesudah cedera, dan APT 7 hari.
2.7. Komplikasi dan Kelainan Cedera Kepala
2.7.1. Gangguan Neurologik
39
Cedera kepala dapat menyebabkan cedera saraf otak yang dapat berupa anosmia bau, gangguan visus, strabismus, cedera nervus fasialis, gangguan
pendengaran atau keseimbangan, disartri, dan disfagia. Kadang terdapat afasia dan hemiparesis.
2.7.2. Sindrom Pascatrauma
39
Biasanya sindrom pascatrauma terjadi pada cedera kepala yang tergolong ringan dengan GCS 12, ataupun pingsan yang tidak lebih dari 20 menit. Sindrom
tersebut berupa nyeri kepala, kepala terasa berat, mudah lupa, daya konsentrasi menurun, cemas, dan mudah tersinggung. Tidak didapatkan kelainan neurologik.
Keluhan tersebut biasanya berlangsung hingga 2-3 bulan pascatrauma walaupun kadang jauh lebih lama.
2.7.3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
6
Kebocoran Cairan Serebrospinal CSS pada cedera kepala terutama menyertai fraktur basis. Kebocoran CSS dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi
jika hubungan antara rongga subarakhnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil dan menutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan
terjadi dan pasien mungkin mengalami meningitis di kemudian hari. Pada proses
Universitas Sumatera Utara
penyembuhan luka kebocoran CSS, umumnya kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter terjepit pada garis fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-
menerus, maka perlu tindakan operatif.
2.7.4. Sindrom Psikis Pascatrauma
39
Sindrom psikis pascatrauma yang agak jarang ditemukan, meliputi penurunan inteligensia baik verbal maupun perilaku, gangguan perilaku, gangguan berpikir, rasa
curiga serta sikap bermusuhan, cemas, menarik diri, dan depresi. Yang paling menonjol adalah gangguan daya ingat. Faktor utama timbulnya neuropsikiatrik ini
adalah beratnya cedera dan bukan faktor premorbid seperti status sosial, umur atau tingkat pendidikan.
2.7.5. Kejang Post Traumatika
6
Kejang post traumatika setelah cedera kepala banyak menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Kejang post traumatika dapat dibagi menjadi:
a. Kejang post traumatika dini immediate post traumatic seizuries merupakan kejang yang timbul dalam 22 jam pertama setelah cedera kepala.
b. Kejang post traumatika awal early post traumatic seizuries merupakan kejang yang terjadi antara hari pertama sampai ketujuh setelah cedera kepala.
c. Kejang post traumatika lanjut late post traumatic seizuries merupakan kejang yang timbul lebih dari 1 minggu setelah cedera kepala.
d. Post traumatic epilepsi merupakan kejang post traumatika lanjutan yang timbul berulang-ulang dan bukan disebabkan oleh hal lain kecuali cedera kepala.
Sebanyak 60 penderita yang mengalami kejang dini dan kejang awal terjadi dalam 22 jam pertama, lebih kurang setengahnya terjadi dalam jam pertama setelah
Universitas Sumatera Utara
cedera kepala. Dua per tiga keseluruhan penderita akan mengalami kejang lebih dari satu kali, dan 10 akan mengalami status epileptik.
2.7.6. Hidrosefalus
6
Hidrosefalus yang timbul setelah cedera kepala secara umum dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu:
a. Hidrosefalus non komunikan. Jenis ini dapat timbul akibat penekanan oleh efek massa perdarahan yang terjadi, terhadap jalur aliran CSS dalam sistem sentrikel.
Sehingga aliran CSS terbendung. Jenis ini biasanya timbul karena adanya perdarahan di fossa posterior yang menekan ventrikel IV.
b. Hidrosefalus komunikan. Jenis ini timbul karena adanya gangguan penyerapan CSS pada rongga subarachnoid terutama pada granulasi arachnoid. Gangguan ini
timbul karena adanya darah pada rongga subarachnoid yang mengganggu aliran maupun penyerapan CSS. Biasanya terjadi pada 2 bulan pertama setelah cedera
kepala. Jenis ini lebih sering ditemukan daripada non komunikan. Secara klinis harus dipertimbangkan adanya hidrosefalus ini jika setelah cedera kepala,
penderita memperlihatkan perbaikan awal yang cepat namun selanjutnya tidak ada kemajuan atau bahkan perburukan. Untuk alasan ini idealnya perlu dilakukan CT
scan.
2.7.7. Ganggguan Gastrointestinal
39
Pada cedera kepala berat akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan perdarahan saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang
simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi.
Universitas Sumatera Utara
2.7.8. Neurogenic Pulmonary Edema
6
Neurogenic pulmonary edema jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala berat. Terdapat dua mekanisme yang mungkin bekerja secara sinergis. Pertama
peningkatan Tekanan Tinggi IntraKranial TTIK yang cepat atau cedera langsung pada hipotalamus menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga terjadi
aliran darah yang meningkat ke paru-paru dengan peningkatan Pulmonary Capillary Wedge Pressures PCWP dan peningkatan permeabilitas kapiler di paru. Kedua
pelepasan katekolamin yang terjadi akan memengaruhi endotel kapiler sehingga permeabilitas alveolar juga meningkat.
2.8. Pencegahan Cedera Kepala
Pencegahan cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas diarahkan kepada upaya untuk menurunkan kejadian kecelakaan lalu lintas. Upaya pencegahan yang
dilakukan yaitu:
2.8.1. Pencegahan Primordial
1
Pencegahan primordial adalah pencegahan yang dilakukan kepada orang- orang yang belum terkena faktor resiko yaitu berupa safety facilities: koridor
sidewalk, jembatan penyeberangan over hedge bridge, rambu-rambu jalan traffic signal, dan peraturan law.
2.8.2. Pencegahan Primer
1
Pencegahan primer adalah segala upaya yang dilakukan sebelum suatu peristiwa terjadi untuk mencegah faktor resiko yang mendukung terjadinya
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan cedera kepala seperti:
Universitas Sumatera Utara
a. Tidak mengemudi dengan gangguan kesehatan terlalu lelah, mengantuk, di bawah pengaruh obat-obatan dan alkohol
b. Pengendalian kecepatan kendaraan tidak mengebut
c. Penggunaan helm dan sabuk pengaman
d. Muatan penumpang tidak berlebihan e. Membuat jalanan yang lebih aman dan nyaman tidak macet, kondisi tidak
berlubang-lubang, tidak berkelok-kelok
2.8.3. Pencegahan Sekunder
5
Pencegahan sekunder yaitu pencegahan untuk menghentikan atau mengurangi perkembangan penyakit atau cedera kepala ke arah kerusakan dan ketidakmampuan.
Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis berupa anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis.
a. Anamnesis S
edapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat juga tentang kesadarannya,
luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keluarga pasien diminta keterangan tentang apa yang terjadi.
b. Pemeriksaan Fisik Umum
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital yaitu kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran juga
dicatat yaitu kompos mentis kondisi segar bugar, apatis, somnolen mengantuk, sopor tidur, atau koma. Selain itu dapat pula ditentukan dengan GCS.
Universitas Sumatera Utara
c. Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan
objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis
servikalis ruas tulang leher normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik
dan sensorik nervus kranialis. Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12 yaitu: nervus I olfaktoris, nervus II optikus, nervus III okulomotoris, nervus IV
troklealis, nervus V trigeminus, nervus VI abdusens, nervus VII fasialis, nervus VIII oktavus, nervus IX glosofaringeus, nervus X vagus, nervus XI
spinalis, nervus XII hipoglous, nervus spinalis pada otot lidah, dan nervus hipoglosus pada otot belikat berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.
d. Pemeriksaan Radiologis d.1. Foto rontgen polos