Jazuli memberikan penjelasan mengapa suara PKS kali ini menurun dari sebelumnya. Dia memberikan 5 analisis penyebabnya:
65
1 Pilgub sebelumnya hanya diikuti 2 kandidat, suara tidak terlalu pecah-
pecah. 2
Semakin sering Pilkada dilaksanakn di Indonesia, masyarakat terpolarisasi secara pragmatis.
3 Persoalan DPT juga menjadi penyebab yang sangat signifikan. Karena
besar kemungkinan by design. Dimana potensi pemilih kandidat tertentu tidak terdaftar di DPT. Daerah-daerah basis PKS pada Pilgub
dan Pemilu sebelumnya banyak yang tidak terdafar. 4
Netralitas PNS dan birokrasi masih sangat menyedihkan. Banyak timses Hidayat diintimidasi. Bahkan atribut malam dipasang besoknya
sudah hilang. 5
PKS tidak melakukan money politics karena bertentangan dengan UU. Berdasarkan lima faktor penyebab kekalahan HNW-Didik yang
dilontarkan oleh Jazuli Zuwaeni keempatnya adalah faktor eksternal, hanya satu faktor dari internal yaitu PKS menurutnya bersih dari politik
uang. Tentunya kajian mendalam tentang kekalahan PKS tidak diungkap semua yang sebagian dikonsumsi oleh internal, tetapi saya sendiri
memiliki beberapa analisis faktor penyebab kemerosotan PKS. Pilkada DKI Jakarta adalah mercusuar dari demokrasi di
Indonesia, sebagai pusat pemerintahan partai secara cermat harus menyadari bahwa menjadi kontestan di DKI Jakarta bukan dalam kapasitas
mengumpulkan logistik atau merebut basis kekuasaan daerah sebagaimana orientasi parpol pada pilkada di daerah lain. Pilkada DKI Jakarta hadir
dalam sorot media yang begitu besar, sehingga masyarakat memperoleh banyak informasi yang berimbang, terutama melalui jejaring sosial dan
koran online dan televisi. Semestinya kesempatan ini dimanfaatkan parpol
65
Jazuli Juwaeni, 5 Analisis PKS Atas Kegagalan di Pilgub DKI, tersedia online di http:news.detik.comberita19633845-analisis-pks-atas-kegagalan-di-pilgub-dki
untuk benar-benar membangun citra dan menunjukkan keberpihakannya pada selera publik yang memasyarakat.
Ketika awal penjaringan bakal calon Gubernur langkah PKS ingin mempersunting Fauzi Bowo sebagai gubernur dan Triwicaksana sebagai
wakil gubernur jadi titik lemahnya, pada pilkada DKI Jakarta sebelumnya PKS menjadi anti-tesa Fauzi Bowo, sehingga memperoleh suara 42
sendirian melawan banyak partai. Namun ketika PKS bersikap balik mendukung Fauzi Bowo publik melihat ini sebagai bentuk ketidak
konsistenan PKS, hal inilah yang perlu dipahami betul sebelum PKS pada putaran kedua berlabuh ke Jokowi-Ahok atau Fauzi Bowo-Nahrowi
Ramli. Namun demikian Jazuli menyadari bahwa dalam demokrasi selalu
ada menang dan kalah. Mengomentari hasil kekalahan PKS pada Plikada DKI Jakarta ia mengatakan.
Setelah bekerja keras dan maksimal tanpa kita melakukan kecurangan dan pelanggaran, apapun hasilnya kita harus bangga.
Kami yakin warga DKI masih tetap setia pada PKS pada pemilu 2014 nanti. Asal PKS terutama teman-teman DPRD DKI trus
menjaga dan menyuarakan aspirasi warga sesuai dengan kewenanganya. Karena itu kami tetap dan terus berterimakasih
pada warga DKI yang selalu setia pada PKS,
Sekularisasi politik ini terlihat menguat dengan makin merosotnya dukungan pada partai Islam di DKI, dan terakhir kekalahan
Hidayat Nurwahid yang punya kridensial politisi Islam dalam Pilkada putaran pertama yang lalu. Juga kekalahan PKS dalam Pilkada 2007.
Apakah faktor utama yang menyebabkan kekalahan tersebut.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Pertarungan di Pilkada DKI Jakarta merupakan pertarungan terbuka, artinya rakyat dengan calon gubernur memiliki arus informasi yang lancar,
bisa dibilang dalam Pilkada pemilih tidak lagi melihat calon berdasarkan rekomendasi elit, tetapi publik memiliki pengetahuannya sendiri tentang
informasi yang bisa diakses dengan mudah. Cara berkampanye dengan gaya elitis justru menambah „gap‟ komunikasi politik, seperti dengan deklarasi
dukungan dari elit parpol, artis, elit-elit kelompok, ormas dan juga tokoh masyarakat. Elitisme kampanye politik ini tidak sama sekali menunjukkan
pemilih real di lapangan, misalnya saja elit dari tokoh masyarakat yang melakukan klaim memiliki pengikut ribuan orang, karena komunikasi antara
calon dengan pemilih sudah lancar maka tidak dibutuhkan lagi referral, bahkan masyarakat dengan mudah menilai bahwa dukung mendukung elitnya
kepada calon tertentu ada harganya. Bisa jadi malah menghilangkan kredibilitas partai.
Seperti pada putaran pertama, dukung-mendukung calon tertentu berdasarkan elitisme tidak akan berpengaruh signifikan pada perolehan suara
Jokowi-Ahok atau Fauzi Bowi-Nahrowi Ramli. Tetapi tetap saja PKS sekarang menjadi gula yang manis, Suara PKS menjadi rebutan karena dikenal
solid dan berada pada angka yang cukup berpengaruh. Akan banyak godaan bagi PKS untuk melengkapi logistik ataupun menambah jaring kekuasaannya
di DKI Jakarta, tetapi kalau ini bisa dijadikan titik balik PKS untuk meneguhkan citra bersih, peduli, profesional secara real bukan tidak mungkin
massa PKS akan bersimpati kembali. Pemilih PKS di Jakarta merupakan pemilih rasional, yang perlu diingat bahwa pemilih rasional kritis dan cair.
Sehingga sekuat apapun PKS membangun citra tetapi tidak membangun karakter yang kuat label sebagai partai pragmatis tidak akan hilang. Masalah
yang dihadapi PKS untuk masa depan adalah bagaimana mengklarifikasi tuduhan bahwa mereka memiliki ide kelompok yang sempit. Selanjutnya
dengan ide ini PKS mencari dukungan di ceruk politik yang kecil dan harus bersaing dengan parpol lain yang juga mencari dukungan pemilih yang sama.
Kekalahan PKS di Pilgub DKI 2012 yang mengusung Hidayat –
Didik, tentunya di luar ekspektasi para kader PKS. Pasalnya, ekspektasi ini nampak dari kepercayaan diri PKS untuk tetap maju seorang diri mengulang
kejayaan 2007. Tidak hanya itu, tokoh yang dimajukan PKS kali ini juga merupakan orang yang populer, sama populernya dengan ketika Adang
Daradjatun diusung pada 2007 yang lalu. Beberapa hipotesis yang dapat
jadikan evaluasi dan diskursus untuk menyikapi fenomena “anjlok”-nya suara PKS yaitu:
1 Euphoria Masa Lalu
Hipotesis pertama yang perlu ditelaah adalah adanya euforia masa lalu. Pilgub DKI 2007 meskipun secara suara memberikan kekalahan pada
PKS, namun nyatanya hal itu tetap membawa kabar gembira bagi PKS. Betapa tidak, PKS seorang diri bisa meraih hingga 42, jika dibandingkan
dengan 20 partai lainnya yang hanya meraih 58.Tentunya euforia masa lalu inilah yang menjadi referensi utama PKS dalam memajukan Hidayat
– Didik. Begitu juga dengan apa yang terjadi di tataran kader grassroot. Mereka begitu
yakin bahwa suara PKS sudah sedemikian kuatnya di Jakarta. Ada fakta bahwa pada pemilihan legislatif untuk DPRD DKI Jakarta
tahun 2009 PKS menempati juara dua di bawah Partai Demokrat dengan perolehan 17, namun hal ini nampaknya tidak banyak diingat. Memang pada
awalnya PKS sempat mendekati Fauzi Bowo untuk berkoalisi, dimana PKS waktu itu mengajukan Triwisaksana sebagai cawagub. Namun, pada akhirnya
PKS memajukan Hidayat – Didik dengan harapan kedua tokoh nasional ini
dapat mendongkrak perolehan suara 17 ini menjadi minimal urutan kedua agar masuk ke putaran kedua.
2 Figure Calon
Hipotesis kedua mengenai faktor figur calon. Euforia 2007 yang memajukan tokoh juga kembali diulang dengan memajukan tokoh yang juga
populer, dengan harapan akan membuahkan hasil yang tidak jauh berbeda. Namun, meskipun Hidayat
– Didik merupakan tokoh yang sudah berkapasitas nasional, tetap ada perbedaan dengan Adang Daradjatun. Adang Daradjatun
merupakan mantan Wakil Ketua Polri, dan sedari awal memang merupakan tokoh yang bukan dibesarkan atau ditokohkan oleh PKS. Figur ini juga yang
membuat Adang Daradjatun lebih terasa dimiliki oleh semua kalangan, mulai dari kaum agamis, preman, ormas, para pengusaha, hingga floating mass.
Berbeda dengan Hidayat. Walaupun merupakan tokoh yang populer, namun masih dimiliki hanya kalangan tertentu saja, terutama dari kalangan muslim
dan agamis. Sementara Didik juga masih dimiliki hanya oleh kalangan muslim dan akademisi.
Melihat kondisi ini, wajar jika dengan Hidayat – Didik suara PKS
tidak dapat terdongkrak jauh. Hal ini membuktikan bahwa ternyata, fenomena besarnya
suara PKS
pada 2007
lebih banyak
ditopang oleh
keberadaan floating mass. Mereka tidak lagi setia dan loyal untuk memilih PKS karena figur yang tidak seperti Adang Daradjatun.
Kunci pertarungan PKS pada hampir di semua pilkada adalah keberadaan kelas menengah. Selama ini jika kita amati, kader PKS dan basis
sosialnya memang dari kalangan kelas menengah dan kalangan intelektual. Namun, untuk kali ini PKS nampaknya hanya bisa merebut suara dari
kalangan intelektual. Sementara suara dari kalangan kelas menengah beralih kepada calon-calon lainnya.
3 Dominasi Status Quo
Hipotesis terakhir yang menyebabkan suara PKS anjlok adalah kelas menangah yang sudah jenuh akan status quo. Sudah dikatakan bahwa karakter
kelas menengah di antaranya adalah mempunyai mobilitas tinggi dan padat aktivitas. Hal ini
–disadari atau tidak– membuat kelas menengah selalu menemukan hal-hal baru dan mengejutkan, seperti yang diungkapkan Bullock
1990. Fenomena-fenomena yang berkelebat secara cepat dalam pikiran dan pandangan kelas menengah membuatnya “ketagihan”, menerka-nerka sesuatu
yang baru, dan cenderung mengabaikan fenomena yang sedang berkelebat ini kecuali hanya melihatnya sebatas permukaan. “Apa fenomena selanjutnya?”
Begitu kira-kira pertanyaan yang menyeruak di imaji kelas menengah yang menjadi floating mass ini. Dampaknya, status quo adalah hal yang sangat
dihindari. Hidayat
– Didik memang tidak mempunyai track record buruk selama pengalaman kepemimpinan dan karyanya, namun sekaligus juga tidak ada
sesuatu yang “mengejutkan” yang dilihat kelas menengah. Inilah poin utamanya. Masyarakat kelas menengah tidak menemukan karakter “kejutan”
dalam diri Hidayat – Didik, melainkan akan tetap pada status quo. Bahkan hal