Latar Belakang Masalah Faktor-Faktor di Balik Kekalahan Cagub/Cawagub Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pada Pilgub DKI Jakarta Tahun 2012
pembangunan struktur yang menekankan aspek-aspek pengkhususan agar lebih berfungsi. 3 Peningkatan partisipasi politik bagi kelompok
sosial seluruh masyarakat. Dalam kasus orde Baru ini, para pengamat umumnya sepakat bahwa
proses modernisasi yang berlangsung di bawah naungan politik Orde Baru telah mendorong dilakukannya upaya-upaya penafsiran ulang dan
penyesuaian-penyesuaian diri dalam tubuh umat Islam, sehingga mereka setidaknya tetap dapat eksis dalam gejolak perubahan yang berlangsung. Ini
terutama dirasakan dalam wacana dan kiprah politik yang sejak dini mengagendakan dan melancarkan restrukturisasi mendasar yang kemudian
dipergunakan untuk menopang proses akselerasi modernisasi
dan pembangunan ekonomi.
Ada sebagian pengamat yang mencatat bahwa restrukturisasi politik yang dilakukan oleh Orde Baru telah menghasilkan sebuah format politik baru
yang ciri-ciri umumnya adalah:
4
l Munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang posisinya mengatasi masyarakat yang sebetulnya merupakan asal-usul
eksistensinya. 2 Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi serta teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik. 3
Semakin terpinggirkannya sektor-sektor popular dalam masyarakat termasuk kaum inteleklual. 4 Diterapkannya model politik
eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik. 5 Penggunaan secara efektif hegemoni ideologi
untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada.
Dengan format politik seperti itu, pemerintah Orde Baru berhasil
melakukan konsolidasi ke dalam yang hasilnya adalah tersingkirkannya kekuatan-kekuatan politik yang cenderung bersikap oposisi dalam ruang
politik resmi versi Orde Baru. Termasuk dalam hal ini adalah keberhasilan Orde Baru dalam menjinakkan kiprah politik kelompok umat Islam yang
dinilai akan menghambat proses stabilisasi politik seperti penyederhanaan partai-partai politik dan kebijakan masa mengambang floating mass,
marginalisasi tokoh-tokoh Islam yang dianggap menganut garis keras, represi
4
Damanik, Fenomena……………., hlm. 11
terhadap gerakan-gerakan Islam, kooptasi para pemimpin Islam yang dianggap berpengaruh dan popular, kontrol birokrasi terhadap lembaga-lembaga Islam
baik milik negara maupun swasta. Merupakan sejarah yang tertunda karena pasca tumbangnya kekuasaan
yang pongah tepatnya pada tanggal 2l Mei 1998, kembali memberikan banyak harapan menuju pintu pentas politik Indonesia yang baru. Salah satunya
adalah partai-partai politik yang pada saat itu hanya terpusat pada tiga partai politik saja karena mengalami penyederhanaan, kini dibiarkan untuk
menyelenggarakan kampanye dan berorganisasi secara bebas. Ini memberikan banyak peluang kepada partai-partai politik termasuk partai politik Islam
untuk berkiprah kembali, di mana sebelumnya pada era itu, rezim Soeharto sangat represif dengan kebijakan deideologisasi dan depolitisasinya.
Jangankan untuk menyuarakan gagasan Islam sebagai dasar negara, menjadikan Islam sebagai asas dan simbol partai pun tidak diperbolehkan.
Oleh karena itu, pada rezim ini wacana tentang ideologi politik lslam relatif sepi di permukaan. Siapapun yang ingin menyuarakan gagasan mengenai
politik Islam atau Islam ideologi yang berbeda dengan arus utama pandangan politik keislaman versi Orde Baru, harus melakukannya secara sembunyi-
sembunyi. Kenyataan seperti ini telah mendorong banyak orang untuk menilai bahwa pemerintahan Orde Baru memberlakukan kebijakan depolitisasi Islam.
Namun terbatasnya ruang untuk mengembangkan wacana politik keislaman khususnya, dan politik secara keseluruhan pada umumnya telah mendorong
para pemikir dan aktivis lslam untuk mencari alternatif-altematif yang memungkinkan. Salah satunya ada yang mengembangkan gagasan mengenai
diversifikasi makna politik Islam dan ada pula yang merancang agenda dalam jangka panjang yaitu dengan meningkatkan kajian-kajian terhadap Islam
dalam spektrum yang lebih dalam dan luas.
5
Kajian-kajian ini dilakukan dengan cara melakukan pembinaan tarbiyyah secara intensif kepada umat secara keseluruhan dengan
5
Sekjen DPP PKS, Mereka Bicara PKS: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Fitrah Rabbani, 2006, hlm. 32
memberikan kesadaran dan pencerahan tentang hakikat kesempurnaan lslam. Dilakukan dengan berupaya untuk membangun ruh keislaman melalui tabligh,
seminar, aktivitas sosial, ekonomi, dan juga pendidikan. Sementara dalam bidang politik mereka mencoba menyadarkan masyarakat muslim khususnya,
serta pemuda dan mahasiswa akan tanggungjawabnya terhadap masa depan bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, kampus, masjid, forum-forum studi menjadi alternatif yang dinilai strategis. Di situlah kajian demi kajian dilakukan. Lebih
dari sekedar keinginan untuk menambah wawasan tentang Islam semata, tetapi pendalaman aqidah dan praktik keagamaan yang menyeluruh. Alhasil, Islam
menjadi buku atau text yang terbuka di negeri
ini,
yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia termasuk politik, yang siapa pun bisa membacanya.
Di awal telah dibahas bahwa agama adalah suatu hal yang diyakini sakral atau suci, karenanya harus dijauhkan dari
politik
yang cenderung kotor. Sangatlah jelas, dalam pernyataan
ini
posisi pemisahan antara agama dan
politik
telah menjadi cara berfikir banyak kalangan. Demikian pula apa yang disampaikan oleh Presiden Cheko, Vaclav Havel, politik itu kotor, dan puisi
yang membersihkannya. Selain itu, banyak pula orang
yang
mencibir kepada hal
yang
bernama politik, karena dandanan
politikus
yang meriah, saling
sikut
menyikut yang
gentar
dan pengkhianatan. Seperti itulah anomali dunia politikus, setiap celah akan dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan,
maksimal bagi kepentingan kekuasaan dan penguasa. Tetapi tidak dengan Partai Keadilan Sejahtera PKS. Partai yang
merupakan transformasi gerakan
tarbiyyah
atau gerakan dakwah kampus yang sebagian menjadikan dirinya sebagai Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia
KAMMI,
kemudian pasca momentum reformasi, tepatnya pada tanggal 09 Agustus 1998, gerakan dakwah tarbiyyah
ini justru
melakukan langkah yang lebih berani untuk memunculkan dirinya ke hadapan publik
dengan mengumumkan secara legal formal sebagai gerakan yang berkekuatan politik pula.
Transformasi dari gerakan tarbiyyah menjadi partai
politik
dilakukan karena seperti apa yang dikatakan oleh Hasan Al-Banna dalam sebuah
Konfrensi pelajar Ikhwanul Muslimin pada bulan Muharram 1357 H, yaitu: Dapat
aku
sampaikan dengan tegas bahwa seorang Muslim
tidak
akan sempurna agamanya kecuali jika ia menjadi politisi, memiliki
pandangan yang jauh tentang problemotika umatnya, memperhatikan urusan-urusan mereka dan bersedia untuk membantu mencari j
alan
keluarnya. Karenanya pembatasan dan pembuangan terhadap agama
ini
adalah sikap yang tidak diakui oleh agama Islam. Maka kepada setiap organisasi Islam agar
menjadikan
prioritas programnya adalah memperhatikan urusan politik umat Islam, kalau tidak maka ia sendiri
perlu
untuk memahami kembali makna Islam.
6
Dengan mentransformasi dari gerakan tarbiyah menjadi gerakan
politik
tersebut, ternyata menjelaskan bahwa PKS dalam gerak politiknya memainkan dua peran, yaitu legal formalis dan subtansialis. Formalis berarti gerakannya
terpusat pada usaha menjadikan salah satu aspek hukum Islam dalam hukum
positif
lndonesia. Islam di Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah agama yang dianut
oleh mayoritas penduduk provinsi ini. Sensus BPS tahun 2010 menyebutkan 85,36 atau sebanyak 8.200.796 jiwa penduduk Jakarta menganut agama
Islam.
7
Islam berkembang di Jakarta sekitar awal abad ke-15, yaitu saat wilayah ini masih bernama Sunda Kelapa dan berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, penyebar agama Islam pertama di wilayah ini adalah Syekh Hasanuddin
Syekh Quro yang datang dari Champa. Ia menikah dengan penduduk setempat dan mendirikan pondok pesantren Quro pada tahun 1428 di
Tanjungpura, Karawang.
8
Selanjutnya penyebaran juga dilakukan oleh para menak Pajajaran yang telah memeluk Islam, serta para pendatang baik dari
6
M. Abd. Qadir Abu Faris, Fiqh Politik Hasan Al-Banna, Solo: Media Insani Press, 2003, hlm. 27
7
Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Agama yang Dianut: Provinsi DKI Jakarta, Sensus Penduduk 2010, www.bps.go.id. Diakses 10 Nopember 2012
8
Kiki, Rakhmad Zailani, Genealogi Intelektual Ulama Betawi, © 2006 Hak Cipta oleh Republika Online, Jumat, 13 April 2007. Diakses 21 Nopember 2012
wilayah Nusantara lainnya maupun para pedagang muslim asal Cina, Gujarat, atau Arab.
Partai Keadilan Sejahtera PKS yang dikenal sebagai partai dakwah ini memiliki basis terbesar di Ibu Kota. Pada Pemilu legislatif 2004 PKS
behasil medapat 24 suara sekaligus menjadi partai terbesar di DKI Jakarta. Perolehan tersebut tentu tergolong fenomenal mengingat PKS sebagai partai
baru yang berlaga dalam belantara politik Indonesia. Bahkan pada pilgub DKI 2007, Kandidat yang diusung sendiri oleh PKS berhasil meraih lebih dari 44
suara sah, bersaing ketat dengan “partai sekutu” yang mengusung Foke. Walaupun kalah dalam pilkada, namun opini publik justru menganggap PKS
sebagai partai yang fenomenal dengan melihat perolehan suara yang sangat fantastis walau “dikeroyok” oleh partai-partai lain.
Bercermin dari Pilkada DKI 2007, para pembesar PKS menjadi sangat percaya diri dengan menargetkan 50 suara di DKI pada pemilu legislatif
2009. Rasa percaya diri itu di perkuat dengan kemenangan PKS di beberapa Pilkada seperti Jabar, Sumut, dan NTB menjadikan para elit PKS semakin
optimis untuk dapat meraih 20 suara nasional dan 50 suara di Ibu Kota. Namun kenyataan berkata lain. PKS gagal total untuk mencapai targetnya,
baik di Jakarta ataupun di tingkat nasional. PKS hanya berhasil memperoleh 18 suara di Ibu Kota dan menjadi partai kedua terbesar di Jakarta setelah
Partai Demokrat. Ini adalah untuk kali pertama trafik PKS turun dalam sejarah politik PKS di Ibu Kota.
Pada Pilkada DKI 2012 PKS masih sangat percaya diri untuk maju sendiri. Tidak tanggung-tanggung, kandidat yang diusung adalah kader terbaik
PKS sekaligus mantan Presidennya, Hidayat Nurwahid. Kemunculan Hidayat Nurwahid dalam bursa Pilkada DKI 2012 mengejutkan banyak pihak,
pasalnya nama Hidayat justru muncul pada detik-detik terakhir. Para pengamat politik bahkan menganalisa Hidayat akan menjadi kuda hitam dan
menjadi ancaman serius bagi pasangan incumbent. Apalagi dikuatkan dengan mesin politik PKS yang sudah sangat mengakar hingga tingkat RTRW dan
militansi kader PKS yang dianggap paling loyal tentu akan semakin berapi-api
karena yang diusung adalah tokoh sekaligus kader terbaiknya. Melihat dari modal politik itu, para elit PKS yakin akan dapat memenangkan Pilkada DKI,
atau setidaknya, memperoleh angka yang signifikan. Namun sekali lagi, ternyata kenyataan berkata lain. Hasil perhitung
perolehan suara calon gubernur, menunjukan PKS hanya berada di posisi ketiga. Perolehan suara calon yang diusung PKS hanya sekitar 11
merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Padahal PKS sudah mengerahkan kekuatan penuh dan segenap tenaganya dengan sangat maksimal
pada Pilkada DKI. Setidaknya kekuatan penuh itu terlihat dari dua hal: Pertama, karena DKI adalah basis masa PKS terbesar di Indonesia, dan kedua
karena kandidat yang diusung PKS adalah public figur sekaligus kader terbaiknya. Jika dengan kekuatan penuh PKS hanya mendapat 11 di
kandang sendiri, hal ini menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji, meneliti
dan mengetahui lebih jauh mengenai gerakan politik PKS. Dengan demikian
penulis menentukan judul skripsi ini adalah FAKTOR-FAKTOR DI BALIK KEKALAHAN CAGUBCAWAGUB PARTAI
KEADILAN
SEJAHTERA PKS PADA PILGUB DKI JAKARTA TAHUN 2012
. ”