1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kebahagiaan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan dimana kebahagiaan memiliki hubungan yang dekat dengan kesehatan
seorang Individu Berscheid, 2003. Menurut Diener 2007, kebahagiaan lebih dari sekedar sebuah tujuan, tapi kebahagiaan berguna untuk kesehatan,
kreatifitas, pendapatan dan evaluasi tempat kerja. Hal ini terlihat jelas pada definisi kesehatan oleh WHO dimana kesehatan adalah meliputi keadaan
fisik, mental dan kesejahteraan sosial, bukan hanya sekedar ketidakhadiran penyakit Taylor, 2009.
Khalek 2006 menyatakan bahwa kesehatan mental seseorang mempengaruhi kebahagiaannya . Kebahagiaan juga mempengaruhi lamanya
usia seseorang pada populasi yang sehat Veenhoven R., 2008. Setiap individu ingin bahagia Diener Dean, 2007. Individu pada umumnya
memimpikan kesuksesan sebagai seorang profesional, kepuasan spiritual, perasaan dekat dengan individu lain, tujuan dalam hidup ataupun cinta dan
seks, hal ini dapat didambakan karena hal ini dipercayai dapat memberikan kebahagiaan Lyubomirsky, 2005.
Kebahagiaan adalah pengalaman dan perasaan akan kenikmatan, kepuasan dan sukacita Lopez Snyder, 2007. Kebahagiaan sepenuhnya
Universitas Sumatera Utara
tergantung pada evaluasi kognitif mengenai kepuasan pada seluruh aspek kehidupan seperti keluarga, pekerjaan dan pengalaman yang efektif
mengenai ini Carr, 2004. Kebahagiaan seorang individu dipengaruhi oleh kekuatan karakter
yang dimiliki oleh individu tersebut. Pengaruh ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Park dan Peterson 2004 yang menemukan hubungan
antara kekuatan karakter dengan kebahagiaan pada remaja dan orang dewasa. Seligman 2004 sendiri menyatakan bahwa terdapat 24 karakter
positif, yaitu curiosity rasa penasaran, love of learning, open-mindedness, originality, emotional intelligence, perspective, bravery, perseverance,
honesty, kindness, loving and allowing oneself to be loved, loyalty, fairness, leardership, self-control, caution, humility, appreciation of beauty and
excellence, gratitude, hope, religiousness, forgiveness, humor dan enthusiasm.
Seligman 2004 juga menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan emosi positif masa depan, masa lalu dan masa sekarang. Kebahagiaan pada
masa lalu terbagi menjadi kepuasan, kedamaian, kebanggaan, kelegaan dan kesuksesan akan masa lalu. Kebahagiaan pada masa depan oleh Seligman
dibagi menjadi kepercayaan diri Confidence, kepercayaan trust, harapan hope, optimisme dan keyakinan faith. Kebahagiaan pada masa sekarang
terbagi menjadi pleasure kenikmatan dan gratification gratifikasi. Pleasure kenikmatan sendiri terbagi menjadi mindfulness kesadaran dan
savoring peresapan.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu kehidupan dalam masyarakat yang memiliki norma yang cukup kuat dalam Pleasure kenikmatan dan gratification gratifikasi
adalah Buddhisme Seligman, 2002. Dalam Buddhisme, mindfulness Sati merupakan salah satu dan satu-satunya jalan latihan untuk mencapai
kemurnian dan kebersihan bathin, mengatasi penderitaan dan keluhan, untuk menghancurkan penderitaan dan kesedihan, untuk mencapai jalan yang benar
dan pencapaian Nibbana Venerable Sujiva, 1998; Kantipalo; 1996. Mello 2011 seorang pembicara inspirational dalam bukunya menyatakan bahwa
seseorang seharusnya hidup dalam kesadaran. Kesadaran Mindfulness yang benar berarti tetap sadar setiap waktu. Menjadi sadar berarti menjadi sadar
setiap saat pada perasaan yang sedang dirasakan, lingkungan sekitar, apa yang sedang dilakukan oleh tubuh, pikiran dan ide yang muncul didalam
pikiran, apa yang terjadi disekitar Kipfer, 2007; Confield, 1993, tanpa penilaian Kabat-Zinn, 2003 dan menerima hal tersebut apa adanya Segall,
2003; Germer, Siegel, Fulton, 2005. Kesadaran ini akan membuat individu memahami apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan
pada saat itu Dockett, 2004. Mindfulness kesadaran dalam Buddhisme diibaratkan sebagai garam yang digunakan untuk memberikan rasa kepada
masakan, dan berguna dalam segala jenis bumbu Susila, 2012. Pelatihan kesadaran dengan menggunakan teknik meditasi terbukti
meningkatkan hormon tertentu dalam tubuh yang dapat meningkatkan kebahagiaan Lopez, 2002. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuijpers
2008 menyatakan bahwa intervensi mindfulness terbukti meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
kualitas kehidupan, mengurangi stress Schoormans, 2011 dan kecemasan Warnecke, 2011. Mindfulness juga terbukti meningkatkan kesehatan fisik
maupun psikologis Branstrom, 2010. Tiap-tiap individu dapat mendapatkan kebahagiaan pada masa lalu,
masa sekarang dan masa depan. Akan tetapi terdapat sekelompok masyarakat yang secara nyata memfokuskan kebahagiaan pada masa
sekarang. Kelompok tersebut menekankan pentingnya pleasure dan gratifikasi sesuai dengan ajaran Buddhisme. Mereka dinamakan Bhante
Theravada. Bhikkhu Pali atau Bhante Sanskrit Theravada adalah mereka yang bebas dari tugas rumah tangga oleh karenanya mereka tidak berkerja
maupun menikah, sehingga mereka mempunyai kesempatan yang baik untuk
mencapai Nirvana
– tempat dimana dosa atau jiwa “dipadamkan” atau berakhir Keene, 2006; Keown, 2003.
Bhante Theravada sendiri, juga memiliki penekanan yang berbeda dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan seorang individu pada umumnya adalah uang, pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, jenis kelamin, pekerjaan dan
agama Seligman, 2004. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan tersebut, manusia pada umumnya lebih menekankan diri dalam
pencaharian uang, pernikahan, pekerjaan dan agama sebagai faktor penting penentu kebahagiaan Seligman, 2004. Namun Bhante Theravada lebih
menekankan agama dan lebih mengabaikan uang, pernikahan, pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
dalam proses perjalanan hidupnya. Hal ini terlihat dari pola hidup kesederhanaan dan sila yang dijalankan oleh Bhante Theravada.
Sila yang harus dijalani oleh seorang Bhante Theravada termuat dalam kitab suci khusus yaitu Vinaya Pitaka Thitayanno, 2008. Sila yang
harus dijalani oleh Bhante Theravada adalah Patimokha Sila yang terdiri dari 227 sila untuk Bhikkhu dan 311 sila untuk Bhikkhuni A.K., 2007.
Istilah sila, kosakata Pali, yang digunakan dalam budaya Buddhis mempunyai beberapa arti, yaitu:
„sifat, karakter, watak, kebiasaan, perilaku, kelakuan‟ dan „latihan moral, pelaksaan moral, perilaku baik, etika Buddhis‟
dan „kode moralitas‟. Sila dalam pengertian yang luas pandanannya adalah
etika dan dalam pengertian yang sempit padanannya adalah moral Rashid, 1997.
Salah satu contoh dari sila yang harus dijalankan oleh seorang Bhikkhu adalah seorang Bhikkhu tidak diizinkan untuk melakukan hubungan
seksual baik dengan manusia ataupun hewan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini:
“Bhikkhu, siapa saja – yang telah bergabung dalam latihan dan jalan hidup para bhikkhu, tanpa melepaskan latihannya, tanpa memaklumkan
ketidaksanggupannya – melakukan pencabulan, sekalipun dengan
seekor hewan betina, maka ia sudah takluk, tak lagi sepersekutuan –
dalam satu persekutuan Sangha Bhikkhu .”
Thitayanno, 2008 Bhikkhu telah memiliki seorang istri, maka istrinya disebut sebagai
mantan istrinya ketika ia telah memutuskan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang Bhikkhu. Mereka yang menjalani kehidupan sebagai
Bhikkhu telah meninggalkan kehidupannya sebagai seorang perumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
Perumah tangga dalam artian ini dapat dilihat dalam wawancara dengan seorang Samanera merupakan laki-laki baru dalam Buddhis yang telah
meninggalkan kehidupan keduniawian namun mereka masih belum mengambil janji untuk menjalani kehidupan ke-Bhikkhuan sepenuhnya
Gakkai, 2002 dalam kutipan berikut: “Kata perumah tangga ini lebih mengarah pada mereka yang sudah
berkeluarga dan punya keluarga sendiri. Mereka yang punya istri, anak. Saat mereka menjadi Bhante akan tidak sama lagi. Kalau
dengan orang tua ya masih kontak. Saya aja masih kontak dengan orangtua. Orang tua kan orang yang patut dihormati cuman gak ada
istilah rumah saya lagi. Trus, kalau pulang ketempat orangtua atau istri... didekatnya gak da vihara harus tinggal divihara. Kalau gak
ada boleh tinggal dirumah. Tapi cuman maksimal tiga
hari.” Komunikasi Personal, 28 November 2011
Seorang Bhikkhu diharapkan sebisa mungkin menghindari harta atau benda-benda mewah. Seorang Bhikkhu sehendaknya menghindari
menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah Uccasayana mahasayana veramani. Pelanggaran terhadap sila ini terjadi
bila terdapat tiga unsur didalamnya, yaitu: 1 sesuatu yang tidak pantas diterima oleh bhikkhusamanera seperti tempat tidur atau tempat duduk
mewah dengan hiasan dan diisi dengan kapuk atau wool akappiyadharata 2 tempat tidur atau tempat duduk dengan kaki yang lebih tinggi dari yang
telah ditentukan 9 inci pamanatikkantamancapithata 3 tidur atau berbaring di tempat tidur itu atau duduk di tempat duduk itu
abhinisidanam va abhinipajjanam va Rashid, 1997. Hal ini terlihat pada hasil wawancara dengan seorang umat Buddha yang dekat dengan seorang
Bhante Theravada dan kutipan berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
“Mereka tidak boleh memasak sendiri ataupun tidur di tempat yang empuk seperti springbed. Tempat tidur mereka hanya sebatas
beralaskan papan.”
Komunikasi Personal, 07 September 2011 “Jika seorang Bhikkhu memiliki sebuah tempat tidur atau bangku
yang dilapisi kapuk, maka ia melakukan pacittiya”
Bhikkhu Jeto, 1989 Kebiasaan hidup lainnya dalam hal penghindaran terhadap hal-hal
mewah adalah menghindari menerima emas dan perak Jataruparajata patiggahana veramani. Pelanggaran peraturan pelatihan telah terjadi bila
terdapat tiga unsur pokok, yaitu: 1 emas, perak atau satu dari barang berharga yang digunakan sebagai alat tukar atau semacamnya
jataruparajatabhavo 2 menjadi miliknya sendiri Attuddesikata 3 perbuatan menerimanya sendiri atau memerintahkan orang lain untuk
menerimanya untuk dirinya sendiri atau tidak mencegah orang lain untuk berbuat demikian untuk dirinya sendiri patiggahanadisu annatarabhavo
Rashid, 1997. Berikut adalah hasil wawancara dengan salah seorang pengurus Vihara:
“Mereka gak pegang uang. Kalau kathina dikasih uang sama umat, kan ada yayasannya di vihara. Uangnya dikasih ke
yayasan.” Komunikasi Personal, 25 Oktober 2011
Dilihat dari sisi pengkonsumsian makanan, mereka hanya akan makan sebelum tengah hari. Bila waktu telah menunjukkan lebih dari jam 12,
maka mereka tidak akan memakan apapun lagi sampai esok pagi. Bila mereka mengkonsumsi makanan tersebut setelah tengah hari, maka mereka
telah melanggar salah satu sila yang ada. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
“Jika seorang Bhikkhu makan diluar jangka waktu yang telah ditentukannya yaitu dari tengah hari hingga fajar pada keesokan
harinya, maka ia melakukan pacittiya.”
Bhikkhu Jeto, 1989 Makanan yang dimakan oleh seorang Bhikkhu Theravada tersebut
berasal dari pemberian umat. Mereka dengan ikhlas menerima apapun yang diberikan oleh umat pada hari itu. Pemberian dari umat dapat mereka
terima dalam bentuk pindapata dimana mereka akan berjalan dengan membawa mangkok mereka pada pagi hari dan umat akan memberikan
makanan dengan mengisi makanan tersebut di mangkok mereka. Hal ini terlihat dari hasil wawancara berikut ini:
“Pagi ya mereka makannya dari pindapatta. Mereka jalan trus bawa mangkok gitu trus kita umat yang melihat ya diisi mangkoknya. Kalau
hari itu dapatnya cuman roti ya makannya hanya itu. Apa yang diberikan oleh umat akan mereka
makan.” Komunikasi Personal, 05 September 2012
Seseorang yang memutuskan untuk menjalani hidupnya sebagai
seorang Bhikkhu Theravada di Thailand akan menjalani pelatihannya disana. Tempat yang mereka tinggali disana bukan berupa kota besar ataupun kota
kecil melainkan hutan. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut ini: “Sewaktu tiba di Tanah Air, Bhikkhu Uttamo tidak mengenakan alas
kaki. Kebiasaan yang telah dilakukan sejak tinggal di hutan ini berlangsung sampai tahun ke tujuh beliau menjadi bhikkhu. Menurut
Bhikkhu Uttamo hal ini dilakukan karena hutan tempat beliau tinggal bersama 19 rekan bhikkhu lainnya memiliki luas sekitar 33 Ha dan
banyak ular berbisa yang melata di mana-mana Permata Indonesia, 2007.
Umat awam pada umumnya melihat kehidupan seorang Bhante
Theravada seperti yang diuraikan diatas, cukup sulit untuk dijalani. Untuk melepaskan diri dari materi dan hidup penuh kesederhanaan merupakan
Universitas Sumatera Utara
suatu kehidupan yang tidak dapat dijalani oleh semua orang begitu saja. Berikut hasil wawancara dengan beberapa Umat awam mengenai
pandangannya terhadap kehidupan sebagai seorang Bhikkhu Theravada: “untuk sekarang jalani kehidupan Theravada agak susah. karena
kadang-kadang pindapata juga ada yang gimana ya.. gak pastikan semua orang mo ngasih.. dulu orang kan banyak yang baik.. kalau
sekarang? trus perkembangan teknologi sekarang ini udah begitu pesat... pastikan Bhikkhu juga harus tau perkembangan teknologi juga
harus tau... sedikitnya sih... jadi susah lo... tantangannya susah ya kalo jadi Bhikkhu... dengan perkembangan teknologi yang ada banyak
godaan dalam menjalankan sila
mereka..” Komunikasi Personal, 05 September 2012
“melatih diri untuk menlenyapkan nafsu... itu sulit... melepaskan orangtua juga.. ada orangtua ada keluarga yang mao dijaga... ada
kewajiban.... jadi mereka mao makan sate juga gak bisa.. sulit... sekarang disuruh melepas nafsu keinginan untuk membeli barang itu
aja susah... karena dari kecil memang seperti itu... terbiasa seperti itu....
“ Komunikasi Personal, 06 September 2012
Namun Bhante Theravada sendiri melihat sila sebagai suatu bentuk tantangan dalam kehidupan. Bagi mereka, menjalankan sila merupakan
sesuatu yang membahagiakan yang dapat menguntungkan bukan hanya pada dirinya namun juga orang lain. Berikut hasil wawancara dengan seorang
Samanera mengenai pendapatnya terhadap Patimokha Sila: “Saya merasa senang, tertantang dan bahagia. Saya suka suatu
tantangan dan saya sangat senang menjalankannya. Menguntungkan diri saya dan orang lain pun dapat dampak baiknya. Dengan
menjalankan sila kita berbuat baik. Kalau orang banyak menjalankan sila dunia akan baik. Kalau orang gak mencuri kan rasanya
aman.” Komunikasi Personal, 26 Oktober 2011
Dari uraian diatas, terlihat bahwa seorang Bhante Theravada
menjalankan hidup sesuai dengan ajaran Buddhisme yang lebih menekankan pada kebahagiaan dimasa sekarang dan lebih menekankan diri dalam
Universitas Sumatera Utara
kehidupan beragama. Kebahagiaan mereka terlihat dalam buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2, Ajahn Bram, menyatakan ia berbahagia
dalam kehidupannya sebagai seorang Bhikkhu. Hal ini termuat dalam salah satu kisahnya dalam buku tersebut yang berjudul
“Kami Lebih Bahagia”. Berikut adalah kutipan dari cerita tersebut:
“sebagian orang berpikir bahwa menjadi biksu sangat membosankan. Namun sesungguhnya tidak. Saya mengalami banyak kesenangan
sebagai biksu, meski saya tidak mengharapkan terjadi sesuatu.”
Bram, 2010 Hasil wawancara dengan salah seorang Samanera mengenai
kebahagiaan dirinya dapat dilihat dari kutipan berikut ini: “Sebenarnya kalau dibilang mengenai kebahagiaan tu kompleks ya.
Misalnya saya hari ni mengenal anda saya bahagia. Trus saya kejedot pintu, saya sudah tidak bahagia. Saya saat itu bahagia
setelah itu saya jatuh saya sakit saya sudah tidak bahagia. Tapi bila ditanya mengenai mana yang lebih bahagia apakah saya yang
sekarang atau saya yang dulu. Saya merasa saya yang sekarang lebih
bahagia.” Komunikasi Personal, 26 November 2011
Terlihat bahwa kehidupan sebagai seorang Rohaniwan juga memiliki kebahagiaan tersendiri. Namun penekanan terhadap kebahagiaan pada masa
sekarang dan kehidupan beragama pastinya memiliki dinamika kebahagiaan
tersendiri. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat Bagaimana kebahagiaan pada Bhante Theravada
B. RUMUSAN MASALAH