Rancangan Unit Pembuatan Bioetanol dengan Bahan Baku Kulit Durian

(1)

RANCANGAN UNIT PEMBUATAN BIOETANOL

DENGAN BAHAN BAKU KULIT DURIAN

SKRIPSI

Oleh

LURI ADRIANI

090405018

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DESEMBER 2014


(2)

RANCANGAN UNIT PEMBUATAN BIOETANOL

DENGAN BAHAN BAKU KULIT DURIAN

SKRIPSI

Oleh

LURI ADRIANI

090405018

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN

PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DESEMBER 2014


(3)

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul:

RANCANGAN UNIT PEMBUATAN BIOETANOL DENGAN BAHAN BAKU KULIT DURIAN

dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini adalah hasil karya saya kecuali kutipan-kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya.

Demikian pernyataan ini diperbuat, apabila dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau merupakan hasil jiplakan maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Medan, 15 Desember 2014

Luri Adriani NIM 090405018


(4)

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan skripsi dengan judul “Rancangan Unit Pembuatan Bioetanol dengan Bahan Baku Kulit Durian”, berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana teknik.

Hasil penelitian ini:

1. Penelitian ini memberikan informasi tentang rancangan atau desain peralatan yang digunakan dalam pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian. Dan memberikan informasi tentang biaya pabrikasi dari peralatan-peralatan yang digunakan.

2. Penelitian ini mewujudkan proses zero emission dan zero waste.

Selama melakukan penelitian sampai penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar–besarnya kepada:

1. Dr. Eng. Ir. Irvan, M.Si. selaku Dosen Pembimbing sekaligus Ketua Departemen Teknik Kimia FT USU.

2. Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia sebagai Penyandang Dana.

3. Ir. Renita Manurung, MT selaku koordinator skripsi. 4. Dr. Ir. Taslim, M.Si selaku dosen penguji

5. Dr. Eng. Rondang Tambun, ST. MT selaku dosen penguji

6. Ir. Bambang Trisakti, M.Si selaku Kepala Laboratorium Proses Industri Kimia Departemen Teknik Kimia FT USU.


(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 15 Desember 2014 Penulis


(7)

DEDIKASI

Penulis mendedikasikan skripsi ini kepada:

1. Orang tua penulis, Masri Samsi dan Neni Warti atas semua doa dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis.

2. Seluruh anggota keluarga penulis terutama untuk kakak dan adik penulis, Lusi Adriani, S.Kom dan Luki Adriantoni atas doa dan dukungan yang telah diberikan.

3. Herypasc Adipasah, ST atas doa, semangat dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis.

4. Rekan penelitian, Reviana Revitasari, ST.

5. Seluruh sahabat serta teman sejawat penulis angkatan 2009 dan teman-teman di LPPM USU.

6. Staff pengajar dan seluruh jajaran keluarga besar Departemen Teknik Kimia FT USU.


(8)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama: Luri Adriani NIM: 090405018

Tempat/Tgl. Lahir: Tenggarong (Kal-Tim), 27 Agustus 1992

Nama orang tua: Masri Samsi Alamat orang tua:

Pemuda Darat Jl. Bengkalis Gg. Bhayangkara No. 5 Dumai-Riau

Asal Sekolah

• TK Barunawati I Dumai (1996-1997) • SD Negeri 016 Dumai (1997-2003) • SMP Negeri 2 Dumai (2003-2006) • SMA Negei 2 Dumai (2006-2009) Pengalaman Organisasi/Kerja:

1. Bendahara Umum HIMATEK Kepengurusan 2012/2013

2. Anggota Bidang PAL Covalen Study Group (CSG) Kepengurusan 2011/2012

3. Asisten Lab. Kimia Fisika modul Viskositas dan Kesetimbangan Cair-Cair.


(9)

ABSTRAK

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan bioetanol tergantung pada pemilihan bahan baku, proses dan ukuran peralatan. Dalam penelitian ini, sebuah unit pembuatan bioetanol berbahan baku kulit durian dirancang dengan kapasitas proses 100 liter. Peralatan yang dirancang antara lain peralatan pre-treatment, fermentor dan unit distilasi. Peralatan pre-treatment terdiri dari tangki pemasak awal, crusher, dan tangki bertekanan. Tangki pemasak awal terbuat dari bahan carbon steel SA-285 Grade C dengan diameter 45,10 cm dan tinggi 90,21 cm. Crusher yang dipergunakan untuk menghaluskan kulit durian membutuhkan daya sebesar 3,061 hp. Tangki bertekanan terbuat dari bahan carbon steel SA-283 Grade C dengan diameter 45,10 cm dan tinggi 90,21 cm. Tangki fermentor dirancang dengan diamater 43 cm dan tinggi 86 cm, dilengkapi dengan 2 buah pengaduk manual tipe paddle dan mempunyai diameter pengaduk 30 cm. Tangki distilasi terbuat dari bahan stainless steel dengan diameter 48 cm dan tinggi 54 cm, dilengkapi dengan heater untuk memanaskan larutan hasil proses fermentasi dan tangki air pendingin untuk mendinginkan bioetanol yang teruapkan. Waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus fermentasi dengan proses batch adalah 7 hari 7 jam. Waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus proses pembuatan bioetanol dengan proses batch adalah 8 hari 4 jam. Diuji kelayakan unit pembuatan bioetanol yang terdiri dari tangki fermentor dan tangki distilasi dengan kondisi proses fermentasi 7 hari dan konsentrasi ragi 6% dan distilasi pada suhu 80oC diperoleh kadar bioetanol hasil fermentasi sebesar 8,98% dan kadar bioetanol hasil distilasi sebesar 74,96%.


(10)

ABSTRACT

Equipments used in bioethanol production unit depends on the selection of raw material, process and plant size. In this research, the bioethanol production unit used durian peel as raw material was designed with capacity process of 100 liters. The designed equipments were pre-treatment equipments, fermenter and distillation unit where the pre-treatment equipments were consisted of cooking tank, crusher and pressured tank. Cooking tank was made of carbon steel SA-285 Grade C with 45,10 cm of diameter and 90,21 cm of height. Crusher was used to smooth durian peel and required power of 3,061 hp. Pressured tank was made of carbon steel SA-283 grade C with 45,10 cm of diameter and 90,21 cm of height. Fermenter tank was designed with 43 cm of diameter and 86 cm of height which was equipped with two manual paddle impeller of 30 cm in diameter. Distillation tank was made of stainless steel with 48 cm of diameter and 54 cm of height, which was equipped with heater to heat the liquid of fermentation process and cooling tank to cool vaporised bioethanol. The time required for one cycle of fermentation with batch process was 7 days and 7 hours. While the time required for one cycle of bioethanol production with batch process was 8 days and 4 hours. The feasibility of bioethanol production unit in which consisted of fermenter tank and distillation tank under condition process of 7 days and yeast concentration of 6% and distillation temperature of 80oC was tested. The results obtained were 8,98% of bioethanol concentration during fermentation and 74,96% of bioethanol concentration during distillation.


(11)

DAFTAR ISI

Hal

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i

PENGESAHAN UNTUK UJIAN SKRIPSI ii

PRAKATA iii

DEDIKASI v

RIWAYAT HIDUP PENULIS vi

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

DAFTAR SINGKATAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 LATAR BELAKANG 1

1.2 PERUMUSAN MASALAH 3

1.3 TUJUAN PENELITIAN 3

1.4 MANFAAT PENELITIAN 3

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 BIOETANOL 5

2.1.1 Kulit Durian 9

2.2 PROSES PEMBUATAN BIOETANOL 10

2.2.1 Tahap Persiapan Bahan Baku (Pre-Treatment) 11

2.2.2 Tahap Fermentasi 16

2.2.3 Tahap Pemurnian 20

2.3 PERALATAN YANG DIGUNAKAN DALAM

PROSES PEMBUATAN BIOETANOL 21

2.3.1 Peralatan Proses Perlakuan Awal 21


(12)

2.3.3 Peralatan Pemurnian 26

2.4 PENGADUKAN 27

2.5 BAHAN KONSTRUKSI 29

2.6 PENGEMBANGAN SKALA LABORATORIUM KE SKALA

PILOT 29

2.7 ANALISIS EKONOMI 31

2.7.1 Biaya Pabrikasi Peralatan 31

2.7.2 Biaya Operasional Pembuatan Bioetanol dengan Bahan Baku

Kulit Durian 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 35

3.1 LOKASI PENELITIAN 35

3.2 BAHAN PENELITIAN 35

3.3 PERALATAN UTAMA 35

3.3.1 Peralatan Pre-treatment 35

3.3.2 Tangki Fermentor 36

3.3.3 Tangki Distilator 37

3.4 ALAT UKUR, INDIKATOR DAN PANEL 38

3.4.1 Termokopel dan Termometer 38

3.4.2 Control Panel 38

3.4.3 Level Indikator 38

3.5 PROSEDUR PENELITIAN 39

3.5.1 Prosedur Penelitian Rancangan Penelitian 39 3.5.2 Prosedur Operasional Unit Pembuatan Bioetanol 39

3.6 PROSEDUR KALIBRASI DAN ANALISIS 40

3.6.1 Tes Kebocoran Peralatan 40

3.6.2 Kalibrasi Peralatan 40

3.6.3 Analisis Kadar Bioetanol dengan Gas Kromatografi (GC) 41

3.7 FLOWCHART PROSEDUR PENELITIAN 42

3.7.1 Flowchart Prosedur Penelitian Rancangan Peralatan 42 3.7.2 Flowchart Prosedur Operasional Unit Pembuatan Bioetanol 43

3.8 PROSEDUR KALIBRASI 44


(13)

3.8.2 Flowchart Prosedur Kalibrasi Suhu 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 46

4.1 PERANCANGAN PERALATAN UTAMA 46

4.1.1 Peralatan Pre-Treatment 46

4.1.2 Fermentor 50

4.1.3 Tangki Distilasi 54

4.1.3.1 Tangki Air Pendingin 56

4.2 TIME SCHEDULE PEMBUATAN BIOETANOL BERBAHAN BAKU

KULIT DURIAN 57

4.3 UJI KEBOCORAN DAN KALIBRASI SUHU 60

4.3.1 Uji Kebocoran 60

4.3.2 Kalibrasi Suhu 60

4.4 PENGUJIAN UNIT PEMBUATAN BIOETANOL 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 64

5.1 KESIMPULAN 64

5.2 SARAN 65

DAFTAR PUSTAKA 66


(14)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Bioetanol dari Bahan Baku Gula,

Pati dan Lignoselulosa 6

Gambar 2.2 Buah Durian 9

Gambar 2.3 Reaksi Pembentukan Bioetanol 17

Gambar 2.4 Stirred Tank Fermenter 24

Gambar 2.5 Air-Lift Fermenter 24

Gambar 2.6 Fluidised Bed Bioreactor 25

Gambar 2.7 Packed Bed Bioreactor 26

Gambar 2.8 Bejana dengan Pengaduk Propeller Berdaun Tiga dan Baffle 27

Gambar 2.9 Jenis-Jenis Pengaduk 28

Gambar 2.10 Tangki BerpengadukTurbin dengan 6 Daun (Blade) disertai Pola

Alirannya 28

Gambar 3.1 Flowchart Prosedur Penelitian Rancangan Penelitian 42 Gambar 3.2 Flowchart Prosedur Operasional Unit Pembuatan Bioetanol 43 Gambar 3.3 Flowchart Prosedur Tes Kebocoran pada Unit Pembuatan Bioetanol

(Fermentor, Distilator dan Tangki Air Pendingin) 44 Gambar 3.4 Flowchart Prosedur Kalibrasi Suhu pada Tangki Distilator 45 Gambar 4.1 Rancangan Teknikal Tangki Pemasak Awal 47 Gambar 4.2 Rancangan Teknikal Tangki Bertekanan (Tangki Hidrolisis) 50

Gambar 4.3 Desain Pengaduk Paddle 51

Gambar 4.4 Desain Teknikal Fermentor 52

Gambar 4.5 (a) Tangki Fermentor (b) Pengaduk di dalam Tangki 53

Gambar 4.6 Desain Teknikal Tangki Distilasi 55

Gambar 4.7 Tangki Distilasi 55

Gambar 4.8 Tangki Air Pendingin dan Koil Pendingin 57 Gambar 4.9 Flowsheet Pembuatan Bioetanol Berbahan Baku Kulit Durian 58 Gambar 4.10 Kalibrasi Suhu pada Tangki Distilator 61 Gambar L3.1 Kerangka Unit Pembuatan Bioetanol 81


(15)

Gambar L3.3 Dasar Tangki Distilasi 82

Gambar L3.4 Dasar Tangki Pendingin 82

Gambar L3.5 Rangkaian Unit Pembuatan Bioetanol 83 Gambar L4.1 Hasil Pembacaan Kadar Bioetanol Hasil Fermentasi menggunakan

GC 84

Gambar L4.1 Hasil Pembacaan Kadar Bioetanol Hasil Distilasi menggunakan


(16)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1.1 Pabrik Bioetanol di Indonesia 1

Tabel 1.2 Beberapa Penelitian yang Berhubungan dengan Pembuatan

Bioetanol 2

Tabel 2.1 Syarat Mutu Bioetanol Nabati 7

Tabel 2.2 Spesifikasi untuk Etanol Bahan Bakar Terdenaturasi 8 Tabel 2.3 Perlakuan Awal Biomassa Lignoselulosa untuk Produksi Bioetanol 12 Tabel 2.4 Rincian Biaya Peralatan Unit Pembuatan Bioetanol 32

Tabel 2.5 Rincian Biaya Bahan Baku 33

Tabel 2.6 Biaya Proses 33

Tabel 2.7 Biaya Pencucian Peralatan 33

Tabel 4.1 Spesifikasi Tangki Pemasak Awal 48

Tabel 4.2 Spesifikasi Tangki Bertekanan (Tangki Hidrolisis) 50

Tabel 4.3 Spesifikasi Fermentor 52

Tabel 4.4 Spesifikasi Tangki Distilasi 55

Tabel 4.5 Spesifikasi Tangki Air Pendingin 56

Tabel 4.6 Time Schedule Proses Pembuatan Bioetanol dengan Bahan Baku Kulit

Durian 59

Tabel L1.1 Data Kalibrasi Suhu Tangki Distilasi 70 Tabel L1.2 Data Percobaan Hasil Fermentasi dan Distilasi 70

Tabel L2.1 Spesifikasi Tangki Distilasi 79

Tabel L2.2 Spesifikasi Tangki Air Pendingin 80


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

LAMPIRAN 1 DATA PERCOBAAN 70

L1.1 DATA KALIBRASI SUHU TANGKI DISTILASI 70

L1.2 DATA PERCOBAAN HASIL FERMENTASI DAN DISTILASI 70

LAMPIRAN 2 PERHITUNGAN 71

L2.1 DASAR PEMILIHAN UKURAN PLANT 71

L2.2 PERHITUNGAN SPESIFIKASI PERALATAN 72

L2.2.1 Peralatan Pre-Treatment 72

L2.2.2 Fermentor 77

L2.2.3 Tangki Distilasi 79

L2.2.4 Tangki Air Pendingin 80

LAMPIRAN 3 DOKUMENTASI 81

L3.1 BAHAN DASAR PEMBUATAN UNIT PEMBUATAN

BIOETANOL 81

L3.2 RANGKAIAN UNIT PEMBUATAN BIOETANOL 83

LAMPIRAN 4 HASIL LABORATORIUM 84

L4.1 HASIL ANALISIS KADAR BIOETANOL HASIL

FERMENTASI 84

L4.2 HASIL ANALISIS KADAR BIOETANOL HASIL

DISTILASI 85

LAMPIRAN 5 PROSEDUR ANALISIS KADAR BIOETANOL 86

L5.1 PROSEDUR ANALISIS KADAR ETANOL MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI GAS 86

L5.1.1 Peralatan 86

L5.1.2 Penyiapan, Kalibrasi dan Standarisasi 87

L5.1.3 Prosedur Analisis 89


(18)

DAFTAR SINGKATAN

ALF Air-Lift Fermenter

ASTM American Standard Test Method

BBM Bahan Bakar Minyak

BPS Badan Pusat Statistik FBB Fluidisbed Bed Bioreactor GC Gas Chromatography LHW Liquid Hot Water

MEL Medco Ethanol Lampung MSG Monosodiumglutamate

NEDO New Energy Development and Industrial Technology Development Organization

PTPN PT. Perkebunan Nusantara SNI Standar Nasional Indonesia


(19)

ABSTRAK

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan bioetanol tergantung pada pemilihan bahan baku, proses dan ukuran peralatan. Dalam penelitian ini, sebuah unit pembuatan bioetanol berbahan baku kulit durian dirancang dengan kapasitas proses 100 liter. Peralatan yang dirancang antara lain peralatan pre-treatment, fermentor dan unit distilasi. Peralatan pre-treatment terdiri dari tangki pemasak awal, crusher, dan tangki bertekanan. Tangki pemasak awal terbuat dari bahan carbon steel SA-285 Grade C dengan diameter 45,10 cm dan tinggi 90,21 cm. Crusher yang dipergunakan untuk menghaluskan kulit durian membutuhkan daya sebesar 3,061 hp. Tangki bertekanan terbuat dari bahan carbon steel SA-283 Grade C dengan diameter 45,10 cm dan tinggi 90,21 cm. Tangki fermentor dirancang dengan diamater 43 cm dan tinggi 86 cm, dilengkapi dengan 2 buah pengaduk manual tipe paddle dan mempunyai diameter pengaduk 30 cm. Tangki distilasi terbuat dari bahan stainless steel dengan diameter 48 cm dan tinggi 54 cm, dilengkapi dengan heater untuk memanaskan larutan hasil proses fermentasi dan tangki air pendingin untuk mendinginkan bioetanol yang teruapkan. Waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus fermentasi dengan proses batch adalah 7 hari 7 jam. Waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus proses pembuatan bioetanol dengan proses batch adalah 8 hari 4 jam. Diuji kelayakan unit pembuatan bioetanol yang terdiri dari tangki fermentor dan tangki distilasi dengan kondisi proses fermentasi 7 hari dan konsentrasi ragi 6% dan distilasi pada suhu 80oC diperoleh kadar bioetanol hasil fermentasi sebesar 8,98% dan kadar bioetanol hasil distilasi sebesar 74,96%.


(20)

ABSTRACT

Equipments used in bioethanol production unit depends on the selection of raw material, process and plant size. In this research, the bioethanol production unit used durian peel as raw material was designed with capacity process of 100 liters. The designed equipments were pre-treatment equipments, fermenter and distillation unit where the pre-treatment equipments were consisted of cooking tank, crusher and pressured tank. Cooking tank was made of carbon steel SA-285 Grade C with 45,10 cm of diameter and 90,21 cm of height. Crusher was used to smooth durian peel and required power of 3,061 hp. Pressured tank was made of carbon steel SA-283 grade C with 45,10 cm of diameter and 90,21 cm of height. Fermenter tank was designed with 43 cm of diameter and 86 cm of height which was equipped with two manual paddle impeller of 30 cm in diameter. Distillation tank was made of stainless steel with 48 cm of diameter and 54 cm of height, which was equipped with heater to heat the liquid of fermentation process and cooling tank to cool vaporised bioethanol. The time required for one cycle of fermentation with batch process was 7 days and 7 hours. While the time required for one cycle of bioethanol production with batch process was 8 days and 4 hours. The feasibility of bioethanol production unit in which consisted of fermenter tank and distillation tank under condition process of 7 days and yeast concentration of 6% and distillation temperature of 80oC was tested. The results obtained were 8,98% of bioethanol concentration during fermentation and 74,96% of bioethanol concentration during distillation.


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Bioetanol merupakan senyawa alkohol yang diperoleh melalui proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme [1]. Biomassa yang dapat dijadikan bahan baku bioetanol antara lain bahan bergula, berpati dan berlignoselulosa [2]. Sebagai senyawa alkohol, kegunaan bioetanol sangat luas terutama bioetanol dapat dijadikan sebagai sumber energi terbarukan sesuai dengan Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional [3].

Perkembangan bioetanol di Indonesia saat ini cukup menjadi perhatian. Sudah banyak dilakukan penelitian-penelitian tentang pembuatan bioetanol dari berbagai bahan baku biomassa pada skala laboratorium. Bahkan sudah banyak berdiri pabrik-pabrik bioetanol dengan bahan baku biomassa. Tabel 1.1 menampilkan beberapa pabrik bioetanol yang sudah beroperasi di Indonesia.

Tabel 1.1 Pabrik Bioetanol di Indonesia [4, 5, 6]

Tahun Produsen Lokasi Total Produksi

(KL/Ta hun)

Bahan Baku

2006 PT. Molindo Raya Malang 10.000 Molase

2008 PT. Molindo Raya-PTPN X PT. Indo Lampung

Distillery PT. Medco Etanol (Tutup

2013) PT-RNI Biochoi Kediri Lampung Lampung Pasuruan 40.000 20.000 22.000 40.000 Molase Molase Ubi Kayu Molase 2009 PT. Molindo Raya

PT. Etanol Indonesia Sampoerna Group Lampung Banten Ponogoro 40.000 35.000 73.486 Molase Ubi Kayu Ubi Kayu

2010 PT. Indo Acidatama Lampung 50.000 -

2013 PTPN X Mojokerto 30.000 Molase

Bioetanol sangat menjanjikan untuk menjadi bahan bakar alternatif, selain ramah lingkungan, ketersediaan bahan baku yang berkesinambungan menjadi pilihan tepat bioetanol untuk lebih dikembangkan. Oleh karena itu, ada baiknya hasil penelitian skala laboratorium dikembangkan menjadi skala yang lebih besar


(22)

dengan membangun unit pembuatan bioetanol. Penelitian ini merancang unit pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian. Tabel 1.2 menampilkan beberapa penelitian yang berhubungan dengan rancangan unit pembuatan bioetanol.

Tabel 1.2 Beberapa Penelitian yang Berhubungan dengan Rancangan Unit Pembuatan Bioetanol [7, 8, 9]

No. Nama Peneliti, Tahun

Keterangan

1. Guritno, dkk., 2011 Merancang unit pembuatan bioetanol berbahan baku kulit singkong dengan kapasitas 100 liter proses yang terdiri dari pemarut, tangki pemasak, fermentor dan distilator.

2. Rahmat, dkk., 2012 Merancang dan Membangun unit produksi bioetanol terdiri dari fermentor, distilator, dan kondensor.

3. Wooley, et all., 1999 Membangun plant bioetanol dengan pendekatan enzimatis dan menghitung biaya yang diperlukan.

Adapun yang menjadi pertimbangan dalam mendesain unit proses pembuatan bioetanol adalah pemilihan bahan baku, pemilihan teknologi proses dan konfigurasi, dan ukuran dari plant yang akan dibuat [9]. Pemilihan kulit durian sebagai bahan baku bioetanol disebabkan kulit durian merupakan sampah yang belum termanfaatkan dan dapat menurunkan nilai estetika suatu kota. Selain itu, buah durian selalu ada di Kota Medan sehingga bahan baku yang dibutuhkan akan selalu berkesinambungan dan tentunya tidak mengganggu ketahanan pangan.

Teknologi proses produksi bioetanol secara umum yaitu perubahan biomassa menjadi glukosa, fermentasi dan pemurnian. Proses yang dipilih harus disesuaikan dengan bahan baku yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan bahan baku kulit durian yang merupakan bahan berlignoselulosa, sehingga membutuhkan proses pre-treatment untuk merubah bahan tersebut menjadi glukosa. Proses yang dipilih yaitu liquid hot water (LHW), pemasakan bahan lignoselulosa dengan cairan air panas pada tekanan tinggi. Kemudian glukosa tersebut difermentasikan secara anaerob dengan bantuan Saccharomyces cerevisisae dan hasil fermentasi dimurnikan dengan proses distilasi sehingga mendapatkan bioetanol dengan kadar yang lebih tinggi. Sehingga dalam penelitian ini dirancang unit pembuatan


(23)

bioetanol dari kulit durian antara lain peralatan pengecilan ukuran bahan baku, bejana bertekanan untuk proses pre-treatment, fermentor, distilator yang dilengkapi tangki pendingin.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana menerapkan penelitian yang telah dilakukan dalam skala laboratorium menjadi skala produksi yang lebih besar, yang nantinya bisa diterapkan dalam skala komersil.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk:

1. Merancang unit pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian yang terdiri dari peralatan pre-treatment, fermentor dan distilator.

2. Mengetahui waktu siklus proses batch dalam pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian.

3. Melakukan kalibrasi dan mendapatkan unjuk kerja peralatan utama yaitu fermentor dan distilator.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian yang akan dilakukan antara lain yaitu :

1. Sebagai informasi tentang produksi bioetanol dengan bahan baku kulit durian sehingga dapat diterapkan di masyarakat.

2. Dari rancangan atau desain yang telah dibuat dapat menjadi acuan sehingga dapat dilakukan scale up untuk menghasilkan produksi yang lebih besar.

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian di lakukan di Laboratorium Ekologi Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara dan Lembaga Pusat Penelitian Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam merancang unit pembuatan bioetanol tersebut antara lain:


(24)

1. Penentuan ukuran dan merancang peralatan pre-treatment, fermentor, distilator dan tangki air pendingin yang dapat digunakan dalam pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian.

2. Pabrikasi peralatan yang terdiri dari fermentor, distilator dan tangki air pendingin.

3. Menguji kelayakan unit pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian berdasarkan kadar bioetanol yang dihasilkan sesuai dengan standar yang ditentukan.

Penelitian uji kelayakan unit bioetanol yang terdiri dari fermentor dan distilator dilakukan dengan kondisi proses sebagai berikut:

1. Fermentasi

- Waktu : 7 hari

- Ragi yang ditambahkan : 6% dari berat bahan baku 2. Distilasi

- Waktu : 3 jam

- Suhu : 80oC

Parameter uji atau analisa dalam penelitian ini terdiri dari uji peralatan dan analisis kadar etanol dari bioetanol yang dihasilkan pada proses fermentasi dan distilasi.

1. Uji Peralatan terdiri dari uji kebocoran dari tangki fermentor, distilator, dan tangki air pendingin. Serta kalibrasi suhu dari tangki distilator.

2. Analisis kadar etanol dari bioetanol yang dihasilkan pada proses fermentasi dan distilasi menggunakan peralatan gas kromatografi (GC) sesuai dengan standar metode ASTM D5501 di dalam SNI 7390.2012.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIOETANOL

Bioetanol merupakan etanol atau alkohol yang diproduksi melalui proses fermentasi bahan biomassa (yang mengandung gula, pati atau selulosa) dengan bantuan mikroorganisme. Hal ini berbeda dengan etanol sintetik yang dihasilkan dari sumber petrokimia. Etanol atau etil alkohol merupakan cairan jernih tidak berwarna, berbau khas, mudah menguap, mempunyai titik didih 78oC dan titik beku -117oC, dan mempunyai bilangan oktan yang relatif tinggi [10].

Adapun beberapa tanaman yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol adalah [11] [12]:

1. Bahan bergula, substrat yang umum digunakan untuk pembuatan bioetanol berasal dari biomassa yang mengandung gula. Kelebihan dari bahan baku sumber gula ini yaitu dapat langsung dilakukan proses fermentasi gula menjadi etanol, sehingga proses menjadi lebih sederhana. Bahan bergula yang sering digunakan seperti molase (tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira aren (enau).

2. Bahan berpati, pembuatan bioetanol dengan bahan baku sumber pati mempunyai proses yang lebih panjang dibanding dengan berbahan baku sumber gula. Pati diubah dulu menjadi glukosa melalui hidrolisis asam ataupun enzimatis untuk menghasilkan glukosa, kemudian gula difermentasi untuk menghasilkan etanol. Tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan bakubioetanol dari sumber pati antara lain, ubi kayu atau singkong, tepung sagu, biji jagung, biji shorgum, kentang, ganyong, garut dan umbi dahlia. 3. Bahan berlignoselulosa (berserat), bahan baku sumber serat kebanyakan

berasal dari limbah pertanian. Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen fraksi serat, yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa inilah yang dijadikan sumber bahan baku bioetanol dengan merubahnya terlebih dahulu menjadi gula. Adapun yang berpotensi menjadi bahan baku sumber serat seperti limbah logging, limbah pertanian (jerami padi, ampas tebu, tongkol jagung, onggok), batang pisang, dan serbuk gergaji.


(26)

Secara umum, tahapan dalam pembuatan bioetanol memerlukan langkah fermentasi mengubah gula menjadi etanol, serta proses distilasi untuk memisahkan alkohol dari air. Perbedaan proses pembuatan bioetanol dari bahan baku gula, pati dan lignoselulosa dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Bioetanol dari Bahan Baku Gula, Pati dan Lignoselulosa [11]

Pada tabel 2.1 akan ditampilkan syarat mutu etanol nabati berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI).

Gula Pati Bahan

Lignoselulosa

Penanakan Pengolahan

Awal

Sakarifikasi (Hidrolisis

ringan)

Sakarifikasi (Hidrolisis

berat)

Fermentasi alkoholik dan

Pemisahan

Bioetanol


(27)

Tabel 2.1 Syarat Mutu Etanol Nabati [13]

No. Uraian Persyaratan Mutu

Satuan Mutu 1 Mutu 2 Mutu 3 1. Kadar etanol pada 15oC % v/v

% b/b Min. 96,3 Min. 94,4 Min. 96,1 Min. 94,1 Min. 95,0 Min. 92,5 2. Bahan yang dioksidasikan

pada 15oC (waktu uji permanganat)

menit Min. 30 Min. 15 -

3. Minyak fusel mg/L Maks. 4 Maks. 15 -

4. Aldehid (sebagai asetaldehid)

mg/L Maks. 4 Maks. 10 -

5. Keasaman (sebagai asam asetat)

mg/L Maks. 20 Maks. 30 Maks. 60

6. Sisa penguapan maksimum mg/L Maks. 25 Maks. 25 Maks. 50

7. Metanol mg/L Maks. 10 Maks. 30 Maks. 100

Bioetanol biasanya dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat minuman keras, untuk keperluan medis, sebagai zat pelarut, dan yang sedang popular saat ini adalah pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif [14]. Banyak sekali keuntungan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi. Faktor utama yang menjadi pertimbangan adalah biomassa yang menjadi bahan baku produksi bioetanol merupakan sumber energi terbarukan (renewable resources). Selain itu, penggunaan bahan bakar etanol dapat dikatakan tidak memberikan tambahan netto karbondioksida pada lingkungan karena CO2 yang dihasilkan dari pembakaran etanol diserap kembali oleh tumbuhan dan dengan bantuan sinar matahari digunakan dalam proses fotosintesis. Pertimbangan ketiga adalah sebagai bahan bakar, bioetanol memiliki nilai oktan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan peningkat oktan (octane enhancer), menggantikan penggunaan senyawa eter dan logam berat seperti Pb sebagai “anti-knocking agent’ yang memiliki dampak buruk bagi lingkungan. Dengan nilai oktan yang tinggi, proses pembakaran menjadi lebih sempurna dan emisi gas buang hasil pembakaran dalam mesin kendaraan bermotor menjadi lebih baik [12]. Pada Tabel 2.2 akan ditampilkan spesifikasi untuk etanol bahan bakar terdenaturasi (denatured fuel ethanol) berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).


(28)

Tabel 2.2 Spesifikasi untuk Etanol Bahan Bakar Terdenaturasi [15]

No. Parameter Satuan Nilai Metode Tes

1. Etanol % v/v, min 99,5 ASTM D5501

2. Metanol % v/v, max 0,5 ASTM D5501

3. Kandungan air % v/v, max 0,7 ASTM E203

4. Keasaman (sebagai asam asetat)

mg/L, max 30 ASTM D1613

5. Kandungan klorida (Cl-) mg/L, max 2,0 ASTM D1613 6. Kandungan denaturant % v/v, max 2-5 ASTM D7304

7. Kandungan Sulfur mg/L, max 50 ASTM D2622

8. Kandungan Sulfur mg/kg, max 0,1 ASTM D1688

9. Tampilan visual Terlihat bebas dari kontaminan yang tersuspensi dan terendap (Bersih dan terang)

Pengamatan visual

Perkembangan bioetanol di dunia juga disebabkan karena isu pemanasan global, yaitu dengan semakin tingginya emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh revolusi hijau, aktivitas industri, pembakaran BBM dan pembakaran hutan [16]. Perkembangan bioetanol di Indonesia sangat menjanjikan, karena di Indonesia banyak tersedia bahan baku yang dapat diubah menjadi bioetanol [17]. Dikutip dari Detik Finance pada 20 Agustus 2013, Dahlan Iskan meresmikan Pabrik Bioetanol milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X yang berlokasi di Kecamatan Gedeg, Mojokerto. Pabrik ini didirikan dari hasil kerja sama antara New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang dengan Kementerian Perindustrian Indonesia berbahan baku tetes tebu (molases) yang memiliki kapasitas produksi 30 juta liter per tahun [5].

Penggunaan bahan baku pembuatan bioetanol dari bahan berpati atau berglukosa tentunya mempunyai kendala. Misalnya penggunaan molase dan bahan berpati sebagai bahan baku pembuatan etanol akan berkompetisi dengan bahan baku pembuatan MSG (monosodiumglutamate) dan berkompetisi dengan kebutuhan sumber pangan di Indonesia [18]. Seperti halnya PT. Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) menutup anak usaha, PT. Medco Ethanol Lampung (MEL) yang menghasilkan etanol. Penghentian kegiatan operasi dan penutupan pabrik etanol dikarenakan tidak mencukupinya pasokan bahan baku singkong dan tetes tebu untuk produksi etanol [6].


(29)

Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu ditemukan sumber bahan baku lain yang mengandung polisakarida dan tidak dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Salah satu bahan yang tidak atau belum dimanfaatkan dan berpotensi sebagai bahan baku bioetanol adalah kulit durian.

2.1.1 Kulit Durian

Buah Durian (Durio zibethinus) merupakan buah tropika yang banyak tumbuh di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia dan lain-lain. Ciri buahnya, bentuknya besar, bulat/oval dengan aroma rasa, baunya khas dan menjadi buah primadona yang banyak disukai masyarakat Indonesia, tak terkecuali masyarakat Medan dan sekitarnya [19]. Kandungan daging buah durian merupakan 20-35% dari berat buah, sedangkan bijinya 5-15%, sisanya berupa kulit 60-75% [20]. Gambar buah durian ditampilkan pada gambar 2.2 terlihat bahwa kandungan kulit dari buah durian merupakan bagian terbesar dari buah durian.

Gambar 2.2 Buah Durian [21]

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi panen buah durian di daerah Sumatera Utara pada tahun 2011 adalah sebesar 579.471 ton/tahun [22]. Dari literatur, dapat dihitung jumlah kulit durian yang diproduksi setiap panennya adalah sebesar 376.656,15 ton/tahun. Untuk itu diperlukan pemikiran lebih lanjut untuk mengatasi masalah volume sampah kulit durian yang tinggi dengan meningkatkan nilai tambah bagi sampah kulit durian sehingga dapat termanfaatkan [23].


(30)

Apabila dilihat dari karakteristik bentuk dan sifat-sifat kulitnya, sebenarnya banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari kulit buahnya misalnya untuk bahan campuran papan partikel, papan semen, arang briket, arang aktif, filler, campuran untuk bahan baku obat nyamuk dan lain-lain [19].

Kehidupan orangtua kita dulu sebenarnya sudah mampu menjawab permasalahan lingkungan terkait dengan menumpuknya kulit durian yang akhirnya menjadi limbah tersebut, mereka telah memanfaatkan limbah kulit durian ini dengan menyusunnya di atas tempat memasak, setelah kering dibakar untuk pengusir nyamuk pada malam hari, atau sebagai bahan bakar memasak sehingga ini merupakan indikasi bahwa bahan ini dapat diolah menjadi produk-produk tertentu yang bermanfaat dan berdaya guna [24].

Dalam penelitian ini, dilakukan inovasi baru dalam pemanfaatan kulit durian yaitu sebagai bahan baku bioetanol sehingga mempunyai nilai ekonomis. Kulit durian secara proposional mengandung unsur selulosa yang tinggi (50-60%) dan kandungan lignin (5%) serta kandungan pati yang rendah (5%) [19]. Dengan unsur selulosa yang tinggi, kulit durian dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.

2.2 PROSES PEMBUATAN BIOETANOL

Inti dari proses pembuatan bioetanol adalah fermentasi gula dengan bantuan mikroorganisme. Bahan baku yang terdiri dari bahan bergula, bahan berpati dan bahan berselulosa terlebih dahulu dikonversi menjadi gula sehingga dapat di fermentasi menjadi etanol dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang biasanya digunakan adalah ragi Saccharomyces cerevisiae atau Saccharomyces elipsoides. Beberapa bakteri seperti Zymomonas mobilis juga diketahui memiliki kemampuan untuk melakukan fermentasi untuk memproduksi etanol [12].

Proses pembuatan bioetanol dengan cara fermentasi sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan [12]. Secara umum proses pembuatan bioetanol meliputi tiga tahapan, yaitu persiapan bahan baku (pre-treatment), fermentasi dan pemurnian.


(31)

2.2.1 Tahap Persiapan Bahan Baku (Pre-treatment)

Tahap persiapan bahan baku proses produksi bioetanol masing-masing bahan berbeda perlakuannya. Tujuan dari proses persiapan bahan baku ini adalah mengkonversi bahan baku menjadi gula sehingga lebih mudah difermentasi.

2.2.1.1 Tahap Persiapan Bahan Bergula

Bahan bergula tidak melalui proses perlakuan awal karena sudah terdapat kandungan gula sehingga sudah dapat dilakukan proses fermentasi gula menjadi etanol, sehingga proses menjadi lebih pendek dan sederhana [11].

2.2.1.2 Tahap Persiapan Bahan Berpati

Bioetanol dari bahan baku sumber pati dapat dibuat melalui beberapa tahapan, yaitu ekstraksi pati, likuifikasi, sakarifikasi, dan kultivasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Ekstraksi pati dilakukan dengan pemarutan kemudian pengepresan. Proses likuifikasi dari pati yang dihasilkan dan sakarifikasi untuk mendapatkan glukosa dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu secara asam dan secara enzimatis. Hidrolisis secara asam dapat menghasilkan derajat konversi pati menjadi glukosa lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis secara enzimatis. Namun demikian, hidrolisis enzimatis dapat dilakukan secara simultan dengan fermentasi [12].

2.2.1.3 Tahap Persiapan Bahan Berlignoselulosa

Pada bahan berlignoselulosa terdapat perlakuan awal atau pretreatment yaitu menghilangkan kandungan lignin untuk diperoleh gula sederhana. Terdapat tiga proses perlakuan awal atau pretreatment, yaitu secara biologi, kimia, dan fisik/mekanis [11]. Untuk bahan berserat biasanya proses pre-treatment juga berfungsi untuk merusak lignin yang menghambat proses fermentasi, dapat ditambahkan senyawa basa seperti NaOH [18]. Pada tabel 2.3 terlihat beberapa perlakuan awal terhadap bahan lignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol.


(32)

Tabel 2.3 Perlakuan Awal Biomassa Lignoselulosa untuk Produksi Bioetanol [11] Perlakuan Awal Proses Perubahan pada Biomassa Mekanik atau Fisik Milling and Grinding

Ball milling Two-roll milling Hammer milling Colloid milling Vibratory ball milling Irradiation

• Sinar gamma • Electron beam Microwave a

• Hydrothermal • Eksplosi uap panas • Pirolisis dan air panas

• Mengurangi ukuran partikel

• Meningkatkan luas permukaan kontak dengan enzim • Mengurangi

kristalisasi selulosa

Kimia dan Fisik-Kimia Alkali

• Sodium hidroksida • Ammonia

• Ammonium sulfat • Ammonia Recycle Percolation (ARP) • Kapur (lime) Asam

• Asam sulfat, asam

• Meningkatkan area permukaan yang mudah diakses

• Delignifikasi sebagian atau keseluruhan • Menurunkan

kristalisasi selulosa • Menurunkan derajat

polimerisasi • posfat, asam

hidroklorat

• Clorin dioksida • Nitrogen dioksida • Sulfur dioksida Agen oksidasi

• Hidrogen peroksida • Ozone

• Oksidasi basah Pelarut untuk ekstraksi lignin

• Ekstraksi etanol-air • Ekstraksi benzene-air • Ekstraksi etlin glikol Ekstraksi butanol air

• Hidrolisis

hemiselulosa sebagian atau keseluruhan

Biologi Fungi Pelapuk Putih

Phanerochaete chrsosporium, Pleurotus ostreatus,

• Delignifikasi • Penurunan derajat


(33)

Perlakuan Awal Proses Perubahan pada Biomassa • Trametes versicolor,

Pycnoporus,

Ischnoderma, Phlebia Actinomycetes

• Penurunan derajat kristalisasi selulosa

Kombinasi • Alkali pulping dengan steam explosion Grinding diikuti

alkaline atau acid treatment

• Mendegredasi hemiselulosa • Delignifikasi • Meningkatkan area

permukaan dan ukuran pori

a. Perlakuan Pendahuluan Fisika (Physical pretreatment)

Pretreatment fisika dapat meningkatkan luas permukaan yang diakses dan ukuran pori-pori, serta mengurangi kristalinitas dan derajat polimerisasi selulosa. Berbagai jenis proses fisik seperti penggilingan (misalnya ball milling, two-roll milling, hammer milling, colloid milling, dan vibro energy milling) dan iradiasi (misalnya dengan sinar gamma, berkas elektron atau microwave) dapat digunakan untuk meningkatkan hidrolisis enzimatik atau biodegradasi bahan limbah lignoselulosa. Penggilingan dapat digunakan untuk mengubah ultrastruktur melekat lignoselulosa dan derajat kristalinitas, dan akibatnya membuatnya lebih menerima selulosa. Penggilingan dan pengecilan ukuran telah diterapkan sebelum hidrolisis enzimatik, atau proses pretreatment lainnya seperti dengan asam encer, uap atau amonia, pada beberapa bahan limbah lignoselulosa [25]. Studi tentang efisiensi dari penggilingan (milling) dan dilanjutkan dengan proses kimia telah dilakukan [26]. Pengecilan ukuran dilakukan dengan menggunakan hammer milling dan disk milling. Hasil yang diperoleh menunjukkan disk milling lebih efektif dari pada hammer milling karena pada hammer milling akan terbentuk ikatan serat. Selanjutnya proses pendahuluan kimia tidak hanya meningkatkan konversi selulosa tetapi juga mengurangi konsumsi energi penggilingan mekanik secara signifikan.

Sedangkan, iradiasi dapat meningkatkan hidrolisis enzimatik dari lignoselulosa. Kombinasi radiasi dan metode lain seperti perlakuan asam dapat lebih mempercepat hidrolisis enzimatik. Iradiasi telah meningkatkan degradasi enzimatik selulosa menjadi glukosa [25]. Pre-treatment microwave merupakan alternatif bagus untuk dapat mengurangi waktu perlakuan pada suhu tinggi.


(34)

Dalam studi yang dilakukan Binod, et al membandingkan tiga tipe dari pre-treatment microwave, yaitu microwave-asam, microwave-alkali, dan kombinasi keduanya. Diperoleh hasil dengan perlakuan microwave kombinasi alkali dan asam dengan 1% NaOH dan 1% asam sulfat meningkatkan perolehan gula 0,83 g/g biomassa kering dan mempunyai waktu yang singkat dari ketiga microwave tersebut [27].

b. Perlakuan Pendahuluan Fisika-Kimia (Physico-chemical pretreatment)

Perlakuan pendahuluan dengan kombinasi diantara proses kimia dan fisika disebut sebagai physico-chemical pretreatment. Adapun beberapa proses yang penting termasuk dalam perlakuan ini antara lain Eksplosi uap panas (autohydrolisis), Eksplosi uap panas dengan penambahan SO2, Eksplosi ammonia (AFEX), Eksplosi CO2, dan Liquid Hot Water pretreatment.

Di antara proses fisika-kimia, steaming dengan atau tanpa eksplosi (autohydrolisis) cukup mendapat perhatian untuk pretreatment bahan lignoselulosa. Pada proses ini menghilangkan sebagian besar hemiselulosa, sehingga meningkatkan proses enzimatik. Proses ini sudah banyak diuji skala lab maupun pilot plant oleh kelompok peneliti dan perusahaan. Biaya energi yang relatif dapat terpenuhi memenuhi persyaratan proses pretreatment.

Selain pengunaan uap panas, perlakuan lainnya seperti cairan air panas (LHW) juga dapat diperhitungkan. Memasak bahan lignoselulosa dalam cairan air panas adalah salah satu metode pretreatment hidrotermal yang diterapkan untuk pretreatment bahan lignoselulosa sejak beberapa dekade yang lalu, misalnya industri pulp. Air di bawah tekanan tinggi dapat menembus ke dalam biomassa, selulosa hidrat, dan menghilangkan hemiselulosa dan lignin. Keuntungan utama adalah tidak ada penambahan bahan kimia dan tidak ada kebutuhan bahan tahan korosi untuk reaktor hidrolisis dalam proses ini. Pengurangan ukuran bahan baku adalah operasi yang sangat menuntut energi untuk sebagian besar bahan pada skala komersil, tidak akan ada kebutuhan untuk pengurangan ukuran di LHW pretreatment. Selain itu, proses ini memiliki kebutuhan yang jauh lebih rendah dari bahan kimia untuk netralisasi hidrolisat yang dihasilkan, dan menghasilkan lebih rendah jumlah residu netralisasi dibandingkan dengan banyak proses seperti


(35)

perlakuan asam. Karbohidrat hemiselulosa yang terlarut sebagai oligosakarida dan dipisahkan dari selulosa yang tidak larut dan fraksi lignin. LHW dapat memperbesar daerah permukaan akses selulosa dan membuatnya lebih mudah mengalami hidrolisis enzim [25]. Pre-treatment dengan proses LHW sudah dilakukan scale-up untuk skala industri, biaya yang dikeluarkan untuk proses LHW sekitar $0,84 / galon etanol yang dihasilkan [28].

c. Perlakuan Pendahuluan Kimia (Chemical pretreatment)

Perlakuan pendahuluan kimia diantaranya hidrolisis alkali, alkali peroksida, proses organosolv, oksidasi basah, proses ozon, dan hidrolisis asam. Dengan menggunakan proses ini beberapa perubahan biomassa yang terjadi antara lain: meningkatkan area permukaan yang mudah diakses, delignifikasi sebagian atau keseluruhan, menurunkan kristalisasi selulosa, menurunkan derajat polimerisasi, hidrolisis hemiselulosa sebagian atau keseluruhan [11]. Seperti namanya proses ini menggunakan bahan-bahan kimia dalam mendegradasi bahan lignoselulosa tersebut, diantaranya natrium hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida (Ca(OH)2), ozon (O3), hidrogen peroksida (H2O2), asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl), asam nitrat (HNO3) dan lain sebagainya [25].

Perlakuan pendahuluan kimia sudah banyak dilakukan salah satunya adalah hidrolisis asam. Penelitian yang dilakukan oleh Unhasirikul et al tentang produksi gula dari bahan baku kulit durian dengan perlakuan hidrolisis asam. Asam yang digunakan antara lain asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl), dan asam posfat (H3PO4) dengan konsentrasi 0,5-2,0% dan dihidrolisis di dalam autoclave. Diperoleh hasil bahwa efisiensi hidrolisis asam ini mencapai lebih dari 70%. Hidrolisis asam dengan H2SO4 dan HCl ditemukan glukosa, fruktosa dan xilose, sedangkan dengan H3PO4 ditemukan glukosa dan fruktosa [29].

Penggunaan bahan kimia tersebut, tidak mempengaruhi hidrolisis enzimatik, tetapi mereka biasanya menghambat pertumbuhan mikroba dan fermentasi, yang menghasilkan yield dan produktivitas etanol menurun. Selain bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk proses pretreatment, dibutuhkan juga bahan-bahan kimia untuk netraslisasi hidrolisat yang dihasilkan dan akan menghasilkan residu netralisasi yang lebih besar. Oleh karena itu, pretreatment pada pH rendah harus


(36)

dipilih dengan benar untuk menghindari atau setidaknya mengurangi formasi inhibitor ini [25].

d. Perlakuan Pendahuan Biologi (Biological pretreatment)

Mikroorganisme juga dapat digunakan untuk merubah bahan lignoselulosa dan meningkatkan hidrolisis enzimatik. Serangan biologis dari mikroorganisme tersebut mendegradasi lignin dan hemiselulosa, dan hanya sedikit bagian selulosa yang diserang. Beberapa jamur, misalnya brown-, white- dan soft-rot fungi, telah digunakan untuk tujuan ini. Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang paling efektif untuk pretreatment biologis lignoselulosa. Kebutuhan energi yang rendah, tidak memerlukan bahan kimia, dan kondisi lingkungan yang ringan adalah keuntungan utama dari pretreatment biologi. Namun, proses ini masih sangat sedikit digunakan [25]. Studi tentang perlakuan biologi dilakukan oleh Lee et al mengevaluasi perlakuan biologi pada Pinus densiflora (Pinus merah Jepang) dengan menggunakan tiga tipe white rot fungi yaitu Cerioria lacerata, Stereum hirsutum dan Polypirus brumalis. Dari ketiga jamur tersebut perlakuan menggunakan S.hirsutum menunjukkan hasil yang lebih baik dari jamur lainnya, aktivitas penghilangan lignin yang tinggi dan aktivitas penghilangan selulosa yang rendah [30].

2.2.2 Tahap Fermentasi

Tahap selanjutnya dalam produksi bioetanol adalah fermentasi. Fermentasi merupakan tahap paling kritis dalam produksi etanol. Semua sumber bahan baku, yaitu sumber gula, pati dan serat, setelah menjadi gula, prosesnya sama yaitu fermentasi. Fermentasi merupakan proses biokimia dimana mikroba yang berperan dalam fermentasi akan menghasilkan enzim yang mampu mengonversi substrat menjadi etanol [12].

Fermentasi bioetanol termasuk dalam fermentasi anaerob. Pada tahap ini, gula-gula sederhana akan dikonversi menjadi etanol dengan bantuan ragi dan enzim [11]. Pada umumnya fermentasi etanol menggunakan khamir Saccharomyces cerevisiae. Produksi etanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cerevisiae merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat


(37)

sederhana. Disebut sederhana karena hanya melibatkan satu fase pertumbuhan dan produksi, pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan menjadi biomassa, etanol dan CO2 [31]. Selanjutnya ragi akan menghasilkan etanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8-12% (biasa disebut cairan beer), dan kemudian ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi. Tahap ini menghasilkan gas CO2 sebagai produk samping dan sludge sebagai limbahnya [11].

Berikut adalah reaksi pembentukan etanol menjadi glukosa:

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

Glukosa Etanol Karbondioksida

Gambar 2.3 Reaksi Pembentukan Bioetanol [31]

Fermentasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk suhu, pH, sifat dan komposisi medium, O2 terlarut, CO2 terlarut, sistem operasional (misalnya batch, fed batch, kontinu), pencampuran, dan kecepatan dalam fermentor. Variasi faktor-faktor ini dapat mempengaruhi: tingkat fermentasi, spektrum produk dan hasil, sifat organoleptik produk (penampilan, rasa, bau dan tekstur), kualitas gizi, dan sifat fisika-kimia [32].

Tahapan dalam proses fermentasi dapat dibagi menjadi [33]:

1. Pengolahan hulu yang melibatkan persiapan medium cair, pemisahan partikulat dan bahan kimia hambat dari media, sterilisasi, pemurnian udara.

2. Fermentasi yang melibatkan konversi substrat untuk produk yang diinginkan dengan bantuan agen biologis seperti mikroorganisme.

3. Pengolahan hilir yang melibatkan pemisahan sel dari kaldu fermentasi, pemurnian dan konsentrasi produk yang diinginkan dan pembuangan limbah atau daur ulang.


(38)

Pengendalian Kondisi Fermentasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi adalah : 1) Suhu

Khamir akan tumbuh pada suhu 30 sampai 35oC. Adapun proses fermentasi yang optimum terjadi pada suhu tinggi yaitu antara 30-38 oC. Selama proses fermentasi, akan dihasilkan ATP yang menghasilkan panas, sehingga terjadi kenaikan suhu. Kenaikan suhu selama fermentasi tersebut akan menurunkan ketahanan khamir terhadap alkohol yang dihasilkan, sehingga mempercepat pembentukan asam asetat yang bersifat racun. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan rendahnya etanol yang diperoleh, yang berhubungan dengan kinerja khamir. Sebaliknya, suhu yang terlalu rendah akan menyebabkan proses fermentasi berjalan lambat dan tidak ekonomis. Oleh karena itu, suhu harus dipertahankan pada titik optimum sehingga aktivitas metabolik sel dan pertumbuhan berjalan secara optimum [12]. Seperti penelitian yang dilakukan Torija et all, temperatur tidak hanya mempengaruhi kinetika fermentasi (laju dan lama fermentasi), tetapi juga metabolisme dari khamir (ragi) itu sendiri. Pertumbuhan khamir pada suhu 25-30oC merupakan pertumbuhan khamir yang terbaik tetapi setelah meningkatnya suhu terjadi penurunan pertumbuhan khamir tersebut. Ini membuktikan bahwa suhu sangat mempengaruhi proses fermentasi sehingga suhu harus diperhatikan [34].

2) pH

pH media berguna untuk mengatur aktifitas fermentasi dan pertumbuhan mikroba di dalamnya. Selain itu pH juga berfungsi untuk menghentikan kegiatan fermentasi bila dianggap telah cukup. Pada pH di bawah 3,0 proses fermentasi akan berkurang kecepatannya dan pH optimum untuk fermentasi dalah 4,5 – 5,0. Pengaturan keasaman dapat dibantu dengan penambahan larutan bufer sehingga fluktuasi keasaman tidak terlalu besar [31].

3) Oksigen

Ketersediaan oksigen berpengaruh besar dalam fermentasi karena oksigen tersebut dapat menjadi penentu tipe aktivitas mikroba. Mikroba yang digunakan dalam fermentasi adalah jenis mikroba fermentasi kuat dan mempunyai aktifitas


(39)

respirasi yang rendah. Ketersediaan oksigen dapat dikurangi dengan sistem isolasi udara. Selain dengan mengisolasi udara, dapat pula diberikan sejumlah kapang yang dapat digunakan untuk menutup permukaan sehingga mengambil sebagian besar oksigen yang tersedia. Untuk menjaga kondisi aerasi selama fermentasi maka medium fermentasi dapat ditutup dengan kapas, busa, atau bahan lain yang tidak menghambat aliran udara [31].

4) Unsur Hara

Umumnya khamir membutuhkan unsur C, H, O, N, P, K, Mg dan Ca dalam jumlah yang cukup besar sedangkan unsur Fe dan Cu dibutuhkan dalam jumlah yang kecil. Kebutuhan akan unsur nitrogen dapat diperoleh dari garam-garam ammonium, asam amino, pepton dan peptida. Bentuk ammonium merupakan bentuk yang paling mudah dipergunakan oleh khamir [31].

5) Media Fermentasi

Proses fermentasi adalah pembentukan etanol dan karbon dioksida dari glukosa dengan bantuan khamir. Jika konsentrasi gula dalam substrat terlalu tinggi maka etanol yang terbentuk akan menghambat aktivitas khamir, sehingga waktu fermentasi menjadi lebih lama dan efisiensi menjadi lebih rendah, karena tidak semua gula dikonversi menjadi etanol. Konsentrasi gula yang terlalu rendah menjadikan proses tidak ekonomis, karena penggunaan fermentor tidak efisien [31].

6) Pengadukan

Pengadukan berfungsi untuk meratakan kontak sel dan substrat, menjaga agar mikroorganisme tidak mengendap di bawah dan meratakan temperatur di seluruh bagian bioreaktor. Oleh karena itu pemilihan jenis pengaduk dan kecepatan pengaduk yang tepat diharapkan dapat menunjang fungsi pengadukan sehingga dapat meningkatkan hasil fermentasi [35].


(40)

2.2.3 Tahap Pemurnian

Tahap produksi bioetanol selanjutnya adalah pemurnian. Tahap pemurnian dilakukan untuk memperoleh kadar bioetanol yang lebih tinggi dari hasil fermentasi. Proses pemurnian bioetanol meliputi distilasi untuk memperoleh kadar bioetanol 95% dan dehidrasi untuk memperoleh kadar etanol yang lebih tinggi mencapai 99% atau fuel grade. Namun sebelum proses pemurnian perlu dilakukan pemisahan padatan cairan, untuk menghindari clogging selama proses pemurnian [11].

Pada tahap pemurnian bioetanol, proses yang sering digunakan adalah proses distilasi. Distilasi adalah salah satu metode dari pemurnian dengan cara memisahkan dua atau lebih komponen-komponen dalam suatu cairan berdasarkan perbedaan tekanan uap masing-masing komponen.

Pada proses distilasi bioetanol, larutan fermentasi yang terdiri dari campuran etanol, air dan bahan-bahan lainnya dipisahkan pada tekanan atmosfir dengan suhu tertentu. Pada suhu 100oC air mendidih dan akan menguap, sedangkan etanol mendidih pada suhu sekitar 77oC. Perbedaan titik didih inilah yang memungkinkan pemisahan campuran etanol dan air. Jika larutan campuran etanol-air dipanaskan, maka lebih banyak molekul etanol menguap daripada etanol-air.

Bioetanol yang dikeluarkan dari tangki fermentasi, dikirim ke kolom distilasi untuk dipisahkan dari air dan bahan-bahan pengotor lainnya. Untuk memperoleh bioetanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau yang umum disebut fuel based ethanol. Masalah yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen yang terikat dalam struktur kimia alkohol dengan cara distilasi biasa. Oleh karena itu untuk mendapatkan fuel based ethanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut [31].

Etanol merupakan cairan yang bersifat azeotropik dengan air. Untuk memperoleh etanol yang bebas air, azeotrop harus dipisahkan. Pemisahan alkohol dan air disebut proses dehidrasi. Metode dehidrasi yang biasa digunakan dalam pemisahan ini adalah distilasi azeotrop, desiccant kimiawi dan filtrasi monokuler [12].


(41)

• Distilasi azeotrop dapat dilakukan pada kolom distilasi berefluks dengan penambahan bahan pelarut, seperti benzen atau n-heksana. Dengan penambahan bahan tersebut azeotrop dapat dipisahkan dalam campuran dengan pemanasan pada proses distilasi sampai diperoleh etanol yang lebih murni.

Desiccant kimiawi, menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk memudahkan pemisahan etanol dan air. Biasanya bahan yang digunakan adalah kalsium oksida (CaO), yang bereaksi dengan air sehingga menghasilkan panas yang dipertahankan pada sistem.

• Pemisahan azeotrop air-etanol dapat juga dilakukan dengan metode filtrasi molekuler dengan bahan filter kristal alumunium sillika, yang akan mengabsorpsi molekul air yang lebih kecil daripada molekul etanol sehingga air dan etanol dapat dipisahkan.

2.3 PERALATAN YANG DIGUNAKAN DALAM PROSES PEMBUATAN BIOETANOL

2.3.1 Peralatan Proses Perlakuan Awal

Dalam proses pembuatan bioetanol dengan bahan baku lignoselulosa membutuhkan perlakuan awal baik secara biologi, kimia dan fisik/mekanis. Perlakuan awal ini diperlukan misalnya untuk pengecilan ukuran, menghilangkan lignin, menurunkan derajat polimerisasi selulosa [11].

Pada tabel 2.1 dalam sub bab 2.2.1 telah dijabarkan macam-macam perlakuan awal bahan baku lignoselulosa untuk produksi bioetanol. Peralatan proses yang dibutuhkan untuk perlakuan awal bahan baku sesuai dengan perlakuan awal (pre-treatment) yang dipilih. Efisiensi pre-treatment dibutuhkan untuk memaksimalkan efisiensi hidrolisis enzimatis dan membantu mengurangi total kebutuhan ekonomi proses.

Sebuah proses pre-treatment yang efektif dan ekonomis harus memenuhi persyaratan sebagai berikut [25]:

• produksi serat selulosa reaktif atas serangan enzimatik • menghindari penghancuran hemiselulosa dan selulosa

• menghindari pembentukan inhibitor mungkin bagi enzim hidrolisis dan fermentasi mikroorganisme


(42)

• meminimalkan kebutuhan energi

• mengurangi biaya pengurangan ukuran untuk bahan baku

• mengurangi biaya bahan untuk pembangunan reaktor pretreatment • produksi residu berkurang

• konsumsi sedikit atau tidak ada bahan kimia dan menggunakan bahan kimia murah

Dalam pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian, perlu dicari metode yang tepat untuk pre-treatment kulit durian sehingga diperoleh metode yang efektif sesuai dengan persyaratan diatas. Dalam penelitian ini menggunakan metode fisika-kimia yaitu pengecilan ukuran dan liquid hot water pre-treatment.

2.3.2 Peralatan Fermentasi

Fermentor adalah sebuah bioreaktor yang digunakan sebagai tempat fermentasi. Secara umum, ada dua kelas utama bioreaktor: anaerobik dan aerobik. Dalam fermentasi anaerob, mikroorganisme tumbuh tidak membutuhkan oksigen. Contoh fermentor anaerob meliputi sebagian proses bahan bakar (seperti etanol atau isobutanol) dan pembuatan beberapa asam organik [36].

Fungsi utama fermentor adalah untuk menyediakan lingkungan yang terkendali untuk pertumbuhan mikroorganisme, sehingga mendapatkan produk yang diinginkan [33].

Dalam merancang dan membangun bioreaktor atau fermentor ada beberapa hal yang harus ditimbangkan selain hal-hal diatas, antara lain [37]:

1. Karakteristik mikrobiologi dan biokimia dari sistem sel. 2. Karakteristik hydrodynamic dari bioreaktor.

3. Karakteristik perpindahan massa dan panas bioreaktor. 4. Kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk. 5. Karakteristik stabilitas genetik dari sistem sel.

6. Desain peralatan aseptik

7. Kontrol lingkungan bioreaktor (makro dan lingkungan mikro). 8. Implikasi desain bioreaktor pada pemisahan produk hilir.


(43)

9. Kapital dan biaya operasi dari bioreaktor. 10.Potential untuk bioreaktor scale-up.

Komponen-komponen dari fermentor, antara lain [33]:

1. Komponen dasar meliputi motor penggerak, pemanas, pompa dan lain-lain. 2. Bejana dan aksesorisnya (baffle, impeller).

3. Peralatan pendukung lainnya (botol reagen). 4. Instrumentasi dan sensor.

Beberapa jenis bioreaktor adalah sebagai berikut:

1. Stirred Tank Fermenter (Fermentor Tangki Berpengaduk)

Stirred tank fermenter mempunyai fungsi menghomogenisasi, suspensi solid, dipersi campuran gas dan cairan, aerasi cairan dan pertukaran panas. Reaktor tangki berpengaduk ini tersedia dengan sekat dan pengaduk yang terpasang baik di atas dan di bawah bioreaktor. Pola reaktor ini dipengaruhi oleh waktu pencampuran, koefisien perpindahan massa dan panas, shear stress dan lain-lan. Reaktor tangki berpengaduk ini biasanya digunakan pada proses batch dengan sedikit modifikasi, reaktor ini memiliki desain yang sederhana dan mudah dioperasikan. Reaktor tangki berpengaduk memiliki penawaran yang baik pada pencampuran dan kecepatan transfer massa. Biaya operasi yang rendah dan reaktor dapat digunakan dengan berbagai spesies mikroba [33]. Gambar 2.4 menampilkan stirred tank fermenter atau fermentor tangki berpengaduk.


(44)

Gambar 2.4 Stirred Tank Fermenter [38]

2. Air-Lift Fermenter

Air-Lift Fermenter (ALF) adalah klasifikasi umum dari reaktor pneumatik tanpa banyak susunan pengaduk mekanin untuk pencampuran. Turbulensi disebabkan oleh aliran fluida memastikan cukupnya pencampuran dari cairan. Keuntungan dari reaktor airlift adalah mengurangi pengaruh erosi secara umum pada agitasi mekanik [33]. Gambar 2.5 menampilkan air-lift fermenter..


(45)

3. Fluidised Bed Bioreactor

Fluidised Bed Bioreactor (FBB) telah menerima peningkatan perhatian dalam beberapa tahun terakhir karena keuntungan mereka lebih dari jenis reaktor lain. Sebagian besar FBB dikembangkan untuk sistem biologis yang melibatkan sel-sel sebagai biokatalis tiga sistem fase (padat, cair, dan gas). The FBB umumnya beroperasi pada aliran atas co-current dengan cairan sebagai fase kontinu dan konfigurasi tidak biasa seperti kebalikan tiga fase fluidised bed tidak begitu penting. Biasanya fluidisasi diperoleh baik oleh re-sirkulasi cairan eksternal atau dengan gas diumpankan ke reaktor [33]. Gambar 2.6 menampilkan fluidised ber bioreactor.

Katalis

G1 L2

Gelembung (Bubbles)

G0 L1

Gambar 2.6 Fluidised Bed Bioreactor [33]

Keterangan gambar: G0 = Aliran udara masuk G1 = Aliran udara keluar L1 = Aliran fluida cair masuk L2 = Aliran fluida cair keluar


(46)

4. Packed Bed Bioreactor

Unggun atau bioreaktor fixed bed biasanya digunakan dengan biofilm terpasang secara khusus dalam rekayasa air limbah. Penggunaan reaktor packed bed memperoleh penting setelah potensi teknik imobilisasi sel seluruh telah dibuktikan. Immobilisasi biokatalis dalam packed kolom dan diberi makan dengan nutrisi baik dari atas atau dari bawah. Salah satu kelemahan dari packed bed adalah karakteristik aliran berubah karena perubahan dalam porositas bed selama operasi. Packed bed bioreaktor biasanya digunakan di mana substrat inhibiion mengatur laju reaksi. Reaktor packed bed secara luas digunakan dengan sel amobilisasi [33]. Gambar 2.7 menampilkan packed bed bioreactor.

Packing

Aliran Keluar

Aliran Masuk

Gambar 2.7 Packed Bed Bioreactor [33]

2.3.3 Peralatan Pemurnian

Proses pemurnian bioetanol meliputi distilasi untuk memperoleh kadar bioetanol 95% dan dehidrasi untuk memperoleh kadar bioetanol yang lebih tinggi mencapai 99% atau fuel grade. Peralatan yang digunakan untuk proses distilasi disebut distilator. Alat distilator terdiri dari kolom distilasi, kondensor. Pada tipe distilasi batch, campuran alkohol-air dipanaskan dalam keadaan tertutup, kemudian uapnya didinginkan dalam alat penukar panas dengan fluida dingin air. Etanol akan menguap terlebih dahulu dibandingkan air karena etanol memiliki titik didih lebih rendah dibandingkan air. Dari proses distilasi akan menghasilkan bioetanol dengan kadar 95%. Untuk mencapai kemurnian yang lebih tinggi


(47)

dilakukan proses pemurnian lebih lanjut, salah satunya yaitu adsorpsi dengan menggunakan batu gamping [7].

2.4 PENGADUKAN

Pada industri kimia dan industri proses lainnya, kebanyakan operasi produksi bergantung pada sejumlah besar pengadukan dan pencampuran fluida. Umumnya pengadukan lebih disukai untuk memaksa fluida secara mekanis dalam peredaran dan pengaliran sirkulasi atau pola lain di dalam bejana. Di dalam proses produksi bioetanol, pengadukan berfungsi untuk meratakan kontak sel dan substrat, menjaga agar mikroorganisme tidak mengendap di bawah dan meratakan temperatur di seluruh bagian bioreaktor [35].

Berdasarkan bentuknya, ada tiga jenis impeller yaitu [39]:

a. Pengaduk Propeller Berdaun Tiga (Three- Blade Propeller Agitator)

Merupakan impeller propeller berdaun tiga yang mirip dengan baling-baling berbilah digunakan dalam mendorong baling-baling perahu. Impeller dengan aliran aksial berkecepatan tinggi diantara 400 – 1750 rpm yang biasanya digunakan untuk cairan dengan viskositas yang rendah dengan putaran zat cair yang sangat berturbulensi, seperti Gambar 2.8.

(a) (b)

Gambar 2.8 Bejana dengan Pengaduk Propeller Berdaun Tiga dan Baffle (Penyekat) (a) tampak depan (b) tampak bawah [39]

b. Pengaduk Dayung (Paddle Agitator)

Merupakan impeller dengan aliran radial yang sering digunakan pada kecepatan rendah antara 20–200 rpm, dengan panjang total 60–80 % dari diameter tangki dan lebar pisaunya (blade) 1/6–1/10 dari panjangnya. Impeller yang sering


(48)

digunakan adalah dua atau tiga blade. Impeller tipe pengaduk dayung sering digunakan pada pengolahan pasta, cat, perekat dan kosmetik. Gambar 2.9 menampilkan beberapa jenis pengaduk paddle dan turbin.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 2.9 Jenis-Jenis Pengaduk: (a) Four-Blade Paddle, (b) Gate or Anchor Paddle, (c) Six-Blade Open Turbine, (d) Pitched-Blade (45oC) Turbine [39] c. Pengaduk Turbin (Turbine Agitator)

Impeller jenis ini menyerupai bentuk dayung (Paddle) berdaun banyak, tetapi daunnya (blade) lebih pendek daripada bentuk paddle dan digunakan pada kecepatan yang tinggi. Diameter impeller turbin biasanya 30 -50 % dari diameter tangki. Umumnya impeller turbin mempunyai 4 atau 6 daun yang efektif untuk kisaran viskositas yang cukup luas, yang memiliki aliran radial. Impeller jenis ini sangat cocok digunakan untuk mendispersikan gas dan mensuspensikan padatan. Gambar 2.10 menampilkan tangki berpengaduk dengan impeller turbin dan pola alirannya.

Gambar 2.10 Tangki Berpengaduk Turbin dengan 6 Daun (Blade) disertai Pola Alirannya [39]


(49)

Pola aliran pada tangki berpengaduk tergantung dari sifat-sifat fluida, geometri tangki, jenis baffle (sekat) dan jenis pengaduk itu sendiri. Jika sebuah propeller atau pengaduk lainnya diletakkan secara vertikal di pusat tangki tanpa baffle, pola aliran berputar-putar biasanya terjadi. Umumnya, ini tidak diinginkan, karena udara yang berlebihan, vortexs (pusaran) besar, bergelombang, dan sejenisnya terutama pada kecepatan tinggi. Untuk mencegah hal ini suatu sudut posisi tidak di pusat dapat digunakan dengan propeller dengan kecepatan yang kecil. Namun untuk pengadukan di kekuatan yang lebih tinggi, pengadukan tidak seimbang dapat menjadi parah dan membatasi penggunaan daya yang lebih tinggi [39].

2.5 BAHAN KONSTRUKSI

Bahan konstruksi adalah merupakan bahan atau material yang digunakan untuk membangun peralatan produksi. Bahan konstruksi berbeda untuk setiap skala peralatan, baik itu skala kecil, pilot atau besar. Dalam peralatan skala kecil, konstruksi bejana dari bahan kaca atau stainless steel masih dapat digunakan. Tetapi untuk proses skala pilot atau skala yang lebih besar, digunakan stainless steel (>4% kromium), baja ringan (yang dilapisi dengan kaca atau material epoxy), kayu, plastik, atau beton sebagai bahan konstruksi bejana. Bahan konstruksi harus tidak beracun dan tahan korosi [33].

Bahan yang biasa digunakan untuk peralatan-peralatan kimia adalah stainless steel. Stainless steel merupakan logam campuran antara besi-kromium dan nikel yang mempunyai sifat-sifat tidak berkarat dalam air laut, tahan terhadap konsentrasi asam dan dapat digunakan sampai suhu 1100oC [40].

Pemilihan pemakaian bahan konstruksi didasarkan pada sifat fisika dan kimia bahan baku proses, kondisi proses, ukuran peralatan yang dibangun dan biaya dari bahan konstruksi.

2.6 PENGEMBANGAN SKALA LABORATORIUM KE SKALA PILOT Skala pilot merupakan tahap peralihan dari studi laboratorium dan skala industri. Desain skala pilot atau industri komersial dapat tidak sesuai dengan penelitian, jika penelitian yang tersedia tidak cukup luas untuk meningkatkan


(50)

informasi dari skala laboratorium. Harus dipahami, bahwa pilot plant bukan sebagai scale-up dari peralatan laboratorium, tetapi sebagai simulasi skala kecil dari operasi industri di masa depan. Hasil penelitian laboratorium akan digunakan untuk memilih proses yang paling cocok dan akan mengarah pada pemilihan peralatan yang digunakan dalam proses produksi. Jika studi laboratorium berhasil dan jka studi pilot plant dinilai perlu, maka akan dirancang pilot plant untuk mensimulasikan operasi industri [41].

Scaling up adalah tugas utama bagi insinyur kimia dan merupakan langkah dasar dalam realisasi dan optimalisasi plant skala industri. Kegiatan scale up menggambarkan akumulasi proses yang diperoleh dari berbagai tahapan perkembangan proses dari eksperimen laboratorium dan turunan dari korelasi kinetika, eksperimen fluida bergerak, model matematika, desain dan operasi dari skala pilot dan skala industri. Konsep "scale up" biasanya menjelaskan sebagai "bagaimana merancang sebuah reaktor/peralatan skala pilot atau skala industri dengan menggunakan metodologi standar hasil dari penelitian laboratorium". Dalam definisi sempitnya, melalui penelitian ditunjukkan bahwa scale up tidak sebenarnya menjadi standar dari inovasi proses: proses produksi yang sebenarnya merupakan hasil dari pemilihan yang tepat, dan terkadang mempunyai banyak kesalahan [42].

Pilot plant tidak hanya untuk membuktikan bahwa yield yang dihasilkan pada skala laboratorium sama dengan skala yang lebih besar. Tujuan utamanya adalah untuk menguji teknologi yang akan digunakan pada skala industri. Sebuah pilot plant juga penting untuk mengevaluasi spesifikasi produk dan untuk mengatur sistem otomatisasi dan kontrol yang akan disiapkan untuk skala industri. Biaya yang lebih rendah dan percobaan yang lebih banyak pada skala pilot dan membantu mengevaluasi efisiensi pengadukan, pertukaran panas, pola aliran dan distribusi aliran, residence time, pengaruh difusi, dan lain-lain [42].

Tujuan dari pilot plant dapat dibedakan berdasarkan pada kondisi spesifik masing-masing proyek, dan pemilihan dari konstruksi yang mencakup satu atau beberapa tujuan sebagai berikut [41]:


(51)

• untuk mengoptimalkan parameter operasi proses

• untuk mempelajari efek dari aliran proses sirkulasi dan akumulasi dari impuritis pada waktu yang lama

• untuk mendapatkan informasi proses yang dibutuhkan untuk menentukan dan merancang skala industri

• untuk pengujian sistem kontrol proses dan prosedur • untuk pengujian bahan konstruksi

• untuk mengoptimalkan desain peralatan

• untuk mendapatkan informasi yang cukup untuk mempersiapkan estimasi rincian dari modal dan biaya operasi, serta mempersiapkan evaluasi ekonomi dari proyek

• untuk mengidentifikasi bahaya dalam proses dan menjamin keamanan dalam desain dan operasi

2.7 ANALISIS EKONOMI

Pada penelitian ini dilakukan suatu analisis ekonomi yang sederhana, sehingga dapat diketahui biaya pabrikasi dari unit pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian dan biaya operasional pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian.

2.7.1 Biaya Pabrikasi Peralatan

Dari beberapa unit peralatan yang dirancang, telah dibangun peralatan yang terdiri dari tangki fermentor, distilator dan tangki air pendingin dengan kapasitas 100 liter. Adapun biaya yang dibutuhkan untuk membangun peralatan tersebut adalah:

1. Biaya Peralatan

Tabel 2.4 menampilkan rincian biaya peralatan unit pembuatan bioetanol yang terdiri dari tangki fermentor, distilator dan tangki air pendingin.


(52)

Tabel 2.4 Rincian Biaya Peralatan Unit Pembuatan Bioetanol

Bahan / Alat Harga (Rp) Jumlah Total (Rp.)

Tangki Fermentor 150.000 1 150.000

Tangki Distilator 4.500.000 1 4.500.000

Tangki Air Pendingin 90.000 1 90.000

Heater 600.000 3 1.800.000

Control Panel 1.000.000 1 1.000.000

Termokopel 600.000 1 600.000

Koil pendingin 100.000 /m 2 m 200.000

Termometer 75.000 3 225.000

Rangka alat 525.000

Lain-lain * 975.000

Total biaya 10.065.000

* Biaya pembelian aksesoris lainnya (valve, corong), pengecatan, dan pembelian peralatan lainnya untuk proses pabrikasi

2. Biaya Pemasangan Alat Rp. 2.000.000

3. Total Biaya Pabrikasi

Total biaya pabrikasi = Harga bahan/alat + biaya pemasangan alat = Rp. 10.065.000 + Rp. 2.000.000

= Rp. 12.065.000

Jadi, total biaya yang dibutuhkan untuk pabrikasi peralatan unit pembuatan bioetanol yang terdiri dari tangki fermentor, distilator dan tangki air pendingin adalah Rp. 12.065.000.

2.7.2 Biaya Operasional Pembuatan Bioetanol dengan Bahan Baku Kulit Durian

Proses pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian terdiri dari proses pre-treatment, fermentasi dan distilasi. Diperoleh kondisi proses optimum dari hasil laboratorium yaitu fermentasi selama 7 hari dan penambahan ragi 6%. Berikut biaya operasional dari pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian dengan kondisi proses tersebut:

1. Biaya Bahan Baku

Adapun bahan yang digunakan untuk pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian antara lain, kulit durian, ragi dan air. Pada tabel 2.5 menampilkan biaya bahan baku dari proses pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian untuk satu siklus proses pembuatan bioetanol.


(53)

Tabel 2.5 Rincian Biaya Bahan Baku [43]

Bahan Jumlah Harga (Rp) Biaya Total (Rp)

Kulit durian 100 kg 5000 / 20 kg 25.000

Ragi tape 6000 gr 800 / 10 gram 480.000

Air proses 200 liter 2500 / m3 5.00

Biaya Total 505.500

Total biaya yang dibutuhkan untuk biaya bahan baku pembuatan bioetanol satu siklus dengan kapasitas bahan baku 100 kg adalah Rp. 505.500.

2. Biaya Proses

Proses pembuatan bioetanol terdiri dari proses pre-treatment, fermentasi dan distilasi. Tabel 2.6 menampilkan biaya proses dari pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian.

Tabel 2.6 Rincian Biaya Proses [43] [44]

Biaya Jumlah Waktu Harga (Rp) Biaya Total (Rp)

Gas 12 kg 1 112.000 112.000

Listrik heater 1500 watt 3 jam 1.224 / kwh 1.836 Listrik blender 200 watt 6 jam 1.224 / kwh 1.468,8

Air pendingin 70 liter 2.500 / m3 175

Biaya Total 115.479,8

Total biaya yang dibutuhkan untuk biaya proses pembuatan bioetanol satu siklus adalah Rp. 115.479,8 atau lebih kurang Rp. 115.500.

3. Biaya Pencucian Peralatan

Tabel 2.7 menampilkan biaya pencucian peralatan yang terdiri dari tangki fermentor dan tangki distilator.

Tabel 2.7 Biaya Pencucian Peralatan [43]

Peralatan Jumlah Harga (Rp) Biaya Total (Rp) Fermentor 50 liter

2500 / m3

125

Distilator 100 liter 250

Tangki air pendingin 20 liter 50


(54)

Jadi total biaya yang diperlukan untuk pencucian alat satu siklus proses adalah Rp. 425 atau lebih kurang Rp. 500.

4. Total biaya operasional pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian

Biaya operasional pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian untuk satu siklus proses batch terdiri dari biaya bahan baku, biaya proses, biaya pencucian alat.

Total biaya operasional = Rp. 505.000 + Rp. 115.500 + Rp. 500 = Rp. 621.000

Jadi total biaya yang diperlukan untuk operasional pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian sebanyak 100 kg adalah Rp. 621.000. Dapat dihitung bahwa untuk 1 kg kulit durian dibutuhkan biaya operasi sebesar Rp. 6.210.


(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 LOKASI PENELITIAN

Penelitian di lakukan di Laboratorium Proses Industri Kimia Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara dan Lembaga Pusat Penelitian Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3.2BAHAN PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam pabrikasi peralatan pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian antara lain stainless steel, aluminium, drum plastik, dan lain-lainnya. Sedangkan bahan yang digunakan untuk menguji kelayakan peralatan pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian adalah kulit durian, ragi dan air.

3.3PERALATAN UTAMA

Peralatan utama merupakan peralatan yang paling penting dalam sebuah proses operasi. Dalam proses pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian akan dirancang peralatan utama yang terdiri dari peralatan pre-treatment, fermentor dan distilator dengan kapasitas proses 100 liter.

3.3.1 Peralatan Pre-treatment

Kulit durian merupakan bahan baku bioetanol dari sumber lignoselulosa (serat). Dipilih proses perlakuan pendahuluan fisik-kimia, yaitu pengecilan ukuran, penghalusan dan hidrolisis menggunakan liquid hot water. Pengecilan ukuran dilakukan dengan pemotongan kulit durian sehingga ukurannya menjadi lebih kecil dan lebih mudah untuk di proses. Untuk menghaluskan kulit durian, dalam skala laboratorium digunakan blender, sedangkan dalam skala yang lebih besar diperlukan sebuah alat untuk menghaluskan kulit durian dengan kapasitas yang lebih besar. Dalam skala laboratorium, proses liquid hot water dilakukan dengan menggunakan panci presto bertekanan. Perlu dirancang peralatan untuk proses


(56)

pre-treatment bahan baku kulit durian, yang terdiri dari tangki pemasak awal, alat penghalus kulit serta tangki bertekanan untuk proses hidrolisis.

Adapun langkah-langkah dalam merancang peralatan pre-treatment untuk bahan baku kulit durian adalah:

1. Menentukan proses pre-treatment yang dipilih untuk bahan baku kulit durian. 2. Menentukan peralatan pre-treatment yang akan dirancang untuk proses

pembuatan bioetanol yang terdiri dari tangki pemasak awal, alat penghalus dan tangki bertekanan

3. Menentukan rancangan dan ukuran peralatan pre-treatment yang akan dirancang berdasarkan kapasitas proses yang telah ditentukan sesuai dengan standar perancangan secara teori.

3.3.2 Tangki Fermentor

Fermentor merupakan wadah tempat terjadinya proses perubahan glukosa menjadi alkohol dengan bantuan mikroorganisme. Dalam proses pembuatan bioetanol, fermentasi dilakukan secara anaerob. Proses fermentasi memerlukan kondisi steril dan suhu berkisar 27-32oC. Fermentor memiliki beberapa bagian penting, yaitu wadah fermentasi, unit pengaduk, termometer, saluran pemasukan dan saluran pengeluaran. Wadah fermentasi harus terbuat dari bahan yang non korosif dan tidak bereaksi dengan bahan serta dibuat kedap suara.

Adapun langkah-langkah dalam mendesain sebuah fermentor adalah:

1. Menentukan jenis fermentor yang akan dibangun. Dalam perancangan ini digunakan fermentor anaerobik dengan jenis stirred tank fermenter atau tangki fermentor berpengaduk.

2. Menentukan rancangan dan ukuran fermentor yang akan dibangun berdasarkan kapasitas proses yang telah ditentukan sesuai dengan standar perancangan fermentor secara teori.

3. Menentukan peralatan pendukung yang dibutuhkan untuk membantu proses fermentasi. Seperti pengaduk, termometer, dan valve masuk dan keluar bahan. 4. Menentukan dan merancang jenis pengaduk yang akan digunakan sesuai

dengan standar perancangan pengaduk secara teori. 5. Pabrikasi tangki fermentor.


(57)

3.3.3 Tangki Distilator

Tangki distilator berfungsi untuk pemurnian bioetanol hasil fermentasi sehingga menghasilkan bioetanol dengan kadar yang lebih tinggi. Untuk mendapatkan kadar etanol yang lebih murni distilasi harus dilakukan berulang-ulang.

Adapun langkah-langkah dalam merancang sebuah tangki distilator adalah: 1. Menentukan kondisi operasi dari tangki distilator yang akan dibangun. Suhu

yang dibutuhkan untuk menguapkan bioetanol adalah suhu pada titik didih etanol yaitu 78oC. Dalam perancangan ini dipilih suhu 80oC untuk menguapkan bioetanol hasil fermentasi.

2. Menentukan rancangan dan ukuran tangki distilator yang akan dibangun sesuai dengan standar perancangan secara teori.

3. Menentukan peralatan pendukung yang dibutuhkan untuk membantu proses distilasi. Dalam perancangan ini diperlukan beberapa peralatan pendukung antara lain tangki air pendingin, heater, dan alat ukur yang terdiri dari termokopel, termometer dan level indikator.

4. Pabrikasi tangki distilator.

Dalam perancangan tangki distilator dibutuhkan beberapa peralatan pendukung yang membantu kerja dari peralatan utama, terdiri dari tangki air pendingin dan heater.

3.3.3.1 Tangki Air Pendingin

Dalam proses distilasi, tangki air pendingin digunakan sebagai wadah penyimpanan air yang digunakan untuk mendinginkan uap panas dari hasil distilasi sehingga bioetanol yang dihasilkan keluar dalam bentuk cairan. Tangki air pendingin dilengkapi dengan koil pendingin yang terbuat dari tembaga dan dililitkan di dalam tangki. Selain itu tangki air pendingin dilengkapi oleh valve untuk masuk dan keluarnya bahan proses.


(1)

L4.2 HASIL ANALISIS KADAR BIOETANOL HASIL DISTILASI


(2)

LAMPIRAN 5

PROSEDUR ANALISIS KADAR ETANOL

L5.1 PROSEDUR ANALISIS KADAR ETANOL MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS (GC)

Kandungan etanol yang terdapat di dalam larutan bioetanol dapat dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas. Berikut akan dijelaskan prosedur analisis kandungan etanol dengan menggunakan kromatografi gas berdasarkan metode ASTM D5501 yang terdapat di dalam SNI 7390.2012 [15].

L5.1.1 Peralatan

Sebuah kromatografi gas berdetektor nyala pengion (flame ionization detector, FID) yang dilengkapi dengan kolom gelas kapiler berlapis-dalam metil silikon (yang berikatan silang dan terikat secara kimia pada permukaan gelas kolom) dengan dimensi 150 m x 0,25 mm dan tebal film metil silikon 1,0 µm. Kolom lain dapat juga digunakan bila efisiensi dan selektifitas kromatografinya setara atau lebih baik dari kolom yang dipertelakan di bawah. Kromatograf harus mampu beroperasi pada kondisi tipikal berikut ini [15]:

1. Program temperatur kolom

• Panjang kolom : 150 m

• Temperatur awal : 60 °C

• Waktu penahanan awal : 15 menit

• Laju program : 30 °C/menit

• Temperatur akhir : 250 °C

• Waktu penahanan akhir : 23 menit

2. Injektor

Temperatur : 300 °C Nisbah pembagian (split ratio) : 200 : 1


(3)

3. Detektor

Tipe : FID (nyala pengion) Temperatur : 300 °C

Gas bahan bakar : hidrogen (sekitar 30 ml/menit) Gas pembakar : udara (sekitar 300 ml/menit) Gas penambah (make-up) : nitrogen (sekitar 30 ml/menit)

4. Gas Pembawa

Tipe : helium

Kecepatan linier rata-rata : 21 – 24 cm/s

Gas pembawa helium harus berkemurnian minimum 99,95% dan sebelum memasuki kromatografi, dilewatkan sistem/alat penyingkir oksigen dan pemurni gas. Gas hidrogen dan nitrogen untuk detektor juga harus berkemurnian 99,95% sedang udara pembakar harus bebas hidrokarbon; sebelum memasuki detektor, masing-masing dari ketiga gas ini pun disarankan dilewatkan sistem pemurni gas [15].

L5.1.2 Penyiapan, Kalibrasi dan Standarisasi

Adapun prosedur penyiapan, kalibrasi dan standarisasi adalah sebagai berikut [15]:

1. Periksa bahwa kromatograf gas (yang sebelumnya sudah dipasang selayaknya) bebas dari kebocoran. Jika terdapat kebocoran, eratkan sambungan-sambungan dan jika perlu, ganti sambungan-sambungan dengan yang baru.

2. Atur laju alir gas pembawa dan periksa bahwa kecepatan linier rata-ratanya, pada temperatur awal program, berada di antara 21 dan 24 cm/s. Pemeriksaan dilakukan dengan mengukur waktu retensi metana (CH4) pada kolom dan menghitung kecepatan linier rata-rata dengan persamaan:

�= �


(4)

Keterangan:

v = kecepatan linier rata-rata gas pembawa, cm/s L = panjang kolom, cm

tm = waktu retensi metana pada kolom, s

Pengaturan laju alir dilakukan dengan membesar-kecilkan tekanan gas pembawa ke injektor.

3. Atur kondisi-kondisi operasi seperti kondisi peralatan pada L5.1.1 dan biarkan beberapa lama agar sistem mencapai kesetimbangan.

4. Zat-zat standar yang diperlukan untuk kalibrasi, yaitu heptana, metanol, etanol dan, jika dikehendaki, alkohol-alkohol monohidroksi C3 – C5, harus murni atau diketahui tingkat kemurniannya serta bebas dari komponen-komponen lain yang akan dianalisis. Khusus untuk etanol, kemurniannya harus minimum 99,5%.

5. Untuk kalibrasi, siapkan/sediakan campuran-campuran yang diketahui komposisinya dan berkadar etanol 94 – 98%-berat, metanol 0,1 – 0,5%-berat, sisanya heptana (pengganti denaturan); jika dikehendaki, campuran bisa juga mengandung alkohol-alkohol C3 – C5 dalam jumlah kecil tetapi diketahui secara teliti.

6. Tentukan waktu retensi etanol, metanol (dan alkohol-alkohol lain) dengan menginjeksikan contoh zat-zat ini, secara sendiri-sendiri atau dalam bentuk campuran kalibrasi di atas, ke kromatograf. Pastikan bahwa tiap alkohol dapat dideteksi dan diintegrasi dengan benar. Adanya puncak yang tidak simetrik di bagian depan (front-skewed) menunjukkan bahwa kolom terbanjiri (overload) oleh komponen ini dan bahwa nisbah pembagian (split ratio) injektor terlalu kecil.

7. Plot luas puncak pada kromatogram versus konsentrasi etanol untuk campuran-campuran kalibrasi yang disebutkan di atas harus linier. Jika tidak, perbesar nisbah pembagian injektor atau buat rentang detektornya menjadi agak kurang peka.

8. Persen massa tiap komponen yang diperoleh dari luas-luas puncak pada kromatogram harus di sekitar ± 3% (relatif) dari konsentrasinya pada campuran kalibrasi.


(5)

9. Tentukan pula faktor-faktor respons relatif berbasis massa untuk metanol, etanol, dan alkohol-alkohol lain berdasar kromatogram campuran kalibrasi. Faktor respons relatif berbasis massa dari komponen i (Ri) adalah:

Ri = {(luas puncak persen massa)}i⁄

{(luas puncak persen massa)}heptana⁄

Nilai-nilai tipikal faktor respons relatif berbasis massa ditampilkan pada tabel L5.1.

Tabel L5.1 Nilai Tipikal Respon Relatif Berbasis Massa Zat i Ri Berat jenis 15,56/15,56oC

Metanol 3,20 0,796

Etanol 2,06 0,794

L5.1.3 Prosedur Analisis

Adapun prosedur analisis menggunakan kromatografi gas adalah sebagai berikut [15]:

1. Pastikan bahwa sistem kromatograf telah berada pada kondisi operasi yang layak (misalnya seperti tertera pada sub-bagian B di atas).

2. Atur kepekaan sistem kromatograf agar tiap komponen yang kadarnya ≥ 0,002 %-massa dapat dideteksi dan diintegrasi dengan benar.

3. Injeksikan 0,1 sampai 0,5 µL contoh yang dianalisis ke dalam gerbang injeksi (injektor) dan mulai analisis. Peroleh kromatogram beserta laporan integrasi (luas) puncak-puncaknya.

L5.1.4 Perhitungan dan Pelaporan

Adapun perhitungan dan pelaporan hasil analisis adalah sebagai berikut [15]:

1. Kalikan tiap luas puncak yang terdeteksi (Ai) dengan faktor respons relatif berbasis massanya (Ri). Gunakan faktor-faktor yang diperoleh untuk tiap komponen sewaktu kalibrasi dan gunakan faktor 1,000 untuk puncak yang tidak diketahui.


(6)

2. Tentukan persen massa relatif tiap alkohol (RMi)dengan persamaan berikut:

��� = ����Σ � 100

������ Dengan n = banyak puncak yang terdeteksi

3. Dapatkan angka persen massa air di dalam contoh yang dianalisis.

4. Tentukan %-massa alkohol-alkohol (Mi) dengan menggunakan persamaan berikut:

��= ���� 100 ���������������������������ℎ

100

5. %-volume alkohol-alkohol (Vi) dapat dihitung dengan persamaan berikut: ��= �����

�� Keterangan:

Dc = berat jenis 15,56/15,56 °C contoh yang dianalisis (dapat diukur dengan cara hidrometri atau piknometri)

Di = berat jenis 15,56/15,56 °C komponen i (untuk metanol dan etanol, diberikan pada tabel L5.1)

6. Laporkan nilai persen massa maupun persen volume alkohol-alkohol hanya sampai 2 (dua) angka di belakang koma.

7. Perbedaan relatif dari hasil-hasil berturutan yang diperoleh seorang analis pada contoh yang sama mestinya tidak lebih dari 0,22 %.