Kehidupan Tukang Becak KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT KAMPUNG SUSUK

58 penyuluhan pertanian kepada masyarakat Kampung Susuk. Adapun kegiatan PPL adalah meninjau kegiatan bertani secara langsung ke persawahan dan membicarakan tentang gangguan dan serangan hama serta gangguan-gangguan pertanian lainnya. Setelah itu, PPL akan memberikan penyuluhan untuk membantu masyarakat dalam mengatasi gangguan-gangguan tersebut. Namun, kegiatan PPL saat ini tidak semaksimal dahulu karena kegiatan penyuluhan dan peninjauan secara langsung ke lapangan tidak lagi dilakukan.

3.2. Kehidupan Tukang Becak

Penduduk daerah Kampung Susuk mayoritas bekerja sebagai tukang becak dan buruh tani. Dikatakan tukang becak karena bila memasuki daerah lokasi daerah Kampung Susuk maka akan langsumg menemukan pangkalan tukang becak yang sedang menunggu sewa di sekitar areal pinggiran jalan. Lain halnya dengan buruh tani, karena daerah Kampung Susuk adalah daerah persawahan walaupun sawah tersebut mereka garap dan menyewa dari orang lain, bukan milik sendiri lagi. Banyak para pegawai swastanegeri yang merangkap juga sebagai buruh tani. Selain sawah, ada juga ladang yang mereka garap untuk menanam tanaman jagung, cabai, terong, tebu, singkong, ubi jalar, dan lain sebagainya. Jadi bila memasuki wilayah daerah Kampung Susuk maka akan terlihat seakan-akan berada di daerah pedesaan, karena masih banyak yang menggarap sawah yang merupakan salah satu dari mata pencaharian bagi mereka. Universitas Sumatera Utara 59 Lain halnya dengan tukang becak, masyarakat setempat dalam hal ini suku bangsa Karo sebagai masyarakat asli di sini mempunyai aturan dalam menarik becak. Banyaknya para pendatang dari berbagai suku bangsa yang datang dan tinggal di daerah Kampung Susuk membuat mereka juga mencari pekerjaan yang serupa dengan masyarakat setempat. Aturan tersebut bersifat uname law hukum tak tertulis bersifat lisan, namun sanksinya sangat berat bila tidak mematuhi peraturan tersebut. Salah seorang informan yang bernama Feri Andani Zebua 40 tahun menjelaskan bahwa : “ . . . aturan yang selama ini ada mau tidak mau harus diikuti oleh kami tukang becak dari Nias. Karena kalau kami tidak mau nurutin aturan yang ada di sini, bisa bahaya nanti . . .” Aturan tersebut adalah bahwa setiap suku bangsa di luar suku bangsa Karo seperti Nias, Toba, Jawa hanya mempunyai wilayah tarikan di daerah tembok dekat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP dan di pintu gerbang 4 empat USU. Sedangkan suku bangsa Karo boleh bebas mengambil sewa dari wilayah USU. Termasuk wilayah yang ramai, seperti daerah Sumber. Menurut Coombe 1995 hal tersebut merupakan fenomena penerapan hukum dalam sebuah hubungan kemasyarakatan, dimana ia menjelaskan bahwa : “ . . . Scholars of law and society have long argued for new paradigms for imagining relationships between law and society, including the necessity to stop conceiving these terms as separate entities that require the expo- sition of relationship as the adequate term of address . . . ” Universitas Sumatera Utara 60 Coombe menjelaskan bahwa secara sadar ataupun tidak masyarakat telah membuat aturannya sendiri untuk menjaga kestabilan hubungan antar mereka. Konsep unname law yang terjadi pada masyarakat yang bekerja sebagai tukang becak tersebut merupakan perwujudannya. Sanksi yang akan digunakan, apabila seseorang tidak menaati peraturan tersebut mereka akan dipukuli, dicaci, diusir dari wilayah Kampung Susuk bila mereka pendatang dan tinggal di daerah tersebut. Ada yang menarik dari peraturan uname law disini bahwa mereka boleh menarik dari wilayah mana saja seperti layaknya suku bangsa Karo, apabila mereka menyewa becak mesin suku bangsa Karo. Dari aturan seperti ini terlihat adanya kekuasaan mayoritas kepada minoritas dalam hal ini kekuasaan dalam wilayah mata pencaharian. Hal tersebut juga dibenarkan oleh informan yang bernama bapak Ginting 40 tahun yang sudah menarik becak selama 5 tahun. Beliau mengatakan bahwa : “ . . . aturan itu udah dibikin sejak dulu, karena kalau tidak dibikin begitu pasti penarik becak yang orang Karo berkurang penghasilannya. Karena semakin banyak orang Nias ini yang datang narik becak. Karena kita disini sama-sama nyari nafkah istilahnya, dan kami orang Karo pun orang asli di sini, jadi kami buat lah peraturan itu untuk menjaga biar tidak konflik sesame tukang becak ini . . .” Aturan tersebut suka tidak suka harus ditaati dan biasanya suku bangsa Nias mentaati hal tersebut. Mereka sadar mereka di sini hanyalah pendatang oleh karena itu, mereka sadar akan status mereka di Kota Medan. Penghasilan yang mereka terima bila mempunyai becak sendiri dalam satu harinya adalah Rp.40.000,-hari Universitas Sumatera Utara 61 sudah termasuk bensin dan lain sebagainya. Lain halnya dengan penghasilan yang menyewa dari orang dan tergantung dari warna plat nomor becak sewaan tersebut. Jika plat nomer becak warna kuning dikenakan sebesar Rp.25.000,-hari kepada penyewa dan Rp.20.000,-hari bila becaknya berplat hitam. Perbedaan tersebut dikarenakan oleh jenis warna plat yang dipakai. Bila warna kuning daerah wilayah tarikannya bisa sampai jalan besarraya dan sebaliknya untuk becak berplat hitam. Jadi tidak heran bila uang setorannya berbeda karena wilayah tarikannya juga berbeda. Gambar 3 : Penarik Becak Di Kampung Susuk Sumber : Peneliti Aturan-aturan tersebut suku bangsa Nias taati sebagai pola adaptasi mereka dalam memperoleh sumber-sumber ataupun akses-akses. Biasanya dalam pekerjaan Universitas Sumatera Utara 62 menarik becak suku bangsa Nias lebih akrab dengan suku bangsa Batak Toba yang lebih sepaham dan asyik diajak untuk kerja sama. Adanya rasa kebersamaan mereka dalam menarik becak, menunggu sewa dan lain sebagainya. Bila dibandingkan dengan suku bangsa Karo bisa dihitung dengan jari kedekatan antara suku bangsa Karo dengan suku bangsa Nias. Adanya masalah sejarah hidup antara suku bangsa Karo dengan suku bangsa Nias yang membuat mereka tidak bebas untuk berinteraksi maupun dalam hal kerjasama. Itu diakibatkan oleh adanya kekuasaan dalam berinteraksi, jenis mata pencaharian dan lain sebagainya. Kekuasaan dalam hal mata pencaharian memang sangat menonjol sekali di daerah Kampung Susuk. Suku bangsa Nias memilih mata pencaharian tukang becak diakibatkan sempit atau tertutupnya akses mereka untuk dapat memiilih mata pencaharian di bidang informal lainnya. Dalam mata pencaharian selain para suami, sebagian isteri juga ikut membantu dan anak-anakpun juga mempunyai andil besar dalam membantu perekonomian dalam keluarga. Banyak para anak-anak suku bangsa Nias membantu para orang tuanya dengan cara mengamen di sekitar wilayah kampus USU. Selain daripada mengamen mereka juga ada yang berprofesi sebagai penyemir sepatu dan lain-lainnya.

3.3. Perkembangan Usaha Kos-Kosan di Kampung Susuk