Sejarah Pertanian Kampung Susuk

55 pengelola lahan. Desakan itu terkait dengan kebutuhan hidup manusia itu sendiri apakah karena bertambahnya penduduk maka diperlukan lahan untuk pemukiman, pertambahan lahan untuk perkantoran atau pemanfaatan lain dalam rangka keberlangsungan hidupnya. Di samping karena ada kebutuhan masyarakat juga ada kepentingan lain yakni dari sudut pandang para pengusaha. Rata-rata petani hanya mengelola sawah seluas 0,76 Ha. Sistem sewa lahan di Kampung Susuk yaitu setiap kali panen petani harus membayar 10 kaleng padi per seribu meter tanah dan biasanya 10 kaleng padi tersebut dibayar dalam bentuk uang. Namun demikian, adakalanya biaya sewa lahan disesuaikan dengan kondisi hasil panen petani. Jika hasil penen petani tidak terlalu bagus gagal panen, maka pihak penyewa tanah memberikan keringanan kepada petani.

3.1.2. Sejarah Pertanian Kampung Susuk

Berdasarkan pembagian tanah yang telah dilakukan oleh 50 KK maka kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah pengolahan tanah menjadi lahan persawahan tingkat penyerapan air yang tinggi, topografinya datar dan berada di daerah aliran sungai. Faktor-faktor yang mendukung areal Kampung Susuk menjadi lahan persawahan diantaranya adalah bulan basah yang lebih banyak dibandingkan bulan kering, kondisi tanah yang lembab Tahun 1950-1952 pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan sistem manual tenaga manusia dan jenis tanaman berupa padi darat. Universitas Sumatera Utara 56 Tahun 1953-1968 pengolahan sawah sudah dibantu dengan irigasi tali air dan membajak menggunakan tenaga hewan sapi. Irigasi ini berasal dari sungai Bekala yang berada di Simpang Kuala. Namun, pada tahun 1968, ditemukan adanya ledakan yang menyebabkan pecahnya areal pembuangan. Masyarakat mengantisipasi kebocoran tersebut dengan membuat “rocok” atau patok dan penimbunan dengan tanah. Akan tetapi, hal ini tidak bertahan lama karena adanya peluapan air sungai dan menghanyutkan patok dan timbunan tanah. Tahun 1970 pemerintah Kota Medan tidak menghendaki adanya areal persawahan sehingga masyarakat mengubah sistem pertanian menjadi sawah tadah hujan. Masing-masing KK membentuk cetakan sawah berupa galangan-galangan sawah dengan tujuan untuk menutupi parit-parit aliran air yang dahulu digunakan pada areal perkebunan tembakau. Jenis padi yang digunakan adalah padi lokal yaitu “padi anak bado” dan “padi simbo”. Petani Kampung Susuk dahulu menggunakan sistem gotong-royong yang dinamakan “aron” dengan jumlah anggota 8-10 orang per kelompok gotong royong. Seiring dengan perkembangan zaman terjadi pengalihan fungsi lahan menjadi lahan pemukiman dan perkebunan sawit di sekitar persawahan. Hal ini berdampak terhadap hasil pertanian sawah petani karena adanya hama pengganggu yaitu tikus yang berasal dari areal perkebunan sawit. Selain varietas tanaman padi, masyarakat Kampung Susuk juga pernah mencoba menanam tanaman palawija berupa kacang hijau, kacang tanah, akcang kedelai, dan jagung. Namun, kondisi tanah yang lembab tingkat penyerapan air tinggi menyebabkan jenis-jenis tanaman ini tidak dapat hidup di lahan tersebut. Hal Universitas Sumatera Utara 57 ini disebabkan karena tingkat penyerapan air yang tinggi oleh tanah sehingga terjadi pembusukan akar.

3.1.2. Organisasi Di Bidang Pertanian