Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Belajar Insidental dan Intensional dalam Tingkat Pemerosesan Informasi yang Berbeda

(1)

INTENSIONAL DALAM TINGKAT PEMEROSESAN INFORMASI YANG BERBEDA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

SITI RAHMAH 081301042

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP,2012/2013


(2)

i

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Belajar Insidental dan Intensional dalam Tingkat Pemerosesan

Informasi yang Berbeda

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 11 Februari 2013

SITI RAHMAH 081201042


(3)

ii

Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Belajar Insidental dan Intensional dalam Tingkat Pemerosesan Informasi yang

Berbeda

Siti Rahmah dan Lili Garliah

ABSTRAK

Fenomena pembelajaran bahasa Inggris siswa sekolah dasar masih kerap menjadi perbincangan dan sorotan dunia pendidikan nasional hingga saat ini. Tujuan pembelajaran bahasa Inggris pada siswa sekolah dasar yaitu diharapkan siswa mampu mengetahui berbagai kosakata bahasa Inggris yang sederhana guna

membantu siswa dalam kemampuan speaking, writing, dan juga listening.

Berbagai kosakata bahasa Inggris yang telah dipelajari diharapkan dapat mampu bertahan lama dalam memori siswa.Strategi kemampuan mengingat yang tepat dapat membantu individu dalam mempertahankan informasi yang diberikan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris dengan metode belajar (insidental dan intensional) dalam tingkat pemerosesan informasi yang berbeda (dangkal dan dalam). Penelitian ini dilakukan pada 120 siswa kelas 4 sekolah dasar negeri dan swasta di kota Medan.

Metode penelitiain ini menggunakan metode eksperimental dengan

desain between subject factorial design 2x2. Data yang diperoleh dianalisis

dengan two-way anova. Alat ukur yang digunakan adalah alat ukur yang terdiri

dari kumpulan kosakata bahasa Inggris kelas 4 sekolah dasar. Hipotesa pertama diterima yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh metode belajar (insidental dan intensional) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .85). Hipotesa kedua ditolak yang berarti bahwa terdapat pengaruh tingkat pemerosesan informasi (dangkal dan dalam) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .00). Hipotesa ketiga diterima yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi metode belajar (insidental dan intensional) dan tingkat pemerosesan informasi (dangkal dan dalam) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .45).

Kata Kunci : kemampuan mengingat, kosakata, bahasa Inggris, metode belajar

insidental, metode belajar intensional, tingkat pemerosesan dangkal, tingkat pemerosesan dalam.


(4)

iii

The difference of The Ability to Memorization English Vocabulary with Incidental and Intentional Learning Method in Different Level of Processing

Siti Rahmah and Lili Garliah

ABSTRACT

The phenomenon about the English learning in elementary school is often become a talk/conversation and spotlight in national education world today. One of the competencies of the student in elementary school in learning English is the ability to know and use a variety of basic English vocabulary that can help them learning English, especially in the case of reading, speaking, and listening. Various english vocabulary that have been learned is excepted to be able to last

long in student’s memory. The right strategy of ability for improve memory can

help individual to retain information that given previous situation process. This research gives an explanation about the difference in the ability to memorize with different learning method (incidental and intentional) in different level of information processing (deep and shallow) on 120 4th grade students of public and private elementary school in Medan.

This research used a true-experiment design specifically between subject factorial design 2x2. Data was analyzed using two-way anova. The measuring instrument used in this research was an instrument that consist of a collection of

English vocabularies from several 4th grade elementary English text book. The

first hypothesis was accepted because there was no effect of learning method (incidental and intentional) on the ability to memorize English vocabulary (p = .85), but the second hypothesis was rejected where there is an effect of

information-processing’ level (deep and shallow) on the ability to memorize

English vocabulary (p = .000). The third hypothesis was accepted that there was no difference in the ability to memorize English vocabulary with learning method (incidental and intentional) in different level of information processing (deep and shallo w) (p = .45).

Keywords : the ability to memorize, vocabulary, English, incidental learning

method, intentional learning method, shallow information processing, deep information processing.


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya yang diberikan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode belajar Insidental dan Intensional dalam Tingkat Pemerosesan Informasi yang

Berbeda”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk melengkapi persyaratan mencapai

Gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Untaian ucapan terima kasih yang tak akan bisa tergantikan disampaikan kepada ayahanda tercinta H. Miftahuddin Murad,MBA dan Ibunda Hj. Nurul Aini Tambunan. Terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, perhatian dan dukungan serta do`a kepada penulis hingga saat ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat, rizki, kesehatan dan kebahagiaan kepada ayahanda dan ibunda tercinta.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan serta dukungan secara fisik dan psikologis dari berbagai pihak akan amat tidak mungkin dan sulit bagi peneliti untuk mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Lili Garliah, M.Si, psikolog, selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis.

Terima kasih yang tak terkira atas segala bimbingan, arahan, kritik dan saran, kesabaran, dan kesediaan waktu dan juga dukungan yang diberikan kepada peneliti sejak seminar hingga penyelesaian skripsi ini.


(6)

v

3. Ibu Meidriani Ayu, M.kes, psikolog selaku dosen pembimbing akademik

yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalankan studi sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staf pengajar departemen Umum dan Eksperimen Fakultas

Psikologi USU. Kepada ibu Etty Rahmawati, M.Si, ibu Ika Sari Dewi,S.Psi,psikolog, kak Rahmi Rangkuti,M.Psi, kak Dina Nazriani,M.A dan kak Masitah,M.Si, terima kasih atas bimbingan, saran, kritikan, dukungan serta kesempatan ibu dan kakak bagi saya untuk menjadi bagian dari departemen UMEKS.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi USU. Terima kasih

atas bimbingan, saran, dan arahan yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini serta dosen-dosen yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ilmu dan motivasinya selama mengikuti perkuliahan.

6. Buat teman-teman terdekatku Ervi Apriliyanti S.Psi, Fatma Indriani,S.Psi,

Hana, Heni, Jefri Sani S.Psi, Mutia Karmila,S.Psi, Nanda, Pipit, Rizki Febrianti S.Psi, Susi Mariyani S.Psi, Arni Ardila,S.Psi, Cia, Dini, Eka, Kemal, Moyang, Nana Ade Suryana S.Psi, Tania, Yuyu dan juga sahabat serta kakakku tercinta kak Nuzul S.Psi. Satu untaian kalimat buat kalian semua “ percayalah bahwa tuhan memiliki tiga jawaban atas keinginan kita yaitu jawaban iya, tidak sekarang atau ada yang lebih baik, dan jawaban itu bisa kita ketahui jika kita belum melakukan yang terbaik dalam impian kita, dan jangan pernah berhenti menyentuh impianmu”. Semoga cita dan impian


(7)

vi

kita dapat tercapai walaupun harus melawati banyak kepahitan dan rintangan yang tak terhitung jumlahnya.

7. Untuk Uciku tercinta dan seorang insiprasi hidup bagiku Almarhumah Hj.

Siti Hawani Tandjung, kemudian tanteku tercinta Uni nani dan Elok adek terima kasih atas dukungan moril, abang dan adik-adiku M.Hanif. S.Th, Saadah Fadhila, Nur Muniifah terima kasih atas dukungan emosional kalian serta semua saudara sepupuku uteh fajar, bang ikbal, pristi, uning nisa dan

seluruh Murad Generation, I wanna said “I proud to be your familiy”.

8. Abang-abang dan teman sesama Asisten Laboratorium Fakultas Psikologi

USU. Bang Armen, Bang Agus, Kiki, Rahma dan Katherine. Terima kasih atas kebersamaan kita saat menjadi asisten, banyak pengetahuan dan pengalaman yang peneliti rasakan saat menjalani berbagai tugas asisten dan juga terima kasih atas saran, arahan dan dukungan kalian kepada peneliti untuk penyelesaian skripsi ini.

9. Teman – teman stambuk 2008 Fakultas Psikologi USU, yang selalu

memberikan dukungan semangat, dan keceriaan selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

10. Kepala Sekolah Sekolah SDIT Bunayya Medan, Kepala Sekolah SDPN

Medan, Kepala Sekolah SDN 060886, Kepala Sekolah SDN 060889, Kepala Sekolah SDN 060929, Kepala Sekolah Dasar Islam Al-Azhar Medan, Kepala Sekolah Dasar Al-Ikhlas Medan, yang telah bersedia memberikan izin dan juga kesempatan pada peneliti untuk melakukan


(8)

vii

pengambilan data dan riset penelitian ini. Terima kasih yang tak terucapkan atas kesedian dan keluangan waktu yang diberikan.

11. Semua pihak dan teman-teman yang mendukung proses penyelesaian

penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, Meskipun penyusunan skripsi ini telah diupayakan seoptimal mungkin, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.

We are great dream catchers

Never end up to catch our dream cause they will never know how us to grab it

Medan, 11 Februari 2013


(9)

viii

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN... i

ABSTRAK ... ... ii

ABSTRACT ... ... iii

KATA PENGANTAR... ... iv

DAFTAR ISI... ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C Tujuan Penelitian. ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Pemerosesan Informasi ... 14

1. Model Attkinson-Shifrin (Attkinson-Shiffrin Model)... 14

2.Tingkat Pemeroesesan Informasi (Level of proccesing) ... 18

3.Metode Belajar dalam Tingkat Pemerosesan Informasi ... 22

4.Asumsi-asumsi dalam Tingkat Pemerosesan Informasi ... 26

5. Tingkat Pemerosesan Infromasi secara Struktur, Phonem dan Semantik ... 27


(10)

ix

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pemerosesaninformasi 24

7.Faktor-faktor yang mempengaruhi memori ... 29

B. Bahasa ... 32

1. Definisi Bahasa ... 32

2. Struktur Bahasa ... 34

3. Manfaat Belajar Bahasa Asing ... 36

4. Kosakata dalam Bahasa Inggris ... 37

5. Manfaat Kosakata dalam Bahasa Inggris ... 38

6. Faktor Penunjang Keberhasilan Mempelajari Bahasa Inggris ... 38

7. Karakteristik Pembelajar Bahasa Inggris ... 42

C. Siswa Sekolah Dasar ... 45

1.Masa Anak-anak Pertengahan ... 45

2.Tahap Perkembangan Kognitif pada Masa Anak-Anak Pertengahan50 D. Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode belajar Insidental dan Intensional padaTingkat Informasi yang Berbeda ... 48

E. Hipotesa Penelitian ... 52

BAB III METODE PENELITIAN ... 54

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 54

B. Definisi Operasional ... 55

1. Metode Belajar ... 55

a. Metode Belajar Intensional ... 55


(11)

x

2. Tingkat Pemerosesan Informasi ... 56

a. Tingkat Pemerosesan Informasi Dalam (deep) ... 56

b. Tingkat Pemerosesan Informasi Dangkal (shallow) ... 57

3. Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 58

C. Desain Penelitian ... 58

D. Teknik Kontrol ... 61

E. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 66

1. Populasi dan Sampel ... 66

2. Metode Pengambilan Sampel ... 67

F. Alat Ukur dan Instrumen Penelitian ... 72

G. Persiapan Alat Ukur Penelitian ... 77

H. UJi Coba Alat Ukur Penelitian ... 78

1. Validitas Alat Ukur ... 79

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 80

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 81

4. Revisi Alat Ukur ... 82

5. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 82

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 82

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 91

2. Tahap Pengelolaan Data ... 96

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 98

A. Analisa Data ... 98


(12)

xi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 121


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Belajar Sekolah Negeri A Semester I T.A 2012/2013 ... 3

Tabel 2. Hasil Belajar Sekolah Swasta B Semester I T.A 2012/2013 ... 3

Tabel 3. Waktu Prosedur Uji Coba Pelaksanaan Eksperimen ... 86

Tabel 4. Revisi Waktu Prosedur Pelaksanaan Eksperimen ... 89

Tabel 5. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Uji Normalitas ... 109

Tabel 6. Hasil Uji Homogentitas dari Alat Ukur Kosakata Bahasa Inggris... 101

Tabel 7. Deskriptif Statistik Jumlah Kosakata antara Kelompok I,II,III dan IV . 102 Tabel 8.Hasil Pengelolaan Data dengan Two-way anova ... 104

Tabel 9.Rentang Hasil Alat Ukur Kemampuan mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 106

Tabel 10. Pengelolaan Subjek Penelitian ... 106

Tabel 11.Deskriptif Jumlah Kosakata Bahasa Inggris Berdasarkan Jenis Kelamin ... 107

Tabel 12.Deskriptif Jumlah Kosakata Bahasa Inggris Berdasarkan Tingkat Kursus Bahasa Inggris ... 108


(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Atkinson-Shiffrin’s Model of Memory ... 14 Gambar 2 Kerangka Berpikir ... 52

Gambar 3 Pembagaian Jumlah Siswa menggunakan block randomized design .. 70

Gambar 4 Penyebaran Subjek secara Kesuluruhan Berdasarkan Usia ... 98

Gambar 5 Penyebaran Subjek secara Kesuluruhan Berdasarkan Jenis Kelamin .. 99

Gambar 6 Tingkatan Kelas Bahasa Inggris Subjek yang Mengikuti Kursus Bahasa Inggris ... 99


(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

1. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Alat Ukur Kosakata Bahasa

Inggris ... 124

LAMPIRAN B 1. Data Hasil Alat Ukur Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris pada Kelompok I,II,III dan IV ... 129

LAMPIRAN C 1. Hasil Uji Normalitas ... 136

2. Hasil Uji Homogentitas ... 139

3. Hasil Uji Hipotesis (Two-way anova) ... 140

4. Hasil Mean Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 142

5. Hasil Mean Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Insidental, Metode Intensional, Tingkat Pemerosesan Dangkal, dan Tingkat Pemerosesan Dalam ... 142

6. Hasil Mean Kemampuan Mengingat Kelompok I,II,III,IV ... 143

7. Hasil Mean Kemampuan Mengingat Berdasarkan Jenis Kelamin ... 143

8. Hasil Mean Kemampuan Mengingat Berdasarkan Tingkat Kursus Bahasa Inggris ... 143


(16)

xv LAMPIRAN D

1. Alat Ukur Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 146

2. Lembar Jawaban Alat Ukur Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 147

3. Lembar Respon Tingkatan Pemerosesan Informasi Dalam ... 148

4. Lembar Respon Tingkatan Pemerosesan Informasi Dangkal ... 149

LAMPIRAN E ... 152

1. Data Hasil Nilai Raport Subjek Semester I

2. Informed Consent


(17)

ii

Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Belajar Insidental dan Intensional dalam Tingkat Pemerosesan Informasi yang

Berbeda

Siti Rahmah dan Lili Garliah

ABSTRAK

Fenomena pembelajaran bahasa Inggris siswa sekolah dasar masih kerap menjadi perbincangan dan sorotan dunia pendidikan nasional hingga saat ini. Tujuan pembelajaran bahasa Inggris pada siswa sekolah dasar yaitu diharapkan siswa mampu mengetahui berbagai kosakata bahasa Inggris yang sederhana guna

membantu siswa dalam kemampuan speaking, writing, dan juga listening.

Berbagai kosakata bahasa Inggris yang telah dipelajari diharapkan dapat mampu bertahan lama dalam memori siswa.Strategi kemampuan mengingat yang tepat dapat membantu individu dalam mempertahankan informasi yang diberikan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris dengan metode belajar (insidental dan intensional) dalam tingkat pemerosesan informasi yang berbeda (dangkal dan dalam). Penelitian ini dilakukan pada 120 siswa kelas 4 sekolah dasar negeri dan swasta di kota Medan.

Metode penelitiain ini menggunakan metode eksperimental dengan

desain between subject factorial design 2x2. Data yang diperoleh dianalisis

dengan two-way anova. Alat ukur yang digunakan adalah alat ukur yang terdiri

dari kumpulan kosakata bahasa Inggris kelas 4 sekolah dasar. Hipotesa pertama diterima yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh metode belajar (insidental dan intensional) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .85). Hipotesa kedua ditolak yang berarti bahwa terdapat pengaruh tingkat pemerosesan informasi (dangkal dan dalam) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .00). Hipotesa ketiga diterima yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi metode belajar (insidental dan intensional) dan tingkat pemerosesan informasi (dangkal dan dalam) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .45).

Kata Kunci : kemampuan mengingat, kosakata, bahasa Inggris, metode belajar

insidental, metode belajar intensional, tingkat pemerosesan dangkal, tingkat pemerosesan dalam.


(18)

iii

The difference of The Ability to Memorization English Vocabulary with Incidental and Intentional Learning Method in Different Level of Processing

Siti Rahmah and Lili Garliah

ABSTRACT

The phenomenon about the English learning in elementary school is often become a talk/conversation and spotlight in national education world today. One of the competencies of the student in elementary school in learning English is the ability to know and use a variety of basic English vocabulary that can help them learning English, especially in the case of reading, speaking, and listening. Various english vocabulary that have been learned is excepted to be able to last

long in student’s memory. The right strategy of ability for improve memory can

help individual to retain information that given previous situation process. This research gives an explanation about the difference in the ability to memorize with different learning method (incidental and intentional) in different level of information processing (deep and shallow) on 120 4th grade students of public and private elementary school in Medan.

This research used a true-experiment design specifically between subject factorial design 2x2. Data was analyzed using two-way anova. The measuring instrument used in this research was an instrument that consist of a collection of

English vocabularies from several 4th grade elementary English text book. The

first hypothesis was accepted because there was no effect of learning method (incidental and intentional) on the ability to memorize English vocabulary (p = .85), but the second hypothesis was rejected where there is an effect of

information-processing’ level (deep and shallow) on the ability to memorize

English vocabulary (p = .000). The third hypothesis was accepted that there was no difference in the ability to memorize English vocabulary with learning method (incidental and intentional) in different level of information processing (deep and shallo w) (p = .45).

Keywords : the ability to memorize, vocabulary, English, incidental learning

method, intentional learning method, shallow information processing, deep information processing.


(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan suatu aspek yang penting bagi kehidupan manusia. Dengan adanya bahasa kita mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain di sekitar kita. Bahasa secara linguistik didefinisikan sebagai penggunaan cara yang terorganisasi dari pengombinasian kata-kata untuk berkomunikasi (Sternberg,2008). Bahasa bisa dianalisa dalam berbagai bentuk struktur dasar

yaitu dari segi phoneme (sistem suara), morpheme (peran dari pembentukan kata),

lexicon (kosakata), syntax, semantic dan pragmatic (Carrol,2004).

Kosakata merupakan struktur dasar bahasa. Dalam komunikasi melalui bahasa, kosakata merupakan unsur yang penting. Salah satu bahasa yang memiliki perbendaharaan kosakata yang cukup banyak adalah bahasa Inggris (Harmer,2003). Bahasa Inggris merupakan bahasa kedua atau bahasa resmi di banyak negara di dunia termasuk sebagian negara-negara di Asia, dengan jumlah pemakai keseluruhan mencapai kurang lebih 390 juta orang (Elsjelyn,2010). Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan untuk mengusai bahasa Inggris, terutama para intelektual dan calon intelektual (mahasiswa dan pelajar), tampak semakin nyata. Di Indonesia mata bahasa Inggris sudah diajarkan sejak jenjang pendidikan sekolah dasar. Hal ini tertuang dalam

SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 060/U/1993 tanggal 25 Februari


(20)

muatan lokal SD, dan dapat dimulai pada kelas 4 SD (Suyanto,2005). Bahkan saat ini, beberapa sekolah yang mapan mulai memberikan pelajaran bahasa Inggris kepada para siswanya sejak mereka duduk di kelas 1 sekolah dasar.

Dalam pendidikan sekolah dasar (SD) tujuan utama pembelajaran bahasa Inggris adalah agar siswa dapat membaca, menyimak, melafalkan, dan menulis sejumlah kosakata dan keterampilan fungsional dalam kalimat dan ujaran bahasa Inggris sederhana yang berhubungan dengan lingkungan siswa, sekolah, dan sekitarnya (Kurikulum,2006). Namun, fenomena yang terjadi saat ini, sistem pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar masih mengalami kendala dan tidak sesuai dengan tujuan kompetensi yang diinginkan sehingga memicu wacana pada pemerintah mengenai penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris dari kurikulum pendidikan sekolah dasar. Menurut Retno Listryarti Sekjen Federasi Serikat Guru

Indonesia (dalam Republika, Oktober 2012) menyatakan bahwa wacana

pemerintah untuk menghapuskan mata pelajaran bahasa Inggris dalam kurikulum pendidikan sekolah dasar bukan suatu solusi untuk mengatasi permasalahan pembenahan kurikulum sekolah dasar, mata pelajaran bahasa Inggris yang diajarkan pada siswa sekolah dasar selama ini memang cenderung mengajarkan

kepada struktural atau grammar bahasa Inggris sedangkan tujuan kurilkulum

mempelajari bahasa Inggris pada siswa sekolah dasar lebih menekankan kepada kemampuan memiliki perbendaharaan kosakata untuk berkomunikasi atau minimal pengetahuan kata-kata bukan membuat kalimat apalagi kalau kalimatnya susah, jadi bahasa Inggris itu penting itu diajarkan sejak dini untuk membangun


(21)

sikap komunikasi dan percaya diri pada anak terutama dalam menghadapi era globalisasi saat ini.

Berdasarkan hasil nilai rata-rata mata pelajaran yang diperoleh peneliti dari beberapa sekolah dasar di kota Medan ditemukan bahwa beberapa mata pelajaran memiliki nilai rata-rata lebih rendah dibandingkan mata pelajaran lainnya dan hal ini terjadi pada siswa pada siswa kelas 4. Berikut nilai rata-rata mata pelajaran pada semester I kelas 4 dari beberapa sekolah dasar kota Medan:

Tabel 1. Hasil Belajar Sekolah Negeri A Semester I T.A 2012/2013

Kelas MATA PELAJARAN SISWA

AGA MA

PKN B.IN

D

MAT IPA IPS SBK PENJ

AS

B.ING GRIS

4 78.7 80.3 76.3 76.9 79.4 80.4 80.1 80.4 74.3

Tabel 2. Hasil Belajar Sekolah Swasta B Semester I T.A 2012/2013

Kelas MATA PELAJARAN SISWA

PKN B.IND MAT IPA IPS SBK PENJ

AS

B.ING GRIS

4 79 83 79 77.8 79.2 76.2 79.4 74.5

Hasil nilai rata-rata siswa kelas 4 dari beberapa sekolah dasar diatas menunjukkan bahwa terdapat beberapa nilai rata-rata yang lebih rendah dibandingkan mata pelajaran lain terutama pada mata pelajaran bahasa Inggris. Nilai rata-rata yang rendah dalam mata pelajaran bahasa Inggris pada siswa kelas 4 menunjukkan bahwa terdapat permasalahan maupun kendala yang diperoleh siswa di tingkat kelas tersebut.


(22)

Hasil wawancara dengan beberapa guru pengampu mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar yang merespon bahwa permasalahan penurunan nilai bahasa Inggris kerap terjadi pada siswa sekolah kelas 4 pada beberapa sekolah dasar negeri dan swasta di kota Medan. Berikut hasil wawancara personal dengan beberapa guru pengampu mata pelajaran bahasa Inggris pada siswa sekolah dasar :

“Kemampuan siswa dalam mata pelajaran bahasa Inggris mengalami

penurunan setiap tahunnya. Siswa sulit untuk mengikuti pelajaran bahasa Inggris yang saya berikan. Banyak sebenarnya faktor yang mempengaruhi kemampuan mereka dalam bahasa Inggris salah satunya yah karena kurangnya perbendaharaaan kosakata mereka. Buku pelajaran bahasa Inggris rata-rata sudah memperkenalkan kosakata bahasa Inggris sejak kelas satu, jadi semakin tinggi kelasnya siswa dituntut untuk sudah menguasai kosakata sebelumnya sehingga mempermudah mereka belajar bahasa Inggris tapi kenyataannya yah mereka malesan-malesan dan terus merasa sulit mengahapalnya. Sehingga hasilnya ketika ujian atau pun ada tugas rumah mereka jadi sulit mengerjakannya dengan baik karena mereka harus mengetahui lagi kosakata dalam soal tersebut, padahal kosakata tersebut sudah saya ajarkan dikelas. Hal ini sering terjadi mulai kelas 3 hingga kelas 6 sekolah dasar.

Pak Y SDPN Medan (Komunikasi Personal, 15 Juni 2012)

“Sejak saya mengajar mata pelajaran bahasa Inggris untuk tingkat sekolah dasar, saya menemukan beberapa permasalahan terutama dalam meningkatkan kemauan siswa untuk menyukai bahasa Inggris tapi selalu saja siswa merasa sulit dan mengatakan bahwa bahasa Inggris adalah pelajaran yang tidak mudah terutama saat saya memperkenalkan berbagai perbendaharaan kosakata baru. Kosakata bahasa Inggris yang kerap saya berikan kepada siswa dianggap siswa sebagai hal yang sulit dikarenakan mereka harus menghapal kosakata bahasa Inggris dengan pronouncation yang berbeda dalam setiap kata dan juga mengingat arti setiap kata guna membantu mereka berbicara.Permasalahan ini malah saya temukan di jenjang kelas yang semakin tinggi yaitu mulai siswa kelas 4 hingga kelas 6 yang malah kewalahan dan semakin menurun keinginannya mempelajarai bahasa Inggris, sebenarnya jika menurut kurikulum pelajaran bahasa Inggris tidak harus diperkenalkan sejak kelas 1 sekolah dasar namun yang saya temukan siswa kelas 1 atau kelas 2 memiliki kemauan yang tinggi untuk mempelajari bahasa Inggris dibanding kakak kelas mereka. Diharapkan setelah lulus dari tingkat sekolah dasar setidaknya siswa telah mampu memiliki lebih dari 300 kosakata bahasa Inggris guna membantu


(23)

mereka dalam mempelajari bahasa Inggris di jenjang sekolah berikutnya atau sekolah menengah pertama”.

Pak A SDIT Bunayya Medan (Komunikasi Pesonal, 16 Juni 2012)

Peneliti juga mencoba melakukan wawancara singkat dengan beberapa siswa sekolah dasar mengenai mata pelajaran bahasa Inggris. Berikut hasil wawancara personal dengan beberapa siswa sekolah dasar di kota Medan:

“Bahasa Inggris ya kak, kalau menurut aku susah kak, karena aku emang kurang suka bahasa Inggris. Dulu waktu kelas 1 masih suka kak tapi ga tau sekarang ditanya bahasa Inggris aku malah jadi ga suka kak, pelajarannya makin payah kak. Guru suka nyuruh ngapal vocabulary banyak kali kak, kalau dulu di kelas 1 atau kelas 2 ga banyak kali kak.

Siswa M Kelas 4 SD Swasta Al-Ikhlas (Komunikasi Pesonal, 06 April 2013)

“Kalo pelajaran bahasa Inggris itu kadang enak tapi kadang sulit kak, kalo sekarang aku sama teman-teman suka dikasih pelajaran tentang cara buat kalimat terus buat pidato makanya kami sekarang malah harus bawa kamus ke sekolah setiap hari karena kan pak guru nanti nanya apa bahasa Inggris ini apa artinya jadi makanya harus dihapal. Kalo ditanya masih ingat kata-kata bahasa Inggris yang diajarakan yah kalo baru keluar pelajaran bahasa Inggris masih ingat lah kak tapi kalo besok ditanya pak guru lagi ga

semuanya lah kak yang kami ingat.”.

Siswa F Kelas 4 SD Negeri 060889 (Komunikasi Pesonal, 06 April 2013)

Berdasarkan pemaparan hasil wawancara yang diperoleh diatas dapat kita ketahui bahwa baik guru maupun siswa memerlukan metode serta strategi guna

membantu meningkatkan perbendaharaan kosakata bahasa Inggris.

Perbendaharaan kosakata merupakan hal yang penting untuk menguasai suatu bahasa. Dalam bahasa Inggris perbendaharaan kosakata merupakan hal yang dasar

untuk menguasai bahasa Inggris (Elsjelyn,2010). Dalam buku KBBI Edisi Ketiga


(24)

mempelajari bahasa Inggris adalah tentang penguasaan kosakata. Untuk menguasai keterampilan reseptif dan produktif siswa harus didukung oleh penguasaan kosakata bahasa Inggris. Kemampuan reseptif yaitu kemampuan

melakukan listening dan reading yang baik sedangkan kemampuan produktif

merupakan kemampuan siswa dalam hal speaking dan writing yang baik.

Berbagai kosakata bahasa Inggris yang telah dipelajari diharapkan dapat mampu bertahan lama dalam memori siswa. Kemampuan untuk mempertahankan kosakata sangat berkaitan dengan kemampuan memori yang dimiliki individu (Elsjelyn,2010). Solso dan Machlin (2008) menyatakan memori sangat diperlukan dalam proses belajar, memori dapat membantu pembelajar untuk memproses informasi, mengelola informasi dan mengingat kembali informasi tersebut. Memori atau ingatan merupakan cara-cara yang dengannya kita mempertahankan dan menarik pengalaman dari masa lalu untuk digunakan saat ini (Tulving & Craik, dalam Sternberg 2008).

Menggunakan tingkat pemerosesan informasi yang tepat dapat membantu individu memperoses dan mempertahankan informasi lebih lama di dalam memori. Dalam konsep memori terdapat teori tingkat pemerosesan informasi yang dikemukakan oleh Craick dan Lockhart (Neath & Surprenant,2003). Craick dan Lockhart (dalam Lahey,2007) mengemukakan teori tingkat pemerosesan informasi merupakan suatu teori yang menjelaskan bahwa kekuatan atau daya tahan informasi yang telah dikelola di dalam memori sebenarnya bergantung pada

bagaimana informasi tersebut diperoses dan disandi (encoding) dalam memori.


(25)

individu menggunakan pemerosesan yang dalam (deep) daripada pemerosesan

dangkal (shallow). Tingkat dangkal (shallow) maupun dalam (deep) ditemukan

lebih baik dalam menjelaskan pemerosesan informasi.

Teori tingkat pemerosesan informasi juga memiliki metode atau kondisi belajar yang kerap digunakan dalam studi-studi pemerosesan informasi guna meningkatkan kemampuan mengingat informasi pada individu. Dua metode kontrol yang juga dikenal sebagai instruksi belajar dalam studi tingkat pemerosesan informasi adalah metode belajar insidental dan intensional. Metode belajar intensional didefinisikan sebagai metode atau instruksi belajar dimana individu mengatahui bahwa materi yang diberikan sebelumya akan diuji kembali. Sedangkan metode insidental didefinisikan sebagai metode atau instruksi belajar dimana individu tidak mengetahui bahwa materi yang telah diberikan sebelumnya akan diuji kembali (Neath & Surprenant,2003).

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti terhadap tiga sekolah dasar di kota Medan menemukan bahwa metode belajar insidental dan intensional merupakan dua metode yang juga digunakan dalam membantu proses pembelajaran bahasa Inggris. Pada beberapa sekolah dasar yang diobservasi diperoleh bahwa metode pengajaran intensional diterapkan dalam proses pembelajaran bahasa Inggris terutama saat pemberian kosakata baru dimana pada proses pembelajaran guru memberikan beberapa kosakata dan kemudian siswa diminta untuk mengingat kosakata kembali tersebut baik secara bersama maupun secara individual. Sedangkan metode pembelajaran yang kedua yaitu metode insidental juga digunakan dalam proses pengajaran bahasa Inggris di beberapa


(26)

sekolah dasar. Penerapan metode insidental dilakukan oleh pihak sekolah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menempel berbagai kosakata bahasa Inggris dengan rapi di masing-masing kelas siswa. Berbagai kosakata yang berada di lingkungan siswa serta dapat dilihat siswa secara langsung diharapkan dapat membantu siswa mengingat kosakata dan meningkatkan perbendaharaan kosakata bahasa Inggris siswa.

Hasil observasi juga menemukan bahwa penerapan pemerosesan informasi juga digunakan dalam membantu siswa mengingat kosakata lebih baik.

Pengelolaan informasi yang dangkal (shallow) yang hanya tertuju kepada bentuk

fisik dari kosakata tersebut akan mudah untuk dilupakan. Tingkat pemerosesan

informasi yang dangkal (shallow) dimana informasi yang diproses dalam memori

lebih menekankan pada bentuk fonologi serta suara dari kata tersebut. Penerapan pemerosesan informasi dimana guru akan menuliskan beberapa kosakata baru beserta artinya dan kemudian siswa diminta untuk membaca bersama-sama kosakata yang telah dituliskan di papan tulis secara berulang sebanyak tiga kali dan kemudian membaca artinya hanya satu kali. Penerapan pemerosesan

informasi dalam (deep) tidak begitu sering digunakan dimana guru tidak mencoba

untuk menghubungkan kosakata baru yang akan diperkenalkan kepada siswa dengan pengalaman yang menyenangkan seperti dengan bermain sambil belajar kosakata. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suyanto (2005) bahwa untuk pembelajar dini lebih baik menerapkan berbagai cara dan metode menyenangkan dalam membangun rasa senang dalam mempelajari bahasa asing


(27)

sehingga siswa tidak merasa sulit dan tidak merasa jenuh mempelajari bahasa tersebut.

Beberapa hasil penelitian sebelumnya mengemukakan metode belajar atau kondisi belajar insidental dan intensional digunakan sebagai metode belajar dalam penelitian eksperimen terhadap mata pelajaran bahasa Inggris siswa. Jamel (2011) yang menemukan bahwa performansi mempelajari kosakata dengan metode belajar insidental berkaitan dengan pemerosesan informasi yang lebih dalam dan lebih mampu disimpan dalam memori untuk waktu yang cukup lama dibandingkan secara intensional pada mahasiswa. Namun, berbeda dengan hasil penelitian Alemi dan Tayebi (2011) dimana berdasarkan penelitian tersebut diperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dalam mempelajari kosakata bahasa Inggris dengan metode belajar insidental dan intensional pada siswa menengah pertama. Hasil penelitian Eagle dan Leiter (dalam Neath & Suprenant,2003) juga menjelaskan bahwa subjek dengan metode intensional lebih tinggi dari pada subjek dengan metode insidental dikarenakan instruksi intensional memudahkan subjek untuk mengorganisir materi yang diberikan dan hasil organisasi tersebut memberikan manfaat yang besar terhadap peroses

mengingat.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat kita ketahui bahwa untuk meningkatkan kemampuan mengingat diperlukan metode maupun strategi yang tepat sehingga siswa dapat mengingat berbagai perbendaharaan kosakata bahasa Inggris. Mata pelajaran bahasa Inggris merupakan salah satu pelajaran muatan lokal yang sudah diajarkan sejak bangku sekolah dasar namun hingga saat ini


(28)

masih ditemukan berbagai kendala khususnya dalam meningkatkan perbendaharaan kosakata bahasa Inggris siswa. Metode insidental maupun intensional sebagai dua metode yang juga diterapkan dalam proses pembelajaran masih belum diteliti perbedaan efektifitasnya terhadap pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Begitu pula masih perlunya strategi mengingat perbendaharaan

kosakata bahasa Inggris. Tingkat pemerosesan informasi dangkal (shallow)

maupun dalam (deep) juga digunakan sebagai strategi dalam mengingat akan

tetapi hingga saat ini juga tidak pernah diperoleh hasil perbandingan dari dua stategi pemerosesan tersebut guna membantu kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris dalam jenjang pendidikan sekolah dasar khususnya di kota Medan. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian guna melihat perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris dengan metode belajar insidental

dan intensional dalam tingkat pemerosesan informasi pada situasi eksperimen

siswa sekolah dasar. Metode belajar insidental dan intensional yang berhubungan dengan pemerosesan informasi terhadap kemampuan mengingat kosakata siswa diharapkan menjadi metode serta strategi dalam meningkatkan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris siswa.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini “Apakah terdapat perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris menggunakan metode belajar

(insidental dan intensional) dalam tingkat pemerosesan informasi yang berbeda


(29)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kemampuan mengingat para siswa dengan penerapan metode belajar insidental dan intensional dalam tingkat pemerosesan informasi yang berbeda.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis:

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah wawasan pengetahuan, terutama dalam bidang psikologi

umum dan eksperimen.

b. Penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian serupa di masa

yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan sekolah dasar dapat

mengetahui metode pembelajaran yang efektif dalam membantu kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris siswa.

b. Bagi orangtua, memberikan wacana bagi orangtua mengenai metode

dan penerapan strategi mengingat yang tepat guna membantu kemampuan mengingat berbagai kosakata bahasa Inggris anak.

c. Bagi siswa, dapat membantu siswa menggunakan metode dan strategi

mengingat yang dapat bertahan lama guna membantu mengingat kosakata bahasa Inggris siswa sehari-hari.


(30)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Berisikan mengenai latar belakang masalah yang hendak dibahas, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Berisikan mengenai tinjauan pustaka yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian anta lain pemerosesan informasi, metode belajar dalam tingkat pemerosesan informasi, asumsi-asumsi dalam tingkat pemerosesan informasi, definisi bahasa, struktur bahasa, kosakata dalam bahasa Inggris, karakteristik pembelajar bahasa Inggris dini, siswa sekolah dasar, perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris dengan metode insidental dan intensional dalam tingkat pemerosesan informasi yang berbeda dan hipotesa penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Berisikan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, rancangan penelitian, teknik kontrol, prosedur eksperimen, metode pengumpulan data dan metode analisa data.


(31)

Bab IV : Hasil Analisis Data

Berisikan gambaran subjek/partisipan penelitian, analisa data dan

pembahasan. Analisa data dilakukan dengan menggunakan

pengelolaan data statistik kemudian disertai bagian pembahasan. Bab V : Kesimpulan dan Saran

Berisikan kesimpulan jawaban dari pertanyaan penelitian sebagaimana yang dituangkan dalam hipotesa penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data serta pada bagian kesimpulan dijabarkan jawaban atas masalah yang diajukan. Saran yang diajukan peneliti berupa saran metodologis bagi peneliti selajutnya dan praktis bagi pakar pendidikan dan orangtua.


(32)

14 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pemerosesan Informasi 1. Atkinson-Shiffrin Model

Memori/Ingatan adalah cara-cara yang dengannya kita mempertahankan dan menarik pengalaman dari masa lalu untuk digunakan saat ini (Tulving &

Craik,2000). Dalam Matlin (2005) dijelaskan bahwa Atkinson-Shiffrin model

(1968) mengutarakan bahwa memori bisa dipahami sebagai suatu rangkaian tahap yang berlainan, dimana informasi ditransfer dari satu tahapan area ketahapan area

lainnya. Atkinson-Shiffrin model merupakan pendekatan pemerosesan informasi

yang dijadikan model terbaik dalam menjelaskan proses informasi, dimana adanya tiga tingkatan sistem memori.

1.1 Atkinson-Shiffrin’s Model of Memory (1986)

Lost from Short-term memory Lost from sensory memory

Lost from Long-term memory

Short-term memory (Working memory)

Long-term memory External Input


(33)

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa Atkinson-Shiffrin model, menggambarkan bagaimana informasi diproses. Stimulus eksternal dari

lingkungan pertama kali masuk ke sensory memory, kemudian beberapa materi

dari sensory memory disampaikan ke short-term memory atau dikenal juga

sebagai working memory. Dan terakhir materi tersebut dilatih lagi dan

disampaikan dari short term-memory ke long-term memory. Berikut Penjelasan

mengenai pemerosesan informasi pada Atkinson-Shiffrin model:

a. Sensory Memory

Merupakan sistem penyimpanan yang besar, merekam informasi

yang diterima dari setiap indera. Sensory memory menyimpan informasi

yang asli hanya untuk waktu yang singkat. Ada dua bentuk sensory

memory, yakni iconic memory (penglihatan), dan echonic memory (pendengaran). Model ini menjelaskan bahwa informasi yang berada

pada sensory memory bisa bertahan 2 detik atau kurang, dan kemudian

lebih dari itu informasi akan dilupakan.

b. Short Term Memory (Working Memory)

Short-term memory merupakan merupakan tahapan memori yang

berisi sedikit informasi yang kita gunakan. Memori dalam short-term

memory mudah pecah walaupun tak semudah pada tahap sensory

memory , memori ini bisa hilang sekitar 30 detik kecuali jika informasi

tersebut dilulang-ulang kembali. Short-term memory dijelaskan juga

sebagai kemampuan memori menyimpan informasi persepsi untuk jumlah waktu yang lebih lama namun dengan kapasitas yang relatif


(34)

terbatas (Richard-Klevehn & Bjork,2003). Memori ini menahan data memori selama beberapa beberapa detik dan terkadang bisa juga sampai beberapa menit. Menurut model Atkinson-Shiffrin, simpanan jangka pendek hanya bisa mengingat beberapa hal saja. Biasanya materi masih bisa bertahan di dalam memori jangka pendek kira-kira 30 detik saja, kecuali ia dilatih untuk mempertahankannya lagi (Sternberg,2008).

c. Long Term Memory

Long-term memory, dimana memori ini memiliki kapasitas yang besar karena memori ini berisi memori-memori lama, dan juga penambahan dari memori yang diperoleh beberapa menit lalu.

Atkinson-Shiffrin mengemukakan bahwa informasi yang tersimpan dalam

long-term memory akan relatif permanen dan tidak mudah hilang. Dalam Sternberg (2008) juga diungkapkan bahwa memori jangka panjang merupakan kapasitas memori yang sangat besar dalam kemampuannya menyimpan berbagai informasi pengalaman untuk priode yang sangat panjang, bahkan mungkin untuk waktu yang tak terbatas (Richard-Klevehn & Bjork,2003).

Kemudian terdapat tiga proses pengolahan informasi yang dilakukan di dalam memori menurut Sternberg (2008), yaitu:

a. Pengodean (encoding)

Tahap pertama dalam pemrosesan informasi adalah encoding.

Encoding merupakan proses yang bertujuan untuk mengubah informasi sehingga individu dapat menempatkannya di dalam memori. Individu


(35)

mengubah informasi ke dalam bentuk psikologis yang dapat diterima mental. Biasanya kode yang digunakan adalah kode semantik, visual, dan akustik. Kode semantik didasarkan pada makna dan merupakan kode yang

dominan di dalam memori jangka panjang (long term memory). Kode

akustik didasarkan pada bahasa dan merupakan kode memori yang

dominan dalam memori jangka pendek (short term memory). Materi yang

ada di dalam kode akustik biasanya terdiri dari urutan huruf, angka, ataupun kata-kata yang tidak bermakna. Sedangkan kode visual diwakili oleh gambar.

b. Penyimpanan (storage)

Pemerosesan yang kedua adalah penyimpanan yang berfungsi untuk mempertahankan informasi.

c. Pemanggilan (retrieval)

Pemerosesan yang ketiga adalah pemanggilan. Pemanggilan adalah proses mengakses kembali informasi yang telah disimpan. Menurut Hunt

& Ellis (2004) proses pemanggilan ada dua, yaitu: recall dan recognition.

Recall merupakan proses pemanggilan dimana individu diminta untuk memproduksi aitem-aitem yang telah dipelajari sebelumnya sedangkan recognation merupakan proses pemanggilan dimana individu diminta untuk mengidentifikasi aitem-aitem yang dipresentasikan atau dihadirkan sebelumnya (Matlin,2005).


(36)

2. Tingkat Pemerosesan Informasi (Level of Processing Theory)

Teori tingkat pemerosesan informasi (level of processing) merupakan

teori yang menjelaskan bagaimana kita bisa menganalisis stimulus dan

menjelaskan apa hasil memory code yang diperoleh dari berbagai tingkatan

analisis. Tidak seperti teori Atkinson-Shiffrin (1968), yang hanya memperhatikan komponen struktur atau tingkatan memori, akan tetapi teori keduanya saling berdampingan. Craik (dalam Reed,2004) menyatakan bahwa inti dalam

kebanyakan studi tingkat pemerosesan informasi adalah untuk memperoleh

pemahaman yang lebih luas mengenai memory code yang beroperasi dalam LTM,

dan bukan menyangkal perbedaan antara STM dan LTM. Ketika memperhatikan

perspektif ini, cara kerja tingkat pemerosesan informasi memberikan penjelasan

lebih dari sekedar penjelasan mengenai memindahkan suatu tingkatan analisis dengan menunjukkan bagaimana proses kontrol bisa mempengaruhi kemampuan

penyimpananindividu terhadap suatu materi.

Tingkat pemerosesan informasi juga didefinisikan sebagai teori yang

menyetujui mengenai adanya tingkat dalam (deep), pemerosesan informasi yang

bermakna lebih bertahan lama dibandingkan tingkat dangkal (shallow), teori ini

disebut juga sebagai pendekatan tingkat pemerosesan dalam (depth-of-processing

approach). Tingkat pemerosesan informasi memprediksi bahwa kita akan mampu

mengingat banyak kata ketika kita menggunakan tingkat pemeorosesan dalam

(deep). Sebaliknya tingkat pemerosesan memprediksi bahwa kemampuan

mengingat kita akan semakin sedikit ketika kita menggunakan tingkat


(37)

kata ketika kita hanya memperhatikan bentuk (physical appereance) dari kata tersebut (misalnya huruf kapital dalam kata tersebut) atau suara dari kata tersebut

(misalnya rhyme atau suara dari kata tersebut) (Matlin,2009).Teori tingkat

pemerosesan informasi (level of processing) memiliki tujuan yang menjelaskan

bahwa ada perbedaan cara untuk mengodekan suatu materi dan ada berbagai memory code yang lebih baik daripada yang lain. Tingkat pemerosesan informasi merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa tingkat proses terdalam (semantik) lebih bisa bertahan lama pada memori. Kesuksesan mengingat kembali sebuah kata bergantung kepada berbagai operasi yang dibentuk untuk memasukkan informasi kata (Reed,2004).

Secara umum manusia akan menerima tingkat pemerosesan informasi yang dalam ketika mengambil makna dari suatu stimulus yang diberikan. Ketika kita menganalisa suatu makna maka kemudian kita akan menghubungkannya dengan hal yang lain seperti gambar, pengalaman yang lalu dan berbagai hal yang berhubungan dengan stimulus. Stimulus yang dianalisa dalam tingkat

pemerosesan dalam (deep) akan semakin mampu diingat (Roediger, Gallo, &

Geraci, dalam Matlin 2009). Berikut penjelasan mengenai dua tingkat pemerosesan:

1. Pemerosesan informasi tingkat dalam (deep)

Teori Tingkat pemerosesan informasi dalam (deep) merupakan tingkat

pemerosesan informasi yang memfokuskan dan melibatkan informasi terhadap

makna (meaning). Tingkat pemerosesan dalam memprediksi bahwa kita bisa


(38)

pemerosesan informasi yang dalam (deep). Ketika suatu stimulus diidentifikasi

dan diberikan suatu nama, maka memory code lebih kuat dan bisa

direpersentasikan oleh adanya tingkatan kerusakan stimulus yang lebih lama. Memori akan menjadi bagus ketika individu mampu mengelaborasikan makna dari stimulus-stimulus tersebut (Reed,2004).

2. Pemerosesan informasi tingkat dangkal (shallow)

Tingkat pemerosesan informasi dangkal difokuskan dengan melakukan

analisis terhadap ciri-ciri fisik seperti bentuk, sudut, keterangan, pitch dan

kerasnya suara. Untuk melakukan pemerosesan informasi individu dapat melakuakn berbagai cara baik dengan cara mengidentifikasi huruf E/G dalam suatu kata tersebut, kemudian suara dari huruf dalam suatu kata tersebut dan juga dengan cara menghitung jumlah huruf dalam kata tersebut. Setelah stimulus dikenali, maka stimulus tersebut berlanjut untuk diuraikan kepada

pengalaman-pengalaman (elaborasi), baik itu huruf, tanda, bauan yang berhubungan dengan

suatu hal, gambar, ataupun hal-hal yang berdasarkan pengalaman lalu individu

tersebut dengan berbagai stimulus. Setiap tingkatan menghasilkan memory code

yang berbeda akan tetapi suatu memory code akan bervariasi dalam hal tingkatan

kerusakannya. Ketika hanya menganalisis bentuk fisik suatu stimulus, memory

code mudah hilang dan gampang rusak. (Reed,2004).

3. Eksperimen Hyde-Jenkin

Pengaruh dari tingkat pemerosesan informasi terhadap ingatan didomenstarasi dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Hyde dan Jenkin (1973) Hasil penelitian tersebut dipublikasikan sebelum teori yang dikemukakan


(39)

Craik dan Lockhart. Kebanyakan studi menggunakan tes tingkat pemerosesan informasi, Hyde dan Jenkin melakukan studi dengan menggunakan paradigma metode belajar insidental dan juga metode belajar intensional. Studi eksperimen yang dilakukan adalah membandingkan tujuh kelompok subjek. Salah satu dari keempat kelompok diberikan metode insidnetal dan diminta untuk mengingatk 24

kosakata. 20 dari kosakata tersebut saling memiliki hubungan (primary

associates). Misalnya kata merah berhubungan dengan kata hijau, kata meja berhubungan dengan bangku dan sebagainya.

Kemudian kelompok insidenal diminta untuk mendengar 24 kosakata tanpa diberitaukan adanya pemberian tes sedangkan kelompok intensional diminta mendengarkan kata dan mengingatnya karana nantinya akan diberikan tes oleh peneliti. Salah satu kelompok lainnya diminta untuk menghubungkan 24 kosakata yang diberikan dengan hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dan tidak hanya sekedar mendengar kata. Kemudian kelompok lainnya diminta untuk mengidentifikasi adanya huruf E atau G dalam kata tersebut. Dan hasil yang diperoleh memiliki kesesuaian dengan teori tingkat pemerosesan informasi, dimana pemerosesan semantik memiliki hasil yang lebih baik daripada pemerosesan dengan nonsemantik. Kelompok yang menghubungkan kata dengan hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan akan mampu mengingat dari pada kelompok yang hanya diminta mengeja huruf. Dan juga diperoleh hasil bahwa kelompok dengan insidental bisa sama efektifnya dengan kelompok intensional ketika subjek penelitian juga sama-sama diminta menghubungkan kosakata dengan hal yang menyenangkan. Kumpulan kata secara semantik


(40)

berhubungan dengan adanya sebuah clue. Mengingat sebuah kata yang berhubungan dengan makna akan semakin mudah diingat (Reed,2004).

3. Metode Belajar dalam Tingkat Pemerosesan Informasi

Dalam studi yang dilakukan Hyde dan Jenkins (dalam Reed,2004) mengemukakan sebuah paradigma belajar insidental dan intensional dalam konsep tingkat pemerosesan informasi. Pada kondisi belajar insidental orang-orang diberikan beberapa materi akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa akan diadakan tes untuk mengingat stimulus atau materi yang diberikan sebelumnya. Sedangkan belajar intensional merupakan kebalikannya, dimana subjek secara langsung diberitaukan adanya pemberian tes setelah materi. Berikut penjelasan mengenai dua kondisi belajar yang digunakan dalam beberapa penelitian eksperimen yang menggunakan teori tingkat pemerosesan informasi, berikut penejelasan mengenai metode insidental dan intensional:

a. Belajar insidental (incidental learning)

Cara kontrol proses informasi dapat dilakukan melalui prosedur metode belajar insidental, dimana pada metode ini subjek tidak menyadari dan tidak mencoba untuk mempelajari informasi terlebih dahulu informasi yang diberikan kemudian dites kembali. Subjek hanya menyadari proses material seperti yang

diperintahkan oleh ekperimenter. Belajar insidental (incidental learning)

merupakan konsep belajar yang bertentangan dengan pendapat yang mengatakan

bahwa belajar itu selalu berarah tujuan (intentional). Sebab dalam belajar


(41)

disebut insidental bila tidak ada instruksi atau petunjuk yang diberikan pada individu mengenai materi belajar yang akan diujikan kelak.

Dalam kehidupan sehari-hari, belajar insidental ini merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, diantara para ahli belajar insidental ini merupakan bahan pembicaraan yang menarik, khususnya sebagai bentuk belajar yang bertentangan dengan belajar intensional (Slameto,2010). Metode belajar insidental dan

intensional juga dikenal sebagai dua konsep instruksi pembelajaran (instruction

leaarning) dalam tingkat pemerosesan informasi. Karena itu, sebuah penelitian eksperimen dijelaskan seharusnya menggunakan prosedur metode belajar

insidental. Dalam prosedur ini, subjek penelitian secara tidak sadar dan tidak

mengetahui bahwa materi yang diberikan akan diuji. Subjek melakukan cra untuk melakukan pemeroesan informasi atau materi sesuai dengan arahan

eksperimenter. Instruksi pada kondisi belajar ini mengharuskan subjek fokus

terhadap beberapa tujuan dalam memproses informasi (information-process-goal)

dari pada sekedar mengingat (Neath& Surprenant,2003).

Kondisi belajar insidental bisa mendorong kita lebih secara sembarangan dalam memproses objek yang kita lihat. Konskeuensinya, kita bisa memanggil objek yang lebih banyak dan akurat menandingi harapan kita (Matlin,2005 hal,278). Hal ini didukung berdasarkan sebuah studi eksperimen yang dilakukan Brewer dan Treyens (1981). Studi tersebut menjelaskan mengenai pemberian kondisi belajar insidental dalam sebuah penelitian eksperimen, dimana para partisipan pada penelitian tersebut diberikan sebuah instruksi untuk melihat gambar yang berisi “office schema”, kemudian setelah 35 menit kemudian para


(42)

peserta diberikan test memori yang tidak diberitaukan sebelumnya, hasilnya para partisipan menunjukkan hasil yang tinggi dalam mengingat segala objek yang konsisten dengan “office schema”. Para partisipan secara akurat mampu

melakukan recall informasi yang berkaitan dengan bagaimana skema kantor

tersebut. Walaupun para partisipan tidak mengetahui bahwa mereka akan ditanya untuk mengingat item-item ataupun benda-benda yang ada dalam skema kantor

tersebut, mereka mampu melakukan recall informasi yang baik. Hasil penelitian

ini merupakan salah satu studi yang membuktikan bahwa metode belajar insidental mampu memberikan kondisi belajar yang dapat membantu individu

mengingat informasi lebih baik.

Jadi berdasarkan pemaparan mengenai definisi metode belajar insidental, maka dapat kita simpulkan bahwa metode belajar insidental merupakan suatu kondisi belajar dimana partisipan tidak mengetahui bahwa nantinya akan diberikan tes atau ujian mengenai informasi atau materi yang diberikan sebelumnya.

b. Belajar Intensional (Intentional Learning)

Belajar Intensional (intentional learning) adalah belajar dengan arah

tujuan, merupakan lawan dari belajar insidental (Slameto,2010). Craik dan Lockhart (1978) mengemukakan bahwa ketika subjek dengan sengaja belajar yaitu metode belajar intensional maka subjek akan menggunakan pemerosesan yang dianggap sesuai dan yang belum tentu diinginkan oleh eksperimenter. Prosedur belajar intensional merupakan prosedur belajar dengan tujuan tertentu. Dengan mencoba mempelajari informasi :


(43)

1. Informasi yang telah dipelajari subjek sebelumnya akan memberikan ide abstrak dan memudahkan subjek untuk memahaminya kemudian

memudahkan proses recall.

2. Informasi yang telah dipelajari subjek sebelumnya juga akan

membedakan penekanan subjek terhadap informasi dan menyediakan frame-work untuk me-recall informasi.

3. Subjek akan memiliki pengetahuan mengenai informasi tersebut.

Belajar insidental ini merupakan kondisi belajar dimana partisipan secara sadar mengetahui adanya pemberian tes memori sehingga partisipan penelitian

akan mencoba untuk menghapal informasi yang diberikan. Pada saat tes

diberikan, subjek secara sadar bisa mengingat beberapa bagian yang sudah dipelajari sebelumnya (Neath& Surprenant,2003). Dimana kebanyakan studi meta

analisis terlihat membutuhkan kondisi belajar intensional (intentional learning),

dimana pada kondisi ini partisiapan mengetahui bahwa mereka akan ditanyakan

mengenai item atau objek apa saja yang mereka ingat.

Jadi, berdasarkan pemaparan mengenai metode belajar intensional, maka dapat kita simpulkan bahwa metode belajar intensional merupakan suatu kondisi belajar yang berkebalikan dari metode belajar insidental, dimana pada kondisi ini para partisipan penelitian diberikan instruksi mengenai adanya pemberian tes atau ujian setelah pemberian materi sehingga partisipan mengetahui bahwa nantinya akan ditanyakan mengenai informasi atau materi yang diberikan sebelumnya.


(44)

4. Asumsi-asumsi mengenai Tingkat Pemerosesan Informasi

Craik dan Lockhart (dalam Neath& Surprenant,2003) adalah tokoh-tokoh yang pertama menyatakan bahwa jenis pemerosesan informasi lebih penting daripada struktur teori yang mendasarinya. Mereka mengajukan empat asumsi,antara lain:

a. Pertama, memori merupakan hasil dari serangkaian analisis sejumlah

informasi dalam proses yang lebih dalam dari informasi yang tadinya akan diproses. Tingkat pemrosesan informasi harus dipandang sebagai suatu saat/titik dalam suatu kontinum. Kontinum ini bergerak dari pemrosesan

yang dangkal (shallow) yang memfokuskan pada ciri-ciri perceptual,

hingga ke pemerosesan lebih dalam dimana melibatkan meaning.

b. Kedua, Craik dan Lockhart menyatakan bahwa semakin dalam levelnya,

semakin panjang ingatan yang dihasilkan. Jika manusia ingin mengingat sesuatu untuk waktu yang lama, lebih baik memakai tingkat pemerosesan dalam misalnya dengan memfokuskan pada makna daripada hanya mengingat bagaimana item itu disuarakan.

c. Ketiga, pandangan tingkat pemerosesan informasi menganggap rehearsal

relative tidak terlalu penting. Memori meningkat ditentukan oleh tingkat pemerosesan yang semakin dalam, bukan karena mengulang item berkali-kali.

d. Keempat berkaitan dengan bagaimana seharusnya memori dipelajari bukan

berkaitan dengan teori memori secara spesifik, karena penekanannya lebih pada pemerosesannya daripada struktur teorinya. Craik dan Lockhart


(45)

menyatakan bahwa penelitian akan bermanfaat apabila peneliti dapat mengontrol pemerosesan informasinya. Ketika subjek dengan sengaja mencoba belajar, mereka akan menggunakan pemerosesan yang dianggap sesuai, yang belum tentu diinginkan oleh eksperimenter. Oleh karena itu,

peneliti harus menggunakan prosedur belajar insidental. Dalam prosedur

belajar insidental (insidental learning) subjek tidak menyadari bahwa

materi yang dipelajari akan dites kemudian, yang subjek sadari hanyalah memproses material seperti yang diperintahkan oleh eksperimenter.

5. Pemerosesan Informasi secara Struktur, Phonem dan Semantik

Tes teori tingkatan pemerosesan informasi secara umum memiliki tiga

tingkatan, dimana pemeroesan tingkat dalam (deep) akan semakin meningkat dari

struktural, kemudian phonem dan kemudian secara semantik :

a. Pengodean struktur (structural coding)

Pengodean struktur adalah memiliki pertanyaan yang mana subjek diminta untuk mengidentifikasi huruf kapital dalam sebuah kata.

b. Pengodean phonem

Pengodean phonem (phonemic coding) memiliki pertanyaan yang

mana subjek diminta menghubungkan suara (rhyme) suatu kata dengan

kata yang lain dan menekankan pada pronouncation.

c. Pengodean semantik

Pengodean semantik (semantic coding) merupakan jenis tes yang


(46)

6. Faktor yang mempengaruhi Tingkat Pemerosesan Informasi

Hipotesis umum yang dikemukakan (Craik dan Lockhart dalam Neath&

Surprenant,2003) bahwa tingkat pemerosesan informasi yang dalam seharusnya

memberikan kemampuan recall yang lebih baik. Memory code berbeda dan

tergantung kepada bagaimana kita mengeleborasi informasi tersebut, dan banyak kode elaborasi maka kemampuan memori semakin baik. Beberapa hasil penelitian

mengemukakan bahwa tingkat pemerosesan informasi yang dalam pada materi

verbal lebih memberikan kemampuan recall yang baik dari pada menggunakan

tingkat pemerosesan informasi yang dangkal. Berikut faktor yang dapat

mempengaruhi proses mengingat pada pemerosesan informasi tingkat mendalam antara lain:

1. Distinctiveness

Didefinisikan sebagai sebuah stimulus yang berbeda dari sebagian memori

lainnya. Distinctive item merupakan suatu aitem yang berbeda secara tampilan

dan makna (Reed,2004).Jika anda bertemu dengan seseorang yang namanya ingin

anda ingat, maka anda akan melakukan tingkat pemerosesan informasi yang

dalam untuk menggambarkan sesuatu yang tidak biasanya mengeni nama tersebut yang akhirnya membuat nama tersebut berbeda dengan nama lain yang pernah anda pelajari. Menurut Schmidt (dalam Reed,2004) Terdapat empat jenis distinctiveness:

a. Primary distictiveness

Primary distictiveness merupakan sebuah aitem dari aitem dalam konteks.


(47)

b. Secondary distinctiveness

Secondary distinctiveness merupakan sebuah aitem yang berbeda dari aitem-aitem yang disimpan didalam LTM.

c. Emotional distinctiveness

Emotional distinctiveness merupakan sebuah aitem yang meminta adanya sebuah respon emosi yang kuat.

2. Elaboration

Merupakan faktor kedua yang mengoperasikan tingkat pemerosesan

informasi yang dalam. Elaboration mengharuskan adanya proses yang kaya dalam

bentuk makna dan adanya konsep yang saling berhubungan (Craik,1999; Matlin,2005). Individu akan mampu mengelaborasi suatu konten yang semantik karena ini akan menjadi hal yang berguna daripada mengelaborasi konten secara nonsemantik (Reed,2004). Misalnya, jika kita diminta untuk memperoses kata “bebek”, maka kita akan menghubungkan kata “bebek” tersebut dengan

fakta-fakta mengenai “bebek”. Pengodean secara semantik akan mendorong

pemerosesan yang kaya. Dan sebaliknya jika kita hanya diminta untuk

mengidentifikasi huruf kapital dalam kata “bebek” dan diminta untuk menjawab

ada atau tidak, maka konsep elaborasi tidak akan mungkin terjadi.

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi Memori

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan mengingat individu, antara lain:


(48)

1. Emosi dan Mood (suasana hati)

Emosi dikenal memainkan peran yang penting dalam memori, kadang-kadang dapat menghambat memori dan kadang-kadang dapat mengubahnya. Selain emosi, mood atau suasana hati juga dapat mempengaruhi proses kognitif individu (Matlin, 2005). Ada 3 cara baik emosi dan mood dapat mempengaruhi memori individu, yakni:

a. Individu lebih menyenangi stimulus yang menyenangkan.

b. Individu merecall material jika sesuai dengan emosi yang

dirasakannya pada saat itu.

c. Individu lebih efisien dan lebih akurat dalam mengulang aitem-aitem

yang menyenangkan.

Matlin (2209) juga mengemukakan suatu konsep yang disebut Pollyanna

Priciple. Pollyana principle menjelaskan bahwa aitem-aitem yang menyenangkan biasanya diproses lebih efisien dan lebih akurat daripada aitem yang kurang menyenangkan. Dan prinsip ini sering terjadi dalam berbagai fenomena seperti persepsi, bahasa dan pengambilan keputusan. Terdapat beberapa cara dimana stimulus emosional bisa mempengaruhi memori:

a. Informasi akan mudah diingat jika stimulus yang diberikan

menyenangkan. Hasil suatu penelitian yang menyatakan bahwa jika subjek yang diberikan kata menyenangkan, netral dan tidak menyenangkan. Kemudian diuji dalam beberapa menit kemudian dan


(49)

ditemukan bahwa aitem-aitem tes yang menyenangkan lebih mudah diingat daripada aitem-aitem negatif.

b. Informasi akan lebih akurat jika stimulus netral dihubungkan dengan

hal yang menyenangkan. Hasil penelitian membuktikan bahwa

kemampuan recall akan berkurang jika informasi yang diberikan

selama program televisi mengenai kekerasan.

c. Proses mengingat lebih cepat pada stimulus yang menyenangkan.

d. Memori-memori yang tidak menyangkan akan lebih cepat memudar

daripada memori-memori yang menyenangkan.

2. Inteligensi (IQ)

Studi sejak tahun 1920 menyatakan bahwa IQ dan proses belajar materi baru sangat berhubungan. Seorang anak dengan IQ di atas 130 akan memperlajari dan mempertahankan lebih banyak informasi daripada anak dengan IQ hanya 100 (Sprinthall & Sprinthall, 1990).

3. Faktor kebudayaan

Kebudayaan membuat anggotanya sensisitif terhadap objek, kejadian, dan strategi tertentu yang dapat mempengaruhi kemampuan memori terhadap hal tersebut (Mystry & Rogoff dalam Santrock, 2004). Studi terhadap kebudayaan khususnya menemukan perbedaan kebudayaan dalam penggunaan strategi organisasional (Schneider & Bjorklund dalam Santrock, 2004). Kesalahan dalam penggunaan strategi organisasi yang


(50)

sesuai untuk mengingat informasi sering berhubungan dengan kurangnya pendidikan di sekolah yang tepat (Cole & Scribner dalam Santrock, 2004).

4. Jenis kelamin

Aspek jenis kelamin adalah aspek perbedaan sosiokultural yang kurang diperhatikan dalam penelitian memori. Penelitian telah menemukan perbedaan jenis kelamin dalam memori, yakni wanita lebih baik daripada

pria dalam hal episodic memory, yaitu memori tentang kejadian yang

dialami sendiri yang meliputi waktu dan tempat kejadian tersebut berlangsung (Anderson; Halpern dalam Santrock, 2004). Wanita juga lebih bai k daripada pria dalam hal memori yang berhubungan dengan emosi (Cahill dalam Santrock, 2004), sedangkan pria lebih baik daripada wanita dalam hal tugas yang membutuhkan transformasi dari memori spasial (Halpern dalam Santrock, 2004). Tugas-tugas ini meliputi rotasi mental, yang meliputi pergerakan objek dalam bayangan (misalnya bentuk apa yang akan tampak jika objek ini diputar dalam ruang ini).

B. Bahasa

1. Definisi Bahasa

Bahasa (language), menurut para psikolog kognitif, adalah suatu sistem

komunikasi yang di dalamnya pikiran-pikiran dikirimkan (transmitted) dengan

perantaraan suara (sebagaimana dalam percakapan) atau simbol baik dalam kata-kata tertulis atau isyarat-isyarat fisik (Solso & Maclin,2008). Para ahli psikologi


(51)

kognitif menjelaskan bahwa terdapat beberapa opini umum yang terdiri dari enam hal yang menjelaskan definisi bahasa, antara lain (Matlin,2009):

a. Bahasa sebagai komunikasi; bahasa dapat membantu kita

berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki bahasa yang sama dengan kita.

b. Bahasa sebagai simbol yang acak; bahasa menciptakan sebuah

rangkaian yang acak dan memiliki hubungan dengan simbol dan beberapa hal seperti ide, sebuah benda, sebuah proses, sebuah hubungan atau sebuah tulisan.

c. Bahasa sebagai suatu hal yang terstruktur secara tetap; bahasa

memiliki struktur, hanya sebagian dibentuk oleh susunan simbol yang memiliki makna, dan ada juga susunan simbol yang memiliki makna yang berbeda.

d. Bahasa sebagai suatu yang terstruktur berdasarkan beberapa tingkatan;

dimana struktur bahasa bisa dianalisis lebih dari beberapa tingkatan (misalnya dari bentuk suara, makna, kata dan juga fase).

e. Bahasa sebagai hal yang generatif dan produktif; dengan adanya

batasan pada struktur bahasa, pengguna bahasa bisa menciptakan kumpulan ungkapan yang kemungkinan dapat menciptakan sebuah ungkapan yang tak terbatas.

f. Bahasa sebagai suatu hal yang dinamis; bahasa secara terus menerus


(52)

2. Struktur Bahasa

Struktur bahasa adalah suatu sistem dimana unsur-unsur bahasa diatur dan dihubungkan satu dengan yang lain (Bloom dan Lahey,1978). Terdapat dua aspek dasar bahasa yang pertama adalah pemahaman reseptif dan pengkodean input kemudian yang kedua adalah pengkodean eskpresif dan produksi bahasa. Dalam Sternberg (2008) dikemukakan bahwa bahasa bisa dipecah-pecah menjadi banyak unit yang lebih kecil, antara lain :

a. Phoneme

Phoneme merupakan unit terkecil bunyi ujaran yang bisa

digunakan untuk menekan sebuah ucapan dari ucapan lainnya di

sebuah bahasa Phoneme merupakan unit dasar dari komponen

berbahasa, seperti suara a, k dan th. Bahasa Inggris biasanya memiliki 40 phoneme (Groome,1999).

b. Morphem

Morphem merupakan unit terkecil yang menunjukkan makna dalam

bahasa tertentu. Morfem memperkenalkan dua bentuk morfem.

Pertama morfem-isi (content morphemes) adalah kata-kata yang

mengandung kumpulan makna sebuah bahasa. Kedua Morfem-fungsi (function morphemes) menambahkan detail dan nuansa bagi makna morfem-isi atau membantu morfem isi agar cocok dengan konteks gramatisnya.


(53)

c. Lexicon

Lexicon atau kosakata merupakan perangkat menyeluruh

morfem-morefem dalam bahasa tertentu atau dalam daftar linguistik individu tertentu.

d. Semantic

Semantic atau semantika merupakan studi tentang makna sebuah

bahasa. Semantic merupakan area psikolinguistik yang menjelaskan

makna kata dan kalimat (Carroll,2004). Hal ini berhubungan dengan semantic memory yang merupakan hal yang membahas bagaimana kita mengorganisasikan pengetahuan yang kita miliki terhadap dunia.

e. Syntax

Syntax atau sintaksis mengacu kepada cara pemakai bahasa tertentu meletakkan kata-kata bersama-sama untuk membentuk kalimat. Sintaks berperan penting dalam pemahaman kita tentang bahasa

(Sternberg,2008). Syntax merupakan konsep yang berhubungan

dengan peraturan gramatikal yang mengontrol bagaimana kita

mengorganisasi kata-kata terhadap kalimat (Owens,2001).

f. Discursus

Diskursus merupakan tatanan bahasa yang memandu penggunaan bahasa dalam tataran kalimat seperti di dalam percakapan, paragraf, cerita dan seluruh isi buku (Sternberg,2008).


(54)

g. Pragmatic

Pragmatic merupakan bentuk pengetahuan kita mengenai peraturan sosial yang menjadi dasar kita menggunakan bahasa (Carroll,2004).

3. Manfaat Belajar Bahasa Asing

Tujuan mempelajari bahasa asing selain mengenal bahasa ibu/bahasa asli, kita mendapatan banyak manfaat dengan belajar bahasa asing. Pelajaran bahasa asing harus dimulai sedini mungkin. Berikut beberapa alasan-asalan perlunya belajar bahasa asing pada usia dini (Sausa,2011) :

a. Memperkaya dan meningkatkan perkembangan mental anak

b. Menjadikan siswa lebih fleksibel dan dalam berpikir, memiliki

kepekaan terhadap bahasa, dan memiliki pendengaran yang lebih baik. (otak belajar bagaimana merespon fonem yang berbeda dengan fonem bahasa ibunya).

c. Meningkatkan pemahaman terhadap bahasa ibu (terkecuali anak

memiliki masalah pendengaran atau masalah berbahasa lainnya, riset tidak mendukung pendapat-pendapat yang mengatakan mempelajari bahasa asing akan menghambat penguasaan bahasa ibu).

d. Memberikan siswa kesempatan berkomunikasi dengan orang-orang

yang asalanya tidak mungkin mereka kenali.

e. Membuka wawasan terhadap budaya lain dan membantu siswa


(55)

f. Merupakan awal untuk memenuhi kemampuan berbahasa yang disyaratkan di universitas.

g. Meningkatkan kesempatan kerja khususnya untuk berbagai karier

yang memerlukan bahasa asing.

4. Kosakata dalam Bahasa Inggris

Kosakata (Inggris: vocabulary) adalah himpunan kata yang diketahui

oleh seseorang atau entitas lain, atau merupakan bagian dari suatu bahasa tertentu. Kosakata seseorang didefinisikan sebagai himpunan semua kata-kata yang dimengerti oleh orang tersebut atau semua kata-kata yang kemungkinan akan digunakan oleh orang tersebut untuk menyusun kalimat baru. Kekayaan kosakata seseorang secara umum dianggap merupakan gambaran dari intelejensia atau tingkat pendidikannya (Harmer,2003).

Menurut Elsjelyn (2010) dalam bukunya “English Made Easy

mengungkapakan bahwa komponen bahasa Inggris yang sangat penting dalam pengembangan keterampilan bahasa adalah kosakata. Dengan perbendaharaan kata yang luas seseorang dapat mengerti dengan mudah apa yang didengar atau

dibaca serta dapat berkomunikasi dengan jelas dan efektif. Dalam buku KBBI

Edisi Ketiga (2006) Depdiknas juga dikemukakan bahwa hal yang paling mendasar dalam mempelajari bahasa Inggris adalah tentang penguasaan kosakata. Untuk menguasai keterampilan reseptif dan produktif siswa harus didukung oleh penguasaan kosakata bahasa Inggris. Sebagai standar kompetensi yang harus


(56)

dikuasai siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris maka penguasaan perbendaharaan kosakata merupakan hal penting.

5. Manfaat Kosakata dalam Bahasa Inggris

Menurut El-faris dan Maulana (2010) dalam buku berjudul “English

Words in Contex” mengemukakan bahwa memiliki perbendaharaan kosakata yang

luas akan mempermudah pemahaman siswa dalam kemampuan berbahasa Inggris, antara lain:

a. Dalam hal reading terutama dalam memahami konteks cerita dalam

suatu buku bacaan berbahasa Inggris.

b. Siswa juga mampu menyimak lebih mudah dalam listening.

c. Siswa juga bisa berkomunikasi lebih mudah baik itu dalam speaking

dan juga writing.

6. Faktor Penunjang Keberhasilan dalam m empelajari Bahasa Asing Dalam Chaer (2003) dan Elsjelyn (2010) dijelaskan bahwa terdapat berbagai faktor, variabel dan kendala menentukan berhasil tidaknya pembelajaran

bahasa asing, antara lain :

a. Faktor Bakat (Aptitude)

Ada banyak orang yang sukses dalam pekerjaan atau berhasil dalam studi mereka, tetapi gagal dalam mempelajari bahasa asing. Mereka telah mencoba berkali-kali dan menghabiskan banyak waktu tetapi tetap mengalami banyak kesulitan. Sementara itu ada sebagian


(57)

orang yang dengan mudah dapat menyerap kata-kata asing, memahami grammar dan berbicara dalam bahasa asing dengan lancar. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa faktor yang membedakan keduanya, dalam menguasai bahasa asing adalah adanya bakat bahasa. Carroll

(2004) dalam “Language develompent in Children” mengungkapkan

bahwa bakat bahasa adalah hasil pembawaan lahir yang sulit diubah.

b. Faktor Motivasi

Motivasi diperlukan dalam mempelajari bahasa asing. Banyak pengajar yang sependapat bahwa siswa yang ingin benar-benar belajar, biasanya akan berhasil, terlepas dari buku pelajaran yang digunakan, guru yang mengajar atau metode yang diterapkan kepadanya. Gardner &

Lambert (dalam Elsjelyn,2010) mengemukakan bahwa dalam

penguasaan bahasa terdapat dua motivasi, yaitu motivasi integratif dan motivasi instrumental. Dimana motivasi intergatif adalah motivasi yang didorong oleh keinginan siswa untuk berintegrasi dengan budaya dan bahasa yang dipelajarinya. Biasanya motivasi ini dimiliki oleh siswa yang berkeinginan kuat untuk mempelajari bahasa itu secara mendalam. Sedangkan motivasi instrumental adalah motivasi yang didasarkan pada harapan bahwa dengan menguasai bahsa asing, sesorang dapat mencapai sesuatu, misalnya posisi atau pekerjaan yang lebih baik. Jadi dalam hal ini bahasa adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi integratif lebih menjamin keberhasilan. Hal ini disebabkan karena individu yang memiliki motivasi integratif mempunyai sikap yang positif terhadap


(58)

bahasa yang mereka pelajari, sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat menguasai bahasa itu. Mereka aktif dan tidak bergantung hanya pada buku atau guru. Mereka selalu mencari kesempatan untuk dapat mendengarkan bahasa itu melalui siaran-siaran di radio atau televisi, dan tidak segan atau malu mencoba menggunakan bahasa itu dalam percakapan. Bagi mereka, mempelajari bahasa asing bukan merupakan hal yang sulit karena mereka menyukainya.

c. Faktor Usia

Ada anggapan bahwa pembelajaran bahasa kedua pada anak-anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak tampaknya lebih mudah dalam memperoleh bahasa baru, sedangakan orang dewasa tampaknya mendapat kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua. Anggapan ini telah mengarahkan pada adanya hipotesis mengenai usia kritis atau prode kritis untuk belajar bahasa kedua. Berbagai hasil penelitian mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa kedua (Chaer,2003). Fathman, Dulay, Burt dan Krashen (dalam Chaer,2003) mengemukakan bahwa dalam hal urutan pemerolehan tampaknya faktor usia tidak terlalu berperan sebab urutan pemerolehan oleh kanak-kanak dan orang dewasa tampaknya sama saja. Kemudian dijelaskan bahwa dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat disimpulkan bahwa anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan, bahkan banyak


(59)

diantara mereka yang mencapai pelafalan seperti penutur asli sedangkan orang dewasa tampaknya maju lebih cepat daripada anak-anak dalam bidang morfologi dan sintaksis paling tidak pada permulaan masa belajar. Anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat perbedaan umum mempengaruhi kecepatan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi dan sintaksis tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutannya.

d. Faktor Kesempatan (opportunity)

Kesempatan (opportunity) yang dimaksud adalah mencakup

bagaimana semua kegiatan belajar baik di dalam maupun di luar kelas, dimana siswa secara aktif berlatih menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya (Elsjelyn,2010).

e. Faktor Bahasa Pertama

Para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa yang lebih dahulu diperoleh) mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pemebelajr (Ellis,1986). Bahasa pertama yang telah lama dianggap menjadi pengganggu dalam mempelajari bahasa kedua. Hal ini karena bisa seorang pembelajar secara sadar atau tidak melakukan transfer unsur-unsur bahasa pertamanya, ketika menggunakan bahasa kedua (Dulay dalam Chaer,2003). Klein (dalam Chaer,2003) mengemukakan bahwa menurut teori ontrasif keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya ditentukan oleh keadaan lingustik bahasa yang telah dikuasai


(1)

Kosakata Bahasa Inggris

Nama

:

Jenis Kelamin :

Usia :

Asal Sekolah :

Kursus Bahasa Inggris : Iya / Tidak *Pilih salah satu

Tingkat kursus :

*

jika mengikuti kursus

Coba tuliskan kembali 20 kosakata yang bisa kamu

ingat.Tulis kosakata tersebut secara acak dan tidak perlu

berurut!


(2)

Nama :

Format lembar jawaban TP dangkal

Hitung jumlah huruf pada setiap kata yang ditampilkan, kemudian tuliskan hasil jumlah huruf dari setiap kata tersebut dibawah ini !

Contoh : “Car” (ditampilkan dengan proyektor)

1. 3

1. 14.

2. 15.

3. 16.

4. 17.

5. 18.

6. 19.

7. 20.

8. 9. 10. 11. 12. 13.


(3)

Format lembar jawaban TP dalam

Tulislah huruf S (Senang) jika menurut adik kosakata yang ditampilkan merupakan kosakata yang menyenangkan dan huruf TS (tidak senang) jika menurut adik kosakata yang ditampilkan bukan kosakata yang menyenangkan.

Contoh : “Car” (ditampilkan dengan proyektor)

Jika kata tersebut menyenangkan maka adik bisa menulis huruf:

1. S

Jika kata tersebut tidak menyenangkan maka adik bisa menulis huruf:

1. TS

1. 9.

2. 10.

3. 11.

4. 12.

5. 13.

6. 14.

7. 15.


(4)

17. 18.

19. 20.


(5)

LAMPIRAN E

1. Data Hasil Nilai Belajar Siswa Kelas 4 Semester I 2. Informed consent


(6)