Masa Orde Baru STRATEGI PENGEMBANGAN KOPERASI

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah III-6 bersandar pada bukti – bukti nyata untuk memperbaiki keadaan hidup rakyat. “tindakan itu sementara waktu dan harus dilakukan”, kata Bung Hatta, tetapi dengan catatan, “antara kedua cabang politik kemakmuran itu harus ada koordinasinya. Perhubungannya”, Namun demikian ternyata pembinaan dan pengembangan koperasi tetap saja mengalami kesulitan dalam penyesuaiannya dengan pesan Bapak Koperasi Indonesia. Dan pengalaman sejarah menunjukkan, bahwa proses pembinaan dan pengembangan koperasi lebih banyak “mengikuti arus” perkembangan politik yang berlaku, ketimbang secara konsisten berkiblat pada pasal 33 UUD 1945. Pola itu dapat dilihat dari periode ke periode dalam perjalanan kehidupan Negara kita. Pada periode yang sering disebut sebagai “masa demokrasi liberal” 1950 – 1959 pengembangan koperasi banyak bersikap “ing ngarso sung tulodo” didepan memberi contoh dan “tut wuri handayani” di belakang, memberikan kekuatan. Situasi demikian itu kemudian berubah drastis, khususnya pada periode : “demokrasi terpimpin” 1959 – 1965, yang dipenuhi dengan slogan “politik adalah panglima” . Pada masa itu, pembinaan koperasi sepenuhnya berada dalam dominasi pemerintah, bahkan organisasi gerakan koperasi yang disebut KOKSI Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia dipimpin langsung oleh Menteri yang menangani koperasi, yaitu Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa Transkopemada, dan kemudian dilanjutkan oleh Menteri Transmigrasi dan Koperasi Mentranskop. Ketika pemerintah “Orde Lama” runtuh pada bulan Oktober tahun 1965, dan kemudian diganti pemerintah “Orde Baru” berbagai upaya telah diselewengkan. Diterbitkan pula antara lain UU No. 121967 tentang pokok – pokok Perkoperasian, untuk menggantikan UU No. 141965 tentang perkoperasian yang nyata – nyata menempatkan koperasi sebagai lembaga politik. Gerakan koperasi secara simultan mulai membenahi diri dengan meniadakan produk – produk Orde Lama yang jelas tidak sesuai dengan prinsip– prinsip koperasi secara universal.

3.3. Masa Orde Baru

Untuk dapat mewujudkan organisasi ekonomi mandiri, pemerintah Masa Orde Baru hanya melakukan pembinaan khususnya untuk memantapkan aspek kelembagaan, seperti membina tumbuhnya pengawasan secara demokratis olek anggotanya dan menetapkan peran pemerintah hanya terbatas pada pemberian bimbingan, fasilitas serta penciptaan iklim yang diharapkan mampu membantu memandirikan koperasi. Untuk itu tahap pembangunan KUD ditempuh melalui 3 tiga tahap, yaitu : ofisialisasi, eofisialisasi debirokratisasi dan otonomi. Pada tahap otonomi mandiri, koperasi diharapkan sudah mampu mengambil keputusan sendiri, tanpa campur tangan dari luar termasuk dari pemerintah. Sejak awal Orde Baru, pembangunan koperasi telah diintegrasikan dengan pembangunan perekonomian nasional melalui pengkaitan koperasi pertanian yang dikembangkan menjadi KUD dalam menangani pengadaan pangan nasional. Hal itu tercermin dalam Garis – garis Besar Haluan Negara Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah III-7 GBHN dan Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita. Dalam Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Tahap 1 Pemerintah denan melalui program pembangunan KUD-nya berupa membuat koperasi itu menjadi badan usaha di perdesaan. Namun demikian, upaya itu belum cukup memuaskan dari sisi perkembangan kualitas kegiatan usahanya. Untuk memacu kualitas kegiatan usahanya itu UU No. 121967 kemudian diganti dengan UU No. 25 Tahun 1992, yang lebih menekankan pada pengaturan keberadaan koperasi sebagai suatu badan usaha. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong peningkatan posisi dan peran koperasi dalam dinamika bisnis perekonomian nasional, sekaligus menyiapkannya untuk menghadapi era perdagangan bebas. Selanjutnya dalam GBHN 1993 yang lalu telah ditetapkan kebijakan Pembangunan Lima Tahun ke VI, diantaranya memuata pernyataan : “ koperasi yang merupakan bagian integral dari perekonomian nasional, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, pembangunannya diarahkan untuk mengembangkan koperasi agar menjadi makin maju, makin mandiri, dan makin berakar dalam masyarakat, serta menjadi badan usaha yang sehat dan mampu berperan dalam kehidupan ekonomi rakyat, dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang – undang dasar 1945”. Tentang kemandirian koperasi, pasal 5 UU No. 251992 menyatakan bahwa hal itu merupakan salah satu prinsip koperasi Indonesia, dengan penjelasan “Kemandirian mengandung pengertian dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pihak lain, yang dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan dan usaha sendiri. Dalam kemandirian pengertian kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi, swadaya, berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, dan kehendak untuk mengelola diri sendiri”. Semangat kemandirian itu mengungkapkan bahwa koperasi merupakan satu masyarakat sendiri, dan karenanya pemerintah harus menjauhkan diri dan upaya campur tangan. Hal itu juga dinyatakan dalam penjelasan pasal 60 UU NO. 251992: “Sesuai dengan prinsip kemandirian, pembinaan dilaksanakan tanpa mencampuri urusan internal organisasi koperasi”. Secara normative, kemandirian koperasi sudah menjadi ketentuan praktis. Hal itu bukan saja sesuai dengan tuntutan dari dalam koperasi sesuai dengan prinsip – prinsipnya, tetapi diharapkan juga dapat memenuhi tuntutan dari luar selaras dengan berlakunya globalisasi atau liberalisasi ekonomi. Melalui aplikasi berbagai kebijakan pemerintah dan aktivitas gerakan koperasi sendiri, telah terjadi proses pertumbuhan dalam perkoperasian Indonesia yang relative cukup maju apabila diukur dan indicator fisik seperti besarnya jumlah koperasi, anggota koperasi, permodalan, asset, omzet volume usaha maupun besarnya nilai SHU. Hal itu dapat dibaca dalam data selama 5 tahun terakhir masa orde baru 1994 – 1998. Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah III-8 Tabel 3.2. Komposisi Kinerja Koperasi Indonesia Masa Orde Baru 1994 sd 1997 Kinerja Koperasi Pada No Uraian Satuan 1994 1996 1997 Pertumbuhan Per Tahun 1 Koperasi Unit 44294 49075 54580 7.74 2 Anggota Ribu Orang 25359 27006 29140 4.97 3 Modal sendiri Miliar Rp. 2286 3033 4218 28.17 4 Modal luar Miliar Rp. 2149 3095 8911 104.89 5 Asset Miliar Rp. 4435 6028 13520 68.28 6 Omzet Miliar Rp. 8187 12345 -33.33 7 SHU Miliar Rp. 243 447.7 -33.33 Sum ber: Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah PUSDATIN. Dari gambaran Tabel 3.2. tersebut diketahui bahwa pada periode 1994 – 1997 yaitu periode sebelum krisis ekonomi, pertumbuhan koperasi ditinjau dari hampir seluruh indicator kinerjanya secara fisik bernilai negative, kecuali modal usaha. Suntikan modal dengan laju pertumbuhan yang telatif besar tersebut tidak mendorong kinerja koperasi menjadi semakin baik. Laju pertumbuhan jumlah koperasi per tahun meningkat sebesar 7.74 per tahun dengan peningkatan laju pertumbuhan anggota sebesar 4.97 per tahun. Pertumbuhan jumlah koperasi dan anggota tersebut secara positif hanya diikuti oleh pertumbuhan asset koperasi sebesar 68.28 per tahun. Namun demikian, pertumbuhan jumlah koperasi dan jumlah anggota tersebut justru diikuti oleh penurunan laju pertumbuhan omzet sebesar 33.33 per tahun dan penurunan laju pertumbuhan SHU sebesar 33.33 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja koperasi pada periode tersebut sangat buruk. Selanjutnya, setelah sejak krisis ekonomi yang terjadi pada Agustus 1997 pertumbuhan jumlah koperasi justru terjadi masih cukup besar yaitu sebesar 8.91 per tahun, namun jumlah anggota mengalami penurunan sebesar 30.93 per tahun. Pertumbuhan jumlah koperasi tersebut hanya diikuti secara positif oleh pertumbuhan modal sendiri koperasi, namun demikian justru terjadi penurunan pertumbuhan jumlah orang yang menjadi anggota koperasi. Hal ini menunjukkan bahwa koperasi menjadi semakin tidak menarik bagi masyarakat. Gambaran seperti itu menunjukkan bahwa citra koperasi sampai saat ini masih belum bagus. Koperasi selalu diidentikan dengan kelompok ekonomi lemah. Indikatornya berupa fakta bahwa koperasi secara terus menerus selalu dibantu pemerintah. Padahal, koperasi itu lemah karena para anggotanya yang lemah, baik dalam disiplin maupun kemampuan meraih laba usaha. Namun sesuai dengan harkatnya bahwa perkembangan koperasi sangat ditentukan oleh kualitas bisnis dan disiplin anggota koperasinya, maka kondisi itu tidak mungkin dihindarkan. Itulah sebabnya setelah koperasi dibentuk sebenarnya pengurus dan manajemen koperasi diharapkan mampu memfasilitasi kegiatan bisnis anggotanya, agar usaha anggota itu mampu berkembang lebih lanjut. Dalam kegiatan seperti itulah koperasi baru dianggap mampu berperan sebagai lembaga ekonomi yang dapat menerapkan watak sosialnya. Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah III-9 Keterbatasan ditemukan juga pada langkanya sumber daya manusia koperasi yang berkualitas, sehingga aplikasi proses manajemen koperasinya belum dapat dilakukan sebagaimana yang diharapkan. Kendala utama itu pada gilirannya telah menumbuhkan hambatan lain sebagai bagian dari rangkaian mata rantai, seperti misalnya : kelemahan dan organisasi dan manajemen, kelemahan dalam struktur permodalan, kekurangmampuan koperasi memanfaatkan peluang untuk meraih pangsa pasar, serta keterbatasan penguasaan teknologi, di samping lemahnya jaringan usaha koperasi. Hal ini didukung dari studi yang dilakukan oleh beberapa civitas akademika IPB yang antara lain menyatakan bahwa kelemahan dari koperasi antara lain disebabkan oleh : • Rendahnya efisiensi dan produktifitas koperasi karena kekurangsigapan pelaku utama koperasi dalam mengejar peluang pasar Permatasari, 1997; Dewi, 1995. • Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian pengurus, belum optimalnya peran manajer koperasi, ketergantungan koperasi terhadap fasilitas – fasilitas pemerintah serta penempatan karyawan pengurus koperasi tidak sesuai dengan keterampilan dan keahlian yang dimilikinya Arifin, 1996. • Lemahnya akses informasi dari anggota koperasi Dewi, 1995. Dalam kaitan itu Ibnoe Soedjono 1997 menyatakan meskipun ada pasal 33 UUD 1945, sektor koperasi di Indonesia tetap sangat lemah. Juga kalau dibandingkan dengan perkembangan koperasi di Negara – Negara tetangga, makin tampak kelemahan koperasi kita. Organisasinya koperasi umumnya rapuh dan tidak efisien. Kalaupun usahaya berkembang, hal itu lebih karena dukungan dan fasilitas serta bantuan pemerintah atau karena praktek – praktek swasta”. Selaras dengan kondisi itu peran DEKOPIN, sebagai organisasi tunggal masyarakat koperasi, ternyata juga belum mampu menunjukkan kekuatan sebagai mitra pemerintah, dalam proses pembinaan dan pengembangan koperasi. Lembaga gerakan koperasi yang sejak 1947 telah diubah namanya menjadi Dewan Koperasi Indonesia kemudian dalam Munaskop ke X ditetapkan sejak 1977 disebut dengan DEKOPIN ternyata belum aktif. Akibatnya fungsi Dekopin sebagai wadah penjuangan yang bertumpu terutama pada kegiatan promosi dan advokasi untuk mengembangkan dan melindungi identitas dan jatidiri koperasi, ternyata belum mampu juga menyuarakan aspirasi masyarakat koperasi secara luas. Apalagi sejak 1993 ada konflik antara pucuk pimpinan DEKOPIN dan pimpinan Depkop ~ PPK waktu itu, yang kemudian meluas pada Induk – induk koperasi sehingga mereka akhirnya ke luar dan keanggotaan DEKOPIN. Konflik bersumber pada perbedaan pendapat tentang penyesuaian Anggaran Dasar DEKOPIN dengan isi UU No. 251992. Sementara pihak pimpinan DEKOPIN berpendapat bahwa sudah dilakukan penyesuaian, namun pihak pemerintah dan induk – induk yang keluar dan DEKOPIN merasa hal itu belum dilakukan. Konflik yang berkepanjangan itu akhirnya terhenti dengan keluarnya Keppres Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah III-10 No. 21 Tahun 1997 tentang Pengesahan Anggaran Dasar DEKOPIN baru. Ternyata kelahiran Keppres ini dianggap cacat hukum, karena prosesnya dilakukan tidak melalui Rapat Anggota DEKOPIN sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sampai tibanya masa reformasi proses rekonsiliasi dengan pihak yang mengalami konflik tidak pernah diwujudkan. Dalam posisi DEKOPIN yang tidak mampu berfungsi seperti diharapkan, pola perkembangan koperasi pun kemudian berjalan tanpa kesatuan gerak dan kemandirian yang jelas. Selaras dengan kondisi demikian itu dorongan pengembangan kemampuan untuk melaksanakan bisnis telah menyebabkan banyak koperasi yang kemudian tumbuh berkembang hanya mengikuti arus perkemangan dari sisi usaha saja. Tidak mengherankan apabila kemudian banyak koperasi yang terjebak, sekedar hanya untuk mengejar sisa hasil usaha yang besar, yang sebenarnya menggambarkan sikap dan umumnya sebuah perusahaan tanpa berupaya untuk mengembangkan dan memperjuangkan langkah – langkah untuk memotivasi tumbuh suburnya partisipasi anggota di samping tumbuh efektifnya kualitas pelayanan yang meningkat bagi anggotanya.

3.4. Masa Reformasi