Laporan Akhir
Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah
IV-1
4
STRUKTUR PEMAHAMAN DAN PRAKTEK PERKOPERASIAN DI
INDONESIA
4.1 Dasar Pembentukan Koperasi adalah Menekan Biaya Transaksi
4.1.1
Pengertian Biaya Transaksi
Beberapa ahli new institutional economics menunjukan bahwa sebenarnya argumen skala ekonomi economies of scale dan monopoli power, atau gabungan keduanya tidak
dapat menerangkan dasar-dasar didirikannya perusahaan koperasi melainkan pada upaya menekan biaya transaksi.
Masalah biaya transaksi berhubungan erat dengan manfaat integrasi vertikal koperasi. Manfaat integrasi vertikal tidak dapat dipandang dari sudut efisiensi yang
berhubungan dengan biaya transaksi. Biaya produksi di sini diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi, dari membeli input, membayar tenaga kerja yang
membiayai overhead pabrik. Sedangkan biaya transaksi terdiri atas :
• Biaya mencari pemasok input; • Biaya informasi mengenai kualitas barang dan harga
• Biaya tawar-menawar • Biaya monitoring kontrak dengan pemasok input
• Biaya legal jika kontrak dilanggar • Resiko pada asset yang sangat khusus atau asset yang mempunyai kisaran yang
sangat banyak
4.1.2 Dimensi Transaksi
Dimensi yang penting untuk memerikan transaksi adalah: 1 Specifity asset kekhususan asset, 2 Frekuensi yang berulang, dan 3 ketidak pastian.
Specifity asset kekhususan asset: merupakan dimensi yang paling penting, dimana
hal ini dapat dibedakan menjadi 4 empat tipe: 1
Kekhususan Aset Tempat Tempat lokasi suatu perusahaan dapat menjadi aset khusus bila dengan tempat
lokasi tersebut memberikan kontribusi khusus terhadap pertumbuhan perusahaan. Tempat-tempat yang berurutan dalam tahap-tahap proses produksi
yang mempunyai hubungan dekat yang lainnya merupakan salah satu contoh kekhususan aset tempat. Jika aset tersebut telokasi di tempat yang berjauhan
akan meningkatkan biaya transaksi.
Laporan Akhir
Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah
IV-2
2 Kekhususan Aset Fisik
Aset seperti ini biasanya sangat mobil atau mudah bergerak, misalnya alat-alat yang siperlukan untuk menghasilkan suatu barang tertentu seperti mesin-mesin
yang akan digunakan dalam proses produksi. Ketiadaan aset ini dapat digunakan untuk keperluan lain, tetapi nilai yang dihasilkan dan penggunaan aset tersebut
digunakan untuk proses produksi tertentu tersebut.
3 Kekhususan Aset Manusia
Kemampuan seseorang merupakan aset khusus bagi sebuah organisasi. Kemampuan-kemampuan itu timbul dari latihan khusus dalam organisasi
misalnya, peternak sapi perah akan mendapat pengetahuan dan pengalaman khusus dalam menangani sapi dan susu. Bila manusia seperti ini dipakai pada
kegiatan lain, aset manusia seperti ini akan menjadi kurang berarti karena akan menghasilkan produktivitas yang lebih rendah.
4 Kekhususan Aset Dedikasi
Dedikasi menggambarkan semangat loyalitas seorang individu pada suatu organisasi perusahaan. Aset ini sangat berharga bagi koperasi. Investasi-
investasi yang dipersembahkan oleh seseorang yang mempunyai dedikasi merupakan investasi yang diskret dalam kapasitas produk secara umum bukan
untuk keperluan khusus yang diperuntukan bagi seorang pembeli konsumen khusus misalnya, seorang petani memasang lebih banyak mesin agar lebih
banyak menjual produk kepada langganannya.
Kekhususan aset timbul ketika sumberdaya-sumberdaya saling tergantung satu dengan lain dengan cara yang khusus. Sebagai contoh, seorang peternak sapi perah
memerlukan peralatan yang khusus agar mengumpulkan, membersihkan dan mengangkut susu perahnya. Untuk itu ia memerlukan investasi yang tahan lama dalam bentuk
peralatan-peralatanmesin-mesin agar dapat menunjang suatu transaksi misalnya memproduksi susu untuk dijual ke pabrik pengolah susu. Dalam hal ini aset yang dipakai
peralatan produksi susu perah adalah spesifik, artinya nilai investasi itu akan jauh lebih rendah dalam pernggunaan alternatif atau oleh pemakai alternatif.
Sekarang jika pabrik pengolah susu menolak membeli susu segar dan peternak sapi karena alasan tertentu, peternak tersebut tidak mempunyai alternatif lain selain tetap
memakai peralatannya karena jika peralatannya dijual kepada peternak lain, tetangganya mungkin menghadapi kesulitan mengingat nilai aset tersebut menjadi sangat rendah.
Dalam hal ini pabrik pengolah susu bertindak secara ”oportunistis”. Macam oportunitis yang dilukiskan disebut hold-up ”rampok”. Situasi hold-up dapat diilustrasikan sebagai
berikut :
a. Dua individu A dan individu B mengadakan kontrak kerja sama. A memberikan
pelayanan kepada B sesuai dengan perjanjian yang disepakati bersama. Misalnya, A adalah peternak sapi yang akan menjual susu segar kepada pabrik pengolah
susu B dalam waktu tertentu dengan kuantitas dan kualitas tertentu pula.
b.Sekarang individu B sudah semestinya dengan pelayanan yang setara dengan pelayanan individu A, misalnya membayar dengan harga yang telah disepakati
bersama. Hanya masalahnya sekarang adalah, jika A menyerahkan susu segar, ia masih tidak pasti apakah individu B akan-akan memenuhi servis-servisnya sesuai
Laporan Akhir
Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah
IV-3
dengan yang diharapkan atau tidak. Dalam hal ini individu A menghadapi masalah ketidakpastian. Jadi hold-up adalah perilaku oportunitis seseorang
dengan memanfaatkan individu lain. Dalam situasi hold-up, individu B mempunyai fleksibilitas yang lebih tinggi, tetapi individu A tidak dapat secara
tepat mengamati perilaku individu B, misalnya sudahkah individu B membayar dengan harga yang telah disepakati bersama dengan tepat pada waktunya.
Contoh lain : Individu A sebagai pemasok individu B telah berfungsi sebagai “stake holder” pada
perusahaan B, sehingga A mempunyai tuntutan terhadap B. masalahnya bagi stake holder A adalah bagaimana melindungi dirinya terhadap penyimpangan yang curang terhadap
kontrak yang telah disepakati bersama dengan B. Suatu hal yang memberi B”kekuatan pasar” untuk menghentikan pelayanan kepada A
terutama factor specificity asset yang dimiliki A yang telah digunakan. Jika sekali telah digunakan diterapkan, suatu asset spesifik dalam contoh di atas berupa peralatan-
peralatan proses produksi susu perah bias sedemikian mahal untuk dipindahkan atau sedemikian khususnya bagi seorang pemakai khusus pabrik pengolah susu, sehingga
kalau harga yang dibayar kepada individu A dikurangi, sebagian dari nilai yang diciptakan oleh pemasangan asset khusus tersebut oleh individu A dapat
dinikmatidimiliki dengan tidak sah oleh pemakai pelayanan individu B yang dihasilkan oleh asset itu. Dalam terminologi ilmu ekonomi, tambahan nilai yang diciptakan oleh
asset spesifik dapat dilihat sebagai suatu “quasi rent” sewa semu, yang kelebihan harga dari asset terhadap nilai sisa salvage value atau nilai dalam pemakaian terbaik
berikutnya ke penyewa lain. Sebagai contoh diilustrasikan sabagai berikut peralatan khusus milik pembeli memberi dia tambahan pendapatan sebesar Rp 1000.000,00.
salvage value
dari peralatan tersebut Rp 200.000,00 dan tambahan biaya operasinya Rp 300.000,00. Quasi rent dari peralatan yang telah terpasang akan sebesar Rp 500.000,00
tambahan pendapatan Rp 1.000.000,00 dikurangi tambahan biaya operasi Rp 300.000,00 dan dikurangi salvage value Rp 200.000,00. Jika pemilik peralatan bias mencari pihak
lain yang bersedia membayar Rp 700.000,00 untuk peralatannya, maka quasi rent akan hilang dan tidak ada lagi yang dimiliki dengan cara yang tidak sah. Jika individu B
mengancam individu A untuk membayar sesuatu yang lebih rendah, individu A dapat dengan mudah menjual peralatannya. Tetapi dengan asset yang spesifik, ini tidak mudah
untuk mungkin dilakukan karena dengan asset tersebut menjadi sangat rendah untuk penggunaan alternatif lainnya. Oleh karena itu ancaman suatu hold-up akan selalu ada
pada pemegang aset spesifik. Sebaiknya bila aset tidak punya kekhususan dan bias ditransfer ke pemakai lain, ancaman hold-up tidak akan ada, kekuatan individu B dalam
contoh di atas untuk memiliki secara tidak sah akan tidak ada.
Pemecahan masalah hold-up akan tergantung pada model biaya-biaya transaksi yang kritis pada tiga alternatif, yaitu: membeli, menyewa, atau memiliki servis
pelayanan tertentu. Alternatif terahir menyangkut pemecahan melalui koperasi danatau integrasi vertikal.
Laporan Akhir
Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah
IV-4
Self interest
Gambar 4.1 Pemecahan Masalah hold-up dalam Suatu Transaksi
Seperti diketahui sebelumnya, ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam dimensi transaksi, yaitu: ketidakpastian, frekuensi dan spesifikasi aset. Tetapi kali ini,
dimensi kedua dan ketiga yang hendak dideskripsikan, yaitu aset spesipik dan frekuensi transaksi menjadi pokok perhatian dalam pembahasan. Dimensi ketidakpastian tidak lagi
diperhatikan. Transaksi terdapat dua kelas yakni : incidentalkebetulan dan berulang. Sedangkan
spesifiksasi asset terdapat tiga kelas yakni : tidak khusus, khusus, dan sangat khusus.
Berdasarkan uraian di atas ada beberapa hal yang perlu didemonstrasikan, yakni: a.
Transaksi yang tidak khusus tidak memerlukan pengaturan khusus organisasi. Antara pihak pembeli dan penjual dapat berkomunikasi melalui pengalaman
masing-masing dalam
menentukanmeneruskan hubungan
dagang atau
menghentikan sama sekali. Jika tidak puas dapat beralih kepada siapa saja dengan tambahan biaya yan relatif sedikit. Bagi transaksi yang tidak khusus baik dari
frekuensi yang kebetulan maupun berulang, koperasi sebagai pemecahan organisasi tidak akan efisien.
b.Rangsangan-rangsangan untuk perdagangan bertransaksi akan semakin berkurang bila aset yang ditransaksikan menjadi lebih spesifik. Hal ini terutama
disebabkan oleh aset manusia dan fisik menjadi lebih khusus untuk pemakaian tunggal sehingga kurang dapat ditransfer ke pemakaian lain. Akibat adanya aset
spesificity
, potensi hold-up dan ketergantungan akan makin meningkat. c.
Transaksi kebetulan seperti membangun pabrik sangat memerlukan pengaturan organisasi. Demikian pula untuk transaksi yang berulang sering yang potensial
dalam menurunkan biaya transaksi aset yang spesifik. Dalam hal ini dapat dibedakan dua tipe transaksi khusus:
OPRTUNISTIS
“
ASSET SPECIFICITY
”
Moral Hazard
Menyewa Membeli
Faktor lain
Ketidak pastian
KOPERASI
Memiliki Jasa
INTEGRASI VERTICAL
Laporan Akhir
Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah
IV-5
1 pada struktur bilateral berusaha sendiri-dendiri, masing-masing pihak
mempunyai sifat otonom. 2
Pada struktur gabungan,transaksi dipindahkan dari pasar dan diorganisasikan dalam perusahaan integrasi vertikal.
Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang dapat mengadakan integrasi vertikal, harus dapat menunjukan keunggulan dibanding dengan integrasi vertikal nonkoperasi.
Keunggulan integrasi vertikal dimana kepemilikan tunggal oleh kedua belah pihak akan mengubah kebutuhan-kebutuhan pihak yang terlibat tanpa perlu untuk berkomunikasi dan
meningkatkan mutu pemufakatan antar pelaku perusahaan.
Secara ringkas, keputusan untuk memanfaatkan pelayanan sendiri atau membeli pelayanan pihak lain, akan lebih cenderung memanfaatkan pelayanan sendiri integrasi
vertikal bila: a.
Semakin spesifik aset yang terkibat, dan b.
Semakin sering transaksi Bila terjadi integrasi vertikal meupun integrasi horizontal maka semakin sering transaksi
semakin rendah biaya transaksinya. Kesimpulan utama dan pembahasan yang telah dilakukan dimuka adalah barang atau jasa yang ditunjang oleh aset nonspesifik aset
lain. Jika aset semakin spesifik, keunggulan komperatif akan beralih ke vertikal memanfaatkan pelayanan sendiri, termasuk perantaraan lewat koperasi.
- Moral Hazard
Dua individu A dan B bekerja sama dan menandatangani kontrak. Individu A memberikan pelayanan service kepada individu B dan pelayanan balasan kepada B
akan tergantung pada : a.
Perilaku dan motivasi B misal dapat saja B memanfaatkan situasi hold-up, b.
Faktor eksternal yang tidak diperhitungkan terutama yang berhubungan dengan resiko moral.
Faktor eksternal ini tidak dapat diamati langsung oleh individu A, sehingga A tidak dapat menyimpulkan apakah perilaku B itu jujur sesuai kontrak perjanjian atau tidak.
Ketika kontrak ditandatangani, saat itu belum terlihat perilaku yang sesungguhnya akan diketahui setelah kontrak itu dilaksanakan. Jadi pada saat ditandatangani kontrak,
sebenarnya masing-masing individu maasih tetap menghadapi masalah ketidakpastian masa depan. Situasi ini adalah pola dasar pemikiran resiko moral.
Resiko moral dapat didefinisikan sebagai aksi dan agen ekonomi pelaksana kegiatan ekonomi dalam memaksimumkan kepuasannya dengan cara merugikan orang
lain principal, dalam situasi di mana agen tidak tunduk secara penuh terhadap perjanjian kontrak sehingga principal pemilik sumber daya tidak menikmati manfaat
secara penuh dan aksi agen ekonomi tersebut disebabkan principal mempunyai ketidak lengkapan informasi.
Resiko moral sering disebut ”the principal-agent problem” Ropke,1989, yaitu bagaimana seorang principal pemilik sumber daya dapat mendesain atau merancang
kontrak yang dapat memotivasi individu lain yang menjadi agennya pelaksana kegiatan untuk bertindak sesuai dengan interest si Principal. Pada sebuah penseroan yang betindak
sebagai principal adalah para pemegang saham dan agennya adalah manajer dan para karyawan perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan pada sebuah koperasi yang
Laporan Akhir
Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah
IV-6
bertindak sebagai principal adalah anggotanya dan agennya adalah para pengurus koperasi atau manajer koperasi. Segera setelah agen-agen manajer dibedakan
dipisahkan dan principal pemegang saham atau anggota koperasi dan agen mempunyai informasi yang tersembunyi hidden information atau memang sengaja disembunyikan,
maka risiko moral akan menyusupi jegiatan ekonomi pada perusahaan atau koperasi yang bersangkutan.
Jika tindakan seseorang atau aksi individu tidak dapat diamati dan tidak dapat diketahui berdasarkan variabel yang dapat diamati, atau jika agen-agen melakukan
tindakan yang didasarkan pada informasi yang hanya tersedia bagi dirinya sendiri, maka setiap kompensasi tidak dapat didasarkan pada aksi-aksi individu tersebut dan konflik
antara kepentingan agent dan principal akan timbul.
Risiko moral mempunyai pengaruh langsung terhadap biaya transaksi komparatif dan alternatif –alternatif organisasional. Ketidakpastian masa depan dan ketidaksamaan
akan banyaknya peristiwa-peristiwa yang harus diperhatikan oleh masing-masing organisasi, maka biaya untuk mengatasi peristiwa-peristiwa yang akan terjadi menjadi
sangat besar. Semakin besar ketidakpastian akan semakin besar biaya transaksinya.
Jika oprtunisme hold-up tergantung pada spesipikasi aset, maka risiko moral tergantung pada;
a. Biaya cost monitoring, dan
b. Plasticity sumber daya aset ”plastik”
Dikatakan aset plastik jika terdapat kisaran penggunaan aset yang luas sehingga setiap orang dapat menggunakannya dalam berbagai alternatif.
Bagaimana masalah risiko moral dapat diatasi? Dan apakah kkoperasi akan mampu lebih baik untuk menghadapi resiko moral dan pada alternatif lain?
Sebagaimana dirancang semula terhadap pemecahan masalah hold-up, yaitu melalui integrasi vertikal, maka pemecahan masalah resiko moral juga akan diarahkan ke sana.
Suatu pemecahan yang baik terhadap risiko moral adalah bahwa agen pemakai dan suatu perusahaan akan menjadi pemilik perusaahaan yang bersangkutan principal,
sehingga konsekuensi penuh tentang bagaimana sumber daya dipakai jatuh ke tangan pemakai. Pemakai akan mempunyai insentif lebih besar, sehingga menghabiskan sumber
daya yang langka dengan kehati-hatian lebih besar, sehingga menghabiskan sumber daya langka dana dalam monitoring menjadi tidak perlu. Seorang supir taksi dalam kasus
yang dibicarakan dimuka akan memelihara taksinya dengan baik dan akan menggunakan taksi tersebut secara hati-hati sebab mobil taksi telah menjadi aset miliknya. Pemecahan
koperasi seperti itu dapat dilakukan dengan cara pemilik principal dapat mencoba mengajak sopir taksi berpartisipasi dalam pembetukan profit dan mengatur insentif atau
kompensasi masing-masing. Tujuannya adalah mamotivasi pemakai sopir taksi untuk berperilaku sebagai pemilik principal dari sumber-sumber yang plastik itu mobil
taksi.
Jadi jika sumber daya suatu perusahaan adalah sumber yang ”plastik”, maka pemakaian sumber daya tersebut akan sulit dimonitor oleh principal-nya. Dalam hal ini
koperasi dapat sebagai pemecahan yang cukup baik terhadap masalah risiko moral. Contoh lain dan aset yang cukup ”plastik” adalah ”uang”. Dalam suatu hubungan
kredit,seorang individu atau bank memberi individu lain berupa uang itu pada waktu yang akan datang dalam jumlah yang lebih banyak. Kasus yang sama juga berlaku bagi
Laporan Akhir
Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah
IV-7
seorang penabung yang memberi individu lain bank sejumlah sumber sebagai alasan janjiuntuk memperoleh kembali sumber itu pada waktu yang akan datang dengan nilai
yang lebih tinggi.
Transaksi itu sangat mudah dihinggapi risiko selama terdapat beberapa peluang bagi peminjam uang atau peluang bagi bank untuk memberikan kompensasi terhadap
tabungannya dalam mengembalikan uang kepada penabung. Masalah ini muncul karena uang sangat plastik dan dapat ditempatkan ke penggunaan-penggunaan alternatif yang
tidak diinginkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian kontrak, dan tindakan ini tidak dapat secara sempurna dimonitor oleh pemberi pinjaman atau
peminjam. Sebuah bank sangat mengharapkan kredit yang diberikan kepada pengusaha digunakan untuk pengembangan usaha, sebab bila usahanya berkembang, upaya
pengembalian pinjaman akan menjadi lancar. Tetapi karena uang adalah aset yang plastik, maka jika bank memberikan kredit kepada nasabahnya, perilaku nasabahnya
tidak dapat dipantau oleh pihak bank. Bisa saja uang pinjaman yang semula akan digunakan untuk kegiatan proses produksi, tetapi berbelok pada penggunaan lain yang
tidak produktif. Bagi bank jika nasabah mengangsur dengan jumlah yang telah disepakati dalam jangka waktu tertentu, itu bukan menjadi persoalan. Tetapi jika karena penggunaan
dana tersebut diarahkan ke penggunan yang tidak produktif dan nasabah kehilangan likuiditasnya dalam mengembalikan pinjamannya kepada bank, maka akan merugikan
pihak bank. Konstelasi ini menciptakan kesempatan-keswmpatan bagi perilaku oprtunistis. Pemberi pinjaman tidak dapat mengawasi perilaku Si peminjam.
Demikian pula perilaku bank sebagai pihak yang dipinjami uang oleh penabung tidak dapat diawasi oleh penabung mengenai kegiatan apa yang akan dilakukan oleh bank
dengan uang itu. Penabung sangat mengharapkan bank itu selalu dalam keadaan likuid, sehingga bila benar-benar dibutuhkan akan mudah diambil kembali. Tetapi mungkin saja
bank akan kehilangan likuiditasnya dalam mengembalikan tabungan nasabahnya sehinnga perilaku ini dapat merugikan penabung.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, pemecahan koperasi telah dipraktikkan sejak manusia mulai memakai uang itu untuk penggunaan yang produktif. Dalam hal ini
pemakai akan menjadi pemilik usaha yang dilakukan. Anggota kelompok akan saling memberi pinjaman dengan uangnya sendiri. Principal akan berubah menjadi agen yang
berusaha mengendalikan dan memonitor kegiatan sendiri. Koperasi-koperasi kredit yang didirikan oleh para pionir pada masa revolusi industri adalah sebagai bukti bahwa
pemecahan koperasi dalam masalah hold-up dan resiko moral memberikan keunggulan tersendiri dan alternatif pemecahan lain.
Bila agen dikenal oleh principal dan principal mengenal secara pribadi dan masing- masing agen dalam kegiatan bisnisnya, maka biaya monitoring yang dikkeluarkan akan
menjadi rendah. Agen dan principal sebagai orang yang sama, pasa waktu-waktu tertentu atau selama waktu tertentu akan bersedia berbagi informasi yang dimiliki antara satu
dengan yang lainnya. Dengan demikian pemecahan koperasi disamping akan mengalami masalah resiko moral juga akan menurunkan biaya monitoring. Karena biaya monitoring
merupakan sub-bagian dari biaya transaksi, maka pada akhirnya akan menurunjan biaya transaksi.
Laporan Akhir
Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah
IV-8
4.2 Konsep Koperasi