3
tengahnya. Sisa-sisa candi lainnya sudah hampir habis, hanya tinggal bagian pondasinya saja yang masih terpendam di bawah permukaan tanah sawah.
Pada tahun 1984 di Batujaya, Karawang, sekitar 20 km di sebelah barat dari Cibuaya, ditemukan pula sebuah kawasan situs arkeologi seluas 5 km² yang
merupakan situs-situs dari masa akhir Prasejarah hingga masa kerajaan Tarumanagara. Di kawasan situs Batujaya yang terletak di daerah aliran Citarum ini
telah ditemukan lebih dari 30 reruntuhan percandian bata yang berlatarkan agama Budha Mahayana. Sebagian besar dari situs-situs ini telah digali diekskavasi, dan
dua di antara candi-candi yang ditemukan sudah dipugar kembali. Pada reruntuhan bangunan candi ini ditemukan prasasti-prasasti beraksara Palawa dan berbahasa
Sanskerta yang digoreskan pada bata, lempengan emas, terakota, yang berisi ayat- ayat suci agama Buddha Mahayana tentang ajaran
karmma
. Berdasarkan bentuk aksaranya, yaitu aksara Palawa yang lebih muda dari
aksara Palawa yang digunakan pada prasasti-prasasti Purnawarman, maka prasasti- prasasti Batujaya ini diperkiran dari masa sekitar abad ke-7 dan ke-8. Selain itu
ditemukan pula meterai-meterai terakota yang bergambar relief Buddha dan sejumlah arca-arca kepala yang yang terbuat dari bahan stuko adukan semen kapur
yang menggambarkan tokoh-tokoh kedewataan maupun kepala binatang seperti singha dan serigala. Melalui analisis sisa arang analisis C14 dari kulit padi yang
terdapat sebagai campuran tanah liat dalam pembuatan bata candi, diperoleh pertanggalan untuk kompleks percandian Batujaya antara 680 hingga 900 Masehi.
Kompleks percandian di Batujaya ini mengenal penggunaan lepa stuko
wajralepa
sebagai pelapis permukaan candi, dan penggunaan beton stuko untuk melapisi lantai bangunan maupun halaman di sekeliling candi, dan konstruksi bagian atas candi
yang berbentuk stupa. Berkembangnya agama Budha Mahayana di Tarumanagara, yang semula
beragama Hindu, agaknya disebabkan pula karena invasi Sriwijaya ke Tarumanagara menjelang akhir abad ke-7. Pada bagian akhir prasasti penaklukan Kotakapur,
Bangka, oleh Sriwijaya dari tahun 608 Saka = 686 Masehi dituliskan pula bahwa
“Sriwijaya sangat berkeinginan untuk menaklukkan Bhumijawa = Tarumanagara yang tidak tunduk kepada Sriwijaya”.
Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu dikenal sebagai kerajaan maritim yang berperan pula sebagai pusat penyiaran agama Buddha Mahayana dan mempunyai
hubungan erat dengan pusat penyiaran agama Budha Mahayana di Nalanda, India. Invasi Sriwijaya ke Tarumanagara telah membawa pengaruh dalam persebaran
agama Budha Mahayana dan gaya kesenian dari Nalanda yang diterapkan di kompleks percandian Batujaya.
2. Kerajaan-kerajaan di Sumatra
2.1. Kerajaan Tulangbawang
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Kekaisaran Liu Sung 420-479 menyebutkan bahwa pada tahun 449 sebuah kerajaan di Sumatra bagian selatan yang
bernama P’u
-huang
atau P’o
-huang
mengirimkan utusan dan persembahan ke Tionkok. Disebutkan pula bahwa kerajaan
P’o
-huang
menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang didagangkan ke Tiongkok. Hubungan diplomatik antara
P’o
- huang
dan Tiongkok ini berlangsung terus hingga abad ke-6.
4
Berita Tionghoa lainnya dari masa 976-983 masih menyebutkan adanya sebuah kerajaan bernama
To-lang-
p’o
-huang
. Para akhli mengidentifikasikan P’o
- huang
atau
To-lang-
p’o
-huang
ini dengan kerajaan Tulangbawang, yang diduga terletak di daerah Lampung. Di daerah provinsi Lampung kini masih ada desa
bernama Bawang Umbul Bawang dan bahkan sebuah sungai yang bernama Tulangbawang. Tidak jauh dari desa Bawang pada tahun 1912 telah ditemukan
prasasti batu Hujunglangit dari tahun 997, dan sekitar tahun 2002 tidak jauh dari prasasti tersebut ditemukan pula tiga prasasti lainnya.
2.2 Kerajaan Sriwijaya
Sejumlah prasasti yang ditemukan di daerah Palembang, Karangbrahi Jambi, Kotakapur Bangka, dan Lampung yang berasal dari masa sekitar
pertengahan abad ke-7, memberitakan kehadiran sebuah kerajaan bernama Sriwijaya. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan aksara Palawa dan berbahasa Malayu Kuna.
Salah satu prasasti tersebut yang ditemukan di Kedukanbukit, Palembang, menyebutkan tentang perjalanan untuk mencapai kemenangan
mangalap siddhayatra
yang dilakukan oleh Dapunta Hyang dengan berperahu pada tanggal 11 paro-terang
suklapa ksa
bulan Waisaka, tahun 604 Saka = 23 April 682. Pada tanggal 7 paro-terang bulan Jyestha = 19 Mei 682 Dapunta Hyang berangkat dari
Minanga membawa dua laksa dan 200 peti perbekalan dengan perahu, dan 1312 tentara berjalan darat, datang di suatu tempat bernama
Mukha-Upang.
Pada tanggal 5 paro-terang bulan Asadha = 16 Juni 682 sampailah di suatu tempat membuat kota
wanua
. Kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan dan perjalanannya berhasil. Berdasarkan isinya prasasti Kedukanbukit memperingati usaha penaklukan
daerah sekitar Palembang dan pendirian sebuah ibukota baru Sriwijaya oleh Dapunta Hyang. Prasasti-prasasti Sriwijaya yang lain umumnya merupakan prasasti
permakluman tentang kemenangan Sriwijaya atas daerah-daerah di bagian selatan Sumatra yang ditaklukkannya. Hampir semua prasasti tersebut diahiri dengan
kutukan-kutukan dan persumpahan bagi siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja.
Mengenai tempat asal Sriwijaya terdapat beberapa penafsiran yang dikemukakan oleh para ahli. Sebagian di antaranya berpendapat bahwa kerajaan
Sriwijaya berasal dari Minanga di daerah Minangkabau, yaitu di dekat daerah pertemuan antara sungai Kampar Kiri dan sungai Kampar Kanan. Dari tempat
asalnya itu kemudian Sriwijaya mengadakan penaklukan ke daerah selatan dan akhirnya mendirikan ibukota baru di daerah Palembang.
Prasasti Sriwijaya yang berupa fragmen dan prasasti-prasasti pendek, umumnya berisi keterangan tentang perjalanan kemenangan
ja ya siddhayatra
dan peperangan serta keterangan mengenai ajaran agama Buddha Mahayana dan
beberapa sekte agama Buddha. Sebuah fragmen prasasti yang berasal dari Telagabatu, dekat Palembang menyebutkan pula pendirian sebuah wihara.
Beralihnya pusat kekuasaan Sriwijaya ke daerah pantai timur Sumatra bagian selatan itu agaknya berkaitan dengan penguasaan daerah perdagangan dan jalur
pelayaran melalui Selat Malaka dan Selat Bangka. Prasasti Ligor, Malaysia, yang berangka tahun 775 menyebutkan seorang raja Sriwijaya bernama Wisnu, dan
pendirian sebuah bangunan suci untuk pemujaan Padmapatni, Sakyamuni dan Wajrapani. Di Nalanda ditemukan pula sebuah prasasti dari pertengahan abad ke-9
yang isinya menyebutkan tentang pendirian sebuah wihara oleh Balaputradewa raja dari Suwarnabhumi Sriwijaya. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Dewapaladewa.
5
Berita-berita Tionghoa dari abad ke-11 masih menunjukkan peranan kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penyiaran agama Buddha. Raja Sriwijaya pada waktu itu
ialah Sri Culamaniwarman, mengadakan persahabatan dengan kerajaan Cola. Dalam prasasti Leiden dari tahun 10051006 disebutkan raja Culamaniwarman dari
Sriwijaya mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha di Nagapattinam dengan bantuan raja Cola, Rajaraja I. Bangunan ini dinamakan Culamaniwarmawihara.
Hubungan dengan Cola ini kemudian terputus karena pada tahun 1017 Rajendracoladewa mengadakan penyerangan ke Sriwijaya. Penyerangan dari Cola ke
Sriwijaya ini terjadi lagi pada tahun 1025 seperti disebutkan dalam prasasti Tanjore dari Rajendracola tahun 1030. Dalam penyerangan kedua ini raja Sriwijaya Sri
Sanggramawijayottunggawarman ditawan oleh bala tentara Cola. Dalam sejarah Dinasti Sung disebutkan bahwa pada tahun 1028 datang utusan
dari Sriwijaya. Utusan dari Sriwijaya yang tercatat dalam sejarah dinasti Sung yang terakhir ialah pada tahun 1178. Untuk beberapa lamanya tidak ada catatan tentang
utusan Sriwijaya dalam kitab-kitab sejarah Tiongkok. Sekitar permulaan abad ke-13 Sriwijaya
San-fo-tsi
muncul kembali sebagai kerajaan yang kuat dan berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran.
Namun berita Tionghoa dari jaman dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1376 kerajaan
San-bo-tsai San-fo-tsi
ditaklukkan oleh kerajaan Jawa dan akhirnya runtuh. Dengan keruntuhannya ini daerah-daerah yang tadinya berada dalam
kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri.
2.3. Kerajaan Malayu