Kerajaan Malayu Kerajaan-kerajaan di Sumatra

5 Berita-berita Tionghoa dari abad ke-11 masih menunjukkan peranan kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penyiaran agama Buddha. Raja Sriwijaya pada waktu itu ialah Sri Culamaniwarman, mengadakan persahabatan dengan kerajaan Cola. Dalam prasasti Leiden dari tahun 10051006 disebutkan raja Culamaniwarman dari Sriwijaya mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha di Nagapattinam dengan bantuan raja Cola, Rajaraja I. Bangunan ini dinamakan Culamaniwarmawihara. Hubungan dengan Cola ini kemudian terputus karena pada tahun 1017 Rajendracoladewa mengadakan penyerangan ke Sriwijaya. Penyerangan dari Cola ke Sriwijaya ini terjadi lagi pada tahun 1025 seperti disebutkan dalam prasasti Tanjore dari Rajendracola tahun 1030. Dalam penyerangan kedua ini raja Sriwijaya Sri Sanggramawijayottunggawarman ditawan oleh bala tentara Cola. Dalam sejarah Dinasti Sung disebutkan bahwa pada tahun 1028 datang utusan dari Sriwijaya. Utusan dari Sriwijaya yang tercatat dalam sejarah dinasti Sung yang terakhir ialah pada tahun 1178. Untuk beberapa lamanya tidak ada catatan tentang utusan Sriwijaya dalam kitab-kitab sejarah Tiongkok. Sekitar permulaan abad ke-13 Sriwijaya San-fo-tsi muncul kembali sebagai kerajaan yang kuat dan berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran. Namun berita Tionghoa dari jaman dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1376 kerajaan San-bo-tsai San-fo-tsi ditaklukkan oleh kerajaan Jawa dan akhirnya runtuh. Dengan keruntuhannya ini daerah-daerah yang tadinya berada dalam kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri.

2.3. Kerajaan Malayu

Berita Tionghoa dari sekitar pertengahan abad abad ke-7 telah menyebutkan adanya kerajaan bernama Mo-lo-yue yang telah mengirimkan utusannya ke Tiongkok. Menurut para ahli Mo-lo-yue adalah Malayu, sebuah kerajaan yang berlokasi di daearah Jambi. Kerajaan ini telah ada ketika Sriwijaya berdiri di daerah Palembang. Kerajaan Malayu ini disebutkan pula dalam kisah perjalanan yang ditulis oleh pendeta Buddhis Tionghoa, I-tsing. Dari Kanton menuju India pada tahun 671, ia singgah di Sriwijaya selama 6 bulan untuk mempelajari bahasa Sanskerta. Setelah itu pergi ke Malayu dan singgah selama dua bulan sebelum meneruskan perjalanannya menuju India. I-tsing tinggal selama sepuluh tahun di pusat pendidikan tinggi agama Buddha di Nalanda. Ketika kembali ke Tiongkok dari Nalanda pada tahun 685 ia singah di Sriwijaya untuk menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha. Setelah 4 tahun tinggal di Sriwijaya, pada tahun 689 ia kembali ke Tiongkok untuk membawa 4 orang pembantunya menyelesaikan penerjemahan kitab suci agama Buddha. Ketika I-tsing datang kembali ke Sriwijaya, Malayu telah diduduki oleh Sriwijaya. Ia kembali ke negerinya pada tahun 695. Dari pemberitaan I-tsing tersebut dapat disimpulkan bahwa kerajaan Malayu antara tahun 689 hingga 690 dkuasai Sriwijaya. Sejak masa itu kita tidak memperoleh pemberitaan tentang kerajaan Malayu hingga sektar abad ke-13. Baru pada tahun 1286 terdapat pemberitaan tentang kehadiran kerajaan Malayu di Sumatra bagian utara, yaitu dari kitab Pararaton dan Nagarakertagama. Di dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi raja Kertanagara dari Singhasari mengirimkan sebuah ekspedisi perutusan ke Malayu Pamalayu . Ekspedisi ke Malayu ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Malayu dalam rangka membendung arus pengaruh ekspansi kerajaan Mongol dari Tiongkok yang dilancarkan oleh Kubhilai Khan untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Untuk mempererat hubungan 6 persahabatan antara Singhasari dan Malayu ini kemudian raja Kertanagara mengirimkan pula sebuah arca Buddha Amoghapasa ke Malayu untuk ditempatkan di Dharmmasraya. Bagian alas arca tersebut ditulisi prasasti beraksara Jawa Kuna dengan bahasa Malayu kuna dan Sanskerta. Isinya menyebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka = 1286 Masehi sebuah arca Amoghapsa dengan empatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhumijawa ke Suwarnabhumi untuk ditempatkan di Dharmmasraya sebagai punya Sri Wiswarupakumara. Pengiriman arca tersebut diiringi oleh empat pembesar kerajaan. Selanjutnya disebutkan pula seluruh rakyat Malayu sangat bersuka cita terutama rajanya Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Di bagian belakang arca ini kemudian pada tahun 1347 dituliskan sebuah prasasti beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Sanskerta dari Sri Maharaja Srimat Sri Udaya Adityawarman. Prasasti ini menyebutkan pula beberapa hal di antaranya tentang penyelengaraan upacara yang bercorak tantrik, pendirian arca Buddha dengan nama Gaganaganja dan pemujaan kepada Jina. Prasasti-prasasti kerajaan Malayu yang ditemukan tersebar di Sumatra Barat pada pertengahan abad ke-14 menyebutkan adityawarman memerintah di Kanakamedini Pulau Emas. Nama Adityawarman disebutkan pula pada sebuah arca Manjusri dari Candi Jago, Jawa Timur. Prasasti ini menyebutkan tentang penempatan arca Manjusri ditempat pendharmaan Jina oleh Adityawarman. Adityawarman membangun pula sebuah candi Buddha di Bumi Jawa dengan tujuan untuk memuliakan orang tua dan kerabatnya, pada tahun 1265 Saka = 13431344 Masehi. Ketika Adityawarman belum menjadi raja di Malayu, ia menduduki jabatan sebgai Werdhamantri di Majapahit dengan gelar Arya Dewaraja pu Aditya. Pada tahun 1347 setelah Adityawarman berhasil menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya ia mengangkat dirinya sebagai maharajadiraja dengan delar Adityawarmmodaya Pratapaparakramarajendra Mauliwarmadewa. Ia memerintah sampai tahun 1375 dan kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Ananggawarman. Sampai kapan Ananggawarman memerintah tidak dapat diketahui. Berita Tionghoa menyebutkan hubungan terakhir dengan kerajaan Malayu pada tahun 1377. Sejak itu tidak ada hubungan diplomatik antara kerajaan Malayu dengan Tiongkok. Agaknya setelah itu kerajaan Malayu mengalami kemunduran, dan berakhit sekitar akhir abad ke-14.

3. Kerajaan Mataram