6
persahabatan antara Singhasari dan Malayu ini kemudian raja Kertanagara mengirimkan pula sebuah arca Buddha Amoghapasa ke Malayu untuk ditempatkan
di Dharmmasraya. Bagian alas arca tersebut ditulisi prasasti beraksara Jawa Kuna dengan bahasa Malayu kuna dan Sanskerta. Isinya menyebutkan bahwa pada tahun
1208 Saka = 1286 Masehi sebuah arca Amoghapsa dengan empatbelas pengiringnya dan
saptaratna
dibawa dari Bhumijawa ke Suwarnabhumi untuk ditempatkan di Dharmmasraya sebagai
punya
Sri Wiswarupakumara. Pengiriman arca tersebut diiringi oleh empat pembesar kerajaan. Selanjutnya disebutkan pula
seluruh rakyat Malayu sangat bersuka cita terutama rajanya Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Di bagian belakang arca ini kemudian pada
tahun 1347 dituliskan sebuah prasasti beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Sanskerta dari Sri Maharaja Srimat Sri Udaya Adityawarman. Prasasti ini menyebutkan pula
beberapa hal di antaranya tentang penyelengaraan upacara yang bercorak tantrik, pendirian arca Buddha dengan nama Gaganaganja dan pemujaan kepada Jina.
Prasasti-prasasti kerajaan Malayu yang ditemukan tersebar di Sumatra Barat pada pertengahan abad ke-14 menyebutkan adityawarman memerintah di
Kanakamedini
Pulau Emas. Nama Adityawarman disebutkan pula pada sebuah arca Manjusri dari Candi Jago, Jawa Timur. Prasasti ini menyebutkan tentang
penempatan arca Manjusri ditempat pendharmaan Jina oleh Adityawarman. Adityawarman membangun pula sebuah candi Buddha di Bumi Jawa dengan tujuan
untuk memuliakan orang tua dan kerabatnya, pada tahun 1265 Saka = 13431344 Masehi. Ketika Adityawarman belum menjadi raja di Malayu, ia menduduki jabatan
sebgai
Werdhamantri
di Majapahit dengan gelar Arya Dewaraja pu Aditya. Pada tahun 1347 setelah Adityawarman berhasil menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya
ia mengangkat dirinya sebagai
maharajadiraja
dengan delar
Adityawarmmodaya Pratapaparakramarajendra Mauliwarmadewa.
Ia memerintah sampai tahun 1375 dan kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Ananggawarman. Sampai
kapan Ananggawarman memerintah tidak dapat diketahui. Berita Tionghoa menyebutkan hubungan terakhir dengan kerajaan Malayu pada tahun 1377. Sejak itu
tidak ada hubungan diplomatik antara kerajaan Malayu dengan Tiongkok. Agaknya setelah itu kerajaan Malayu mengalami kemunduran, dan berakhit sekitar akhir abad
ke-14.
3. Kerajaan Mataram
3.1. Kerajaan Mataram di Jawa Tengah:
Dinasti Sailendra ailendrawang a
Sejak pertengahan abad ke-7 di Jawa Tengah telah muncul sebuah kerajaan yang berlatarkan keagamaan Hindu dan Buddha. Kerajaan ini diperintah oleh raja-raja dari
dinasti Sailendra ailendrawang a. Di dalam prasasti Sojomerto dari daerah
Batang, Pekalongan, yang berasal dari pertengahan abad ke-7 disebutkan seorang tokoh bernama Dapunta Selendra yang menganut agama Siwa.Tokoh ini dianaggap
sebagai cikal-bakal pendiri dinasti wang
akara
Sailendra. Dari sumber-sumber prasasti diketahui bahwa kerajaan dinasti Sailendra itu
bernama Mataram dan ibukotanya disebut Medang, sedangkan sumber-sumber Tionghoa dari zaman dinasti T’ang 618-906 menyebutnya
Ho-ling
yang berlangsung sampai tahun 818, dan kemudian menyebutnya dengan nama
She-
p’o sampai tahun 856. Menurut berita Tionghoa tersebut pada tahun 674 rakyat kerajaan
tersebut menobatkan seorang wanita bernama Simo
Hsi-imo
menjadi raja.
7
Pada masa pemerintahan Simo di Holing telah ada seorang pendeta Buddha yang terkenal bernama Jnanabhadra yang membantu pendeta Tionghoa bernama
Hwi-ning menerjemahkakitab suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa. Siapa yang menggantika ratu Simo tidak diketahui dengan pasti.
Namun berdasarkan keterangan yang terdapat dalam prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 732, menyebutkan raja Sanna yang
kemudian digantikan oleh saudara perempuannya yang bernama Sannaha. Pengganti Sannaha ialah anaknya yang bernama Sanjaya.
Sanjaya memerintah sejak tahun 717. Di dalam prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh raja Dyah Balitung pada tahun 907 Sanjaya disebutkan ralam
urutan pertama raja-raja Mataram dengan nama Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Pada tahun 732 ia mendirikan sebuah bangunan untuk pemujaan lingga di Gunung
Wukir.
Selanjutnya Sanjaya digantikan oleh anaknya, Rakai Panangkaran Dyah Sangkhara, pada tahun 746. Raja ini semula menganut agama Hindu Siwa tetapi
kemudian beralih menjadi penganut agama Buddha. Dialah yang mendirikan bangunan suci agama Buddha untuk pemujaan Dewi Tara
Tarābhāvanam di Klasan pada tahun 778, candi Sewu
Mañju rigṛ
ha
pada tahun 782, dan candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan kerajaan Mataram. Ia pun membangun
pula sebuah wihara di Bukit Ratu Baka yang diberi nama Abhayagiriwihara yang diresmikan pada tahun 792.
Rakai Pangkaran digantikan oleh anaknya, Samaratungga yang memerintah sekitar tahun 792-847. Samaratungga mempunyai seorang anak perempuan bernama
Pramodawarddhani, yang telah mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha yang diberi nama
Srimad Wenuwana
dan mentahbiskan arca Gananatha di dalamnya pada tahun 824, seperti disebutkan di dalam prasasti Kayumwungan. Anaknya yang
kedua yang lahir dari permaisurinya yang lain bernama Balaputradewa. Pramodawarddhani kemudian dikawinkan dengan Rakai Pikatan, anak
Rakai Patapan pu Palar yang menganut agama Siwa. Setelah Samaratungga meninggal
atau mengundurkan
diri dari
pemerintahan, Rakai
Patapan menggantikannya menjadi raja Mataram. Pada masa pemerintahannya Rakai Pikatan
mendirikan candi kerajaan yang berlatarkan agama Siwa, yaitu percandian Lara Jonggrang
iwagrha
, di Prambanan, seperti disebutkan didalam prasasti Siwagrha tahun 856.
Rakai Pikatan digantikan oleh anaknya, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala pada tahun 856, dan berkedudukan di ibukota Mdang di Mamratipura. Ia memerintah
sampai tahun 883. Sebenarnya Rakai Pikatan mempunyai seorang anak perempuan tertua, yaitu Rakai Gurunwangi Dyah Saladu yang dijadikan putri mahkota. Tetapi ia
baru menjadi raja setelah adiknya, Rakai Kayuwangi. Rakai Gurunwangi disebutkan dalama prasasti Munguantan tahun 887 sebagai Sri Maharaja. Sementara itu dari
prasasti Panunggalan tahun 896 kita mengenal seorang tokoh bernama Rakai Watuhumalang dan dari prasasti Pohdulur tahun 890 kita mengenal pula tokoh yang
bernama Sri Maharaja Rake Limus Dyah Dewindra. Raja Mataram selanjutnya ialah rakai Watukura Dyah Balitung yang
memerintah sekitar tahun 899-991. Pada masa pemerintahannya ia meluaskan kekuasaannya sampai ke Jawa timur. Penggantinya ialah Sri Daksottama Bahubajra
Pratipaksasaya. Ia bukanlah anak Dyah Balitung.
Di dalam berita Tionghoa dari zaman dinasti Sung ia disebut
Ta-tso-kan- hiung.
Untuk menunjukkan bahwa ia adalah pewaris yang sah dari kerajaann Mataram, ia menghubungkan dirinya dengan raja Sanjaya dan menggunakan tarikh
8
Sanjaya dalam prasastinya, yaitu prasasti Tajigunung tahun 194 Sanjayawarsa = 910 Masehi dan prasasti Timbananwungkal tahun 196 Sanjayawarsa = 913 Masehi.
Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti, tetapi prasastinya yang terakhir dari masa pemerintahannya berasal dari tahun 915, yaitu prasasti
Sugihmanek.
Pengganti Watukara Dyah Balitung ialah Rakai Layang Dyah Tulodhong yang mengeluarkan prasastinya yang pertama ialah prasasti Lintakan pada tahun
919. Sampai kapan Dyah Tulodhong memerintah tidak diketahui. Dari Masa pemerintahan Dyah Tulodhong terdapat pula sebuah prasasti yaitu prassti
Wintangmas yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya dari tahun 919. Berdasarkan gelar jabatannya ia adalah orang kedua setelah raja, dan
biasanya jabatan tersebut diduduki oleh putra mahkota yang akan menjadi raja sebagai pewaris atas takhta kerajaan Mataram. Namun kita tidak pernah menemukan
prasasti lain yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya sampai munculnya prasasti Wulakan dari Sri Maharaja Dyah Wawa tahun 928.
Dalam prasasti Wulakan tahun 928 muncul seorang raja yang bernama Rakai Sumba Dyah Wawa, yang menyebut dirinya anak
kryan landheyan sang lumah ring alas.
Kryan Landheyan adalah tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wuatantija tahun 880 dengan nama Rakryan Landheyan, yaitu adik ipar raja Rakai
Kayuwangi. Jadi jelaslah bahwa Dyah Wawa adalah anak Rakryan Landheyan, dan bukan anak Dyah Tulodhong raja pendahulunya. Pergantian kekuasaan dari Dyah
Tulodhong ke Dyah Wawa menimbulkan berbagai dugaan, di antaranya kemungkinan adanya perebutan kekuasaan dari tangan putra mahkota Rakryan
Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya oleh Dyah Wawa.
Masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa berlangsung tidak lama. Masa pemerintahannya diduga berakhir karena bencana alam yang sangat dahsyat akibat
letusan gunung Merapi. Bencana alam ini mungkin merusakkan ibukota Medang dan menghancurkan sebagian besar wilayah Mataram sehingga dianggap sebagai
pralaya
. Masa pemerintahan Dyah Wawa agaknya berakhir pada tahun 928 atau
awal tahun 929, karena tidak lama setelah itu Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok tampil sebagai penguasa baru di kerajaan Mataram seperti disebutkan dalam prasasti
Gulung-gulung tahun 929. Pu Sindok adalah orang yang memang mempunyai hak atas takhta kerajaan Mataram. Ketika Rake Pangkaja Dyah Wawa menjadi raja
Mataram, Pu Sindok berkedudukan sebagai Rakryan Mapatih i Hino, suatu jabatan yang biasanya diduduki oleh putra mahkota yang akan mewarisi takhta kerajaan.
3.2. Kerajaan Mataram di Jawa Timur: Dinasti Isy