2
tersebut belum dapat dipastikan adanya sistem kemasyarakatan berbentuk institusi kerajaan baik Hindu mau pun Budha seperti yang ada di Kotakapur, Pulau Bangka.
1.1. Kerajaan Kutai
Di daerah Kutai, Kalimantan Timur ditemukan tujuh prasasti yang dipahatkan pada tugu atau tiang batu yang disebut
yupa.
Prasasti ini dituliskan dengan aksara Palawa dan berbahasa Sanskerta. Berdasarkan bentuk aksaranya, prasasti ini berasal
dari awal abad ke-5, yaitu sekitar tahun 425 Masehi. Secara keseluruhan isi prasasti tersebut menyebutkan seorang raja bernama
Mulawarman, anak Aswawarman dan cucu Sri Maharaja Kundungga, yang memerintahkan penyelenggaraan upacara keagamaan bercorak Hindu. Pada upacara
tersebut raja telah memberikan sedekah untuk para Brahmana.
Sampai kapan kerajaan Hindu di daerah Kutai ini berkembang tidak dapat kita ketahui dengan pasti karena ketiadaan sumber-sumbernya. Namun demikian dari
masa-masa yang lebih muda, kita mendapatkan tinggalan-tinggalan arkeologi berupa arca-arca Hindu di gua Gunung Kombeng yang diperkirakan berasal dari abad ke-
9ke-9, dan arca Budha perunggu yang memperlihatkan gaya seni Gandhara di Kotabangun, Kalimantan Timur.
1.2. Kerajaan Tarumangara
Tidak berselang lama setelah munculnya kerajaan Hindu di daerah Kutai, di Jawa bagian Barat, terdapat pula sebuah kerajaan Hindu. Kerajaan ini meninggalkan
tujuh buah prasasti batu, yaitu: 1.
Prasasti Tugu ditemukan di desa Tugu dekat Tanjung Priuk, Jakarta, 2.
Prasasti Pasir Awi, 3.
Prasasti Ciaruteun, 4.
Prasasti Kebonkopi, 5.
Prasasti Jambu, 6.
Prasasti Muara Cianten dari daerah Bogor 7.
Prasasti Cidanghyang dari daerah Banten. Namun, dari ketujuh buah prasasti tersebut hanya lima yang dapat di baca karena dua
di antara yaitu prasasti Muara Cianten dan prasasti Pasir Awi tidak dipahatkan berupa tulisan melainkan
berupa “gambar”. Lima prasasti yang dapat dibaca dipahatkan dengan aksara Palawa dan
berbahasa Sanskerta. Berdasarkan bentuk aksaranya prasasti-prasasti tersebut dibuat sekitar pertengahan abad ke-5 Masehi ± 450 Masehi. Dari prasasti-prasasti tersebut
dapat diketahui adanya sebuah kerajaan bernama Tarumangara dengan rajanya yang bernama Purnawarman yang beragama Hindu.
Dalam prasasti Tugu disebutkan adanya pembuatan kanal untuk mengalirkan air dari sungai Candrabhaga dan sungai Gomati ke laut pada masa pemerintahan raja
Purnawarman. Diduga kanal-kanal ini dibuat untuk keperluan irigasi pertanian dan penanggulangan banjir pada waktu musim hujan.
Di desa Cibuaya daerah Karawang ditemukan dua buah arca batu utuh dan sebuah pecahan arca batu yang menggambarkan tokoh Dewa Wisnu. Berdasarkan
gaya seni arcanya, dapat diketahui bahwa arca-arca tersebut berasal dari masa abad ke-7 dan ke-9.
Tidak jauh dari tempat temuan arca, terdapat pula sisa-sisa reruntuhan dari sebuah kompleks percandian bata berlatar agama Hindu. Salah satu reruntuhan candi
ini masih tampak di permukaan tanah dengan sebuah lingga batu terletak di bagian
3
tengahnya. Sisa-sisa candi lainnya sudah hampir habis, hanya tinggal bagian pondasinya saja yang masih terpendam di bawah permukaan tanah sawah.
Pada tahun 1984 di Batujaya, Karawang, sekitar 20 km di sebelah barat dari Cibuaya, ditemukan pula sebuah kawasan situs arkeologi seluas 5 km² yang
merupakan situs-situs dari masa akhir Prasejarah hingga masa kerajaan Tarumanagara. Di kawasan situs Batujaya yang terletak di daerah aliran Citarum ini
telah ditemukan lebih dari 30 reruntuhan percandian bata yang berlatarkan agama Budha Mahayana. Sebagian besar dari situs-situs ini telah digali diekskavasi, dan
dua di antara candi-candi yang ditemukan sudah dipugar kembali. Pada reruntuhan bangunan candi ini ditemukan prasasti-prasasti beraksara Palawa dan berbahasa
Sanskerta yang digoreskan pada bata, lempengan emas, terakota, yang berisi ayat- ayat suci agama Buddha Mahayana tentang ajaran
karmma
. Berdasarkan bentuk aksaranya, yaitu aksara Palawa yang lebih muda dari
aksara Palawa yang digunakan pada prasasti-prasasti Purnawarman, maka prasasti- prasasti Batujaya ini diperkiran dari masa sekitar abad ke-7 dan ke-8. Selain itu
ditemukan pula meterai-meterai terakota yang bergambar relief Buddha dan sejumlah arca-arca kepala yang yang terbuat dari bahan stuko adukan semen kapur
yang menggambarkan tokoh-tokoh kedewataan maupun kepala binatang seperti singha dan serigala. Melalui analisis sisa arang analisis C14 dari kulit padi yang
terdapat sebagai campuran tanah liat dalam pembuatan bata candi, diperoleh pertanggalan untuk kompleks percandian Batujaya antara 680 hingga 900 Masehi.
Kompleks percandian di Batujaya ini mengenal penggunaan lepa stuko
wajralepa
sebagai pelapis permukaan candi, dan penggunaan beton stuko untuk melapisi lantai bangunan maupun halaman di sekeliling candi, dan konstruksi bagian atas candi
yang berbentuk stupa. Berkembangnya agama Budha Mahayana di Tarumanagara, yang semula
beragama Hindu, agaknya disebabkan pula karena invasi Sriwijaya ke Tarumanagara menjelang akhir abad ke-7. Pada bagian akhir prasasti penaklukan Kotakapur,
Bangka, oleh Sriwijaya dari tahun 608 Saka = 686 Masehi dituliskan pula bahwa
“Sriwijaya sangat berkeinginan untuk menaklukkan Bhumijawa = Tarumanagara yang tidak tunduk kepada Sriwijaya”.
Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu dikenal sebagai kerajaan maritim yang berperan pula sebagai pusat penyiaran agama Buddha Mahayana dan mempunyai
hubungan erat dengan pusat penyiaran agama Budha Mahayana di Nalanda, India. Invasi Sriwijaya ke Tarumanagara telah membawa pengaruh dalam persebaran
agama Budha Mahayana dan gaya kesenian dari Nalanda yang diterapkan di kompleks percandian Batujaya.
2. Kerajaan-kerajaan di Sumatra