Kerajaan Singhasari Kerajaan Singhasari dan Majapahit: Dinasti Rajasa Rājasawang a

11 Jayabhaya mengeluarkan pula beberapa prasasti, di antaranya prasasti Hantang tahun 1135, yang merupakan keputusan raja Jayabhaya tentang penetapan desa Hantang menjadi sima karena jasa-jasa dan kesetiaannya kepada raja ketika adanya perang perebutan takhta. Prasastinya beraksara Jawa Kuna kuadrat dan bercap kerajaan berupa Narasingha dengan tulisan “ Pangjalu Jayati ”, yang artinya “Pangjalu Menang”. Pada masa pemerintahan raja Jayabhaya, pujangga bernama Mpu Sedah dan Mpu Panuluh telah menggubah sebuah karya sastra berupa Kakawin Bharatayuddha , yang mengisahkan perang saudara antara keluarga Kaurawa dan keluarga Pandawa memperebutkan kerajaan Hastinapura. Raja Jayabhaya memerintah sekitar 20 tahun lamanya. Raja terakhir yang memerintah di kerajaan Kadiri ialah raja Srengga Kertajaya. Pertama kali namanya muncul dalam prasasti Mrewak dari tahun 1186, sebagai Sri Maharaja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu. Di dalam kitab Pararaton raja Srengga Kertajaya dikenal dengan nama Raja Dangdang Gendis. Pada masa akhir pemerintahannya ia berselisih dengan para brahmana, sehingga banyak di antara mereka yang mengungsi dan minta perlindungan ke Tumapel. Ketika itu Tumapel merupakan sebuah daerah keakuwuan yang dipimpin oleh seorang akuwu yang ada dibawah kekuasaan kerajaan Kadiri. Akuwu Tumapel pada waktu itu ialah Ken Angrok, yang menggantikan akuwu sebelumnya yaitu Tunggul Ametung yang terbunuh oleh siasat Ken Angrok. Setelah Tunggul Ametung terbunuh itulah Ken Angrok kemudian menggatikannya menjadi akuwu Tumapel, dan memperistri jandanya yang bernama Ken Dedes. Dengan dukungan para brahmana pada tahun 1222 Ken Angrok mengadakan penyerangan ke Daha melawan raja Srengga Kertajaya. Dalam pertempuan dekat Ganter Ken Angrok mengalahkan raja Kertajaya dan kemudian menguasai selurh kerajaan Kadiri.

4. Kerajaan Singhasari dan Majapahit: Dinasti Rajasa Rājasawang a

4.1. Kerajaan Singhasari

Pada tahun 1222 setelah Ken Angrok mengalahkan raja Kadiri, ia dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwwabhumi, berkedudukan di ibukotanya Tumapel atau Kutaraja. Seluruh wilayah bekas kerajaan Kadiri menjadi wilayah kekuasaannya dan disebut dengan nama kerajaan Singhasari. Kemunculan tokoh Ken Angrok sebagai pendiri dan raja pertama Singhasari menandai pula lahirnya sebuah dinasti baru, yaitu Dinasti Rajasa Rājasawang a atau Dinasti Girindra Gir ndrawang a yang menurunkan raja-raja yang memerintah di Singhasari dan Majapahit hampir 300 tahun lamanya. Tentang asal-usul Ken Angrok sejak dilahirkan di desa Pangkur, di sebelah timur gunung Kawi hingga menjadi raja, diuraikan panjang-lebar di dalam kitab Pararaton atau Katuturan ira Ken Angrok, sebuah kitab berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada akhir abad ke-15 pada masa akhir Majapahit. Masa pemerintahan Ken Angrok hanya berlangsung lima tahun lamanya, tahun 1227 ia dibunuh oleh seorang pangalasan atas suruhan Anusapati, anak tirinya yaitu anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Sepeninggalnya ia digantikan oleh Anusapati 1227-1248. Berita pembunuhan Ken Angrok atas suruhan Anusapati rupanya sampai pula kepada Panji Tohjaya, anak Ken Angrok dari istrinya Ken Umang. Tohjaya 12 menuntut balas atas kematian ayahnya, dan pada tahun 1248 Anusapati dibunuh oleh Tohjaya ketika keduanya sedang menyabung ayam. Sepeninggal Anusapati, Tohjaya kemudian menjadi raja Singhasai menggantikan Anusapati. Namun, ia tidak lama memerintah karena meninggal ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Rajasa dan orang- orang sinelir. Tohjaya kemudian digantikan oleh Wisnuwarddhana, anak Anusapati. Ia memerintah selama 20 tahun 1248-1268. Pada tahun 1254 ia menobatkan anaknya, Kertanagara, menjadi raja muda yuwaraja atau kumararaja dan menempatkannya sebagai Raja Daerah di Daha. Dalam prasasti Mula-Malurung yang dikeluarkan olehWisnuwarddhana tahun 1255, kerajaan Singhasari terdiri dari sejumlah kerajaan daerah yang masing-masing diperintah oleh seorang raja daerah. Dalam prasasti tersebut Wisnuwarddhana disebutkan dengan nama Nararyya Sminingrat dan berkedudukan di ibukota Tumapel, kerajaan daerah Daha diperintah oleh Kertanagara yang disebutkan dengan nama Nararyya Murddhaja, sedangkan kerajaan daerah Gelang-gelang diperintah oleh Turuk Bali bersama suaminya Jayakatwang. Sepeningal Wisnuwarddhana, pada tahun 1268 Kertanagara naik tahta menjadi raja Singhasari. Di bidang politik raja Kertanagara terkenal sebagai seorang raja yang mempunyai gagasan untuk memperluas cakrawala politiknya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirimkan ekspedisi ke Malayu Pamala yu untuk menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Malayu. Hubungan persahabatn ini kemudian disusul dengan pengiriman arca Amoghapasa pada tahun 1286 untuk ditempatkan di ibukota Malayu, di Dharmasraya. Dalam bidang keagamaan raja Kertanagara dikenal sebagai seorang penganut agama Buddha Tantrayana dari aliran Kala-Cakra Siwa-Bhairawa. Pada tahun 1289 ia ditahbiskan sebagai Jina dengan nama gelarnya Jnanasiwabajra. Arca pentahbisannya berupa arca Aksobhya dikenal sebagai arca Joko Dolog. Di dalam prasasti Camundi tahun 1292 disebutkan bahwa Sri Maharaja mencapai kemenangan di segala penjuru. Hubungan persahabatan yang dijalin dengan kerajaan Malayu, serta perluasan pengaruh kekuasaan kerajaan Singhasari ke luar Jawa, dimaksudkan untuk membendung pengaruh kekuatan kaisar Mongol Khubilai Khan dari daratan Tiongkok yang ketika itu sudah bergerak ke arah asia Tenggara. Pada tahun 1292 telah datang utusan Khubilai Khan yang dipimpin oleh Meng-Chi menghadap raja Kertanagara untuk minta pengakuan tunduk terhadap Khubilai Khan. Permintaan itu ditolak oleh raja Kertanagara, bahkan salah seorang utusan Khubilai Khan yaitu Meng-Chi dilukai mukanya. Tindakan raja Kertanagara ini menyebabkan kemarahan kaisar Khubilai Khan, dan pada awal tahun 1292 berangkatlah armada Tionghoa ke Jawa untuk menghukum raja Kertanagara. Namun, sebelum armada Tionghoa ini sampai di Jawa pada pertengahan tahun 1292, di Singhasari telah terjadi perubahan politik. Ketika itu Jayakatwang seorang raja daerah dari Gelang-gelang mengadakan penyerangan ke ibukota Singhasari. Salah seorang keponakan dan menantu raja Kertanagara, yaitu Raden Wijaya, ditunjuk oleh raja Kertanagara untuk memimpin pasukan Singhasari mengadakan perlawanan. Namun perlawanan ini tidak berhasil, pasukan Raden Wijaya akhirnya terdesak dan raja Kertanagara gugur bersama para pengiringnya di kadaton. Setelah raja Kertanagara gugur, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dan berakhirlah kerajaan Singhasari. Raden Wijaya bersama beberapa pengiringnya akhirnya mengungsi ke Madura. Di Madura Raden Wijaya dan 13 pengiringnya diterima oleh Arya Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar Raden Wijaya dapat diterima mengabdi kepada raja Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian memperoleh kepercayaan dari raja Jayakatwang dan ketika ia minta daerah hutan Terik di tepi kali Brantas untuk dibuka menjadi desa permukiman baru raja Jayakatwang mengabulkannya. Dengan bantuan orang-orang Madura Raden Wijaya membuka daerah hutan Terik menjadi sebuah desa permukiman dengan nama Majapahit. Di Majapahit yang baru dibuka ini Raden Wijaya mengadakan persiapan sambil menunggu waktu yang tepat untuk merebut kembali kekuasaan dari raja Jayakatwang.

5.2 Kerajaan Majapahit