9
Jawa Timur itu masih kerajaan Mataram, ia merupakan pendiri wangsa baru, yaitu wangsa Isyana
ānawang a. Dalam prasasti-prasastinya ia disebutkan bergelar Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isyanawikrama Dharmmottunggadewa yang memerintah
pada tahun 929-948. Pu Sindok digantikan oleh anak perempuannya yang bernama Sri Isyana
Tunggawijaya yang bersuamikan Sri Lokapala. Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti. Sepeninggalnya ia digantikan oleh anaknya yang bernama
Sri Makutawangsawarddhana. Ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Sri Mahendradatta Gunapriyadharmmapatni yang bersuamikan Sri Dharmma Udayana,
seorang raja Bali, dan seorang anak laki-laki bernama Sri Dharmmawangsa Tguh.
Dari perkawinan Mahendradatta dengan Udayana lahirlah di antaranya seorang anak bernama Airlangga. Sri Makutawangsawarddhana kemudian
digantikan oleh Sri Dharmmawangsa Tguh, yang memerintah sekitar tahun 991- 1017. Masa pemerintahannya berakhir dengan tragis, mengalami keruntuhan karena
serangan seorang raja bawahannya.
Di dalam prasasti Pucangan dari raja Airlangga tahun 1041, disebutkan bahwa penyerangan itu dilakukan oleh raja Wurawari dari Lwaram pada tahun 1017
tidak lama setelah perkawinan putri Dharmmawangsa Tguh dengan Airlangga. Dalam serangan itu raja Dharmmawangsa Tguh gugur bersama para pembesar
kerajaan. Dharmmawangsa Airlangga bersama pengiringnya dapat menyelamatkan diri dari serangan musuh dan mengungsi ke hutan di lereng gunung di lingkungan
para pertapa. Pada tahun 1019 ia direstui oleh para pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahmana sebagai raja dengan gelar Rake Halu Sri Lokeswara
Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Masa pemerintahan raja Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukkan kembali raja-raja bawahan. Pada masa pemerintahannya raja Airlangga
berusaha pula untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, dengan membangun sarana keairan untuk meningkatkan perekonomian di antaranya
dengan membangun waduk, kanal, bendungan dan tanggul. Dari permaisurinya Airlangga mempunyai empat orang anak. Anak yang tertua seorang perempuan
benama Sri Sanggramawijaya-uttunggadewi. Ia ditahbiskan menjadi putri mahkota, namun kemudian melepaskan kedudukannya dan memilih menjadi seorang pertapa
bhiksuni
.
4. Kerajaan Janggala, Pangjalu, dan Kadiri
4.2. Kerajaan Janggala dan Pangjalu
Pada masa akhir pemerintahan raja Airlangga muncul seorang tokoh bernama Samarawijaya yang diduga anak raja Dharmmawangsa Tguh, yang rupanya dapat
menyelamatkan diri ketika terjadi serangan raja Wurawari. Ia menuntut haknya atas takhta kerajaan Matara dari raja Airlangga. Untuk menghindari pertentangan
keluarga, Airlangga kemudian membagi kerajaannya menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan Mataram menjadi dua ini terjadi sekitar tahun 1042.
Samarawijaya sebagai pewaris yang sah dari raja Dharmmawangsa Tguh memperoleh sebagian kerajaan yang diberi nama Pangjalu dengan ibukotanya
Dahanapura. Sebagian daerah kerajaan lainnya yang dinamai Janggala dengan ibukotanya Kahuripan diserahkan kepada anak-anak Airlangga.
Di dalam Kakawan Nagarakertagama dari zaman Majapahit disebutkan pembagian kerajaan Airlangga menjadi dua kerajaan ini dilakukan oleh Pu Bharada,
10
seorang pendeta Buddha Mahayana aliran Tantra. Selain itu pembagian kerajaan tersebut disebutkan pula dalam prasasti Turunhyang tahun 1044. Akan tetapi
pembagian kerajaan Mataram menjadi dua bagian ini tidak dapat menghindarkan terjadinya peperangan antara kedua belah pihak yang ingin saling menguasai seluruh
wilayah kerajaan. Dari prasasti-prasasti yang berasal dari masa sekitar pertengahan abad ke-11
kita mengenal nama raja-raja yang memerintah di Pangjalu dan Janggala. Raja-raja tersebt adalah: Mapanji Garasakan, raja Janggala, yang disebutkan dalam prasasti
Turunhyang B tahun1044 dan prasasti Malenga tahun 1052; Mapanji Alanjung Ahyes yang berkuasa di Pangjalu 1052-1059, yang disebutkan dalam prasasti
Banjaran; dan Samarotsaha yang berkuasa di Janggala sejak tahun 1059 seperti disebutkan dalam prasasti Sumengka tahun 1059. Mapanji Garasakan dan Mapanji
Alanjung Ahyes adalah anak-anak raja Airlangga adik Sanggramawijaya, sedangkan Samarotsaha adalah menantu raja Airlangga.
Setelah raja-raja tersebut kita tidak mempunyai sumber-sumber sejarah yang dapat menjelaskan keadaan sesudahnya di kedua kerajaan tersebut. Masa itu
merupakan masa kegelapan sejarah kerajaan-kerajaan Janggala dan Pangjalu.
3.2. Kerajaan Kadiri
Setelah kurang-lebih 60 tahun lamanya masa kegelapan menyelimuti kerajaan bekas kekuasaan raja Airlangga yang dibagi dua menjadi Janggala dan Pangjalu, akhirnya
di Jawa Timur sejak tahun 1117 muncul sebuah kerajaan baru bernama Kadiri dengan ibukotanya Daha. Kemunculan kerajaan baru ini diketahui dari prasasti
Padlegan tahun 1117 yang dikeluarkan oleh seorang raja yang menamakan dirinya Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwwani-
waryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa.
Berdasarkan keterangan dalam prasasti Padlegan diketahui bahwa rakyat desa Padlegan dengan perantaraan Sang Juru Pangjalu, Mapanji Tutus ing Rat, memohon
kepada Sri Maharaja agar desa Padlegan ditetapkan sebagai
sima swatantra.
Karena rakyatnya telah berjasa kepada raja dengan memperlihatkan kebaktiannya
mempertaruhkan jiwa raganya agar raja memperoleh kemenangan di dalam peperangan, maka permohonan itu dikabulkan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kerajaan Kadiri ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Pangjalu yang telah berhasil mengalahkan kerajaan Janggala dan mempersatukannya kembali dalam
kerajaan baru yang dinamai Kadiri. Dari prasasti-prasasti yang berasal dari masa kerajaan Kadiri, kita mengetahui
dalam masa perkembangannya sekitar 45 tahun, dari tahun ±1117 hingga tahun 1222, kerajaan ini diperintah oleh 7 orang raja. Ketujuh orang raja Kadiri tersebut
ialah: 1 Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara ± 1117-1130.
2 Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya ± 1135-1157. 3 Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarwweswara± 1159-1161.
4 Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara ± 1169-1171. 5 Sri Maharaja Sri Kroncaryyadipa± 1181.
6 Sri Maharaja Sri Kameswara± 1182-1185. 7 Sri Maharaja Srengga Kertajaya ± 1186-1222.
Di antara raja-raja tersebut yang sangat dikenal selain raja Sri Bameswara, karena ia merupakan raja pertama dari kerajaan Kadiri, ialah Sri Maharaja Sang Mapanji
Jayabhaya dan raja terakhir yang bernama Sri Maharaja Srengga Kertajaya. Raja
11
Jayabhaya mengeluarkan pula beberapa prasasti, di antaranya prasasti Hantang tahun 1135, yang merupakan keputusan raja Jayabhaya tentang penetapan desa Hantang
menjadi sima karena jasa-jasa dan kesetiaannya kepada raja ketika adanya perang perebutan takhta. Prasastinya beraksara Jawa Kuna kuadrat dan bercap kerajaan
berupa Narasingha dengan
tulisan “
Pangjalu Jayati
”, yang artinya “Pangjalu Menang”.
Pada masa pemerintahan raja Jayabhaya, pujangga bernama Mpu Sedah dan Mpu Panuluh telah menggubah sebuah karya sastra berupa Kakawin
Bharatayuddha
, yang mengisahkan perang saudara antara keluarga Kaurawa dan keluarga Pandawa
memperebutkan kerajaan Hastinapura. Raja Jayabhaya memerintah sekitar 20 tahun lamanya.
Raja terakhir yang memerintah di kerajaan Kadiri ialah raja Srengga Kertajaya. Pertama kali namanya muncul dalam prasasti Mrewak dari tahun 1186,
sebagai Sri Maharaja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu. Di dalam kitab
Pararaton
raja Srengga Kertajaya dikenal dengan nama Raja Dangdang Gendis. Pada masa akhir pemerintahannya ia berselisih dengan para brahmana, sehingga banyak di
antara mereka yang mengungsi dan minta perlindungan ke Tumapel. Ketika itu Tumapel merupakan sebuah daerah keakuwuan yang dipimpin oleh seorang akuwu
yang ada dibawah kekuasaan kerajaan Kadiri.
Akuwu Tumapel pada waktu itu ialah Ken Angrok, yang menggantikan akuwu sebelumnya yaitu Tunggul Ametung yang terbunuh oleh siasat Ken Angrok.
Setelah Tunggul Ametung terbunuh itulah Ken Angrok kemudian menggatikannya menjadi akuwu Tumapel, dan memperistri jandanya yang bernama Ken Dedes.
Dengan dukungan para brahmana pada tahun 1222 Ken Angrok mengadakan penyerangan ke Daha melawan raja Srengga Kertajaya. Dalam
pertempuan dekat Ganter Ken Angrok mengalahkan raja Kertajaya dan kemudian menguasai selurh kerajaan Kadiri.
4. Kerajaan Singhasari dan Majapahit: Dinasti Rajasa Rājasawang a