36
2.5 Perempuan dalam Pekerjaan Perkebunan
Perkebunan mempunyai struktur hirarki yang terdiri dari tenaga kerja tidak terampil dalam jumlah besar dan sekelompok kecil pegawai manajemen yang terdidik dan yang
terakhir ini pada zaman kolonial juga merupakan pemilik pengusaha individu. Karena resei yang berkepanjangan dan harga tanaman perkebunan dipasaran dunia rendah,
mereka terpaksa menjual tanah milik mereka pada perusahaan nasional atau internasional yang besar. Nasionalisasi dalam proses dekolonisasi merupakan alasan lain mengapa
sekarang ini perusahaan trannasional, nasional dan dari milik negara, yang sering terkait dengan dunia agribisnis merupakan pemilik perkebunan. Konsep disagregasi sulit
diterapkan pada perkebunan sebab pekerja perkebunan tidak mengendalikan tanah perkebunan. Tetapi, pertambahan jumlah pekerja perkebunan didaerah perkebunan akan
menambah besar jumlah kaum proletar pedesaan yang mungkin akan menekan tingkat upah, atau mungkin bisa mengarah pada permukiman kumuh atau migrasi.
Menurut Heyzer 1986, dalam banyak kasus dia Asia Malaysia, Filipina, Sri lanka terdapat lebih banyak pekerja perkebunan perempuan dari pada laki-laki.
“pekerja-pekerja perempuan ini semua dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah, sering dengan pekerjaan yang tidak tetap. Pekerja
perempuan, yang merupakan istri-istri atau anak-anak dari pekerja laki- laki perkebunan, telah tersedia didaerah pekerbunan dan merupakan
cadangan yang dapat digunakan selama ada kekosongan diantara pekerja laki-laki”. Brigitte Holzner, 1997
Hal ini kemudian berkaitan pada keadaan dan kondisi zaman sekarang ini, seperti di PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Tinjowan, juga terdapat pekerja dan disebut
karyawan perempuan yang bekerja dilapangan, baik yang memang berstatus sebagai
Universitas Sumatera Utara
37
karyawan tetap dengan gaji bulanan dan ada juga pekerja yang berstatus tidak karyawan. Perempuan-perempuan ini hanya sebagai pendamping suami mereka yang bekerja
sebagai BHL buruh harian lepas yang bekerja secara untuk memanen buah sawit dan para perempua ini bekerja untuk mengutip buah brondolan yang jatuh. Hal tersebut
terkait dengan ketersediaan perempuan pada masa kolonial dulu yang bekerja dan disediakan untuk sebagai pengganti kerja laki-laki.
2.6 Aspek Eksistensialisme