Penyesuaian Diri Lanjut Usia di Panti Wredha

(1)

PENYESUAIAN DIRI LANJUT USIA

di PANTI WREDHA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

RUTH TRESIA SARI S.

041301122

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2010/2011


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Penyesuaian Diri Lanjut Usia di Panti Wredha

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2010 Materai

6000

Ruth Tresia Sari S. NIM 041301122


(3)

Penyesuaian Diri Lanjut Usia di Panti Wredha

ABSTRAK

Lanjut usia sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai lanjut usia tersebut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari (Wibisono dalam Marsetio, 1992). Ada lima pola kehidupan di masa lanjut usia yang bersifat umum, yaitu tinggal sendiri hanya dengan pasangannya, lanjut usia yang hidup sendiri di rumahnya sendiri, dua atau lebih anggota dari usia yang sama tinggal bersama dengan status tanpa hubungan perkawinan seperti: saudara laki-laki, saudara perempuan atau teman-teman seusia, janda atau duda yang tinggal bersama dengan anak atau cucunya, dan orang lanjut usia yang tinggal di dalam rumah penampungan orang lanjut usia atau panti wredha (Hurlock, 1999). Lanjut usia yang memilih untuk hidup di panti wredha dipengaruhi oleh alasan/kondisi, sehingga akan mengakibatkan efek setelah tinggal di panti wredha, baik itu dari segi keuntungan dan kerugiannya. Maka lanjut usia perlu melakukan penyesuaian diri di panti wredha yang melalui pengaruh beberapa faktor penyesuian diri dan bentuk penyesuian diri di panti wredha. Penyesuaian diri di panti wredha meliputi penyesuian diri yang efektif dan tidak efektif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan partisipan. Karakteristik partisipan adalah pria atau wanita berusia 60 tahun keatas dan bertempat tinggal di panti wredha berdomisili di Binjai dan masih bisa melakukan komunikasi dengan baik. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional

(theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam

penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketika seseorang lanjut usia memutuskan untuk tinggal di panti wredha, ada alasan dan kondisi yang mempengaruhi, ada akibat/efek setelah tinggal di panti wredha. Oleh karena itu, ia harus melakukan penyesuian diri di panti wredha melalui faktor yang mempengaruhi dan bentuk penyesuaian diri yang meliputi penyesuain diri yang efektif dan tidak efektif. Partisipan I dalam penelitian ini melakukan penyesuaian diri yang efektif sementara partisipan II tidak melakukan penyesuaian diri yang efektif.

Saran penelitian bagi lanjut usia di panti wredha supaya dapat menjalin dan membangun hubungan yang baik dengan penghuni panti wredha dan mengikuti aktivitas-aktivitas di panti, karena hal tersebut membantu dalam penyesuaian dirinya di panti wredha, bagi keluarga, yayasan ataupun perawat yang membantu perawatan lanjut usia di panti wredha perlu memberikan dukungan dan perhatian yang dibutuhkan oleh para lanjut usia di panti wredha sehingga dapat membantu penyesuain diri yang efektif di panti wredha.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan kekuatan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Irna Minauli, M.si.,psikolog selaku dosen pembimbimng skripsi. Terima kasih

banyak atas waktu, kesabaran, pemikiran dalam memberikan saran, petunjuk dan bimbingan dalam penelitian ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Dosen penguji saya, Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.si.,psikolog dan Kak Juliana

Irmayani Saragih, M.Psi yang telah bersedia menjadi penguji skripsi saya. Terima kasih atas kesempatan dan waktu yang diberikan kepada penulis.

4. Ayahku tercinta, Ir. Rahim Sembiring, atas kesabaran dan dukungannya selama ini, sehingga tercapai semua ini.

5. Ibuku tersayang, Marta br. Ginting, yang telah melahirkan saya ke dunia, dan telah mencintai dan membesarkan dengan penuh kasih sayang. Terima kasih buat doanya dan semoga mama cepat sembuh.

6. Ryan yang telah banyak membantu dan mendukung penulis selama masa

penyelesaian skripsi. Terima kasih atas doa, waktu, dan dukungannya. Ryan telah mau memahamiku selama ini dan sudah banyak berkorban demiku. Harapanku semoga ryan dapat segera menyusulku untuk sidang skripsi.


(5)

7. Adikku (Anita Margareta Sembiring dan Egi Aninta Sembiring), dan kakakku (Novita Magdalena Sembiring, S.Sos) yang aku sayangi, terima kasih atas semua doa, bantuan dan dukungannya.

8. Bibiku (Diana Ginting, SH), Pak Tengahku (Herman Bangun), terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya.

9. Sepupuku (Bora, Herna, Josua), dan keponakanku (Benaya Eka Denta) tersayang, terima kasih buat semua doanya.

10.Seluruh dosenku di Fakultas Psikologi yang telah mengajari aku Ilmu Psikologi dan seluruh guru-guru SMU Immanuel, SMP Putri Cahaya, dan SD yang telah mendidikku tanpa pamrih.

11.Kedua partisipan penelitian ini, terima kasih banyak buat kesempatan dan waktu yang diberikan. Karena tanpa kerjasama yang baik dari kedua partisipan, penelitian ini tidak akan selesai. Banyak hal yang saya pelajari dari penelitian ini.

12.Seluruh pengawai Panti Wredha Abdi Dharma Binjai. Terima kasih atas waktu dan tempat yang diberikan untuk dapat melaksanakan penelitian ini.

13.Sahabatku (Etty Corry Silitonga). Terima kasih banyak atas dukungannya dan tetap semangat.

14.Semua pihak yang telah mendukung penelitian ini yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi kita semua.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, Juli 2010 Penulis.


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR... ...i

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR LAMPIRAN...ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Perumusan Masalah...12

C. Tujuan Penelitian...12

D. Manfaat Penelitian...12

E. Sistematika Penulisan...14

BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Diri...17

1. Definisi Penyesuaian Diri...17


(7)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Lanjut Usia...21

4. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri...26

5. Kriteria Penilaian Penyesuaian Diri Lanjut Usia...31

6. Ciri-ciri Penyesuaian Diri yang Efektif...34

7. Ciri-ciri Penyesuaian Diri yang Tidak Efektif...38

B. Lanjut Usia...39

1. Definisi Lanjut Usia...39

2. Perubahan-perubahan yang Dialami Lanjut Usia...40

C. Panti Wredha...44

1. Definisi Panti Wredha...44

2. Bentuk-bentuk Panti Wredha dan Karakteristik Panti Wredha...45

3. Alasan atau Kondisi yang Mempengaruhi Pilihan Pola Hidup di Panti Wredha...46

4. Akibat Tinggal di Panti Wredha...49

D. Paradigma Penelitian...51

BAB III METODE PENELITIAN A. Penelitian Kualitatif...52

B. Responden Penelitian...53


(8)

2. Jumlah Responden...54

3. Prosedur Pengambilan Responden...54

4. Lokasi Penelitian...54

C. Metode Pengambilan Data...55

1. Wawancara...55

D. Alat Bantu pengumpulan Data...56

1. Pedoman Wawancara...57

2. Alat Perekam (Tape Recorder)...57

3. Lembar Observasi...58

E. Kredibilitas dan Validitas Penelitian...58

F. Prosedur Penelitian...61

1. Tahap Pralapangan...61

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian...62

3. Tahap Pencatatan Data...63

G. Metode Analisis Data...63

BAB IV HASIL ANALISIS DATA A. Partisipan I...66

1. Analisis Data...66


(9)

b. Deskripsi Data Partisipan I...67

2. Observasi Umum Partisipan I...68

3. Data Wawancara Partisipan I...72

a. Gambaran Alasan/Kondisi yang Mempengaruhi Pilihan Hidup di Panti Wredha pada Partisipan I...72

b. Gambaran Akibat/Efek Tinggal di Panti Wredha pada Partisipan I...74

c. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Partisipan I...75

d. Gambaran Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri Partisipan I...77

e. Gambaran Penyesuaian Diri Partisipan I...78

4. Pembahasan Data Partisipan I...80

B. Partisipan II...89

1. Analisis Data a. Identitas Diri Partisipan II...89

b. Deskripsi Data Partisipan II...89

2. Observasi Umum Partisipan II...91

3. Data Wawancara Partisipan II...94

a. Gambaran Alasan/Kondisi Yang Mempengaruhi Pilihan Hidup di Panti Partisipan II...94


(10)

b. Gambaran Akibat/Efek Tinggal Di Panti Wredha Partisipan

II...96

c. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Partisipan II...97

d. Gambaran Bentuk-Bentuk Penyesuaian Diri Partisipan II...101

e. Gambaran Penyesuaian Diri Partisipan II...102

4. Pembahasan Data Partisipan II...103

C. Analisis Data Antar Partisipan...112

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan...117

B. Diskusi...124

C. Saran...128

DAFTAR PUSTAKA...132


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I...66

Tabel 2. Waktu Wawancara Partisipan I...68

Tabel 3. Gambaran Alasan/Kondisi yang Mempengaruhi Pilihan Hidup di Panti Wredha pada Partisipan I...86

Tabel 4. Gambaran Akibat/Efek Tinggal di Panti Wredha pada Partisipan I...87

Tabel 5. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Partisipan I...87

Tabel 6. Gambaran Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri pada Partisipan I...88

Tabel 7. Gambaran Penyesuaian Diri pada Partisipan I...88

Tabel 8. Gambaran Umum Partisipan II...89

Tabel 9. Waktu Wawancara Partisipan II...91

Tabel 10. Gambaran Alasan/Kondisi yang Mempengaruhi Pilihan Hidup di Panti Wredha pada Partisipan II...109

Tabel 11. Gambaran Akibat/Efek Tinggal di Panti Wredha pada Partisipan II...109

Tabel 12. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuain Diri Partisipan II...110

Tabel 13. Gambaran Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri pada Partisipan II...110

Tabel 14. Gambaran Penyesuaian Diri pada Partisipan II...111


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Verbatim Subjek 1...1

Verbatim Subjek 2...16


(13)

Penyesuaian Diri Lanjut Usia di Panti Wredha

ABSTRAK

Lanjut usia sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai lanjut usia tersebut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari (Wibisono dalam Marsetio, 1992). Ada lima pola kehidupan di masa lanjut usia yang bersifat umum, yaitu tinggal sendiri hanya dengan pasangannya, lanjut usia yang hidup sendiri di rumahnya sendiri, dua atau lebih anggota dari usia yang sama tinggal bersama dengan status tanpa hubungan perkawinan seperti: saudara laki-laki, saudara perempuan atau teman-teman seusia, janda atau duda yang tinggal bersama dengan anak atau cucunya, dan orang lanjut usia yang tinggal di dalam rumah penampungan orang lanjut usia atau panti wredha (Hurlock, 1999). Lanjut usia yang memilih untuk hidup di panti wredha dipengaruhi oleh alasan/kondisi, sehingga akan mengakibatkan efek setelah tinggal di panti wredha, baik itu dari segi keuntungan dan kerugiannya. Maka lanjut usia perlu melakukan penyesuaian diri di panti wredha yang melalui pengaruh beberapa faktor penyesuian diri dan bentuk penyesuian diri di panti wredha. Penyesuaian diri di panti wredha meliputi penyesuian diri yang efektif dan tidak efektif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan partisipan. Karakteristik partisipan adalah pria atau wanita berusia 60 tahun keatas dan bertempat tinggal di panti wredha berdomisili di Binjai dan masih bisa melakukan komunikasi dengan baik. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional

(theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam

penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketika seseorang lanjut usia memutuskan untuk tinggal di panti wredha, ada alasan dan kondisi yang mempengaruhi, ada akibat/efek setelah tinggal di panti wredha. Oleh karena itu, ia harus melakukan penyesuian diri di panti wredha melalui faktor yang mempengaruhi dan bentuk penyesuaian diri yang meliputi penyesuain diri yang efektif dan tidak efektif. Partisipan I dalam penelitian ini melakukan penyesuaian diri yang efektif sementara partisipan II tidak melakukan penyesuaian diri yang efektif.

Saran penelitian bagi lanjut usia di panti wredha supaya dapat menjalin dan membangun hubungan yang baik dengan penghuni panti wredha dan mengikuti aktivitas-aktivitas di panti, karena hal tersebut membantu dalam penyesuaian dirinya di panti wredha, bagi keluarga, yayasan ataupun perawat yang membantu perawatan lanjut usia di panti wredha perlu memberikan dukungan dan perhatian yang dibutuhkan oleh para lanjut usia di panti wredha sehingga dapat membantu penyesuain diri yang efektif di panti wredha.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu melalui tahap-tahap perkembangan. Periode perkembangan hidup manusia terdiri dari masa pranatal, masa bayi, masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak akhir, masa remaja, masa dewasa, masa dewasa madya, dan masa lanjut usia (Papalia, 2003). Mohamad (dalam Mutiara, 1990), membagi periodisasi biologis perkembangan manusia yaitu, masa bayi, masa prasekolah, masa sekolah, masa pubertas, masa dewasa, masa setengah umur (Prasenium), dan masa lanjut usia (Senium). Periode perkembangan hidup manusia ini berbeda-beda sesuai dengan tingkat usianya. Periode perkembangan yang terakhir itu, adalah masa lanjut usia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan bahwa lanjut usia meliputi usia pertengahan (Middle Age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (Elderly) antara 60-70 tahun, dan usia lanjut tua (Old Age) antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (Very Old Age) di atas 90 tahun (Mutiara, 1990). Departemen Kesehatan RI membuat pengelompokan lanjut usia berdasarkan kelompok pertengahan umur, ialah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan lanjut usia, yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa yang berusia 45-54 tahun, kelompok lanjut usia dini, ialah kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki lanjut usia yang berusia 55-64 tahun, kelompok lanjut usia dengan risiko tinggi, ialah kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun, atau kelompok lanjut usia yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti wredha, menderita penyakit berat, atau cacat (Mutiara, 1990).


(15)

Penduduk lanjut usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari seluruh penduduk. Diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu (Suhartini, 2007).

Peningkatan jumlah lanjut usia tersebut menimbulkan konsekuensi-konsekuensi, antara lain, bertambah besarnya sumber-sumber pemerintah dan masyarakat yang harus dikeluarkan untuk mengakomodasikan permasalahan yang diakibatkannya (untuk perawatan, penanggulangan permasalahan, penyediaan fasilitas, perluasan lapangan kerja dan pelatihan), selain itu perlu lebih ditingkatkan penyuluhan sosial kepada masyarakat tentang karakteristik kehidupan lanjut usia, penyediaan dan perluasan lapangan kerja serta kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang layak bagi lanjut usia, penyediaan dan perluasan pelayanan sosial dan pelayanan lainnya yang secara kuantitatif dan kualitatif memadai (Mutiara, 1990).

Ketika persentase orang yang berusia tua semakin banyak, masa hidup sebenarnya tetap tidak berubah sejak awal pencacatan sejarah. Masa hidup adalah batas atas dari hidup, jumlah maksimum dari tahun-tahun di mana individu dapat hidup. Masa maksimal dari manusia kurang lebih usia seratus dua puluh tahun. Maka, masa lanjut usia adalah suatu masa yang memiliki rentang kehidupan yang paling panjang dalam periode perkembangan manusia (Santrock, 2002).

Wibisono (dalam Marsetio, 1992) menyebutkan bahwa lanjut usia sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai lanjut usia tersebut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat


(16)

dihindari. Meskipun demikian, dari zaman ke zaman selalu ada saja yang memimpikan untuk tidak mengalaminya. Ada banyak usaha untuk mempertahankan kemudaan dan banyak gangguan atau problema kejiwaan yang berkaitan dengan lanjut usia, menunjukkan besarnya pengaruh perubahan akibat lanjut usia tersebut bagi kehidupan manusia (Wibisono, dalam Marsetio, 1992).

Havighurst & Duvall (dalam Hardywinoto, 1991), menguraikan tujuh jenis tugas perkembangan (developmental tasks) selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lanjut usia, yaitu penyesuaian terhadap penurunan fisik dan psikis, penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan, menemukan makna kehidupan, mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan, menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga, penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia, dan menerima dirinya sebagai seorang lanjut usia. Senada dengan yang diungkapkan oleh Hurlock (1999) bahwa tugas perkembangan lanjut usia meliputi menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan keluarga, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan, membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia, membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan dan menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

Hurlock (1999), mengemukakan bahwa ada lima pola kehidupan di masa lanjut usia yang bersifat umum, yaitu tinggal sendiri hanya dengan pasangannya, lanjut usia yang hidup sendiri di rumahnya sendiri, dua atau lebih anggota dari usia yang sama tinggal bersama dengan status tanpa hubungan perkawinan seperti: saudara laki-laki, saudara perempuan atau teman-teman seusia, janda atau duda yang tinggal bersama dengan anak atau cucunya, dan orang lanjut usia yang tinggal di dalam rumah penampungan orang lanjut usia atau panti wredha.


(17)

Menurut Hardywinoto (1991), panti wredha adalah panti yang didalamnya ada personel keperawatan yang profesional, dan hanya lanjut usia yang lemah dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri serta mempunyai kondisi ketergantungan dapat diterima atau dirawat. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1999) yang mengatakan bahwa seseorang tinggal di panti wredha apabila kesehatan, status ekonomi, atau kondisi lainnya tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan hidup di rumah masing-masing, dan jika mereka tidak mempunyai sanak saudara yang dapat atau sanggup merawat mereka.

Mariani (2007), mengungkapkan bahwa pada awalnya panti wredha dimaksudkan untuk menampung orang lanjut usia yang miskin dan terlantar untuk diberikan fasilitas yang layak mulai dari kebutuhan makan minum sampai dengan kebutuhan aktualisasi. Namun lambat laun dirasakan bahwa yang membutuhkan pelayanan kesejahteraan lanjut usia yang berbasis panti wredha tidak hanya bagi mereka yang miskin dan terlantar saja, tetapi orang yang berkecukupan dan mapan pun membutuhkannya.

Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan, pertama disebabkan oleh perubahan tipe keluarga dari keluarga besar (extended family) menjadi keluarga kecil (nuclear family). Dimana pada awalnya dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Tapi sesuai dengan perkembangan keluarga ada tahap dimana keluarga menghadapi anak yang menikah atau membentuk keluarga sendiri, sehingga yang terjadi adalah orang tua akan tinggal berdua saja, tentu saja kondisi ini membutuhkan peran pengganti keluarga. Kedua, perubahan peran ibu. Pada awalnya peran ibu adalah mengurus rumah tangga, anak-anak, dan lain-lain. Sekarang telah mengalami perubahan dimana ibu juga bertindak sebagai pencari nafkah bekerja di kantoran dan sebagainya, sehingga anggota keluarga seperti anak-anak dan kakek serta nenek dititipkan pada institusi tertentu. Ketiga, kebutuhan sosialisasi orang lanjut usia itu sendiri. Apabila mereka tinggal dalam keluarga mungkin mereka akan mengalami perasaan yang bosan ditinggal sendiri, anaknya mungkin berangkat bekerja dan cucunya


(18)

kesekolah. Hal ini menyebabkan mereka membutuhkan suatu lingkungan sosial dimana di dalam komunitas tersebut terdapat beberapa kesamaan sehingga mereka merasa betah dan kembali bersemangat.

Menurut Hurlock (1999) ada beberapa kondisi yang mempengaruhi pilihan pola hidup bagi orang lanjut usia di panti wredha yaitu status ekonomi, status perkawinan, kesehatan, kemudahan dalam perawatan, jenis kelamin, anak-anak, keinginan untuk mempunyai teman dan iklim. Jika kesehatan mereka buruk, mereka lebih suka hidup di rumah khusus orang lanjut usia agar mereka dapat berhubungan dengan orang-orang seusianya. Hal ini sesuai dengan pengalaman seorang lanjut usia di panti wredha yang mengalami kelumpuhan (Pebas. Wanita berusia 68 tahun) seperti terdapat dalam kutipan wawancara berikut ini:

“Batin saya selalu tiap hari berkata bagaimanapun akan mati saya pikir, jadi kepingin saya mendengarkan nama tuhan disini.

(Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Alasan dan kondisi tersebut dapat mempengaruhi seorang lanjut usia untuk memilih dan memutuskan tinggal di panti wredha. Pada proses pengambilan keputusan untuk tinggal di panti wredha, ada faktor situasional yang berpengaruh yaitu kondisi fisik yang mulai melemah saat memasuki masa lanjut usia, serta adanya kekhawatiran yang disebabkan oleh berkurangnya pendapatan setelah pensiun. Setiap proses pengambilan keputusan berbeda-beda alasannya, maka akan menghasilkan akibat atau efek yang berberbeda-beda-berbeda-beda, yaitu panti wredha sebagai tempat yang dapat memberikan kebebasan, baik dalam beraktivitas maupun dalam menjalankan peran-peran yang biasa dilakukan sebelumnya. Panti wredha sebagai tempat pelarian untuk menghindari konflik dan sebagai tempat persinggahan sementara (terminal), serta panti wredha sebagai tempat yang dapat memenuhi kebutuhan afeksi (Fitria, 2007).

Mariani (2007) juga menambahkan bahwa lanjut usia yang berada di panti wredha dapat menemukan teman yang relatif seusia dengannya dimana mereka dapat berbagi cerita,


(19)

program-program pelayanan sosial yang bisa memberikan kesibukan buat mereka sebagai pengisian waktu luang di antaranya pemberian bimbingan sosial, bimbingan mental spiritual serta rekreasi, penyaluran bakat dan hobi, terapi kelompok, senam dan banyak kegiatan lainnya. Di panti wredha para lanjut usia mendapatkan fasilitas serta kemudahan-kemudahan lainnya, selain bersama teman seusianya, mereka juga mendapatkan pelayanan maksimal dari para pekerja sosial dimana mereka menemukan hari-harinya dengan ceria.

Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1999) yang mengatakan bahwa efek yang didapat ketika lanjut usia tinggal di panti wredha dapat berupa efek yang negatif dan efek yang positif. Salah satu efek yang positif dari tinggal di panti wredha adalah terdapat kemungkinan untuk berhubungan dengan teman seusia (Hurlock, 1999). Keinginan untuk berhubungan dengan orang lain akan terus melekat pada manusia sepanjang rentang kehidupannya, tak terkecuali pada para lanjut usia. Hal tersebut sesuai dengan pengalaman seorang lanjut usia di panti wredha (Pebas, Wanita berusia 68 tahun) seperti terdapat dalam kutipan wawancara berikut:

“Saya senang tinggal di panti ini, disini saya bisa mendengarkan kebaktian itu, tinggal rame-rame enak, bisa cerita-cerita sama kawan-kawan, yang makannya ga enak pun bisa jadi enak karena rame-rame itu..”

(Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Panti wredha memegang peranan penting dalam membangun perasaan lanjut usia, dimana apabila lanjut usia secara sukarela tinggal di suatu tempat maka akan membuat mereka memiliki pandangan diri yang positif, menyukai tempat itu dan dapat mengakibatkan situasi yang menyenangkan dalam penyesuaian diri (Hurlock, 1999). Efek positif dan efek negatif yang dialami lanjut usia ketika tinggal di panti akan mengakibat perubahan-perubahan dalam hidupnya. Untuk itu, lanjut usia yang tinggal di panti wredha perlu melakukan suatu penyesuaian diri.


(20)

Penyesuaian diri ini sering kali dimengerti sebagai kemampuan individu untuk menyamakan diri dengan harapan kelompok, sebagai mengatur kembali ritme hidup atau jadwal harian, dan sebagai suatu pembelajaran hidup dengan sesuatu yang tidak dapat diubah (Siswanto, 2007). Menurut Siswanto (2007), istilah penyesuaian diri dalam bahasa inggris memiliki dua kata yang berbeda maknanya, yaitu adaptasi (adaptation) dan penyesuaian (adjustment). Kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada pengertian mengenai penyesuaian diri, tetapi memiliki perbedaan yang mendasar. Adaptasi memiliki pengertian individu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan, yang menekankan pada perubahan yang individu lakukan terhadap dirinya supaya tetap bisa sesuai dengan lingkungannya. Penyesuaian dipahami sebagai mengubah lingkungan agar menjadi lebih sesuai dengan diri individu. Pengertian ini menekankan pada perubahan lingkungan yang dilakukan oleh individu sehingga tetap sesuai dengan dirinya. Penyesuaian yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi penyesuaian diri lanjut usia baik dalam pengertian adaptation maupun

adjustment.

Menurut Hurlock (1999) penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha dipengaruhi oleh faktor-faktor berupa persiapan untuk hari tua, pengalaman masa lampau, kepuasan dari kebutuhan, kenangan akan persahabatan lama, anak-anak yang telah dewasa, sikap sosial, sikap pribadi, metode penyesuaian diri, kondisi fisik, kondisi hidup dan kondisi ekonomi. Sikap anak-anak yang telah dewasa dan sering berhubungan dengan lanjut usia dapat menciptakan penyesuaian sosial dan personal yang baik bagi para lanjut usia di panti wredha. Apabila para lanjut usia masih merasa bagian dari keluarga dan tidak terputus kontak dengan sanak saudara mereka maka akan dapat mempengaruhi penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha (Hurlock, 1999). Hal ini dapat dilihat dari hasil kutipan wawancara peneliti dengan seorang lanjut usia yang tinggal di panti wredha (Rala, Wanita berusia 87 tahun), kutipan wawancara tersebut adalah:


(21)

“....aku ngerasa nggak cocok tinggal dengan anakku..anakku agama Islam, aku kristen. Klo makan pun aku makan sendiri, bikin doa sendiri, macam orang gila kurasa samaku..tapi karena ayah saya orang agama saya pegang itu terus.. jadi saya putuskan tinggal disini saja..lebih enak kurasa..saya ngerasa bebas..”

(Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri lanjut usia akan menentukan dalam arti mempunyai efek yang menentukan proses penyesuaian. Penyesuaian diri terbentuk melalui bentuk-bentuk penyesuaian diri yang dilakukan oleh lanjut usia berupa perilaku kompensatoris, perilaku menarik perhatian orang, memperkuat diri melalui kritik, identifikasi, sikap proyeksi, rasionalisasi, sublimasi, melamun dan mengkhayal, dan represi. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang dengan keterbatasan yang ada pada dirinya, belajar untuk berinteraksi terhadap dirinya dan lingkungan dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta dapat menyelesaikan konflik, frustrasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku (Schneiders dalam Agustiani, 2006). Menurut Adler (dalam Agustiani, 2006) dalam mengevaluasi penyesuaian diri tergantung pada 2 faktor yaitu, faktor situasi yang merupakan cara dari seseorang individu untuk melakukan penyesuaian diri dan bagaimana penilaian orang lain mengenai baik tidaknya penyesuaian diri tergantung pada situasi seperti apa individu melakukan penyesuaian, dan faktor yang kedua adalah nilai-nilai yang mengemukakan bahwa seseorang dikatakan baik penyesuaian dirinya tidak hanya bergantung pada situasi tapi juga nilai-nilai, ide-ide tentang apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana individu melakukan hal tersebut. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Calhoun & Acocella (1990) yang mengatakan bahwa dalam menilai perilaku penyesuaian diri yang baik tergantung pada faktor situasi dan nilai-nilai. Faktor situasi menyebabkan seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap suatu lingkungan tetapi tidak terhadap lingkungan yang lain. Faktor nilai-nilai adalah bagaimana penilaian kita tentang bagaimana seseorang seharusnya berperilaku.


(22)

Hurlock (1999) menyatakan bahwa dalam menilai penyesuaian diri yang baik dapat dilihat dari kualitas pola perilaku dan kepuasan atau kebahagiaan, sedangkan penyesuaian diri yang buruk dapat dilihat dari perubahan dalam tingkah emosional, dan perubahan-perubahan pada kepribadian. Ada empat kondisi yang menentukan berhasilnya orang lanjut usia dalam menyesuaikan diri terhadap kehidupan di panti wredha yaitu: pertama, apabila pria atau wanita yang masuk ke panti wredha secara sukarela; kedua, apabila pria atau wanita yang masuk panti wredha sudah terbiasa hidup dengan orang lain; ketiga, apabila jarak panti wredha dengan tempat tinggal mereka cukup dekat; dan keempat, adalah kondisi yang paling penting yaitu para lanjut usia masih merasa bagian dari keluarga dan tidak terputus kontak dengan sanak saudara mereka (Hurlock, 1999).

Lanjut usia di panti wredha yang mampu menyesuaikan diri dengan baik, pada umumnya memiliki ciri-ciri yaitu memiliki persepsi yang akurat terhadap realita, kemampuan untuk beradaptasi dengan tekanan stres dan kecemasan, mempunyai gambaran diri yang positif tentang dirinya, kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya serta memiliki relasi interpersonal yang baik. Adapun ciri-ciri lanjut usia di panti wredha yang gagal dalam melakukan penyesuaian diri yang efektif adalah memiliki tingkah laku yang aneh karena menyimpang dari norma, mengalami kesulitan, gangguan dalam melakukan penyesuaian diri secara efektif dalam kehidupan sehari-hari dan mengalami distres subjektif yang sering atau kronis (Siswanto, 2007).

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lanjut usia memiliki alasan-alasan atau kondisi yang mempengaruhi pilihan pola hidup tertentu untuk tinggal di panti wredha yang mengakibatkan perubahan dalam kehidupannya. Terkait dengan fenomena di atas bahwa jika lanjut usia mengalami perubahan dalam hidupnya akan menyebabkan penyesuaian diri yang dipengaruhi oleh beberapa faktor dan


(23)

melalui bentuk-bentuk penyesuaian diri. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha. Penyesuaian diri tersebut dilihat dari:

1. Apa saja alasan atau kondisi yang mempengaruhi pilihan pola hidup lanjut usia untuk tinggal di panti wredha dan bagaimana efek atau akibatnya?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha?

3. Apa saja bentuk penyesuaian diri diri lanjut usia di panti wredha? 4. Bagaimana gambaran penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat pentingnya melakukan penyesuaian diri secara efektif bagi lanjut usia khususnya bagi lanjut usia di panti wredha.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil, diantaranya yaitu:


(24)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memperkaya khasanah kajian Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Klinis mengenai penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan penelitian ini memberikan masukan ataupun sumbangan

informasi kepada lanjut usia di panti wredha untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya secara tepat, dan membantu lanjut usia untuk menyesuaikan dirinya di panti wredha secara efektif.

b. Penelitian ini dapat memberi sumbangan informasi bagi keluarga, masyarakat, lembaga-lembaga, praktisi kesehatan, yayasan-yayasan yang menangani para lanjut usia agar dapat memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan lanjut usia di panti wredha sehingga mereka dapat melakukan penyesuaian diri yang efektif.

c. Sebagai wacana/pengetahuan ataupun data empiris mengenai penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha, selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi peneliti selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.


(25)

BAB II : Landasan Teori

Bagian ini menguraikan tentang tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan penelitian, terdiri dari teori-teori mengenai penyesuaian diri, termasuk definisi penyesuaian diri, aspek-aspek penyesuaian diri, faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, kriteria penilaian penyesuaian diri, ciri-ciri penyesuaian diri yang efektif dan tidak efektif. Teori lanjut usia, termasuk definisi lanjut usia dan perubahan-perubahan yang dialami lanjut usia. Teori panti wredha, termasuk definisi panti wredha, bentuk-bentuk panti wredha, alasan atau kondisi yang mempengaruhi pilihan pola hidup di panti wredha, efek/akibat tinggal di panti wredha, karakteristik individu yang tinggal di panti wredha, dan karakteristik panti wredha dan paradigma penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Dalam bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti, dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, responden, lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, karakteristik dan teknik pengambilan subjek, serta prosedur penelitian dan analisis data.

BAB IV : Hasil Analisis Data

Pada bab ini peneliti menjabarkan hasil dari analisa data yang menguraikan tentang data pribadi partisipan, analisa data dan interpretasi partisipan yang meliputi gambaran alasan/kondisi yang


(26)

mempengaruhi pilihan hidup di panti wredha, gambaran akibat/efek tinggal di panti wredha, faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, gambaran bentuk-bentuk penyesuaian diri dan gambaran penyesuaian diri serta rangkuman hasil analisa data antar partisipan.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang dilaksanakan, dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya, karena merupakan hal baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyesuaian Diri

1. Definisi Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau

personal adjustment. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), penyesuaian dapat

didefinisikan sebagai interaksi individu yang kontinu dengan diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia individu. Ketiga faktor tersebut secara konstan mempengaruhi individu dan hubungan tersebut bersifat timbal balik mengingat individu secara konstan juga mempengaruhi kedua faktor yang lain.

Tiga faktor yang disebut di atas adalah (Calhoun & Acocella, 1990):

a. Diri individu sendiri, yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada individu, perilaku individu, dan pemikiran serta perasaan individu yang individu hadapi setiap detik.

b. Orang lain, yaitu orang lain berpengaruh besar pada individu, sebagaimana individu juga berpengaruh besar terhadap orang lain.

c. Dunia individu, yaitu penglihatan dan penciuman serta suara yang mengelilingi individu saat individu menyelesaikan urusan individu dapat mempengaruhi individu dan mempengaruhi orang lain.

Menurut Schneider (dalam Astuti, 2000), penyesuaian diri dapat diartikan sebagai suatu proses yang mencakup suatu respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.


(28)

Menurut Semiun (2006), penyesuaian diri merupakan suatu istilah yang sangat sulit didefinisikan karena penyesuaian diri mengandung banyak arti. Kriteria untuk menilai penyesuaian diri tidak dapat dirumuskan secara jelas dan karena penyesuaian diri dan lawannya ketidakmampuan menyesuaikan diri (maladjustment) memiliki batas yang sama sehingga akan mengaburkan perbedaan di antara keduanya.

Semiun (2006) juga mengatakan bahwa penyesuaian diri tidak bisa dikatakan baik atau buruk, sehingga Semiun mendefinisikan penyesuaian diri dengan sangat sederhana, yaitu suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustrasi-frustrasi, dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepada individu oleh dunia dimana individu hidup.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses dalam interaksi individu yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan, ketegangan, frustrasi, dan konflik batin serta mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari luar diri individu.

2. Aspek-aspek Penyesuaian Diri

Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek (Mu’tadin, 2002), yaitu: a. Penyesuaian Pribadi

Penyesuaian pribadi merupakan kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antar dirinya dengan lingkungannya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya, serta mampu bertindak objektif sesuai kondisi yang dialaminya.

Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan dan tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada


(29)

kondisi-kondisi yang dialaminya. Sebaliknya, kegagalan dalam penyesuaian pribadi ditandai dengan guncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib, yang disebabkan adanya kesenjangan antara individu dengan tuntutan lingkungan. Hal ini menjadi sumber konflik yang terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya, individu perlu melakukan penyesuaian diri.

b. Penyesuaian Sosial

Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat terjadi proses saling mempengaruhi. Proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi demi mencapai penyelesaian bagi persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu Psikologi Sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh individu sendiri.

Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam proses interaksi dengan masyarakat belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan.

Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan


(30)

kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial, individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.

Hal ini merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk bertahan dan mengendalikan diri. Berkembangnya kemampuan sosial ini berfungsi sebagai pengawas yang mengatur kehidupan sosial. Mungkin inilah yang oleh Freud disebut super ego, yang berfungsi mengendalikan kehidupan individu dari sisi penerimaan terhadap pola perilaku yang diterima dan disukai masyarakat, serta menolak hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka aspek penyesuaian diri ada dua, yaitu penyesuaian pribadi, yaitu kemampuan untuk menerima diri sendiri sehingga tercapai hubungan harmonis antar dirinya dan lingkungan; dan penyesuaian sosial, yaitu hubungan sosial tempat individu berinteraksi dengan orang lain.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Lanjut Usia

Menurut Schneiders (dalam Astuti, 2000), faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri secara umum adalah:

a. Kondisi fisik

Aspek- aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah:


(31)

Temperamen merupakan komponen utama karena dari temperamen itu muncul karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan penyesuaian diri.

2) Sistem utama tubuh

Sistem syaraf, kelenjar dan otot termasuk ke dalam sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri.

3) Kesehatan fisik

Penyesuaian diri individu akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuaian diri.

b. Kepribadian

Unsur-unsur kepribadian yang penting pengaruhnya terhadap penyesuaian diri adalah: kemauan dan kemampuan untuk berubah, pengaturan diri, realisasi diri, dan kecerdasan.

c. Edukasi/pendidikan

Unsur-unsur penting dalam edukasi/pendidikan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu adalah: belajar, pengalaman, latihan, dan determinasi diri. d. Lingkungan


(32)

e. Agama dan budaya

Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberi makna sangat mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Budaya juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu. Hal ini terlihat dari adanya karakteristik budaya yang diwariskan kepada individu melalui berbagai media dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Hurlock (1999) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri lanjut usia adalah:

a. Persiapan untuk hari tua

Individu yang tidak mempersiapkan diri secara psikis dan ekonomis untuk menghadapi berbagai perubahan yang akan terjadi di hari tua, seringkali akan mengalami trauma dalam melakukan penyesuaian tersebut.

b. Pengalaman masa lampau

Berbagai kesulitan yang dialami dalam menyesuaikan diri pada lanjut usia seringkali merupakan akibat dari pelajaran tentang bentuk tertentu dari penyesuaian di masa lalu, yang tidak sesuai dengan periode lanjut usia dalam rentang kehidupannya.

c. Kepuasan kebutuhan

Individu harus mampu memuaskan berbagai kebutuhan pribadi mereka dan berbuat sesuai dengan harapan-harapan orang lain sepanjang rentang kehidupan untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik.


(33)

Lanjut usia akan semakin baik melakukan penyesuaian dan juga akan semakin bahagia bila semakin lama persahabatan antara individu-individu lanjut usia dapat dipertahankan. Pindah ke wilayah lain atau meninggalkan teman-teman lamanya akan menghambat penyesuaian dengan lingkungan baru.

e. Anak-anak yang telah dewasa

Sikap anak yang telah dewasa terhadap orang tua yang sudah lanjut usia dan sering berhubungan dengan lanjut usia tersebut dapat menciptakan penyesuaian sosial dan personal yang baik bagi individu lanjut usia.

f. Sikap sosial

Salah satu hambatan terbesar dalam melakukan penyesuaian diri yang baik di masa lanjut usia adalah sikap sosial yang kurang senang terhadap individu lanjut usia.

g. Sikap pribadi

Sikap menolak terhadap usia yang semakin bertambah tua, dan terhadap penyesuaian atas perubahan yang terjadi karena bertambahnya usia merupakan hambatan yang serius bagi terwujudnya penyesuaian diri yang berhasil di hari tua. h. Metode penyesuaian diri

Metode rasional mencakup menerima batas usia, mengembangkan minat-minat baru, belajar melepaskan anak, dan tidak memikirkan masa lalu. Metode irasional meliputi menolak berbagai perubahan yang datang bersamaan dengan bertambahnya usia dan mencoba untuk melanjutkan keadaan seperti pada masa-masa sebelumnya, asyik dengan hal-hal yang menyenangkan di masa-masa lampau, dan ingin tergantung pada orang lain untuk merawat dirinya.


(34)

i. Kondisi

Penyakit yang kronis (menahun) merupakan penghalang yang lebih besar dibanding penyakit yang bersifat temporer dalam menyesuaikan diri dengan masa lanjut usia, walaupun penyakit temporer mungkin lebih berat deritanya dan lebih berbahaya.

j. Kondisi hidup

Pemaksaan kepada lanjut usia untuk tinggal di suatu tempat yang membuat lanjut usia merasa rendah diri, tidak sesuai dan membenci tempat itu, dapat mengakibatkan situasi yang tidak menyenangkan dalam penyesuaian diri yang harus dilakukan pada masa lanjut usia.

k. Kondisi ekonomi

Individu-individu lanjut usia akan merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan permasalahan keuangan karena mengetahui bahwa individu tersebut mempunyai kesempatan yang kecil atau tidak sama sekali dalam memecahkan masalah tersebut, tidak seperti yang dahulu dapat individu lakukan ketika masih muda. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri lanjut usia secara umum adalah kondisi fisik, kepribadian, edukasi atau pendidikan, lingkungan, agama dan budaya. Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha adalah persiapan untuk hari tua, pengalaman masa lampau, kepuasan kebutuhan, kenangan akan persahabatan lama, anak-anak yang telah dewasa, sikap sosial, sikap pribadi, metode penyesuaian diri, kondisi, kondisi hidup, dan kondisi ekonomi.

4. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri

Gunarsa (1989) mengemukakan beberapa bentuk-bentuk penyesuaian diri yang dapat dilakukan oleh seseorang, yaitu:


(35)

a. Perilaku Kompensatoris

Istilah perilaku kompensatoris diartikan sebagai suatu konsep penyesuaian terhadap kegagalan seperti halnya rasionalisasi, kritik, sublimasi dan bentuk-bentuk perilaku pengganti (subtitute) yang lainnya. Perilaku kompensatoris juga diartikan sebagai usaha khusus untuk mengurangi ketegangan-ketegangan atau kekurangan-kekurangan karena adanya kerusakan, yang dipakai untuk mengalihkan perhatian orang lain dari kerusakannya. Perilaku pengganti atau kompensatoris ini mungkin dapat diterima mungkin juga ditolak.

b. Perilaku Menarik Perhatian Orang (Attention-Seeking Behavior)

Keinginan untuk memperoleh perhatian merupakan sifat yang normal. Seseorang dengan penyesuaian yang adekuat akan memperoleh perhatian. Apabila tingkah laku biasa dapat tidak dapat menimbulkan perhatian yang diinginkan, maka seseorang akan melakukan tindakan-tindakan yang menghebohkan untuk menarik perhatian orang terhadap dirinya. Keinginan ini biasa terlihat pada anak-anak tetapi juga merupakan ciri pada masa remaja maupun dewasa. Sering pula seseorang berusaha memakai bentuk penyesuaian ini dengan tujuan mengalihkan perhatian dari satu faktor dan memusatkan, mengarahkan perhatiannya pada faktor lain.

c. Memperkuat Diri Melalui Kritik

Apabila seseorang menyadari akan kurangnya kemampuan dirinya dalam mengatasi tuntutan sosial akan membentuk sikap kritis terhadap orang lain, khususnya apabila orang lain memperlihatkan keberhasilannya dalam penyesuaian terhadap situasi-situasi sedangkan dirinya sendiri mengalami kegagalan. Kritik yang baik yang diberikan kepada seseorang dapat dikatakan merupakan suatu tanda bersahabat dan perhatiannya terhadap orang tersebut bila ada kesalahan yang terlihat. Kritik terhadap


(36)

seseorang yang dikemukakan kepada orang-orang lain bisa disebabkan perasaan dirinya kurang terhadap yang dikritik. Kritik diri sendiri bila berdasarkan keinginan untuk memperbaiki tingkah laku sendiri merupakan hal yang umum, karena merupakan suatu bentuk tingkah laku penyesuaian.

d. Identifikasi

Pembentukan pola-pola identifikasi merupakan bentuk penyesuaian yang tidak merugikan. Pada umumnya manusia merupakan bagian dari suatu kelompok. Sudah selayaknya jika kita mengidentifikasi diri dengan mereka yang berhasil dalam keberhasilan anggota kelompok yang menonjol tersebut. Makin bertambahnya usia dan kedewasaan, tokoh/identifikasi berubah misalnya terhadap kelompok-kelompok sosial, organisasi, atau seseorang yang memang patut ditiru, yang memiliki cita-cita yang mulia dan menimbulkan keinginan untuk menjadi seperti tokoh-tokoh tersebut. e. Sikap Proyeksi

Pada umumnya seseorang tidak senang mengakui kesalahan maupun ketidakmampuannya dalam penilaian orang lain. Lebih mudah dan menyenangkan apabila kegagalan ataupun sebab dari kegagalannya sendiri diproyeksikan pada orang lain atau objek lain di lingkungan dekatnya. Alasan yang diproyeksikan mungkin saja benar akan tetapi pada umumnya merupakan suatu dalih (excuse). Sikap proyeksi dapat juga dipakai sebagai pembenaran suatu kesalahan. Hal ini digunakan untuk melindungi seseorang terhadap perasaan sia-sia, sebagai akibat pengaruh kesalahan-kesalahannya.


(37)

f. Rasionalisasi

Rasionalisasi merupakan usaha untuk memaafkan tingkah laku yang oleh si pelakunya diketahui atau dianggap sebagai tidak diinginkan, aneh akan tetapi menimbulkan suatu kepuasan emosi tertentu. Penggunaan rasionalisasi secara terus menerus akan sampai pada pembentukan penilaian palsu terhadap pribadinya sendiri. Apabila rasionalisasi disertai proyeksi akan terlihat keadaan seseorang di mana alasan kegagalan-kegagalannya sama sekali dilepaskan dari ketidakmampuannya, selalu menyalahkan orang lain, dan keadaan di luar dirinya sebagai sumber kegagalannya. g. Sublimasi

Dengan sublimasi seseorang menyalurkan aktivitasnya dengan aktivitas pengganti (substitute) yang dapat diterima umum, untuk menghindari stres emosi. Sublimasi mempunyai arti sosial. Nilai sosial ini terletak pada keinginan-keinginan diri sendiri dan dorongan dasar yang menguntungkan bagi orang lain atau anggota kelompok lainnya. Sublimasi dipakai sebagai cara penyesuaian apabila secara sementara atau menetap, suatu dorongan yang kuat tidak dapat disalurkan ke dalam suatu aktivitas yang memuaskan dorongan. Tanpa disadari suatu perubahan bertahap terjadi dari pemuasan diri sendiri ke kesejahteraan orang lain.

h. Melamun dan Mengkhayal

Apabila penyesuaian pemuasan diri tidak mungkin, maka dipakai penyesuaian melalui khayalan. Melamun merupakan kecenderungan yang membolehkan khayalan bermain dengan ide-ide yang merupakan perwujudan yang memuaskan tujuan yang dikehendakinya. Apabila khayalan/lamunan ini sama sekali dilepaskan dari realitas, maka pemakaian cara pemuasan diri akan menuju ke penyesuaian yang tidak wajar. Seorang dewasa dengan penyesuaian diri yang baik akan mengubah impiannya ke


(38)

dalam aktivitas yang produktif. Orang lanjut usia yang pengalaman lalunya cukup memuaskan akan mengenang kembali, mengenang keberhasilan yang telah diperolehnya dengan memasuki alam khayalan itu. Lamunan dan fantasi dapat juga merupakan sesuatu yang tidak baik, di mana lamunan tersebut sudah merupakan suatu bentuk penyesuaian yang tidak pantas lagi bahkan dapat menjadi gejala dari penyesuaian yang tidak adekuat atau suatu penyakit mental.

i. Represi (Concious Forgetting)

Pada umumnya seseorang akan menghindari tempat/orang/hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman yang tidak menyenangkan. Dimana seseorang menghindari suatu hal yang berkaitan dengan pengalaman tidak enak disebut represi. Pada represi seseorang hendak melupakan, walaupun tidak menyadari keinginan untuk lupa.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk penyesuaian diri adalah perilaku kompensatoris, perilaku menarik perhatian orang, memperkuat diri melalui kritik, identifikasi, sikap proyeksi, rasionalisasi, sublimasi, melamun dan mengkhayal, dan represi.

5. Kriteria Penilaian Penyesuaian Diri Lanjut Usia

Terdapat beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menilai jenis penyesuaian diri yang dilakukan individu lanjut usia, apakah baik atau tidak, yaitu (Hurlock, 1999):

a. Kualitas pola perilaku

Ada dua teori yang berbeda dan bertolak belakang mengenai keberhasilan individu lanjut usia. Menurut teori aktivitas (activity theory), pria maupun wanita seharusnya tetap merawat berbagai sikap dan kegiatan semasa usia madya selama mungkin dan kemudian mencari kegiatan pengganti untuk berbagai kegiatan yang harus


(39)

ditinggalkan sebagai pengganti pekerjaan apabila pensiun, pengganti organisasi perkumpulan yang harus ditinggalkan karena alasan keuangan atau hal-hal lain, pengganti teman atau kerabat keluarga yang telah meninggal atau pindah ke lingkungan lain.

Menurut teori pelepasan diri (disengagement theory), pria maupun wanita, secara sukarela dilakukan atau tidak, membatasi keterlibatan individu dalam berbagai kegiatan individu berusia madya. Lanjut usia menghentikan hubungan langsung dengan orang lain, misalnya bebas berbuat sesuka hati apabila menyenanginya, melakukan hal-hal penting menurut individu tanpa mempedulikan perasaan-perasaan orang lain tentang individu tersebut.

Penelitian mengenai penyesuaian diri yang baik dan yang buruk yang dilakukan pada individu-individu lanjut usia menunjukkan bahwa individu yang melakukan penyesuaian diri yang baik, mempunyai sifat-sifat yang diharapkan ada pada individu yang mengikuti teori aktivitas, sedangkan individu yang kelihatannya menunjukkan penyesuaian yang buruk, memiliki karakteristik yang berhubungan dengan teori pelepasan diri.

Terdapat bukti yang secara umum mengatakan bahwa individu yang melakukan penyesuaian yang baik ketika masih muda, akan melakukan penyesuaian yang baik pula di masa lanjut usia. Individu yang memiliki keinginan sederhana dan watak yang baik, menjadikan masa lanjut usianya mudah dijalani.

b. Perubahan dalam perilaku emosional

Kriteria selanjutnya yang dapat dipergunakan untuk menilai jenis penyesuaian lanjut usia adalah berbagai perubahan yang berkaitan dengan perilaku emosional. Berbagai penelitian tentang individu lanjut usia menunjukkan bahwa lanjut usia cenderung


(40)

menjadi apatis dalam kehidupan, kurang responsif dibanding ketika masih muda, respon-respon emosional lebih spesifik, kurang bervariasi, dan kurang mengena pada suatu peristiwa.

c. Perubahan kepribadian

Kriteria berikutnya adalah derajat dan besar perubahan kepribadian. Sudah diketahui bahwa individu lanjut usia, tanpa menghiraukan pola-pola kepribadian di masa mudanya, berkembang menjadi individu yang menjengkelkan dengan sifat-sifat mudah marah, pelit, suka bertengkar, banyak menuntut, egois.

Sifat-sifat lanjut usia, yang lebih kaku dalam memandang segala sesuatu, lebih konservatif dalam bertindak, lebih berprasangka buruk dalam bersikap terhadap orang lain dan lebih terpusat pada diri sendiri, merupakan sifat-sifat lama yang menjadi berlebih-lebihan dan semakin tampak karena adanya tekanan-tekanan yang terjadi pada masa lanjut usia.

Status minoritas yang dimiliki lanjut usia menyebabkan sifat-sifat kepribadian lanjut usia menjadi terbentuk seperti sifat-sifat kepribadian yang sejenis dengan kelompok minoritas, seperti hipersensitivitas, membenci diri sendiri, perasan tidak aman dan tidak pasti, bertengkar, apatis, kemunduran, tertutup, cemas, terlalu tergantung dan bersikap menolak.

d. Kebahagiaan

Kriteria selanjutnya adalah derajat kepuasan diri atau kebahagiaan lanjut usia yang dialami. Kebahagiaan lanjut usia dapat ditunjang oleh beberapa kondisi, seperti: memiliki kenangan yang menggembirakan, bebas untuk mencapai gaya hidup yang diinginkan, sikap yang realistis terhadap kenyataan, menerima kenyataan, terus berpartisipasi dengan kegiatan yang berarti dan menarik, diterima oleh dan


(41)

memperoleh respek dari kelompok sosial, merasa puas dengan status sekarang dan prestasi masa lalu, puas dengan status perkawinan dan kehidupan seksual, menikmati kegiatan rekreasional yang direncanakan, melakukan kegiatan produktif, dan lain-lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menilai jenis penyesuaian diri yang dilakukan lanjut usia diperlukan beberapa kriteria yaitu, kualitas pola perilaku, perubahan dalam perilaku emosional, perubahan kepribadian, dan kebahagiaan.

6. Ciri-ciri Penyesuaian Diri yang Efektif

Menurut Siswanto (2007), individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik, umumnya memiliki ciri-ciri yaitu:

a. Memiliki Persepsi yang Akurat Terhadap Realita

Pemahaman atau persepsi orang terhadap realita berbeda-beda, meskipun realita yang dihadapi adalah sama. Perbedaan persepsi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing orang yang berbeda satu sama lain. Meskipun persepsi masing-masing individu berbeda dalam menghadapi realita, tetapi orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik memiliki persepsi yang relatif objektif dalam memahami realita. Persepsi yang objektif ini adalah bagaimana orang mengenali konsekuensi- konsekuensi dari tingkah lakunya dan mampu bertindak sesuai dengan konsekuensi tersebut.

b. Kemampuan untuk Beradaptasi dengan Tekanan atau Stres dan Kecemasan

Setiap orang pada dasarnya tidak senang bila mengalami tekanan dan kecemasan. Umumnya mereka menghindari hal-hal yang menimbulkan tekanan dan kecemasan dan menyenangi pemenuhan kepuasan yang dilakukan dengan segera. Orang yang mampu menyesuaikan diri, tidak selalu menghindari munculnya tekanan dan kecemasan. Kadang mereka justru belajar untuk mentoleransi tekanan dan kecemasan


(42)

yang dialami dan mau menunda pemenuhan kepuasan selama itu diperlukan demi mencapai tujuan tertentu yang lebih penting sifatnya.

c. Mempunyai Gambaran Diri yang Positif tentang Dirinya

Pandangan individu terhadap dirinya dapat menjadi indikator dari kualitas penyesuaian diri yang dimiliki. Pandangan tersebut mengarah pada apakah individu tersebut dapat melihat dirinya secara harmonis atau sebaliknya individu melihat adanya konflik yang berkaitan dengan dirinya. Individu yang banyak melihat pertentangan-pertentangan dalam dirinya, dapat menjadi indikasi adanya kekurangmampuan dalam penyesuaian diri.

Gambaran diri yang positif juga mencakup apakah individu yang bersangkutan dapat melihat dirinya secara realistik, yaitu secara seimbang tahu kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan mampu menerimanya sehingga memungkinkan individu yang bersangkutan untuk dapat merealisasikan potensi yang dimiliki secara penuh.

d. Kemampuan untuk Mengekspresikan Perasaannya

Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dicirikan memiliki kehidupan emosi yang sehat. Individu tersebut mampu menyadari dan merasakan emosi atau perasaan yang saat itu dialami serta mampu untuk mengekspresikan perasaan dan emosi tersebut. Individu yang memiliki kehidupan emosi yang sehat mampu memberikan reaksi-reaksi emosi yang realistis dan tetap di bawah kontrol sesuai dengan situasi yang dihadapi.

e. Relasi Interpersonal Baik

Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu mencapai tingkat keintiman yang tepat dalam suatu hubungan sosial. Individu tersebut mampu bertingkah laku secara berbeda terhadap orang yang berbeda karena kedekatan relasi


(43)

interpersonal antar mereka yang berbeda pula. Individu mampu menikmati disukai dan direspek oleh orang lain, tetapi juga mampu memberikan respek dan menyukai orang lain.

Menurut Hurlock (1999), ada empat kondisi yang menentukan berhasilnya orang lanjut usia dalam menyesuaikan diri terhadap kehidupan di panti wredha yaitu:

1. Apabila para lanjut usia yang masuk ke suatu lembaga secara sukarela, artinya tidak dipaksa oleh kondisi lingkungan mereka, maka mereka akan merasa bahagia dan mempunyai motivasi yang kuat untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan yang mendadak yang diakibatkan oleh lembaga itu sendiri.

2. Semakin terbiasa para lanjut usia hidup bersama dengan orang lain dan mengambil bagian dalam kegiatan bersama, maka mereka akan semakin dapat menikmati kontak sosial dan berbagai kesempatan berekreasi yang diselenggarakan oleh lembaga.

3. Para lanjut usia akan menyesuaikan diri dengan cara yang lebih baik dalam kehidupan di lembaga, jika jarak lembaganya dengan tempat tinggal mereka dulu cukup dekat, sehingga mereka dapat tetap berhubungan dengan anggota keluarga dan kerabat. 4. Perasaan masih menjadi bagian dari keluarga dan tidak terputus kontak dengan

anak-anak dan kerabat.

Jadi penyesuaian diri yang efektif tercermin dalam tingkah laku sebagai berikut: memiliki persepsi yang akurat terhadap realita, kemampuan untuk berdaptasi dengan tekanan atau stres dan kecemasan, mempunyai gambaran diri yang positif tentang dirinya, kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya, dan relasi interpersonal yang baik.

7. Ciri-ciri Penyesuaian Diri yang Tidak Efektif

Siswanto (2007), mengemukakan beberapa gejala yang dapat diamati pada individu yang mengalami kesulitan dan gagal melakukan penyesuaian diri yang efektif, yaitu:


(44)

a. Tingkah laku yang aneh karena menyimpang dari norma atau standar sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat. Biasanya individu yang bersangkutan menampakkan tindakan-tindakan yang tidak umum, aneh, bahkan orang-orang di sekelilingnya mengalami ketakutan dan tidak percaya pada individu yang bersangkutan.

b. Individu yang bersangkutan tampak mengalami kesulitan, gangguan, atau

ketidakmampuan dalam melakukan penyesuaian diri secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang bersangkutan tidak dapat menjalankan peran dan status yang dimilikinya dalam masyarakat.

c. Individu yang bersangkutan mengalami distres subjektif yang sering atau kronis. Masalah-masalah yang umum bagi kebanyakan orang dan mudah diselesaikan menjadi masalah yang luar biasa bagi individu tersebut. Distres subjektif tersebut pada akhirnya mengakibatkan munculnya gejala- gejala lanjutan seperti kecemasan, panik, depresi, rasa bersalah, rasa malu, dan marah tanpa sebab.

Jadi, jika individu tidak berhasil melakukan penyesuaian diri yang efektif, maka ia akan mengalami penyesuaian diri yang tidak efektif. Individu tersebut akan menunjukkan perilaku yang aneh, kesulitan melakukan penyesuaian diri secara efektif dalam kehidupan sehari-hari dan mengalami distres subjektif yang sering atau kronis.

B. Lanjut Usia

1. Definisi Lanjut Usia

Lanjut usia adalah periode penutup dalam rentang kehidupan individu, yaitu suatu periode dimana individu telah ”beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat, yang dimulai pada


(45)

usia 60-an. Hurlock (1999), membagi tahap terakhir dalam rentang kehidupan individu ini menjadi:

a. Lanjut usia dini, yang berkisar antara 60 sampai 70 tahun

b. Lanjut usia, yang dimulai pada usia 70 sampai akhir kehidupan individu Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, lanjut usia meliputi:

a. Lanjut usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun b. Lanjut usia tua (old age) = antara 75 dan 90 tahun c. Usia sangat tua (very old age) = di atas 90 tahun

Menurut UU No. 13/Th.1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, BAB I Pasal 1 Ayat 2, lanjut usia adalah individu yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Undang-undang ini menggunakan bentuk definisi presisi yang lebih baik dibandingkan definisi orang jompo.

Berdasarkan uraian di atas, lanjut usia didefinisikan sebagai individu yang mencapai usia 60 tahun ke atas.

2. Perubahan-perubahan yang Dialami Lanjut Usia

Menurut Hurlock (1999), lanjut usia mengalami berbagai perubahan dalam hidup, yaitu:

a. Perubahan Fisik

Sebagian besar perubahan kondisi fisik pada lanjut usia terjadi ke arah yang memburuk dimana proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk masing-masing individu meskipun usia individu tersebut sama. Berbagai perubahan terbesar yang terjadi pada masa lanjut usia adalah sebagai berikut (Hurlock, 1999):

1) Perubahan penampilan, yaitu perubahan pada daerah kepala (rambut menipis, mata kelihatan pudar, kulit berkerut dan kering, bentuk mulut berubah akibat hilangnya gigi), daerah tubuh (bahu membungkuk, perut membesar, pinggul


(46)

tampak mengendor, garis pinggang melebar, payudara bagi wanita menjadi kendur), dan daerah persendian (pangkal tangan menjadi kendor dan terasa berat, kaki menjadi kendor dan pembuluh darah balik menonjol, tangan menjadi kurus kering).

2) Perubahan bagian dalam tubuh, yaitu perubahan pada sistem syaraf (berat otak berkurang, bilik-bilik jantung melebar), isi perut (perubahan posisi jantung, perubahan elastisitas jaringan)

3) Perubahan pada fungsi fisiologis, yaitu memburuknya pengaturan organ-organ, menurunnya fungsi pembuluh darah pada kulit, perubahan pada pencernaan, ketahanan dan kemampuan bekerja menurun.

4) Perubahan panca indera, yaitu perubahan pada penglihatan (penurunan kemampuan mata untuk melihat, menurunnya sensitivitas terhadap warna), pendengaran (kehilangan kemampuan mendengar nada yang sangat tinggi), perasa (berhentinya pertumbuhan syaraf perasa), penciuman (daya penciuman kurang tajam), perabaan (indera perabaan di kulit semakin kurang peka), dan menurunnya sensitivitas terhadap rasa sakit.

b. Perubahan Psikologis

Lanjut usia mengalami berbagai perubahan secara psikologis, atau perubahan secara mental atau kejiwaan individu, yaitu:

1) Perubahan Persepsi

Kapasitas persepsi individu menurun secara bertahap, meskipun beberapa perubahan hanya sedikit dan dapat diatasi. Semakin besarnya kesulitan dalam persepsi bicara pada lanjut usia lebih disebabkan oleh masalah pada pendengaran daripada karena penurunan kognitif. Lanjut usia menjadi lebih


(47)

sulit mengulang percakapan secara detail bila berada ditempat ramai (Siyelman & Rider, 2003).

2) Kemampuan Motorik

Lanjut usia mengalami penurunan kekuatan, kecepatan dalam bergerak, lebih lambat dalam belajar, cenderung menjadi canggung, yang menyebabkan sesuatu yang dibawa dan dipegang tertumpah dan jatuh, melakukan sesuatu dengan tidak hati-hati dan dikerjakan secara tidak teratur (Hurlock, 1999). 3) Kecerdasan

Lanjut usia memang mengalami penurunan intelektual, meskipun sedikit, apalagi bila lanjut usia tersebut jarang melakukan latihan terhadap otak (Santrock, 2002).

4) Belajar

Lanjut usia lebih berhati-hati dalam belajar, memerlukan waktu yang lebih banyak untuk mengintegrasikan jawaban, kurang mampu mempelajari hal-hal baru yang tidak mudah diintegrasikan dengan pengalaman masa lalu, dan hasilnya kurang tepat dibanding individu yang masih muda (Hurlock, 1999).

5) Daya Ingat

Individu lanjut usia cenderung lemah dalam mengingat hal-hal yang baru dipelajari dan sebaliknya baik terhadap hal-hal yang telah lama dipelajari (Hurlock, 1999).

6) Kreativitas

Kapasitas atau keinginan yang diperlukan untuk berpikir kreatif bagi lanjut usia cenderung menurun (Hurlock, 1999).


(48)

7) Kepribadian

Lanjut usia cenderung lebih puas ketika gaya hidup pensiun lanjut usia sesuai dengan kepribadian dan kesenangan individu (Siyelman & Rider, 2003). Lanjut usia juga menjadi cenderung meningkatkan ketidaksetujuan, mengalami penurunan keterbukaan terhadap dunia di luar dirinya (Papalia & Old, 2004).

8) Rasa Humor

Pendapat umum yang sudah klise tetapi banyak dipercaya, bahwa individu lanjut usia kehilangan rasa dan keinginannya terhadap hal-hal yang lucu (Hurlock, 1999).

9) Perbendaharaan Kata

Perbendaharaan kata lanjut usia menurun sangat kecil karena individu secara konstan menggunakan sebagian besar kata yang pernah dipelajari sebelumnya (Hurlock, 1999).

10)Mengenang

Kecenderungan untuk mengenang sesuatu yang terjadi di masa lalu meningkat semakin tajam sejalan dengan bertambahnya usia (Hurlock, 1999).

c. Perubahan Sosial

Banyak individu lanjut usia menghadapi diskriminasi dari lingkungannya. Individu lanjut usia menjadi tidak dipekerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang baru atau dikeluarkan dari pekerjaan lama karena dipandang terlalu kaku, lemah pikiran, atau karena efektivitas biaya. Lanjut usia ditolak secara sosial karena dipandang sudah pikun atau membosankan (Santrock, 2002). Sikap sosial terhadap individu lanjut usia yang tidak menyenangkan, mendorong individu untuk mengundurkan diri dari kegiatan sosial (Hurlock, 1999).


(49)

Individu lanjut usia disingkirkan dari kehidupan keluarga lanjut usia tersebut oleh anak-anak yang melihat lanjut usia sebagai sosok yang sakit, jelek dan parasit. Singkatnya, individu lanjut usia dipandang tidak mampu berpikir jernih, mempelajari sesuatu yang baru, menikmati seks, memberi kontribusi terhadap komunitas, dan memegang tanggung jawab pekerjaan. Persepsi tersebut tentu saja tidak berperikemanusiaan, tetapi seringkali terjadi secara nyata dan menyakitkan (Santrock, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, maka perubahan-perubahan yang dialami lanjut usia ada tiga, yaitu perubahan fisik meliputi perubahan penampilan, bagian dalam tubuh, fungsi fisiologis, dan panca indera; perubahan psikologis meliputi perubahan persepsi, kemampuan motorik, kecerdasan, belajar, daya ingat, kreativitas, kepribadian, rasa humor, perbendaharaan kata, dan mengenang; dan perubahan sosial yang meliputi diskriminasi dari lingkungannya.

C. Panti Wredha

1. Definisi Panti Wredha

Menurut Hardywinoto (1991), panti wredha adalah panti yang didalamnya ada personel keperawatan yang profesional, dan hanya lanjut usia yang lemah dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri serta mempunyai kondisi ketergantungan dapat diterima atau dirawat.

Hurlock (1999) menggambarkan bahwa seseorang tinggal di panti wredha apabila kesehatan, status ekonomi, atau kondisi lainnya tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan hidup di rumah masing-masing, dan jika mereka tidak mempunyai sanak saudara yang dapat atau sanggup merawat mereka.


(50)

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa panti wredha merupakan suatu panti yang di dalamnya adalah para lanjut usia yang kondisinya tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan hidup di rumah masing-masing.

2. Bentuk-bentuk Panti Wredha dan Karakteristik Panti Wredha

Di dalam aspek keperawatan lanjut usia, ada tingkat perawatan lanjut usia yaitu perawatan di rumah sendiri oleh keluarga, panti wredha, panti petirahan dan rehabilitasi, pusat pelayanan dan lembaga hospitium (Hardywinoto, 1991). Menurut Hurlock (1999), lembaga hunian lanjut usia ada dua yaitu rumah untuk pensiunan dan rumah perawatan.

Santrock (2002) menyebutkan ada tiga jenis pelayanan atau tingkatan dari perawatan di panti wredha yaitu perawatan yang trampil (skilled), perawatan yang menengah (intermediate), dan perawatan di rumah (residential).

Menurut Gardner (2002), terdapat dua dimensi panti wredha, yaitu: fisik dan psikososial.

Karakteristik Fisik termasuk faktor-faktor seperti ukuran, rasio pegawai-pasien, banyaknya aktivitas dan tipe-tipe aktivitas, dan syarat-syarat sertifikat. Semua karakteristik ini berbeda-beda pada setiap badan-badan pemerintahan. Satu lagi yang kita kenal adalah psikososial well-being. Dimana pendekatan yang beraneka ragam kepada interaksi orang dengan lingkungan menyediakan struktur yang berguna untuk mengerti aspek-aspek psikososial dari panti wredha.

3. Alasan atau Kondisi yang Mempengaruhi Pilihan Pola Hidup di Panti Wredha

Menurut Hurlock (1999), ada beberapa alasan seorang lanjut usia memilih untuk tinggal di panti wredha yaitu:


(51)

Jika seorang lanjut usia secara ekonomi memungkinkan untuk memilih, maka kebanyakan orang lanjut uisa akan meneruskan hidupnya di rumahnya sendiri atau pindah ke rumah yang lebih kecil, yang lebih menyenangkan dan di lingkungan tetangga yang hampir sama. Jika status ekonomi mereka semakin berkurang mereka terpaksa harus pindah kehidupan yang kurang diingini atau pindah ke rumah anaknya yang berkeluarga.

b. Status Perkawinan

Jika kedua anggota pasangan masih hidup, pengaturan hidup mereka pada umumnya ditentukan oleh status ekonomi dan kesehatannya. Tetapi bagi pria dan wanita lanjut usia yang telah ditinggal oleh pasangan mereka akan menetapkan aturan untuk tinggal hidup sendiri, tinggal dengan anggota keluarga atau kerabat, di perkumpulan atau tinggal di lembaga khusus orang-orang lanjut usia.

c. Kesehatan

Jika kondisi kesehatan mereka tidak memungkinkan orang lanjut usia untuk memelihara rumah mereka maka mereka harus tinggal dengan kerabat keluarga atau teman, atau di panti wredha.

d. Kemudahan Dalam Perawatan

Apabila orang lanjut usia tidak mampu untuk memelihara rumah mereka lagi, dan jika kesehatan mereka tidak memungkinkan untuk merawat rumah sendiri, kondisi ekonomi juga tidak memungkinkan untuk memiliki pembantu rumah tangga, maka dengan terpaksa mereka harus pindah ke apartemen.


(52)

Wanita lanjut usia yang telah janda biasanya akan tinggal di rumah sendiri atau tinggal bersama dengan anaknya, sedangkan pria lanjut usia yang duda lebih suka tinggal di klub, hotel, atau di panti wredha.

f. Anak-anak

Jika para lanjut usia mempunyai anak, biasanya mereka tinggal dekat dengan salah satu dari anaknya atau tinggal bersama salah satu anaknya. Janda yang tidak mempunyai anak dan yang hidup sendiri tanpa suami umumnya tinggal di panti wredha jika mereka tidak sanggup merawat tempat tinggalnya.

g. Keinginan untuk Mempunyai Teman

Bagi orang lanjut usia yang kondisi fisik dan mentalnya sehat, dan ingin bersahabat, mungkin mereka akan berpindah ke rumah baru yang dekat dengan tempat tinggal anaknya atau kerabat keluarga atau yang dekat dengan lingkungan masyarakat, di mana mereka dapat melakukan kontak sosial secara temporer dengan orang seusianya. Jika kondisi kesehatan mereka buruk, para lanjut usia lebih suka hidup di panti wredha agar mereka dapat berhubungan dengan orang-orang seusianya atau tinggal bersama anaknya yang telah menikah.

h. Iklim

Orang lanjut usia lebih menyukai lingkungan tempat tinggal yang memiliki iklim yang lebih hangat. Karena dapat menghilangkan atau mengurangi kondisi yang tidak menyehatkan bagi orang lanjut usia dan dapat juga melakukan sosialisasi sepanjang tahun.

Menurut Gardner (2002), ada beberapa karakteristik individu yang bertempat tinggal di Panti Wredha, yaitu:


(53)

a. Berumur 85 tahun ke atas. b. Wanita.

c. Sering ke rumah sakit.

d. Tidak menikah atau tinggal sendiri.

e. Tidak memiliki anak atau saudara kandung. f. Terdapat masalah kesadaran.

g. Memiliki satu atau lebih masalah-masalah dengan aktivitas instrumental di kehidupan sehari-hari.

4. Akibat Tinggal di Panti Wredha

Hurlock (1999) menyatakan beberapa kerugian apabila tinggal di panti wredha adalah biaya lebih mahal daripada tinggal di rumah sendiri, makanan di panti wredha biasanya kurang menarik daripada makanan di rumah sendiri, pilihan makanan terbatas dan sering kali diulang-ulang, berhubungan dekat dan menetap dengan orang-orang yang tidak menyenangkan, letak panti wredha seringkali jauh dari tempat pertokoan, hiburan dan organisasi masyarakat, dan tempat tinggal di panti wredha cenderung lebih kecil daripada rumah yang dulu.

Selain beberapa kerugian tinggal di panti wredha, Hurlock (1999) juga mengemukakan beberapa keuntungan yang diperoleh berupa perawatan dan perbaikan panti wredha dan perlengkapannya dikerjakan oleh panti wredha, semua makanan mudah didapat dengan biaya yang memadai, perabotan dibuat untuk rekreasi dan hiburan, terdapat kemungkinan untuk berhubungan dengan teman seusia yang mempunyai minat dan kemampuan yang sama, kesempatan yang besar untuk dapat diterima secara temporer oleh teman seusia daripada dengan orang yang lebih muda, menghilangkan kesepian karena orang-orang di panti wredha dapat dijadikan teman, pelayanan hari libur bagi para lanjut usia yang


(54)

tidak mempunyai keluarga keluarga tersedia di panti wredha, dan ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi di masa lalu. Kesempatan ini tidak mungkin terjadi dalam kelompok orang-orang muda.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika para lanjut usia memutuskan untuk tinggal di panti wredha, maka mereka akan memperoleh beberapa kerugian dan keuntungan tinggal di panti wredha.


(55)

Masa Pranatal Masa Bayi Masa Kanak-Kanak Awal Masa Kanak-Kanak Akhir Masa Remaja Masa Dewasa Masa Lanjut Usia D. Paradigma Penelitian

Periode Perkembangan Hidup Manusia

Keterangan : Meliputi Mengakibatkan Melalui Mempengaruhi Akibat/efek Tinggal di Panti

Wredha

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri lansia :

Persiapan untuk hari tua

Pengalaman masa lampau

Kepuasan dari kebutuhan

Kenangan akan persahabatan lama

Anak-anak yang telah dewasa

Sikap sosial

Sikap pribadi

Metode penyesuaian diri

Kondisi

Kondisi hidup

Kondisi ekonomi

Panti Wredha

Penyesuaian Diri

Efektif

Persepsi yang Akurat Terhadap Realita

Beradaptasi Dengan Tekanan atau Stres dan Kecemasan

Gambaran Diri yang Positif Mengekspresikan Perasaan Relasi Interpersonal Baik Tidak Efektif

Tingkah laku yang aneh

Ketidakmampuan penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari

Mengalami distress subjektif Rumah Sendiri Alasan/Kondisi Yang Mempengaruhi Pilihan Pola Hidup: Status Ekonomi Status Perkawinan Kesehatan Kemudahan Dalam PerawatanJenis Kelamin Anak-anak Keinginan untuk Mempunyai Teman Iklim Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri Perilaku Kompensatoris Perilaku menarik perhatian orang

Memperkuat diri melalui kritik

Identifikasi

Sikap Proyeksi

Rasionalisasi Sublimasi Melamun Represi Masa Dewasa Madya


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, Hendriati. (2006). Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya

dengan Konsep Diri dan Penyesuaian diri pada Remaja. Cetakan pertama.

Bandung: PT Refika Aditama.

Astuti, A.B. (2000). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Penyesuaian Diri Perempuan Pada Kehamilan Pertama. Jurnal Psikologi 2000 No. 2. Halaman 84-95.

Banister, P. (1994). Qualitative Methods in psychology. A Research Guide. Buckingham: Open University Press.

Calhoun, J.F. & O.R. Acocella. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian Diri dan Hubungan

Kemanusiaan. Edisi ketiga. Semarang: IKIP Semarang Press.

Fitria. (2007). Pemaknaan Lanjut Usia Terhadap Keberadaannya di Panti Werdha. Diakses tanggal 24 April 2009 dari http:adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s1-2007-fitriairfa-7423&PHPSESSID=0adbfb49b5eb85f5f85c67da92207e27.

Gay, R., & Airasian, P. (2003). Educational Research: Competencies for Analysis &

Application. (7th Ed). New Jersey: Merril Prentice Hall.

Gardner, M.R. (2002). Applied To Everyday Life. United States of America: Wadswort Thomson Learning, Inc.

Gunarsa, Singgih. (1989). Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Hardywinoto. (1991). Panduan Gerontologi: Tinjauan dari Berbagai Aspek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Irmawati, Meutia N., Lili G., dkk. (2003). Pedoman penulisan skripsi. Medan: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(2)

Marsetio, Mardiono. (1992). Kelanggengan Usia Lanjut. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas indonesia.

Martini, W., Adiyanti, & Aisah I., 1993, Ciri Kepribadian Lanjut Usia. Jurnal Psikologi No. 1. Halaman 1-6.

Moloeng, L.J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ke enam belas. Bandung: PT Rosdakarya Offset.

Mu’tadin, Z., S.Psi, M.si. (2002). Penyesuaian Diri Remaja. Diakses tanggal 3 Maret 2009

dar

Mutiara, Erna. (1990). Karakteristik Penduduk Lanjut Usia Di propinsi Sumatera Utara

Tahun 1990. Diakses tanggal 4 Maret 2009 dari

Padget, D. (1998). Qualitative Methods in Social Works Research. USA: Sage Publication.

Papalia, D. (2003). Human Development. (9th Ed). New York: Mc Graw Hill.

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Penerbit: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran. Jakarta: Pendidikan Psikologi (PSP3) UI.

Prawitasari, J.E. (1994). Aspek Sosio-Psikologis Lansia di Indonesia. Buletin Psikologi No. 1. Halaman 27-34.

Rahayu, & Ardani. (2004). Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia Publishing.

Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup jilid II. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Semium, Y. (2006). Kesehatan Mental 1: Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian Diri


(3)

Siyelman, C.K. & E.A. Rider. (2003). Life-Span Human Development. (4th Ed). United States of America: Wadswort Thomson Learning, Inc.

Siswanto. (2007). Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Yogyakarta: C. V. Andi Offset.

Sobur, A. (2003). Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: C.V. Pustaka Setia.

Suhartini, Ratna. (2007). Bab 2 Tinjauan Pustaka. Diakses tanggal 25 Januari 2009 dari

Irmawati, Meutia N., Lili G., dkk. (2003). Pedoman penulisan skripsi. Medan: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Mariani. (2007). Panti Wredha Sebuah Pilihan. Diakses tanggal 5 Februari 2008 dari

Marsetio, Mardiono. (1992). Kelanggengan Usia Lanjut. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas indonesia.

Martini, W., Adiyanti, & Aisah I., 1993, Ciri Kepribadian Lanjut Usia. Jurnal Psikologi No. 1. Halaman 1-6.

Moloeng, L.J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ke enam belas. Bandung: PT Rosdakarya Offset.

Mu’tadin, Z., S.Psi, M.si. (2002). Penyesuaian Diri Remaja. Diakses tanggal 3 Maret 2009

dar

Mutiara, Erna. (1990). Karakteristik Penduduk Lanjut Usia Di propinsi Sumatera Utara

Tahun 1990. Diakses tanggal 4 Maret 2009 dari

Padget, D. (1998). Qualitative Methods in Social Works Research. USA: Sage Publication.


(4)

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Penerbit: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran. Jakarta: Pendidikan Psikologi (PSP3) UI.

Prawitasari, J.E. (1994). Aspek Sosio-Psikologis Lansia di Indonesia. Buletin Psikologi No. 1. Halaman 27-34.

Rahayu, & Ardani. (2004). Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia Publishing.

Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup jilid II. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Semium, Y. (2006). Kesehatan Mental 1: Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian Diri

dan Kesehatan Mental serta Teori-teori Terkait. Yogyakarta: Kanisius.

Siyelman, C.K. & E.A. Rider. (2003). Life-Span Human Development. (4th Ed). United States of America: Wadswort Thomson Learning, Inc.

Siswanto. (2007). Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Yogyakarta: C. V. Andi Offset.

Sobur, A. (2003). Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: C.V. Pustaka Setia.

Suhartini, Ratna. (2007). Bab 2 Tinjauan Pustaka. Diakses tanggal 25 Januari 2009 dari


(5)

PEDOMAN WAWANCARA

“PENYESUAIAN DIRI LANJUT USIA DI PANTI WREDHA”

1. Data diri partisipan a. Nama Partisipan b. Usia Partisipan c. Jenis Kelamin

d. Latar Pendidikan Partisipan e. Riwayat Pekerjaan partisipan

f. Lama Partisipan Tinggal di Panti Wredha

2. Bagaimanakah kehidupan lanjut usia sebelum tinggal di panti wredha a. Latar belakang kehidupan

b. Pekerjaan

c. Hubungan dengan keluarga

d. Pandangan partisipan terhadap apa yang dialaminya e. Masalah-masalah yang dihadapi sebelum di panti wredha f. Perasaan partisipan sebelum berada di panti wredha

3. Penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha a. Alasan tinggal di panti wredha

b. Perasaan partisipan tinggal di panti wredha

c. Hal-hal apa saja yang berubah dalam kehidupan partisipan setelah tinggal di panti wredha


(6)

d. Akibat/efek yang dirasakan partisipan setelah timggal di panti wredha e. Masalah-masalah yang dirasakan partisipan tinggal di panti wredha f. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri

g. Bentuk-bentuk penyesuaian diri yang dilakukan partisipan Penyesuaian diri yang dilakukan efektif atau tidak efektif