Teori State Building Teori Legitimasi politik

1.6.2 Teori State Building

State building dapat diartikan sebagai pendirian, membangun kembali, Dan memperkuat struktur publik dalam rangka memberikan kemampuan yang cukup bagi transfer kebutuhan kebutuhan publik. Yang paling penting dalam State Building adalah kapasitas kedaulatan dimana salah satu yang paling penting adalah menghilangkan klaim bahwa “monopoly of the legitimate use of physical force”. 4 Untuk meyakinkan bahwa State Building tidak semata-mata digunakan pada tujuan penggunaan kekerasan fisik yang sah oleh Negara, tetapi lebih kepada mendirikan Negara sebagai konsentrasi dan ekspresi dari kekuasaan bersama tanpa membutuhkan kekerasan. Hal ini, bagaimanapun juga, dalam banyak kasus hanya dapat diterima bila sumber kekuatan dan keabsahan aturan memerintah dalam masyarakat didapat dari “rakyat”, suatu konsep dimana dalam substansi disebut sebagai perimbangan antara kedua perbedaan orang orang yang memerintah dan yang diperintah, dan membangun kesatuan antara yang memerintah dengan yang diperintah pada waktu yang bersamaan. 5 State Building adalah salah satu istilah yang digunakan dalam teori Negara, yang mendeskripsikan konstruksi dan fungsi suatu Negara. Konsep ini pertama kali digunakan dalam hubungan hingga peciptaan Negara di Eropa 4 M. Weber, Soziologische Grundbegriffe, 1984, 91. On “capacity”, dikutip dari State-Building, Nation- Building, and Constitutional Politics in Post-Conflict Situations: Conceptual Clarifications and an Appraisal of Different Approaches, PDF Document hal. 583-584. 5 Ibid,Hal. 584. Universitas Sumatera Utara bagian barat dan difokuskan pada penegakan kekuasaan dari Negara kepada masyarakat 6

1.6.3 Teori Legitimasi politik

Untuk menjelaskan mengapa Invasi Amerika Serikat menimbulkan ketidakstabilan politik khususnya di Irak dan lebih meluas lagi di wilayah Teluk serta Timur Tengah yaitu teori legitimasi politik Menurut Michael C. Hudson dalam bukunya Arab Politics, the Search for Legitimacy, penyebab utama ketidakstabilan politik di Negara-Negara. Arab ialah karena masalah rendahnya legitimasi politik yang dimiliki para penguasanya Tepatnya dikatakan sebagai berikut The central problem of governmmt in the Arab world today is political legitimacy” 7 Selanjutnya dikatakan oleh Hudson bahwa masalah legitimasi politik di Negara-Negara Arab tersebut tidak hanya menyebabkan ketidakstabilan politik tetapi menyebabkan kecenderungan politik mereka sulit diprediksi oleh pengamat maupun oleh pelaku. Secara garis besar, legitimasi politik dapat didefinisikan sebagai pengakuan kekuasaan dari rakyat terhadap penguasa Max Weber menggambarkan legitimasi sebagai: ....harmonious relationship between the ruler and the ruled is that in which the ruled accept the rightness of the ruler 6 Tilly, 1975, dikutip dari wikipedia.com State-building.htm 7 Setiawati, Siti Muti’ah ,Irak di Bawah Kekuasaan Amerika : Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi Rakyat Indonesia, Pusat Pengkajian Masalah Timur Tengah Universitas Gadjah Mada dan Badan Pengkajian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri Indonesia, Yogyakarta, 2004,hal. 22. Universitas Sumatera Utara superior power 8 . Jadi legitimasi merupakan hubungan yang harmonis antara rakyat dengan penguasa yang sifatnya buttom up atau dari bawah ke atas. Fungsi utama legitimasi bagi penguasa ialah untuk menjalankan kekuasaan dan mengendalikan konflik. Maka dari itu, jika seorang penguasa legitimasinya rendah berarti penguasa tersebut kekuasaannya kurang atau tidak diakui oleh rakyatnya yang ditunjukkan dengan kudeta baik berdarah atau tidak, percobaan pembunuhan terhadap penguasa, tingginya intensitas kekerasaan dalam masyarakat, rendahnya ketaatan hukum masyarakat demonstasi-demonstrasi yang tidak terkendali, dan lebih dari itu adanya konflik di dalam masyarakat yang tidak dapat diselesaikan oleh penguasa. Sebelum seseorang memperoleh legitimasi dari rakyatnya maka penguasa tersebut harus memperoleh otoritas authority atau hak untuk berkuasa terlebih dulu. Dan sebelum mempunyai otoritas dia harus memiliki power terlebih dulu. Power diartikan oleh Thomas Hobbes sebagai present means to obtain some future apparent good atau segala daya kekuatan yang dimiliki sekarang untuk mencapai hal-hal yang baik di masa yang akan datang. Wujud dari power dapat berupa kepemilikan yang tampak tangible seperti kepemilikan persenjataan, kekuatan ekonomi, kekuatan teknologi, atau yang tidak tampak seperti moral yang baik, kemampuan intelektual, dan penampilan 8 Ibid. Universitas Sumatera Utara yang menarik. Semua ini dapat digunakan seseorang untuk memperoleh otoritas. Sebagaimana dipahami bahwa tidak ada lembaga pemerintahan yang berjalan secara efektif tanpa adanya legitimasi politik yang penuh dari rakyat, Pemerintah Negara sebagai Lembaga penataan masyarakat yang memegang kekuasaan politik utama harus memiliki pendasaran yang sah legitimate atas kekuasaan yang dijalankannya agar lebih efektif 9 Legitimasi politik dipahami pula sebagai legitimasi sosiologis yang telah mengalami proses transformasi politis. Sedangkan legitimasi moral etis mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma- norma moral, 10 bukan dari segi kekuatan politik riil yang ada dalam masyarakat, bukan pula atas dasar ketentuan hukum legalitas tertentu. Dengan demikian,” tidak seluruh legitimasi politik langsung dapat dikatakan “berlegitimasi etis”. Legitimasi etis filosofis adalah penyempurna akhir dari kemampuan dan kemauan berkuasa. Walaupun seseorang atau suatu pemerintahan memiliki banyak legitimasi sebagai background kekuasaannya, legitimasi akhir dan terus kontinu adalah legitimasi etisnya. Tanpa adanya legitimasi etis yang kontinu berpihak pada kepentingan kemanusiaan, suatu kekuasaan pemerintahan hanya menunggu waktu untuk dijatuhkan. Apakah lewat cara “pemberontakan sosial” atau demonstrasi “people power”, revolusi atau 9 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara,2006, Hal. 18 10 ibid, hal. 19 dari Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1994, Hal 60 Universitas Sumatera Utara Reformasi evolusi, maupun penggantian lewat mekanisme konstitusional, bahkan dalam kasus irak dapat dikatakan sebagai okupasi oleh kekuatan asing; yang jelas akan ada pergerakan reformasi untuk mendudukkan kekuasaan pada proporsi pertanggung jawaban politiknya yang konkret dan etis. Suatu legitimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga yang memiliki legitimasi itu tidak memiliki kecakapan skill yang cukup untuk melakukan pengelolaan manajemen Negara secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabilitas dan kapasitas untuk menimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat; rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi, keamanan dan kesejahteraan rakyat adalah ukuran utama dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya. Bahwa pemerintahan yang sah tidak selalu cakap dalam mengelola Negara adalah hal yang harus kita sadari sebagai hal yang tersendiri.

1.6.4 Teori Demokrasi