State Building Di Irak Pasca Pemerintahan Saddam Hussein

(1)

STATE BUILDING DI IRAK PASCA PEMERINTAHAN

SADDAM HUSSEIN

ANDRI ANSARI TARIGAN 040906051

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ANDRI ANSARI TARIGAN (040906051)

STATE BUILDING DI IRAK PASCA PEMERINTAHAN SADDAM HUSSEIN Rincian isi skripsi xi, 120 halaman, 5 tabel, 2 gambar, 15 buku,5 artikel, 9 situs internet, 5 koran. (kisaran buku dari tahun 1982-2008).

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mendeskripsikan fakta-fakta tentang proses State Building di Irak pasca pemerintahan Saddam Hussein, yang diwarnai dengan pergantian pemerintahan dalam background kesejarahan Irak yang banyak dilakukan dengan cara Kudeta (Impeachment), pertumbuhan kepartaian dengan Partai tunggal (Baath), serta peranan Amerika Serikat dalam membangun pemerintahan sementara di Irak pasca invasi. Pemaparan tentang konflik kesukuan horizontal (sunni, syiah, kurdi), dukungan dan juga penolakan atas kehadiran Pasukan Multinasional pimpinan Amerika Serikat, serta permasalahan pasca pendudukan yang sangat mempengaruhi komposisi dan pembentukan State Building di Irak menuju pemerintahan permanen melalui pemilu. Ada empat bagian yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu mengenai pembentukan Coallition Provisional Authority, Interim Govering Council, Struktur Pemerintahan Sementara Irak, dan Proses Pemilu. Dengan mengamati keadaan dan fakta yang terjadi dalam kasus Irak tersebut dapat menggambarkan proses State Building di Irak Pasca Pemerintahan Saddam Hussein.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan state building tersebut adalah teori state building dari Francis Fukuyama, untuk menjelaskan mengenai gambaran legitimasi politik di Irak digunakan teori legitimasi politik dari Michael C. Hudson, sedangkan untuk memberikan gambaran umum mengenai Negara dan sistem yang diterapkan di Irak pasca Saddam digunakan teori Negara dari Robert Mac. Iver, dan teori Demokrasi dari Robert Dahl. Dengan menggunakan metode deskriptif analitis, menggunakan studi pustaka sebagai teknik utama pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari literatur yang dikumpulkan, baik berupa buku, artikel, maupun situs internet.

Skripsi ini menjelaskan tentang tiga fase yang dibagi oleh penulis berdasarkan kondisi yang terjadi di Irak, dimulai dengan fase pertama pada masa pemerintahan Saddam Hussein, fase kedua saat pemerintahan yang represif


(3)

membuahkan konflik dengan Amerika Serikat hingga akhirnya melakukan invasi atas Irak yang mengakibatkan Irak dalam kondisi no goverment, dan fase ketiga ketika susunan pemerintahan dibawah Coallition Provisional Authority hingga pemilu di Irak dilaksanakan. Ketiga fase tersebut mewakili kronologis yang hingga saat ini terus berkembang di Irak.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di depan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dilaksanakan pada :

Hari : Kamis Tanggal : 25 Juni 2009 Pukul : 09.00 WIB

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

Tim Penguji : Ketua :

Drs. P.Antonius Sitepu.M.Si ( )

NIP. 131485245

Anggota I :

Indra Kesuma,S.IP, M.Si ( )

NIP. 132313749

Anggota II :

Warjio,SS, MA ( )


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh : Nama : Andri Ansari Tarigan

NIM : 040906051 Departemen : Ilmu Politik

Judul : State Building di Irak Pasca Pemerintahan Saddam Hussein

Menyetujui : Ketua

Departemen Ilmu Politik

Drs.Heri Kusmanto, MA NIP. 132215084

Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,

(Indra Kesuma S.IP, M.Si) (Warjio,SS, MA) NIP. 132313749 NIP. 132316810

Mengetahui : Dekan FISIP USU,

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) NIP. 131757010


(6)

Skripsi ini andiwie persembahkan untuk Mamahku Tercinta, Inspirasi kasih sayang yang tiada pernah kering Kontributor lahir Bathin dan “penjaga semangat” terbaik dalam kehidupan saya, yang menengadahkan tangan dari kejauhan siang dan malam demi anak-anaknya, rayakanlah wisuda anakmu dari kejauhan


(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “State Building di Irak pasca pemerintahan Saddam Hussein”, skripsi ini menjelaskan tentang tiga fase yang dibagi oleh penulis berdasarkan kondisi yang terjadi di Irak, dimulai dengan fase pertama pada masa pemerintahan Saddam Hussein, fase kedua saat pemerintahan yang represif membuahkan konflik dengan Amerika Serikat hingga akhirnya melakukan invasi atas Irak yang mengakibatkan Irak dalam kondisi no goverment, dan fase ketiga ketika susunan pemerintahan dibawah Coallition Provisional Authority hingga pemilu di Irak dilaksanakan. Ketiga fase tersebut mewakili kronologis yang hingga saat ini terus berkembang di Irak.

Dalam skripsi ini diuraikan bahwa state building yang diartikan sebagai pendirian, membangun kembali, dan memperkuat struktur publik dalam rangka memberikan kemampuan yang cukup bagi transfer kebutuhan kebutuhan publik, ternyata merupakan proses yang sangat sulit untuk diimplementasikan. Permasalahan menjadi semakin rumit ketika masyarakat Irak ternyata memiliki apresiasi yang rendah terhadap perubahan dan demokratisasi yang dilakukan oleh AS. Rendahnya tingkat legitimasi dan instabilitas keamanan yang terus mengancam, ditambah dengan riwayat panjang konflik horizontal semakin menambah rumit state building di Irak. Penulis berharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skrips ini sehingga lebih bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Karena penulis menyadari dengan keterbatasan waktu dan dana, maka penelitian ini jauh dari rasa memuaskan.

Alhamdulillah, syukur atas nikmat Allah SWT, penulis diberikan kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan studi ini berupa penulisan skripsi. Shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW, sang revolusioner cara berfikir, Integrator yang terbaik dalam tataran aplikatif di semua lini kehidupannya, memaknai, serta mengaplikasikan Quran di muka bumi, teladan bagi tiap tiap muslim, menuju kehidupan yang Madinatul Munawarah.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Indra Kesuma Nasution,SIP M.Si selaku dosen pembimbing, Bapak Warjio SS. MA selaku dosen pembaca, dan Bapak Drs.P.Antonius Sitepu M.Si selaku ketua penguji. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan kemurahan hati dengan berlipat ganda.

Kepada seluruh keluarga tercinta, Mamahku, inspirasi kasih sayang yang tiada pernah kering, juga kontributor “Paket kebutuhan” yang terbaik bagi anaknya, Ayahanda yang memberikan semangat dan dorongan besar dalam penyelesaian skripsi ini, adikku Ututa, adik terbaik dalam hidup saya. “Ring Satu Keluarga Besar Dahlan Djupri Kartodiharjo” di seantero Jawa, yang memberikan dukungan melalui Facebook, SMS, dan Teleponnya, Mba’ Anik, Dik Titis, Arum, Mba’ Utik, Bude-Bude hingga Bule’k semuanya, serta Om. Kepada teman teman seperjuangan angkatan 2004; dalam “Ring Satu Politik”; Aris Pratomo, sahabat


(8)

sekaligus keluarga bagi saya; Arifin, Amel, Fera, Icut, Dana, Anisma, Bimbi, Hari, Lia, Putra Gunawan, Heni dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Khusus untuk Bang Prima 03’ yang meminjamkan semua bukunya demi terselesaikannya Skripsi ini. teman teman saya di “Ring Satu NIIT”; Roni, Aznelya, Yogie, Ramadani, Khoir, seluruh Staff NIIT dan adik-adik NIIT lainnya yang juga mendukung terselesaikannya skripsi ini. kepada World Wide Web dan kontributor di lebih dari 130 Negara yang memberikan saya informasi yang berlimpah mengenai semua hal yang diperlukan, terutama “State Building di Irak pasca pemerintahan Saddam Hussein”, semoga sharing informasi positif tidak akan pernah terhenti untuk dilakukan, Go Open Sources.

Binjai, 22 Juni 2009


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman judul... i

Abstrak... ii

Halaman Pengesahan………...iv

Halaman Persetujuan……… v

Lembar Persembahan……… vi

Kata Pengantar……… vii

Daftar Isi……… ix

Daftar Tabel……… xi

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah……… 1

1.2 Perumusan Masalah……… 2

1.3 Tujuan Penelitian……… 2

1.4 Pembatasan Masalah……… 2

1.5 Manfaat Penelitian……… 3

1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Teori Negara……… 4

1.6.2 Teori State Building……… 6

1.6.3 Teori Legitimasi Politik……… 7

1.6.4 Teori Demokrasi……… 10

1.7 Metodologi penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian……… 12

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data……… 12

1.7.3 Teknik Analisa Data……… 13

1.7.4 Sistematika Penulisan……… 14

BAB II State Building pada masa pemerintahan Saddam Hussein 2.1 Sejarah Irak 2.1.2 Latar belakang sejarah dan budaya………… 15

2.1.3 Geografi……… 18

2.1.4 Pembagian Provinsi……… 20

2.1.5 Ekonomi……… 21

2.1.6 Politik Dalam Negeri……… 25


(10)

2.2 Elemen Elemen Penting State Building Pada masa Saddam Hussein

2.2.1 Partai Baath……… 42

2.2.2 Saddam Hussein……… 47

2.2.3 Militer Irak………...……… 52

2.3 Struktur Pemerintahan pada masa Saddam Hussein……… 56

2.4 Invasi AS ke Irak dan Stabilitas internal Irak 2.4.1 Kelemahan Kondisi Geografis Irak………… 61

2.4.2 Problem Integrasi Nasional Irak……… 69

BAB III State Building pasca pemerintahan Saddam Hussein 3.1 Coallition Provisional Authority……… 82

3.2 Interim Govering Council……… 90

3.3 Perserikatan Bangsa-Bangsa……… 95

3.4 Susunan Pemerintahan Sementara Irak……… 106

3.5 Pemilu di Irak……… 109

3.6 Skema State Building di Irak……….…117

BAB IV Penutup 4.1 Kesimpulan………..118

4.2 Saran………120

Daftar Pustaka……….121


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Peraturan yang dikeluarkan oleh CPA………...88

Tabel 3.2 Komposisi IGC………..92

Tabel 3.3 Pembagian tugas dan mandat lembaga………..100

Tabel 3.4 Susunan Pemerintahan Sementara Irak……….106

Tabel 3.5 Tabel hasil pemilu legislatif irak tahun 2005………114

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1 Diagram Komposisi Majelis Nasional sementara Irak …..…116


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Skripsi ini membahas tentang State Building di Irak pasca pemerintahan Saddam Hussein, penulis tertarik untuk mengambil judul tersebut dikarenakan dari segi sejarah, dinamika politik, hingga status Irak saat ini mengalami anomali yang sangat beragam, dan dapat dijadikan gambaran secara umum tentang cerminan politik khas timur tengah.

Penulis ingin mengetahui dan mendeskripsikan mengenai bagaimana model pemerintahan yang dibangun dengan basis militer (Saddam), pergantian dengan cara Kudeta (Impeachment) dengan Partai tunggal (Baath) dengan latar belakang konflik kesukuan (sunni-syiah) dapat berubah menjadi kedaaan No Government dan kemudian menjadi susunan baru yang sama sekali berbeda dengan latar belakang Irak sendiri (pemerintahan dibawah Coalition Provisional Authority / CPA).

Disamping itu fenomena irak merupakan sesuatu yang dapat dicermati sebagai persinggungan politik Internasional, baik dalam kerangka distribusi kekuasaan dunia, dalam hal ini Amerika Serikat, politik yang berkait dengan minyak (Oil Politics) ataupun keadaan internal di Irak dimana sistem pemerintahan yang berjalan begitu represif ditandai dengan pergantian kepemimpinan yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak konstitusional. Berbagai hal tersebut menjadikan Irak merupakan salah satu Negara yang


(13)

memang perlu mendapatkan perhatian khusus sebagai salah satu model kasus untuk memahami lebih dekat tentang eskalasi konflik dan dinamika politik di Timur Tengah.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, yang didasari oleh pentingnya pembahasan mengenai State Building di Irak dan ketertarikan penulis pada hal tersebut maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana proses pembentukan pemerintahan Irak pasca Saddam Hussein?”

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan pemerintahan Irak pasca Invasi hingga proses pemilihan umum di Irak.

1.4 Pembatasan Masalah

Untuk memahami dan memperjelas ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar, serta mengingat keterbatasan penulis dalam hal waktu, tenaga dan biaya maka diperlukan adanya ruang lingkup penelitian atau sering disebut pembatasan masalah.

Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian tersebut dibatasi pada upaya untuk mengetahui dan menjabarkan secara deskriptif tentang bagaimana proses terbentuknya pemerintahan Irak pasca invasi sampai terpilihnya Majelis Pemerintahan Sementara Irak pasca Pemilu 2005.


(14)

Secara lebih spesifik, masalah-masalah dalam penelitian ini dibatasi pada :

1. Gambaran deskriptif dalam BAB II mengenai State Building pada masa Saddam Hussein berkuasa di Irak, serta keadaan No Government di Irak sesaat setelah kekuasaan Saddam Hussein runtuh.

2. Deskripsi dan pembahasan mengenai State Building di Irak Pasca Saddam Hussein dalam BAB III yang dimulai dengan pemerintahan sementara (dibawah Coallition Provisional Authority), hingga proses pemilihan pemilihan umum.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu memperluas dan memperdalam pernahaman bagi penulis dalam bidang yang lebih terspesialisasi, melatih penulis dalam membuat sebuah karya ilmiah, dan melalui penilitian ilmiah ini penulis dibiasakan untuk lebih banyak membaca dan memahami permasalahan politik.

2. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pendukung dalam pengembangan dari pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya mengenai Irak.

3. Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya penelitian di bidang ilmu politik, khususnya dalam kajian politik Internasional.


(15)

1.6 Kerangka Teori

Untuk membahas permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dikemukakan teori teori yang relevan dan sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Teori merupakan serangkaian konsep, pendefinisian yang proporsi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberi gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena pada umumnya1. berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa teori adalah sebuah konsep sistematis yang mengandung pengertian.

Sejalan dengan permasalahan yang dibahas, maka penulis mengambil beberapa teori yang berkaitan dengan hal tersebut, antara lain: Teori Negara, Teori State Building, Teori legitimasi politik, dan Teori Demokrasi.

1.6.1 Teori Negara

Menurut Robert Mac. Iver, Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat di satu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa2

Ronger F. Soltau dalam Introduction to politics: “ilmu politik mempelajari Negara, tujuan-tujuan Negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan antara Negara dan warga Negaranya serta dengan Negara-Negara lain”3

Negara mempunyai sifat sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan hanya terdapat pada Negara saja dan tidak

1

Masri Singarimbun & Sofyan Effendi, metode penelitian survey, LP3ES,Jakarta, 1997, Hal.17 2 Miriam Budiarjo,

Dasar dasar ilmu politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992. 3


(16)

terdapat pada asosiasi lainnya. Secara umum, Negara memiliki 3 sifat antara lain memaksa, mencakup semua dan monopoli.

a. Sifat memaksa.

Agar aturan perundang undangan ditaati dan dengan demikian penertiban di dalam masyarakat akan tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka Negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara dan sebagainya. Organisasi dan asosiasi yang lain dari Negara juga mempunyai aturan; akan tetapi aturan yang dikeluarkan oleh Negara tersebut lebih mengikat.

b. Sifat Monopoli

Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini, Negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan, oleh karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.

c. Sifat mencakup semua (all embracing)

semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Keadaan demikian memang perlu, sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar lingkup aktifitas Negara, maka usaha Negara kearah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan akan gagal. Lagipula warga Negara tidak berdasarkan kemauan sendiri (involuntary membership) dan hal ini berbeda dengan asosiasi.


(17)

1.6.2 Teori State Building

State building dapat diartikan sebagai pendirian, membangun kembali, Dan memperkuat struktur publik dalam rangka memberikan kemampuan yang cukup bagi transfer kebutuhan kebutuhan publik. Yang paling penting dalam State Building adalah kapasitas kedaulatan dimana salah satu yang paling penting adalah menghilangkan klaim bahwa “monopoly of the legitimate use of physical force”.4

Untuk meyakinkan bahwa State Building tidak semata-mata digunakan pada tujuan penggunaan kekerasan fisik yang sah oleh Negara, tetapi lebih kepada mendirikan Negara sebagai konsentrasi dan ekspresi dari kekuasaan bersama tanpa membutuhkan kekerasan.

Hal ini, bagaimanapun juga, dalam banyak kasus hanya dapat diterima bila sumber kekuatan dan keabsahan aturan memerintah dalam masyarakat didapat dari “rakyat”, suatu konsep dimana dalam substansi disebut sebagai perimbangan antara kedua perbedaan orang orang yang memerintah dan yang diperintah, dan membangun kesatuan antara yang memerintah dengan yang diperintah pada waktu yang bersamaan.5

State Building adalah salah satu istilah yang digunakan dalam teori Negara, yang mendeskripsikan konstruksi dan fungsi suatu Negara. Konsep ini pertama kali digunakan dalam hubungan hingga peciptaan Negara di Eropa

4 M. Weber,

Soziologische Grundbegriffe, 1984, 91. On “capacity”, dikutip dari State-Building, Nation-Building, and Constitutional Politics in Post-Conflict Situations: Conceptual Clarifications and an Appraisal of Different Approaches, PDF Document hal. 583-584.

5


(18)

bagian barat dan difokuskan pada penegakan kekuasaan dari Negara kepada masyarakat6

1.6.3 Teori Legitimasi politik

Untuk menjelaskan mengapa Invasi Amerika Serikat menimbulkan ketidakstabilan politik khususnya di Irak dan lebih meluas lagi di wilayah Teluk serta Timur Tengah yaitu teori legitimasi politik

Menurut Michael C. Hudson dalam bukunya Arab Politics, the Search for Legitimacy, penyebab utama ketidakstabilan politik di Negara-Negara. Arab ialah karena masalah rendahnya legitimasi politik yang dimiliki para penguasanya Tepatnya dikatakan sebagai berikut "The central problem of governmmt in the Arab world today is political legitimacy”7 Selanjutnya dikatakan oleh Hudson bahwa masalah legitimasi politik di Negara-Negara Arab tersebut tidak hanya menyebabkan ketidakstabilan politik tetapi menyebabkan kecenderungan politik mereka sulit diprediksi oleh pengamat maupun oleh pelaku.

Secara garis besar, legitimasi politik dapat didefinisikan sebagai pengakuan kekuasaan dari rakyat terhadap penguasa Max Weber menggambarkan legitimasi sebagai: ....harmonious relationship between the ruler and the ruled is that in which the ruled accept the rightness of the ruler

6

Tilly, 1975, dikutip dari wikipedia.com/ State-building.htm

7 Setiawati, Siti Muti’ah ,

Irak di Bawah Kekuasaan Amerika : Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia, Pusat Pengkajian Masalah Timur Tengah Universitas Gadjah Mada dan Badan Pengkajian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri Indonesia, Yogyakarta, 2004,hal. 22.


(19)

superior power8. Jadi legitimasi merupakan hubungan yang harmonis antara rakyat dengan penguasa yang sifatnya buttom up atau dari bawah ke atas. Fungsi utama legitimasi bagi penguasa ialah untuk menjalankan kekuasaan dan mengendalikan konflik.

Maka dari itu, jika seorang penguasa legitimasinya rendah berarti penguasa tersebut kekuasaannya kurang atau tidak diakui oleh rakyatnya yang ditunjukkan dengan kudeta baik berdarah atau tidak, percobaan pembunuhan terhadap penguasa, tingginya intensitas kekerasaan dalam masyarakat, rendahnya ketaatan hukum masyarakat demonstasi-demonstrasi yang tidak terkendali, dan lebih dari itu adanya konflik di dalam masyarakat yang tidak dapat diselesaikan oleh penguasa.

Sebelum seseorang memperoleh legitimasi dari rakyatnya maka penguasa tersebut harus memperoleh otoritas (authority) atau hak untuk berkuasa terlebih dulu. Dan sebelum mempunyai otoritas dia harus memiliki power terlebih dulu. Power diartikan oleh Thomas Hobbes sebagai "present means to obtain some future apparent good" atau segala daya (kekuatan) yang dimiliki sekarang untuk mencapai hal-hal yang baik di masa yang akan datang. Wujud dari power dapat berupa kepemilikan yang tampak (tangible) seperti kepemilikan persenjataan, kekuatan ekonomi, kekuatan teknologi, atau yang tidak tampak seperti moral yang baik, kemampuan intelektual, dan penampilan

8 Ibid.


(20)

yang menarik. Semua ini dapat digunakan seseorang untuk memperoleh otoritas.

Sebagaimana dipahami bahwa tidak ada lembaga pemerintahan yang berjalan secara efektif tanpa adanya legitimasi politik yang penuh dari rakyat, Pemerintah Negara sebagai Lembaga penataan masyarakat yang memegang kekuasaan politik utama harus memiliki pendasaran yang sah (legitimate) atas kekuasaan yang dijalankannya agar lebih efektif9

Legitimasi politik dipahami pula sebagai legitimasi sosiologis yang telah mengalami proses transformasi politis. Sedangkan legitimasi moral (etis) mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral,10 bukan dari segi kekuatan politik riil yang ada dalam masyarakat, bukan pula atas dasar ketentuan hukum (legalitas) tertentu. Dengan demikian,” tidak seluruh legitimasi politik langsung dapat dikatakan “berlegitimasi etis”.

Legitimasi etis (filosofis) adalah penyempurna akhir dari kemampuan dan kemauan berkuasa. Walaupun seseorang atau suatu pemerintahan memiliki banyak legitimasi sebagai background kekuasaannya, legitimasi akhir dan terus kontinu adalah legitimasi etisnya. Tanpa adanya legitimasi etis yang kontinu berpihak pada kepentingan kemanusiaan, suatu kekuasaan pemerintahan hanya menunggu waktu untuk dijatuhkan. Apakah lewat cara “pemberontakan sosial” atau demonstrasi “people power”, revolusi atau

9 Hendra Nurtjahjo,

Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara,2006, Hal. 18 10


(21)

Reformasi (evolusi), maupun penggantian lewat mekanisme konstitusional, bahkan dalam kasus irak dapat dikatakan sebagai okupasi oleh kekuatan asing; yang jelas akan ada pergerakan reformasi untuk mendudukkan kekuasaan pada proporsi pertanggung jawaban politiknya yang konkret dan etis.

Suatu legitimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga yang memiliki legitimasi itu tidak memiliki kecakapan (skill) yang cukup untuk melakukan pengelolaan (manajemen) Negara secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabilitas dan kapasitas untuk menimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat; rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi, keamanan dan kesejahteraan rakyat adalah ukuran utama dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya. Bahwa pemerintahan yang sah tidak selalu cakap dalam mengelola Negara adalah hal yang harus kita sadari sebagai hal yang tersendiri.

1.6.4 Teori Demokrasi

Kata dasar Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos dan kratos, demos berarti rakyat, dan kratos berarti pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemeritahan rakyat atau suatu pemeritahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat11

11


(22)

Konsep Demokrasi lahir pada zaman Yunani kuno di sebuah Negara kota yang disebut Polis. Polis yang terkenal maju peradabannya dan menjalankan konsep Demokrasi ialah Polis Athena sekitar Abad ke 5 SM. Di dalam masyarakat Athena pada masa itu, seluruh warga Negara yang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat berkumpul bersama di pusat kota untuk membicarakan masalah masalah bersama. Seiring dengan perkembangan zaman, praktek membicarakan masalah masalah bersama ini tidak lagi dilakukan secara langsung seperti pada zaman Yunani kuno, dalam Negara modern Demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi berdasarkan perwakilan (Representative Democracy).12

Mengacu pada Robert Dahl yang menyebutkan bahwa demokrasi adalah adanya hak yang sama dan tidak dibedakan antara rakyat yang satu dengan yang lainnya13. Hak tersebut diatur dalam Undang-Undang dan peraturan peraturan yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterima semua pihak (legitimate). Kemudian Dahl menyatakan bahwa Demokrasi juga harus ditunjukkan dengan adanya pertisipasi efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan preferensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil. Untuk itu diperlukan ruang yang memperkenankan publik untuk mengekspresikan kehendak kehendaknya.

12 Miriam Budiarjo,

Demokrasi di Indonesia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, Hal. 228. 13


(23)

Demokrasi adalah sistem pemerintahan Negara yang berkedaulatan rakyat, artinya kedaulatan ada di tangan rakyat, atau kehendak rakyat merupakan faktor yang menentukan dalam sistem pemerintahan Negara.

1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temanya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Penulis memilih metode penelitian kualitatif dengan tujuan untuk lebih mendeskripsikan dan mendekati permasalahan secara lebih baik dan terarah dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis yang baik.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Library Research atau studi pustaka. Dengan menggunakan data sekunder, yakni dengan cara menghimpun buku-buku, makalah makalah dan dokumen dokumen serta saran informasi lainnya yang tentu saja berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.


(24)

1.7.3 Teknik Analisa Data

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran mengenai situasi dan kondisi yang terjadi. Data data yang terkumpul, baik data yang berasal dari kepustakaan maupun sumber lain akan dieksplorasi dan dianalisa sehingga memperoleh intisari dari masalah yang diteliti.

Proses analisa data dimulai dengan menelaah informasi atau data yang telah didapat, baik yang berasal dari dokumen-dokumen dan buku buku maupun media elektronik lainnya. Keseluruhan data yang didapat tersebut dirangkum dan dikategorisasikan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Selanjutnya, kategori-kategori yang telah diklasifikasikan tersebut dikonstruksikan dengan pendekatan kualitatif dalam sebuah kajian deskripsi untuk kemudian dianalisis sehingga memungkinkan diambil kesimpulan yang utuh14

14


(25)

1.7.4 Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : State Building pada masa Saddam Hussein dan Jatuhnya Saddam Hussein

Bab ini memberikan penjelasan mengenai gambaran umum mengenai Irak, pemeritahan dan keadaan politik yang terjadi pada masa Pemerintahan Saddam Hussein, serta kronologis jatuhnya Pemerintahan Saddam Hussein karena Invasi AS dan sekutunya.

BAB III : Sate Building Pasca Saddam Hussein

Bab ini menjelaskan tentang proses pembentukan pemerintahan baru di Irak pasca Saddam, mulai dari pemerintahan sementara dibawah pimpinan koalisi, hingga pemerintahan permanen yang terbentuk setelahnya.

BAB IV : Penutup.

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.


(26)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ANDRI ANSARI TARIGAN (040906051)

STATE BUILDING DI IRAK PASCA PEMERINTAHAN SADDAM HUSSEIN Rincian isi skripsi xi, 120 halaman, 5 tabel, 2 gambar, 15 buku,5 artikel, 9 situs internet, 5 koran. (kisaran buku dari tahun 1982-2008).

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mendeskripsikan fakta-fakta tentang proses State Building di Irak pasca pemerintahan Saddam Hussein, yang diwarnai dengan pergantian pemerintahan dalam background kesejarahan Irak yang banyak dilakukan dengan cara Kudeta (Impeachment), pertumbuhan kepartaian dengan Partai tunggal (Baath), serta peranan Amerika Serikat dalam membangun pemerintahan sementara di Irak pasca invasi. Pemaparan tentang konflik kesukuan horizontal (sunni, syiah, kurdi), dukungan dan juga penolakan atas kehadiran Pasukan Multinasional pimpinan Amerika Serikat, serta permasalahan pasca pendudukan yang sangat mempengaruhi komposisi dan pembentukan State Building di Irak menuju pemerintahan permanen melalui pemilu. Ada empat bagian yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu mengenai pembentukan Coallition Provisional Authority, Interim Govering Council, Struktur Pemerintahan Sementara Irak, dan Proses Pemilu. Dengan mengamati keadaan dan fakta yang terjadi dalam kasus Irak tersebut dapat menggambarkan proses State Building di Irak Pasca Pemerintahan Saddam Hussein.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan state building tersebut adalah teori state building dari Francis Fukuyama, untuk menjelaskan mengenai gambaran legitimasi politik di Irak digunakan teori legitimasi politik dari Michael C. Hudson, sedangkan untuk memberikan gambaran umum mengenai Negara dan sistem yang diterapkan di Irak pasca Saddam digunakan teori Negara dari Robert Mac. Iver, dan teori Demokrasi dari Robert Dahl. Dengan menggunakan metode deskriptif analitis, menggunakan studi pustaka sebagai teknik utama pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari literatur yang dikumpulkan, baik berupa buku, artikel, maupun situs internet.

Skripsi ini menjelaskan tentang tiga fase yang dibagi oleh penulis berdasarkan kondisi yang terjadi di Irak, dimulai dengan fase pertama pada masa pemerintahan Saddam Hussein, fase kedua saat pemerintahan yang represif


(27)

membuahkan konflik dengan Amerika Serikat hingga akhirnya melakukan invasi atas Irak yang mengakibatkan Irak dalam kondisi no goverment, dan fase ketiga ketika susunan pemerintahan dibawah Coallition Provisional Authority hingga pemilu di Irak dilaksanakan. Ketiga fase tersebut mewakili kronologis yang hingga saat ini terus berkembang di Irak.


(28)

BAB II

STATE BUILDING PADA MASA PEMERINTAHAN SADDAM HUSSEIN

2.1 SEJARAH IRAK

2.1.1 Latar Belakang Sejarah dan Budaya

Irak merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, karena merupakan salah satu Negara Timur Tengah yang sering menghadapi peperangan. Sejak dahulu, Irak selalu dikuasai oleh kekuatan asing. Irak sebagai Negara yang menjadi pusat peradaban dunia Islam pada dinasti Abbasiyah setidaknya pernah diinvasi oleh pasukan Persia, Yunani, Romawi dan Mongol. Pada tahun 1920, kaum Nasionalis Irak menekan pendudukan inggris dengan tuntutan kemerdekaan. Irak merdeka secara penuh pada tahun 1932 dan mengakhiri hubungan khususnya dengan Inggris, meskipun demikian, susunan kenegaraannya terbagi atas suni dan syiah, ambisi dari berbagai faksi untuk mencapai kekuasaan dan perpecahan berakibat pada batas-batas kesukuan. Etnis seperti kurdi dan asyiria secara kuat menolak bergabung. Pada 1933 penolakan orang orang asyiria ditandai dengan penyiksaan beberapa ratus penduduk desa oleh tentara irak. Kematian Raja Faisal pada 1933 membawa kesuksesan kudeta melawan pemerintahan yang tidak stabil yang dipimpin oleh Jenderal Bakr Sidqi, seorang kurdi pada tahun 1936. pada tahun 1939 kematian anak Raja Faisal, Ghazi mengakhiri periode ideologi Pan Arabisme dan meningkatkan Nasionalisme sekaligus sentimen anti Inggris. Pada dekade selanjutnya terus


(29)

diwarnai dengan Nasionalisme dan secara cepat merubah hubungan dengan Negara-Negara tetangganya.15

Dalam beberapa abad terakhir, bangsa Barat telah bangkit (sebagai bangsa yang agresif dan berupaya untuk menundukkan seluruh bagian dunia yang lain untuk kepentingannya) Dalam hubungannya dengan Irak, maka dalam Perang Dunia Pertama daerah itu diduduki Inggris. Irak dalam pandangan Inggris merupakan sebuah daerah yang sangat strategis baginya dalam upayanya untuk menguasai daerah-daerah jajahannya di timur terutama India. Di samping itu, penduduk Inggris ini dicetuskan pula oleh adanya aliansi Jerman-Turki, serta oleh faktor minyak yang mulai banyak terdapat baik di Iran maupun di Irak sendiri. Pendudukan Inggris atas Irak itu mendapat restu dari Negara-Negara Barat yang lain, terutama dengan adanya Persetujuan Sykes-Picot tahun 1916. Kenyataan ini diformalkan dalam Konferensi San Remo pada bulan April 1920.16

Namun Inggris menghadapi beberapa kendala yang dihadapinya Inggris di Irak. Pemberontakan tahun 1920 di Irak terhadap Inggris menyadarkan bahwa penjajahan tidak dapat dipertahankan terhadap Irak. Apalagi apabila diingat bahwa tugas yang diberikan mandat kepada Inggris adalah mempersiapkan Irak untuk menjadi sebuah Negara yang merdeka, dan bukan mandat untuk menjajahnya. Pada akhirnya Tahun 1921, mereka memilih Raja Faisal dari

15

Country Profile: Iraq, August 2006, Library of Congress – Federal Research Division, Hal 3, dari http://www.scribd.com

16

Long dan Hearty 1980, hal.110 dan Antonius 1965, hal. 305-306, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.


(30)

Keluarga Hasyim (putera dari Hijaz) untuk menjadi raja Irak. Keluarga Hasyim itu adalah pendukung Inggris yang loyal dalam Perang Dunia Pertama, terutama dalam menghadapi Turki Usmani. Sistem pemerintahan yang dibina Inggris di Irak adalah suatu sistem yang memaksimalkan pengaruh dan posisi mereka. Sistem itu berdasarkan sistem Inggris yang memiliki sistem yudisial dan legislatif yang berdiri sendiri. Namun untuk menjamin agar kekuasaan yang terdapat di Irak itu adalah kekuasaan yang bersahabat dengan Inggris, maka kepada raja Irak itu diberikan kekuasaan yang sangat besar, termasuk hak untuk menunjuk Perdana Menteri dan membubarkan Parlemen. Raja juga menjadi Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata, serta berhak untuk membatalkan Putusan Parlemen.

Pada tahun 1922, Inggris juga menandatangani sebuah persetujuan dengan Irak yang akan berlaku sampai tahun 1968, yaitu perjanjian yang memberikan kepada Inggris hak untuk mengawasi Irak secara tidak langsung. Namun masalah yang dihadapi Raja adalah bagaimana menyeimbangkan kepentingan Inggris dan tuntutan kaum Nasionalis yang semakin meningkat. Irak menjadi Negara merdeka pada Bulan Oktober 1932, ketika ia diizinkan masuk Liga Bangsa-Bangsa, namun masih tetap dibawah proteksi Inggris. Namun pada waktu Irak diterima sebagai anggota Liga Bangsa-Bangsa, Negara itu telah banyak melakukan hak-hak istimewa dari sebuah Negara merdeka, seperti memiliki perwakilan-perwakilan di Luar Negeri. Kendala-kendala berat yang ditempatkan Inggris di pundak Irak lama-lama mulai melonggar, terutama dengan dibentuknya pemerintahan yang


(31)

konstitusional, tumbuhnya suatu Angkatan Bersenjata dan Aparat Pemerintahan serta Birokrasi yang Nasionalistis.17

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dipandang dari segi latar belakang sejarah dan budaya, Irak adalah sebuah Negara yang memiliki akar sejarah yang panjang. Namun semenjak berkembangnya Agama Islam, Negara itu secara budaya telah menjadi sebuah Negara Arab yang beragama Islam. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Irak telah mengalami pasang surut dan pasang naik dalam sejarahnya, di samping juga telah mengalami penjajahan Barat. Kemerdekaan yang diperolehnya sekitar pertengahan Abad ini telah menempatkannya dalam barisan Negara berkembang yang anti penjajahan.

2.1.2 Geografi

Kawasan yang sekarang menjadi daerah Republik Irak adalah sebuah daerah yang selalu menjadi lintasan berbagai kekuatan, baik yang datang dari timur maupun dari barat. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi geografisnya yang dapat dikatakan tidak memiliki batas alami yang dapat dipakai mempertahankan diri. Karena itu, kawasan ini pernah diduduki oleh berbagai bangsa di dunia seperti bangsa Persia, Yunani, Romawi, Arab, Mongol, Usmani dan Inggris. Setiap bangsa yang pernah menguasainya itu sedikit banyaknya meninggalkan jejaknya dalam perkembangan budaya rakyat setempat. Namun cirinya yang paling menonjol adalah ciri Arab yang beragama Islam.

17

Long dan Hearty, 1980, ibid hal 110-111 dan Antonius 1965, hal.362-365, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.


(32)

Inti teritori Republik Irak adalah sebidang tanah yang terletak antara sungai Dajlah dan Furat, yang dikenal dengan nama Mesopotamia, atau tanah di antara sungai-sungai. Namun daerah teritorial Irak yang berada di luar itu juga cukup luas. Wilayah Irak berbatasan di sebelah selatan dengan padang pasir, dan di sebelah utara dengan daerah perbukitan dan pegunungan yang banyak celah-celahnya.

Republik Irak memiliki luas kira-kira 167,924 mil persegi (434.923 km persegi), Kota-kotanya yang terbesar adalah Baghdad, sebagai ibukotanya, yang berpenduduk sebanyak 3.236.000 jiwa; Basra 1.540.000 jiwa; Mosul 1.220.000 jiwa; dan Kirkuk dengan 535.000 jiwa. Bahasa resminya adalah bahasa Arab. Di sebelah timur, Irak berbatasan dengan Iran, di sebelah utara dengan Turki, di sebelah barat dengan Suriah dan Yordania, dan di sebelah selatan dengan Arab Saudi dan Kuwait. Kebanyakan dari penduduk Irak terdiri dari bangsa Arab yang menganut agama Islam dari sekte Syi'ah dan Sunni, serta dibagian utara bangsa Kurdi yang beragama Islam Sunni. Kamun Syi'ah yang merupakan golongan terbesar tinggal di bagian tenggara dari Negara itu. Namun pemerintahan dan militer biasanya di dominasi oleh bangsa Arab yang bermazhab Sunni.18

18

Andusen, Seibert, and Wagner 1987, 308, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.


(33)

2.1.3 Pembagian Provinsi

Irak dibagi ke dalam 18 governorat (atau provinsi) Governorat dibagi lagi ke dalam sejumlah qadhas (atau distrik)19,antara lain :

1. Baghdad 2. Salah ad Din 3. Diyala 4. Wasit 5. Maysan 6. Al Basrah 7. Dhi Qar 8. Al Muthanna 9. Al-Qādisiyyah 10.Babil

11.Karbala 12.An Najaf 13.Al Anbar 14.Ninawa 15.Dahuk 16.Arbil

17.At Ta'mim (Kirkuk) 18.As Sulaymaniyah

19 Ibid.


(34)

2.1.4 Ekonomi

Semenjak dari zaman dahulu kala, Irak terkenal memiliki pertanian yang penting. Bahkan sampai sekarang kira kira tiga perempat dari tenaga kerja di Irak masih tetap bekerja di bidang pertanian, meskipun bidang itu hanya merupakan kurang dari seperempat dari seluruh pendapatan Nasional. Hasil pertaniannya yang terutama adalah korma, gandum, beras dan tembakau. Minyak dan produksi-produksi lain yang berhubungan dengannya merupakan komoditi ekspor utama Irak, sehingga dua pertiga dari GNP-nya berasal dari sektor ini. Perusahaan minyak yang terbesar adalah Perusahaan Minyak Irak (Iraqi Petroleum Company) yang telah dinasionalisasikan. Pabrik-pabrik yang pada umumnya juga telah dinasionalisasikan telah mengalami pertumbuhan yang pesat, sekalipun situasi politik di Negara itu tidak begitu stabil dan tenaga kerja yang terampil tidak banyak terdapat.

Bahan-bahan baku lain yang dihasilkan Irak adalah phosphat, sulphur, besi, tembaga, timah dan barang-barang tambang yang lain. Menurut Richards dan Waterbury, pada tahun 1950, ketika Irak masih merupakan sebuah kerajaan dan masih didominasi oleh Inggris, pendapatan Irak dari minyak telah naik sebanyak 30%, sedangkan pada tahun 1958 pendapatan dari minyak itu telah naik menjadi enam kali lipat sehingga berjumlah lebih dari $200 juta. Pemerintah, yang ketika itu didominasi oleh tokoh Nuri Al-Said, berniat untuk menggunakan uang untuk pembangunan Negara dan rakyatnya. untuk keperluan ini maka diadakanlah sebuah Badan Otonom yang bernama Dewan Pembangunan (Development Board) dan kepada Badan ini diserahkan 70% dari hasil yang diperoleh dari rninyak.


(35)

Dewan ini telah diberi wewenang dan dana yang cukup besar untuk menggerakkan upaya-upaya pembangunan ini.20

Sadar akan kedudukannya sebagai Negara yang mengandalkan pertanian sepanjang sejarahnya, maka Irak bermaksud untuk mendorong kegiatan pertaniannya dengan dorongan yang hebat. Dewan Pembangunan, sebagaimana dikemukakan Richards dan Waterbury mulai merencanakan proyek-proyek raksasa, seperti proyek untuk membuat bendungan di sungai Dajlah dan Furat, dengan maksud untuk mengendalikan banjir dan memperluas jaringan irigasi, serta memperlebar daerah pertanian. Akan tetapi sayang sekali bahwa sebagai akibat daripada rencana jangka panjang ini, pemerintah tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap masalah-masalah pertanian yang mendesak. Di samping itu, pemerintah Irak ketika itu juga tidak memiliki rencana yang memadai untuk industrialisasi, dan kurang sekali menyediakan dana yang memadai bagi sektor insfrastruktur sosial, seperti perumahan dan kesehatan Proyek-proyek pengairan raksasa seperti yang direncanakan itu tentu tidak akan dapat diharapkan hasilnya dalam jangka pendek.

Proyek seperti itu memerlukan waktu bertahun tahun, dan mungkin juga puluhan tahun, untuk dapat dirasakan hasilnya. Sementara itu, di pihak lain para petani semakin menderita. Karena putus asa dengan kondisi mereka yang sangat suram, maka mereka mulai meninggalkan daerah pertanian dalam jumlah yang besar dan pindah ke kota-kota besar, terutama Baghdad, untuk mencari kebutuhan

20


(36)

pokok sehari-hari' Sedangkan di kota-kota itu sendiri tidak tersedia pasar kerja dan jaringan layanan sosial yang memadai untuk menampung para pendatang yang demikian banyaknya. Para pendatang itu menimbulkan banyak masalah sosial di kota-kota, terutama masalah tempat tinggal. Mereka tinggal di gubuk-gubuk sementara yang mereka buat sendiri, sehingga menimbulkan masalah-masalah baru, seperti kesehatan, perumahan, meningkatnya jumlah Pengangguran, kriminalitas, dan lain-lain sebagainya.

Rakyat yang tidak memiliki jaminan sosial yang memadai inilah yang ketika terjadinya revolusi pada tanggal 14 Juli 1958 yang dilakukan pihak militer, membantu dengan sangat bersemangat pihak militer itu. Mereka mengiringi tank-tank tentara dan melakukan tindakan-tindakan yang sangat sadis, seperti memotong dan menghancurkan jasad para penguasa yang telah digulingkan itu. Dengan jatuhnya rejim yang berkuasa itu, maka berakhir pulalah strategi Dewan Pembangunan, sedangkan Irak diarahkan kepada suatu masa depan yang baru sesuai dengan konsepsi pihak Militer dan Partai Baath.21

Irak pada tahun 1980-an, di bawah pimpinan pemerintahan Baath, banyak sekali melakukan perubahan kebijakan. Negara memainkan peranan sentral dalam membangun pabrik-pabrik dan prasarana-prasarana dengan dana yang diambil dari hasil minyak. Pemerintah berusaha untuk mendorong majunya sektor swasta, namun tanpa memberikan kendali ekonomi, apalagi politik, kepada pihak swasta itu. Sebagaimana keadaannya dengan kebanyakan Negara yang menamakan

21


(37)

dirinya Sosialis di Timur Tengah, Pemerintahan demi Pemerintahan telah banyak sekali melakukan upaya-upaya Nasionalisasi, terutama terhadap industri yang penting. Dibandingkan dengan situasi yang terdapat sebelum tahun 1958, maka apa yang telah terjadi di Irak adalah bahwa pemerintahlah yang telah menciptakan industri-industri besar dengan jalan mengalirkan dana ke sana dari hasil hasil minyak.22

Pemerintah Baath yang saat itu berkuasa juga menggunakan dana-dana yang diperoleh dari sektor perminyakan untuk pembangunan prasarana dan perindustrian. Aktivitas pembangunan pabrik-pabrik secara besar-besaran, sebagian besamya (kira kira 80%) dilakukan oleh pihak swasta dengan jalan mengadakan kontrak dengan pemerintah. Perusahaan-perusahaan konstruksi bangunan di Irak biasanya dimiliki oleh swasta, yang mendapatkan pekerjaanya dari kontrak-kontrak pemerintah. Karena itu para pengusaha di Irak tidak akan pernah melakukan oposisi terhadap pemerintah. Hubungan ekonomi Irak dengan dunia luar pada umumnya adalah dengan Negara-Negara Barat Walaupun terdapat hubungan politik dan diplomasi yang erat dengan Negara-Negara Eropa Timur, namun hubungan perdagangannya, terutama dalam hal minyak, adalah dengan Negara-Negara Barat, Jepang dan Negara-Negara dunia ketiga. Dengan uang yang diperoleh dari minyak itu Irak berusaha untuk memperoleh teknologi yang paling canggih dari Barat, dari Jepang, dari Korea Selatan dan dari mana saja.23

22

Richards and Waterbury 1990,Hal.255 dan Axelgrad 1986,Hal.9, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.

23


(38)

Sebagaimana dapat dirasakan, kekurangan-kekurangan dari suatu Dunia ekonomi yang dikendalikan pemerintah adalah terdapatnya ketidak-efisienan dalam menajemennya, lemahnya daya saing industrinya, serta terlalu banyaknya tenaga administrasi jauh lebih banyak dari apa yang dibutuhkan. Konferensi Partai Baath tahun 1982 telah mengkitik dengan pedas para manajer perusahaan Negara karena produksi yang dianggap terlalu rendah serta kemampuan teknis yang tidak memadai terutama di kalangan pimpinan menengah. Di samping itu juga dianjurkan agar sektor swasta lebih digalakkan daripada sebelumnya.24

2.1.5 Politik Dalam Negeri

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, setelah Perang Dunia Pertama, Irak menjadi daerah mandat Inggris di bawah Liga Bangsa-bangsa. Pada tahun 1932, Negara itu memperoleh kemerdekaannya sebagai Kerajaan Hasyim, yaitu suatu kerajaan yang telah didirikan ketika masih berada di bawah mandat Inggris.25 Sebagai sebuah Negara merdeka yang tapal batasnya ditentukan dalam perjanjian San Remo tahun 1920, maka di dalam Negara Irak itu tercakup kelompok-kelompok sosial-agama yang beragam-ragam seperti Sunni dan Syi'ah, Arab dan Kurdi, serta kelompok-kelompok lain yang loyalitasnya kepada Negara baru tersebut sangat diragukan. Kelompok Kurdi yang merupakan kira-kira seperlima dari penduduk Irak tinggal di bagian timur laut Negara berdampingan dengan

24

Richards and waterbury 1990, Hal.257 serta Crusoe 1986, Hal.43, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.

25

Andersen, Seibert, and Wegner, 1987,hal. 309, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.


(39)

saudara-saudara mereka yang terdapat di Iran, Turki, Suriah dan daerah-daerah yang dahulunya termasuk ke dalam Uni Soviet. Orang Kurdi ini, bersama dengan saudara-saudara mereka di Negara lain berjuang untuk membangun sebuah Negara Kurdistan yang sampai sekarang tidak pernah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.

Raja Faisal I adalah seorang raja dengan kepribadiannya yang dapat mengendalikan situasi dalam negeri. Ia juga dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan Inggris dan ambisi kaum Nasionalis. Namun dengan tiba-tiba ia meninggal tahun 1933. Ia digantikan oleh puteranya Ghazi, seorang Nasionalis yang juga dihormati, namun kurang pengalaman dalam bidang politik. Inggris sendiri juga merupakan sumber keresahan, setelah didapatnya sumber-sumber minyak tahun 1923 dan kepentingan minyak itu semakin menambah segi komersial semenjak tahun 1930, terutama setelah tampak tanda-tanda bagi timbulnya Perang Dunia Kedua. Sikap Inggris itu telah memperdebat oposisi kaum Nasionalis di seluruh Negara, bahkan di kalangan tentara itu sendiri.26

Dalam masa pemerintahan Ghazi (1933-1939) terjadi penggulingan kekuasaan yang dilakukan pihak militer, yaitu pada tahun 1936.27 Kup Bakr Sidqi yang terjadi dalam bulan Oktober 1936 merupakan kup pertama di Irak, dan merupakan permulaan dari serantaian kup yang terjadi sesudahnya, yang juga dilakukan oleh pihak militer. Pada tanggal 10 Agustus 1937, Bakr Sidqi terbunuh

26

Long dan Hearty 1980,Hal.112, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.

27

Long dan Hearty 1980, Hal.112;Bill and Leiden1984,Hal.265, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.


(40)

di kota Mosul, namun para konspirator itu berhasil melakukan suatu pemberontakan. Mereka mengizinkan berdirinya suatu pemerintahan yang setengah merdeka. Lalu setelah itu pada pertengahan Bulan Desember 1938, mereka terpaksa melakukan campur tangan. Ketika Raja meninggal pada bulan April 1939, para perwira militer itu berhasil menuntut agar Abdullah diangkat sebagai wali bagi Raja yang masih kanak-kanak.

Kudeta itu akan menjadi pola perkembangan politik di Irak dalam masa-masa selanjutnya. Namun dalam berbagai penggulingan kekuasaan yang dilakukan pihak militer setelah itu, tujuannya adalah menjatuhkan Kabinet, bukan menentang pribadi Raja, dengan demikian, maka kudeta itu bertujuan menggulingkan suatu Kabinet dengan jalan Kudeta militer ini telah menimbulkan dua buah kelompok yang berpengaruh di Irak, yaitu kelompok yang pro Inggris dan kelompok yang anti. Kelompok yang pro Inggris dipimpin oleh Nuri Al-Said, sedangkan kelompok yang anti Inggris dipimpin oleh Rasyid Ali Al-Gaylani. Kelompok anti Inggris itu tentu saja dibantu oleh pihak Jerman.28

Kematian Ghazi tahun 1939, persis di ambang Perang Dunia Kedua, telah menyebabkan dinobatkannya Raia Faisal II yang baru berumur empat tahun, sedangkan paman Raja itu, Abdullah, diangkat sebagai Wali Mahkota. Rasyid Ali berhasil menggulingkan Nuri dua tahun kemudian dan mengumumkan bahwa perjanjian dengan Inggris akan diubah, dan Irak akan bersikap netral dalam Perang Dunia. Tindakan ini dibalas Inggris dengan menyerang Irak. Semenjak itu

28Long dan Hearty1980,hal.112; Bill and Leiden 1984,hal.265 dari Riza Sihbudi dkk. Profil


(41)

sampai tahun 1958, situasi politik di Irak dapat dikatakan stabil, dengan Raja sedikit demi sedikit mulai mengambil kekuasaan dari pamannya Abdullah. Pada tahun 1953, Faisal mengambil seluruh kekuasaan dari pamannya, namun demikian, pamannya itu selalu berada di sampingnya. Dalam ukuran waktu ini, Nuri tiga belas kali diangkat menjadi Perdana Menteri. Meskipun dalam saat-saat di mana ia kebetulan tidak menjadi Perdana Menteri, pengaruhnya terhadap setiap pengambilan putusan di Negara itu tetap besar. Hal itu terus berjalan sampai tahun 1958, ketika terjadi sebuah kudeta militer yang membunuh raja, pamannya dan Nuri sendiri dalam musim panas tahun 1958, yang menjadi Perdana Menteri di Irak adalah Nuri, sedangkan AbduIlah adalah orang Yang sesungguhnya menjalankan tugas-tugas kerajaan. Abdullah ini adalah seorang yang sangat dibenci rakyat Irak. perjuangan di Palestina yang tidak menguntungkan pihak Arab dan menjadikan menurunnya pamor pemerintahan Irak, termasuk Nuri dan Abdullah.

Mengenai Jenderal Nuri ini sendiri, dikemukakan bahwa ia selalu berpedoman pada disiplin, integritas dan loyalitas. Ia juga berkeyakinan bahwa Inggris harus tetap memegang peranan penting dalam pembangunan dan keamanan Irak. Kerjasama antara Arab, jangankan persatuan Arab, dalam pandangan Nuri haruslah hanya di bidang ekonomi dan budaya saja. Karena itu ia menentang setiap upaya yang menjurus pada persatuan dari Mesir dan yang juga dikehendaki Partai Baath. Namun demikian agar ia jangan terkesan sebagai orang yang berupaya untuk memecah belah gagasan persatuan Arab, maka ikut serta


(42)

dalam pendirian Liga Arab. Ketika Mesir dan Suriah bersatu pada tahun 1958, Nuri juga mengadakan persatuan antara Yordania dan Irak. Namun persatuan ini tidak pernah berkembang, terutama karena setelah ia mati dalam kup berdarah itu.29

Tergulingnya sistem kerajaan dan Nuri sendiri adalah karena rakyat pada umumnya terlalu menderita, terutama di daerah pedesaan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Nuri terlalu banyak memusatkan perhatian pada rencana-rencana pembangunan jangka panjang, seperti pembangunan bendungan besar untuk irigasi, dengan mengabaikan kondisi rakyat yang ada ketika itu, padahal kondisi itu sudah tidak dapat ditanggungkan rakyat. Meskipun sesungguhnya perencanaan ini, sekurang kurangnya dalam jangka lama adalah untuk kepentingan rakyat, namun pada umuumya rakyat berkeyakinan bahwa semua proyek itu tidak lain hanyalah untuk kepentingan para usahawan dan tuan tanah yang kaya-kaya saja.

Di samping itu, rakyat hampir-hampir tidak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam proses politik. Pemilihan umum selalu diadakan, dan undang-undangnya selalu diperbaiki, namun yang menentukan pada umumnya adalah pihak eksekutif. Karena itu parlemen tidak mewakili kepentingan berbagai lapisan rakyat, baik di bidang ekonomi dan politik, maupun di bidang agama dan sosial. Di samping itu, rakyat juga tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk melakukan pengawasan terhadap pihak pemerintah.

29

Bill and Leiden 1984,hal.265; Long dan Hearty 1980,hal.112-113 dan Europa 1966,hal.267-270, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.


(43)

Setelah Perang Dunia Kedua ada lima Partai politik yang mendapat izin dari pemerintah, namun pada tahun 1954 semua Partai politik yang ada telah dilarang. Nuri amat bengis dalam menghadapi setiap oposisi, sehingga dilaporkan bahwa ada sekitar sepuluh ribu tahanan politik yang berada dalam penjara. Kebengisannya itu telah menjadikannya sebagai seorang yang sangat dibenci di Negara itu. Pemerintah Irak telah lama menjadi bulan-bulanan dari kampanye Radio dari Kairo, yang menggambarkannya sebagai suatu pemerintahan yang berkaitan erat dengan Imperialisme Barat. Pada musim panas tahun 1958, rasa tidak puas terhadap pemerintahan Nuri telah mencapai puncaknya, terutama karena peranan yang dimainkannya dalam politik antar Arab amat tidak memuaskan. Perasaan tidak puas ini sangat kentara di kalangan para opsir Militer. Hubungan-hubungan yang terdapat di kalangan para opsir militer telah menyebabkan bahwa terjadinya konspirasi dan persekongkolan mendapatkan tanah yang subur.30

Jenderal Abdul Karim Qasim sebenamya telah mulai aktif dalam rnakar-makar kudeta itu sekurang-kurangnya semenjak dari tahun 1956. Dalam tahun-tahun selanjutnya, ia telah berhasil mengumpulkan di sekelilingnya sejumlah opsir yang telah bertekad untuk bertindak secara drastis, apabila kesempatan pertama untuk itu muncul. Akhirnya tanggal 14 juli 1958, rezim yang berkuasa digulingkan dalam suatu kudeta militer berdarah yang dipimpin Jenderal Abdul

30


(44)

Karim Kasim dan Kolonel Abdul Salam Arif. Dalam kudeta itu seluruh keluarga kerajaan dan Nuri sendiri terbunuh secara kejam.

Dengan demikian Irak menjadi Republik yang diperintah sebuah Dewan Kedaulatan, serta Qasim menjadi acting Presiden dan Menteri Pertanahan. Arif diberi tanggung jawab sebagai wakil Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah yang baru itu memberlakukan sebuah Undang-Undang Dasar yang baru. Pemerintah itu juga membebaskan semua tahanan politik dan mereka diberi pengampunan. Dalam kalangan mereka yang dibebaskan itu terdapat para pemimpin Partai Komunis, kaum Nasionalis, serta Mustafa Bazarani yang memimpin pemberontakan Bangsa Kurdi. Semua unsur yang menentang kesewenang-wenangan Nuri dan pemerintahannya dibebaskan. Setelah itu pada Bulan September 1958 dikeluarkan peraturan Land Reform yang memberikan tanah-tanah yang luas yang dimiliki tuan-tuan tanah yang kaya-kaya kepada para petani yang miskin-miskin semenjak dari semula, terutama setelah dibebaskannya semua tahanan politik itu, telah terdapat tanda-tanda bahwa dunia politik Irak terbagi ke dalam empat Faksi. Kaum komunis ingin agar Irak mengikuti garis politik Uni Soviet. Kaum Nasionalis Arab, termasuk Partai Baath, ingin politik yang lebih dekat, kalau dapat persatuan, dengan Mesir. Kaum Kurdi ingin mendirikan sebuah Negara bagi Bangsanya, namun mereka, seperti halnya dengan kaum Komunis, juga menginginkan garis politik yang sejaiar dengan Uni Soviet. yang terakhir adalah, kaum Nasionalis Moderat dan Partai Istiqlal yang ingin


(45)

mempertahankan kemerdekaan Irak namun mempunyai hubungan yang lebih rapat dengan Mesir.31

Qasim ingin mempertahankan kedudukannya dengan jalan mengadu domba keempat faksi yang ada. segera Arif diberhentikan dari jabatannya, dan diangkat sebagai Duta Besar di Jerman Barat Namun ia tidak pernah sampai ke Jerman Barat, karena ia telah ditahan dengan tuduhan makar. Bulan Maret 1959 , terjadi sebuah pemberontakan di Mosul yang menyerukan agar Qasim digulingkan dan diadakan persatuan dengan Mesir. Pemberontakan itu dapat dipadamkan dengan bantuan kaum Komunis dan Golongan Kurdi. Ketika itu, komunitas rnendapat peranan yang lebih penting dalam politik Irak. Namun tidak lama kemudian, Qasim Kembali mempersempit ruang gerak Partai Komunis. Pemberontakan Kurdi tahun 1961 yang menuntut otonomi yang lebih luas dan menganggap Qasim tidak pernah rnemenuhi janji-janii yang telah diucapkannya, juga telah menyebabkan basis kekuasaan Qasim semakin lama semakin sempit. Qasim iuga dianggap tidak berhasil menyelesaikan masalah klaim Irak atas Kuwait. Semuanya ini telah menyebabkan bahwa pada akhinya Rezim Kasim itu digulingkan tanggal 8 Februari 1963. Dengan terbunuhnya Qasim, maka yang berkuasa adalah Arif.32

Penggulingan kekuasaan itu terutama didalangi oleh Partai Baath bersama-sama dengan para perwira militer yang bersimpati dan kelompok-kelompok

31

Long dan Hearty 1980,Hal.114, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.

32


(46)

Arab. Kolonel Arif diangkat sebagai Presiden, namun pemimpin yang sesungguhnya adalah seorang Jenderal Baath, yaitu Jenderal Ahmad Hasan al-Bakr. Lalu didirikan sebuah Dewan Tertinggi Revolusi, namun semua kekuasaan yang terpenting berada di tangan orang-orang Baath, putusan dewan yang pertama adalah menghukum mati Jenderal Qasim serta membersihkan tentara dan pemerintah dari semua orang komunis para simpatisannya.

Rezim yang baru berkuasa itu adalah sebuah rezim yang menyatakan komitnennya terhadap persatuan Arab. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai cara untuk mencapai persatuan Arab itu. Karena itu tidaklah mengherankan apabila tidak lama kemudian di dalam Dewan Tertinggi Revolusi itu terjadi perpecahan antara kelompok yang menginginkan hubungan yang lebih dekat, kalau dapat persatuan dengan Mesir, Kelompok yang satu lagi ingin mengadakan hubungan yang lebih dekat dengan Suriah. Pada mulanya pada Bulan November 1963, tarnpak bahwa golongan pro-Nasser mendapat kemenangan sehingga semua kekuasaan dapat dipegang Presiden Arif dan dilucuti dari tangan orang-orang Baath. Ia mendirikan sebuah Dewan Komando Revolusi.33

Presiden Arif tetap mempertahankan rencananya yang Sosialistis untuk mengadakan pembangunan ekonomi. Karena itu dalam hal ini, ia tetap sejalan dengan orang-orang Baath. Ia mengumumkan berdirinya Persatuan Sosialis Arab, dan menasionalisasi kebanyakan perusahaan besar yang terdapat di Irak, termasuk Bank dan perusahaan Asuransi, selain dari perusahaan minyak. Arif sangat


(47)

menyadari bahwa untuk menjalankan roda pembangunan ekonorni yang direncanakannya, ia memerlukan dana dari minyak. Arif juga tidak dapat menyelesaikan masalah pemberontakan Kurdi di Utara, walaupun ia telah memberikan janji-janji otonomi bagi mereka. Namun dengan tiba-tiba Arif meninggal dalam suatu kecelakaan helikopter tanggal 3 April 1966. Peristiwa itu mencetuskan pertarungan kekuasaan antara Perdana Menteri Abd Rahman al-Bazzaz di satu pihak dan kaum militer di pihak lain. Kabinet dan Dewan Pertahanan Nasional ditugasi untuk mencari penyelesaian dari kemelut ini. Sebagai jalan tengah, saudara Presiden Arif, yaitu Mayor jenderal Abd Al Rahman Arif, diangkat sebagai presiden, sedangkan Dr.Bazzaz sendiri tetap menjadi Perdana Menteri. Setelah terjadi suatu usaha penggulingan kekuasaan oleh para perwira militer yang pro-Nasser, maka presiden yang baru itu mulai mengkonsolidasikan kekuasannya dan memaksa Bazzaz mengundurkan diri dari jabatannya pada bulan Agustus 1965. Presiden Arif digulingkan dalam suatu kudeta tidak berdarah pada tanggal 17 Juli 1968 oleh Jenderal Hasan Al-Bakar. Dengan demikian maka Partai Baath kembali berkuasa di Irak. Semenjak pemerintahan Partai Baath itu, Irak telah sempat hidup dalam suatu situasi politik yang relatif tenang, bahkan yang paling tenang semenjak digulingkannya kerajaan.

Ada berbagai sebab yang menyebabkan tergulingnya Presiden Abd Al-Rahman Arif. Di antaranya masalah pemberontakan Kurdi yang tidak terselesaikan, masalah kalahnya bangsa Arab secara memalukan di tangan Israel


(48)

tahun 1967, serta tidak berjalannya roda pembangunan dalam negeri dalam bentuk yang memuaskan.

Pada bulan Juli 1973, terjadi lagi upaya perebutan kekuasaan yang dilakukan kepala sekuriti, Nazim Kazzar, akan tetapi gagal. Kenyataan ini memaksa Partai Baath membentuk sebuah Front Nasional, demi untuk memperluas dasar kekuasannya, dan didalamnya termasuk Partai Komunis Irak. Diharapkan pula agar Partai Demokrasi Kurdi yang dipimpin Mustafa Barazani ikut dalam Front ini. Namun hal ini tidak pernah tercapai, sedangkan hubungan antara Partai Baath dan Partai Komunis tidak pernah mesra, malah semakin lama semakin memburuk.

Saddam Husain at-Tikriti baru muncul sebagai orang kuat di belakang layar pada paruh kedua tahun 70-an. Ia berdiri di belakang Presiden Bakr. Selama beberapa tahun ia mempertahankan posisi yang tidak menonjol sebagai wakil ketua komando Regional Partai Baath dan juga menjadi Wakil Ketua Dewan Komando Revolusioner. Pada tanggal 17 Juli 1979, yaitu pada peringatan ulang tahun kesebelas pemerintahan Baath di Irak, Saddam menggantikan Bakr sebagai Presiden Republik yang mengundurkan diri karena alasan-alasan kesehatan.34

Di bawah kepemimpinan Saddam Hussein terdapat tanda-tanda bahwa Irak mengalami suatu situasi politik yang stabil. Meskipun kestabilan ini dicapai dengan kerja keras dari pihak keamanan, namun kebijakan ekonomi dan sosial pemerintah sangat memegang peranan dalam kestabilan ini. Akan tetapi pada tahun 1980 meletus peperangan antara Iran dan Irak. Terlepas daripada

34


(49)

usulnya, peperangan ini merupakan sebuah tantangan yang berat bagi pemerintah yang berkuasa di Irak. Namun perkembangan selanjutnya, terutama semenjak diadakan gencatan senjata tahun 1988, telah memperbaiki citra pemerintah, dan memperbesar dukungan rakyat kepadanya.

Bulan November 1988, beberapa bulan setelah gencatan senjata itu, Presiden Saddam Hussein telah mengeluarkan suatu Program Reformasi Politik yang mengizinkan berdirinya Partai-Partai politik yang beroposisi kepada Partai Baath. Alasan yang dikemukakan bagi tindakan ini adalah karena semua bangsa Irak, terdiri dari bermacam-macam latar belakang etnis, Ideologi, agama, semua telah bekerjasama dalam upaya perang yang lalu, dan karena itu berhak untuk memainkan suatu peranan yang terlembaga dalam proses pengambilan keputusan. Majelis Nasional yang dipilih pada bulan April 1989 diberi tugas untuk mengeluarkan undang-undang yang diperlukan untuk membenarkan adanya Partai-Partai politik itu. Namun demikian, tidak dapat diharapkan timbulnya di Irak sebuah sistem Liberal seperti yang terdapat di barat. Presiden Irak sendiri telah menyatakan bahwa masyarakat Irak berbeda dari masyarakat Barat, karena itu apabila terdapat praktek-praktek yang berbeda, maka ini adalah suatu hal yang sudah dapat diharapkan.35

35


(50)

2.1.6 Politik Luar Negeri

Menganalisis politik luar negeri Irak penting karena berbagai alasan. Pertama karena Irak adalah sebuah Negara Arab yang penting, dan lama dalam sejarah merupakan pusat dunia Islam, dengan Baghdad sebagai Ibukotanya, di masa Dinasti Bani Abbas dahulu kala. Di masa modern ini, Irak tetap merupakan sebuah Negara yang berpengaruh di Timur Tengah pada umumnya dan di dunia Arab pada khususnya. Kedua, karena berada di bawah Ideologi Baath semenjak tahun 1970-an, maka Irak menampilkan ciri sebagai sebuah Negara Revolusioner dengan Ideologi Pan-Arab yang konsekuen dalam upayanya untuk mempersatukan seluruh Negara Arab. Ketiga Irak merupakan sebuah Negara aktif dalam Gerakan Non-Blok. Keempat, Irak adalah Negara yang besar peranannya dalam OPEC.36

Dalam pidato-pidatonya Presiden Saddam Hussein seringkali mengemukakan bahwa politik Luar Negeri Irak merupakan sistem global yang dewasa ini sedang bergerak dari bipolaritas menjadi multipolaritas. Politik Luar Negeri Irak mempengaruhi proses yang sedang berjalan itu. Di samping itu diyakini pula bahwa karena konsekuensinya yang sangat fatal bagi seluruh Dunia dan bagi umat manusia, maka Perang total dan langsung antara Negara-Negara besar yang memiliki kemampuan nuklir adalah suatu hal yang tidak dapat dilakukan. Karena itu apa yang akan banyak terjadi adalah peperangan lokal di

36


(51)

Dunia Ketiga yang dilakukan oleh Negara-Negara setempat, dengan mendapat bantuan dan dukungan daripada Negara-Negara besar.

Dunia sekarang ini, dalam pandangan Saddam Hussein yang menjadi inti daripada politik luar negeri Irak haruslah suatu sikap Non-Blok. Menurut pendapatnya, Irak tidak boleh memihak kepada salah satu Blok Negara besar. Dalam Pertarungan yang semakin memuncak antara Negara-Negara besar, maka gerakan Non-Blok menjadi semakin penting. Dan di samping itu Negara-Negara Non-Blok harus memainkan suatu Peranan yang menonjol dalam menciptakan suatu tatanan ekonomi Internasional baru.

Dasar daripada Ideologi Baath adalah persatuan seluruh Bangsa Arab yang di masa lalu telah memiliki suatu sejarah yang gemilang dan di masa depan memiliki sebuah misi yang harus dimainkannya. Dasar-dasar politik Baath digambarkan dalam tiga buah slogan, yaitu Wahdah (persatuan seluruh bangsa Arab), Hurriyah (kemerdekaaan) dan Isytirakiyah (Sosialisme). Berdasarkan Ideologi itu, maka Baath tidak dapat mengakui tapal-tapal batas antara Negara-Negara Arab yang ada sekarang ini, karena semuanya itu merupakan suatu bentukan para penjajah. Karena itu pada dasarnya ideologi Baath adalah sebuah ideologi yang berorientasi kepada perubahan kerjasama dengan Negara-Negara Arab yang konservatif dapat saja dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan-tujuan tadi. Baath juga memperhatikan nasib bangsa Arab yang tinggal di luar dunia Arab. Dalam pidatonya sebelum menjadi Presiden pada Bulan Juni 1975, Saddam Hussein mengatakan “kita menginginkan agar Irak memainkan peranan yang menentukan


(52)

di kawasan ini, terutama di tanah air Arab, kita menginginkan Irak memainkan suatu peranan yang menonjol dalam mengadakan suatu konsolidasi kebijakan anti Imperialis di tingkat Internasional”. Tidak lama setelah ia menjadi Presiden, ia mengatakan dalam pidatonya Bulan Oktober 1979 bahwa Irak mempunyai suatu peranan kesejarahan. Ia mengatakan bahwa berabad-abad lamanya Irak dan Bangsa Arab telah dihalangi untuk memiliki unsur-unsur lainnya. Sekarang ini, untuk pertama kali dalam sejarah, demikian dikatakannya Irak memiliki semua unsur itu Hal itu menjadikannya berhak untuk melakukan suatu peranan Arab dalam sejarah.37

Ideologi Partai Baath pada pokoknya adalah sebuah Ideologi Nasionalis yang berdasarkan konsepnya satunya seluruh Arab. Menurut ideologi Baath itu, terdapat tiga buah tujuan kesejarahan bangsa Arab. pertama, mempersatukan Negara-Negara Arab yang ada sekarang ini, karena semua itu dibuat oleh penjajah untuk memecah belah Bangsa Arab yang satu; Kedua, kebebasan dari segala pengaruh dan hegemoni luar. Yang ketiga adalah Sosialisme. Karena itu masalah luar negeri yang bersifat Internasional luas tidak banyak mendapat sorotan dalam Ideologi Baath itu. perhatian lebih tertuju kepada masalah regional antar Arab dengan tujuan untuk mempersatukannya itu. pernyataan-pernyataan Saddam Hussein dalam bidang luar negeri banyak persamaannya dengan apa dikemukakan Presiden Nasser dari Mesir pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an.

37


(53)

Pembuatan kebijakan luar negeri di Irak tidak dapat ditemukan dalam bentuk yang jelas. Dalam Konstitusi dinyatakan bahwa Dewan Komando Revolusi mengawasi segala masalah yang berkenaan dengan luar negeri. Dewan mengadakan mobilisasi dan menyatakan perang, menyatakan gencatan senjata dan mengadakan perdamaian. Ia juga meratifikasi perjanjian antar Negara dan persetujuan Internasional. Kepada Presiden diberikan pertanggungjawaban untuk menjaga kemerdekaan Negara dan integritas teritorialnya. Presiden juga menunjuk wakil-wakil Irak di luar negeri. Pada tahun 1973 diadakan Amandemen konstitusi, dimana dikatakan bahwa diadakan suatu badan yang berdiri sendiri yaitu kabinet.. Namun yang mengepalai kabinet itu adalah presiden sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri di Irak berada di tangan segelintir orang yang sangat terbatas jumlahnya. Pembuat putusan utama adalah presiden sendiri, karena ia memiliki suatu posisi konstitusional yang sangat penting. Kepribadian dan gaya kepemimpinannya juga mendorong ke arah ini. Namun dalam hal ini dapat dikemukakan tiga buah pertanyaan. Pertama, bagaimanakah peranan Partai Baath dalam hal ini? Kedua, adakah peranan lembaga-lembaga politik yang lain selain dari pada Dewan Komando Revolusi dan Presiden sendiri? Dan ketiga, apakah terdapat kendala-kendala politik dan kelembagaan terhadap kekuasaan presiden?

Mengenai Partai Baath dapat dikemukakan bahwa Dewan Komando Revolusi, selain dari wakil ketuanya yang berasal dari golongan Kurdi, semuanya adalah anggota Partai Baath. Akan tetapi tidak mesti bahwa garis Partai sejajar


(54)

terus menerus dengan garis politik Negara. Presiden sendiri menjelaskan bahwa tidak mesti keputusan Negara itu harus sama dengan putusan Partai. Apabila Partai membuat garis kebijaksanaan yang berjangka panjang dan umumnya bersifat teoritis, maka Negara harus menghadapi masalah riil dari hari ke hari, yang mungkin menghendaki perubahan-perubahan sesuai dengan apa yang dikehendaki kondlisi dan situasi.38

Sudah pasti bahwa proses pembuatan keputusan dalam dan luar negeri, sebagaimana dalam bidang-bidang lainnya, ditentukan Dewan Komando Revolusi, terutama oleh Presiden sendiri. Namun dalam sebuah pertemuan dengan duta-duta besarnya di luar negeri, Saddam Hussein menegaskan perlunya informasi yang tepat dari para duta besar itu untuk dapat membuat kebijakan luar negeri yang benar.

Hubungan Irak dengan Amerika Serikat pada umumnya memperlihatkan permusuhan, disebabkan oleh karena Ideologi Baath dan karena masalah Israel. Namun mulai dari tahun 1980-an terdapat tanda-tanda perbaikan. Pejabat Amerika menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat yang fundamental antara Irak dan Amerika Serikat.39

Namun pada tanggal 2 Agustus 1990, tentara Irak melakukan invasi terhadap Kuwait dan mendudukinya. pemerintah Irak percaya bahwa Amerika Serikat tidak akan ikut campur tangan dalam pertikaian masalah perbatasan ini. Namun

38

Ahmad 1991,hal.,200, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.


(55)

peristiwa ini telah mencetuskan suatu peperangan yang terkenal dengan nama Perang Teluk Kedua. Irak diserang secara besar besaran oleh tentara sekutu yang dipimpin oleh Amerika serikat dan berhasil dipukul mundur pada tahun 1991.40

Sampai sekarang, Irak masih tetap mendapat sanksi-sanksi dari PBB karena upaya untuk menganeksasi Kuwait yang gagal itu. Amerika Serikat tampaknya berupaya keras untuk menjatuhkan pemerintahan Saddam Hussein yang dianggap berbahaya bagi tatanan Internasional, namun sebegitu jauh, meskipun dengan mengalami kesukaran dan tantangan yang cukup banyak, Saddam Hussein masih dapat masih dapat mempertahankan diri dan pemerintahannya.

2.2 ELEMEN PENTING STATE BUILDING MASA SADDAM

HUSSEIN 2.2.1 Partai Baath41

Presiden Irak Saddam Hussein masih mempertunjukkan Partai Baath persis seperti 31 tahun silam, ketika Partai itu berhasil berkuasa lagi di Irak pada 17 Juli 1968. Yaitu, sebuah Partai yang sangat Anti-Imperialisme dan Anti-Zionisme. Dan sebaliknya, ia memimpikan kejayaan bangsa Arab. Saddam dalam pidato kenegaraan, Sabtu 17 Juli 1999, yang disiarkan langsung lewat televisi dan radio, mengecam keras proses perdamaian di Timur Tengah serta mengkritik para pemimpin Arab yang memuji dan menaruh harapan pada Ehud Barak, PM Israel saat itu. Saddam melukiskan para pemimpinArab telah menyerah diri.

40

Vaux 1992,hal.ix, dari Riza Sihbudi dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah.

41


(56)

Palestina adalah milik Arab dan zionisme harus hengkang dari tanah Palestina. “Siapa pun warga Yahudi yang ingin hidup damai berdampingan dengan penduduk asli, maka bagi kaum muhajirin Yahudi itu punya hak dan kewajiban yang harus diperhatikan pula. Namun jika Yahudi tidak mampu hidup berdampingan, maka silakan mereka pulang ke daerah asalnya," tegas Saddam dalam pidato peringatan 31 tahun kembalinya Partai Baath berkuasa di Irak. Isi pidato Presiden Saddam tersebut memang mengingatkan masa 31 tahun silam, tatkala Partai Baath saat itu mengobarkan sentimen Nasionalisme dan gaung Revolusioner untuk mencari legitimasi kekuasannya yang baru saja diperoleh kembali di Irak. Isu Nasionalisme dan gaung Revolusioner sangat digandrungi di dunia Arab saat itu, menyusul kekalahan bangsa Arab dari Israel pada perang Arab-Israel Bulan Juni 1967.

Partai Baath segera setelah berkuasa lagi di Irak pada 17 Juli 1968, menolak keras kompromi dan memberi konsesi pada Israel. Presiden Saddam pun memperkuat kembali kebijakan garis keras Partai Baath 31 tahun silam itu. Bagi Saddam, pilihan garis keras barangkali sangat penting untuk mempertahankan legitimasi kekuasaanya di Irak yang senantiasa diguncang dari luar dan dalam negeri, menyusul kekalahannya dalam Perang Teluk tahun 1991. Pidato Saddam itu sekaligus peletakan garis besar politik luar Negeri Irak yang akan sangat diwarnai Ideologi Partai Baath yang radikal dan kekiri-kirian. pilihan Saddam itu tak terlepas dari rasa kekecewaan yang mendalam pemerintah Irak, akibat gagalnya upaya Baghdad membebaskan diri dari embargo total PBB sejak tahun


(57)

1990. Pidato Saddam tersebut mengisyaratkan seseorang yang penuh percaya diri yang ingin menunjukkan bahwa dirinya masih kuat di Irak, yang tidak bersedia memberi konsesi secuil pun baik menyangkut Irak sendiri maupun perjuangan bangsa Arab secara umum. Saddam pun ingin menunjukkan pada bangsa Arab bahwa ia tetap konsisten dengan Ideologi Partai Baath dalam perjuangan meraih kejayaan bangsa Arab. Ia tak peduli dengan iklim politik di lingkungan dunia Arab saat itu, yang semakin cenderung menerima proses perdamaian dengan Israel yang berdasarkan resolusi PBB No 242 dan 338.

Misi perjuangan Partai Baath adalah mencita-citakan sebuah bangsa Arab bersatu yang merdeka di bawah sistem sosialisme yang Nasionalistik. Cita-cita itu dicoba digapai dengan mengobarkan slogan revolusi Arab. Partai Baath dibentuk untuk menampung aspirasi kolektif bangsa Arab.

Menurut persepsi pendiri Partai Baath Michel Aflaq, bangsa Arab di mana pun di kawasan Timur Tengah terkesan lebih merasa diri sebagai Arab dan Islam ketimbang merasa sebagai bangsa Irak, Kuwait, Suriah atau Mesir. Bangsa Arab mengkritik peta Timur Tengah sekarang ini, yang dianggap sebagai hasil politik memecah belah, divide et impera, yang dilakukan Barat terutama Inggris pada era kolonial. Namun ironinya, Bangsa Arab sendiri sulit dipersatukan dalam menghadapi tantangan bersama. Akar Partai Baath Irak sesungguhnya terletak di Sudan. Gagasan pembentukan Partai Baath pertama lahir di Suriah ketika muncul kesadaran tentang kemerdekaan Bangsa-Bangsa Arab pada tahun 1940-an dari cengkeraman Imperialisme dan Kolonialisme Barat.


(58)

Michel Aflaq membentuk Partai Baath yang berhaluan sosialis khas Arab untuk memperjuangkan kemerdekaan. Namun, faham Nasionalisme dan kesatuan Arab ditentang oleh dua Partai yang sudah ada di Suriah, yaitu Partai Komunis dan Partai Nasional Suriah. Meski demikian, gerakan Partai Baath segera mendapat angin. Sejak berdirinya tahun 1946, segera muncul keinginan untuk mengubah gerakan sosialisme khas Arab menjadi Partai resmi, yang bisa diandalkan sebagai ujung tombak perlawanan terhadap penjajahan Perancis di Suriah dan Lebanon. Partai Baath terdaftar sebagai Partai resmi bulan April 1947 dengan ketua Michel Aflaq. Akan tetapi, perpecahan langsung terjadi di tubuh Partai, bahkan Aflaq tersingkir dan terpaksa melarikan diri ke Irak.

Perjuangan Aflaq dilanjutkan di Irak. Sementara dilanjutkan secara diam-diam untuk menghindari benturan langsung dengan Partai Komunis Irak yang sudah kokoh. Partai Baath Irak mulai muncul ke permukaan ketika mengambil peran dalam kerusuhan tahun 1952. Pengaruh Partai Baath kemudian dengan cepat meluas. Saddam Hussein bergabung tahun 1957 dalam usia 20 tahun. Partai Baath sempat dilarang tahun 1958 bersama Partai-Partai lainnya dalam kemelut politik ketika sistem Monarki Irak ditumbangkan. Namun, Partai Baath terus bergerak dibawah tanah sampai akhirnya merebut kekuasaan tahun 1963. Sejak itu Irak menjadi Negara satu Partai, dalam sistem pemerintahan Partai Baath, kekuasaan tertinggi berada di tangan Dewan Komando Revolusi pimpinan Presiden Saddam, yang merangkap Sekjen Partai dan Panglima Tertinggi. Proyeksi semangat Revolusioner diperlihatkan Saddam dengan menggunakan


(59)

aksesori, seperti seragam Jenderal, Pistol di pinggang, dan tanda Pangkat Marsekal, meski dirinya bukan tentara. Dalam konteks kekuasaan, Partai Baath selalu berkoalisi dengan militer. Bahkan, dalam menjalankan kekuasaan, peran militer jauh dominan ketimbang Partai, meski anggota Partai telah menyusup ke dalam tubuh militer. Pada prinsipnya institusi pemerintahan menjalankan Ideologi Partai Baath yang menekankan sosialisme khas Arab dan Pan-Arabisme. Konsep dasar Partai Baath ialah konsolidasi antara Sosialisme, Nasionalisme, dan Agama (Islam).

Dalam pertarungan perebutan kekuasaan, Partai Baath bertentangan dan berseteru dengan Partai Komunis Irak, yang kemudian dikalahkan dan dihancurkan. para pemimpin dan pendukung Partai Komunis dikejar-kejar ditangkap, dihukum, dan dibunuh. Setelah Saddam berkuasa Juli 1979, Partai Komunis dinyatakan sebagai Partai terlarang. Bahkan, Saddam melangkah lebih jauh dengan menghapus sistem multipartai. sistem multipartai dihidupkan kembali tahun 1970, tapi sistem kembali berbalik menjadi satu Partai sejak Saddam Hussein mulai berkuasa Juli 1979, seluruh kekuasaan terpusat pada tangan Presiden Saddam.


(60)

2.2.2 Saddam Hussein42

“Saya datang untuk abadi” kata Saddam kepada beberapa kawannya ketika berhasil memimpin Partai Sosialis Arab Baath mengambil alih kekuasaan kembali di Irak dalam suatu aksi kudeta pada tahun 1968. Komitmen Saddam tersebut ternyata menjadi kenyataan. Partai Baath yang didirikan oleh Michael Aflaq pada tahun 1940-an itu, malang melintang tanpa gangguan berarti di Irak selama 34 tahun terakhir (1968-2002). Kebesaran Partai itu turut membesarkan pula seorang Saddam Hussein dan mengantarkannya menjadi presiden pada tahun 1979. Kejayaan Partai Baath dan Saddam Hussein di Irak, tentu dibayar dengan harga mahal. Kawan maupun lawan telah berguguran untuk mempertahankan kejayaan Partai tersebut dan seorang pemimpinnya. Dalam konteks ini, Saddam tampil menjadi pemimpin Irak yang paling berhasil mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalunya.

Konsep Saddam cukup sederhana untuk dapat mempertahankan kekuasaan, selama mungkin di Irak, yaitu mampu mengontrol penuh Partai Baath dan militer. Karena itu, Saddam tidak segan segan menyingkirkan saudara sepupunya sendiri, Menteri Pertahanan Adnan Khafullah (tewas secara misterius dalam suatu kecelakaan helikopter), yang semakin populer karena keberhasilan dalam sejumlah pertempuran pada masa perang Irak-Iran.

Saddam Hussein barangkali baru kali ini menghadapi situasi yang sangat paradoks. Sudah dipastikan 100 persen dari sekitar 11,5 juta rakyat Irak yang

42


(1)

Permasalahan state building di Irak pasca pemerintahan Saddam Hussein yang menjadi agenda baru AS dilakukan dengan sangat lamban dan kurang memperoleh sambutan yang baik di kalangan rakyat irak sendiri, setidaknya ada beberapa poin yang disimpulkan, antara lain :

1. Pembentukan dua lembaga atau institusi; yaitu Coallition Provisional Authority (CPA), dan Interim Govering Council (IGC) masih belum mewujudkan stabilitas politik di irak karena gagalnya mendapatkan otoritas dan legitimasi politik di irak.

2. tindakan yang dilakukan AS pasca berlakunya status belligerent occupation atas irak yang tidak dengan segera memberikan porsi kepada PBB untuk masuk dan mengambil peranan yang besar menyiratkan hegemoni AS atas pendudukan Irak.

3. Penerapan demokrasi di irak merupakan “kejutan politik” bagi masyarakat irak yang sejak kepemimpinan saddam hidup di bawah pemerintahan yang diktator dan militeristik, ditambah dengan komposisi penduduk dan sejarah konflik internal irak (sunni, syiah, kurdi) yang menambah rumit keadaan.

4. Dalam serangkaian proses pemilu yang diprakarsai oleh UNAMI dan beberapa badan independen lain di irak, banyak terjadi boikot dan ketidakpuasan, diantaranya yang dilakukan oleh Islamic Supreme Council of Iraq (ISCI) pimpinan Abd Al Aziz al Hakim, dan juga kelompok


(2)

Moqtada Al Sadr. Meskipun hasil pemilu 2005 menempatkan syiah dan kurdi dalam posisi tertinggi.

4.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini antara lain :

1. Dengan berlarutnya proses rekostruksi dan pembangunan politik di Irak, pemerintah Amerika Serikat hendaknya melakukan penyerahan kedaulatan secara lebih cepat kepada rakyat Irak, melalui PBB dengan memberikan porsi penuh terhadap kebijakan yang ditempuh.

2. Segera menarik pasukan Amerika Serikat yang berada di Irak untuk tercapainya keseimbangan keamanan, dan digantikan oleh pasukan perdamaian PBB apabila diperlukan.

3. Diperlukan satu dialog antar etnis dan faksi di Irak yang disponsori oleh PBB dengan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat akan legitimasi politik di Irak, serta dalam upaya meredam konflik horizontal antara sesama masyarakat, sehingga proses state building di Irak dapat berjalan lebih cepat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Abdul Rahman, Mustafa , Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, Jakarta:Kompas,2003.

Achmadi,Abu dan Cholid Norbuko, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.

Budiarjo,Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.

Budiarjo,Miriam, Demokrasi di Indonesia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Damhuri, Elba, Di Balik lnvasi AS ke lrak.

K. Yin, Robert Studi kasus, Desain dan metode, Jakarta: Rajawali Press,2003. Kuncahyono, Trias, Irak korban ambisi kaum hawkish,Penerbit Kompas,

Jakarta, 2005.

Nasution, M.Arif Metode Penelitian, Medan, FISIP USU Press, 2008. Nurtjahjo,Hendra, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Rahman,Mustafa Abd, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, Oktober 2003.

Setiawati, Siti Muti’ah ,Irak di Bawah Kekuasaan Amerika : Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia, Pusat Pengkajian Masalah Timur Tengah Universitas Gadjah Mada dan Badan Pengkajian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri Indonesia, Yogyakarta, 2004.

Shambazy, Budiarto (editor), Obrak Abrik Irak.

Sihbudi, Riza dkk. Profil Negara-Negara Timur Tengah, Jakarta, Pustaka Jaya, 1995.

Singarimbun, Masri & Sofyan Effendi, metode penelitian survey, LP3ES,Jakarta, 1997.


(4)

Varma , SP, Teori Politik Modern, Jakarta, 1982 Situs Internet :

http://www.caa.org.au/pr/2003/iraqreconstruction.html, “Why the UN must take a lead in post-war reconstruction in Iraq?” diakses 11 mei 2009.

http://www.fourthfreedom.org/php/print.php?hinc=UN_IRAQ.hinc, David Cortright, George A.Lopez, Alistair Millar, dan Linda Gerber,”Towards UN Administration of Iraq’s Internal Security and political transition”. diakses 11 mei 2009.

http://www.dfid.uk/news/pressreleases/files/iraq_13july03.htm. Coalition Provisional Authority, diakses 15 mei 2009.

http://www.ihlresearch.org/iraq/feature.php?a=20, International Humanitarian Law Research initiative, “Military Occupation of Iraq: application of IHL and the maintenance of law and order”. 14 April 2003. diakses 13 mei 2009.

http://www.ihlresearch.org/iraq/legal_instruments.php?view=3, diakses pada 13 Mei 2009.

http://www/kainsa.wordpress.com., Kajian internasional strategis, Iraq: pusara pertarungan aneka kepentingan, diakses pada 20 juni 2009.

http://www.kompas.com. Menuju Irak Berdaulat dan Demokratis. diakses tanggal 20 Oktober 2008.

http://www.law.unimelb.edu.au/icil/topics/iraq/RuleofLaw.ppt The rule of law and Iraq, diakses pada 12 mei 2009.

http://www.scribd.com , Country Profile: Iraq, August 2006, Library of Congress – Federal Research Division, diakses pada 15 mei 2009.

http://www.scribd.com Edel Darwish dan Gregory Alexander, The Secret History of Saddam’s war, unholy Babylon, diakses 13 mei 2009.

http://www.scribd.com Edmund A Ghareeb, Historical Dictionary of Iraq, Scarecrow Press Inc, Maryland 2004, diakses 15 mei 2009.

http://www.scribd.com Gerald Blake dkk, The Cambridge atlas of Middle East and North Africa. diakses 13 mei 2009.


(5)

http://www.scribd.com Alasdair Drysdale dan Gerald Blake, The Middle East and North Africa, A Potitical Geography, diakses 12 mei 2009.

http://www.scribd.com Country Profile: Iraq, August 2006, Library of Congress Federal Research Division, diakses 14 mei 2009.

http://www.scribd.com Weber, M, State-Building, Nation-Building, and Constitutional Politics in Post-Conflict Situations: Conceptual Clarifications and an Appraisal of Different Approaches, Max Planck Yearbook of United Nations Law, Volume 9, 2005. Diakses pada 13 Mei 2009.

http://www.scribd.com, Katzman, Kenneth, Iraq:Politics, Elections, and Benchmarks, Congressional Research Service, 22 April 2009, from http://www.crs.gov, diakses pada 20 Juni 2009.

http://www.scribd.com, Keith and Anne Mc Lachlan, Oil and Development in the Gulf. diakses 12 mei 2009.

http://www.scribd.com, Malanczuk, Peter, Akehurst’s Modern Innoduction to International law, London: Routledge.diakses 11 mei 2009.

http://www.scribd.com, The Economist, 19-25 Juli 2003, “Governing Iraq: the New Men, and Women, in Charge”diakses 11 mei 2009.

http://www.scribd.com, United Nations Assistance Mission for Iraq, Iraq election planning timeline considerations, April 2007, diakses pada tanggal 20 juni 2009.

http://www.scribd.com, William Stivers, Supremacy and Oil, Iraq, Turkey, and the Anglo-American World order 1918-1930.diakses 11 mei 2009.

http://www.scribd.com, Crisis Group,Report: War in Iraq: Political Chalengges after the Conflict, Amman/Brussels, 25 maret 2003, diakses 13 mei 2009.

http://www.scribd.com, David McDowall, The Minority Rights Group, The Kurds Report No.3, diakses 9 mei 2009.

http://www.scribd.com, The Economist, 12 April 2003, “fighting for authority” diakses 11 mei 2009.

http://www.scribd.com, The Economist, 9-15 Agustus 2003,“is the price, in blood and money too high?”, diakses pada 11 mei 2009.


(6)

http://www.un.org, Coalition provisional Authority, diakses 11 mei 2009.

Koran:

Kompas, 27 April 2003 Kompas, 2l Desember 2003. Kompas, 28 Desember 2003. Republika, 16 April 2003 Tempo, 13 April 2003