75
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dimiliki yaitu penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2010, dimana penelitian
tersebut tidak di disain secara langsung untuk meneliti masalah gizi namun di disain secara langsung untuk meneliti masalah kesehatan yang diarahkan untuk
mengevaluasi indikator Millenium Development Goals MDGs, sehingga variabel yang digunakan dalam penelitian ini terbatas hanya pada data sekunder tersebut. Hal
ini berarti data tersebut tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Sebagai akibatnya, beberapa variabel yang diperlukan dan diduga berhubungan
dengan Asupan Energi dan Protein pada Balita tidak bisa diteliti seperti seperti pengetahuan gizi ibu, ketersediaaan bahan makanan, pola asuh, sosial budaya, daya
beli dan penyakit infeksi. Pada penelitian ini menggunakan disain studi cross sectional dimana variabel-
variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama, penelitian ini cocok sekali untuk
penelitian survei. Disain ini memiliki kekurangan seperti tidak valid untuk meramalkan suatu kecenderungan, kesimpulan korelasi faktor risiko dengan faktor
efek paling lemah dan hubungan sebab akibat tidak tergambar dengan jelas. Selain itu, pengukuran konsumsi pangan 24 jam terakhir, peneliti tidak dapat menjamin
keakuratan data pengukuran konsumsi pangan 24 jam terakhir karena proses
pengambilan data dilakukan oleh banyak orang sehingga dikhawatirkan terjadi bias dalam pengukuran konsumsi pangan.
6.2 Gambaran Asupan Energi dan Protein Balita di Wilayah Indonesia Timur dan
Barat Menurut Data Riskesdas 2010
Selama masa pertumbuhan balita memerlukan asupan energi dan protein. Protein diperlukan oleh anak balita untuk pemeliharaan jaringan, perubahan
komposisi tubuh dan pertumbuhan jaringan baru Robbert, et,al. 2000. Menurut Almatsier 2003, bila konsumsi asupan energi kurang maka akan mengalami
keseimbangan negatif sehingga berat badan kurang dari seharusnya. Bila terjadi pada bayi dan anak, maka hal ini akan menghambat pertumbuhannya.
Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Indonesia Timur dan Barat didapatkan hasil bahwa asupan energi dan protein kurang pada balita di wilayah Indonesia
Timur 62,86, sedangkan wilayah Indonesia Barat 37,14. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia Timur memiliki tingkat konsumsi makanan yang mengandung
energi dan protein lebih sedikit, yaitu berdasarkan hasil penelitian Riyadi 2011 di salah satu wilayah Indonesia Timur yaitu Nusa Tenggara Timur, pada pembuatan
makanan untuk anak-anak, ibu cenderung memberikan nasi jagung tanpa lauk pauk. Hal ini akan menyebabkan anak-anak kekurangan konsumsi protein dengan
mutu baik karena konsumsi protein hanya bertumpu pada protein nabati beras yang kekurangan asam amino lysine.
Berbagai hasil penelitian dari aspek sosial budaya pangan yang pernah dilakukan di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tenggara, Papua menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah-wilayah
tersebut memiliki kebiasaan menggunakan pangan yang spesifik yang disesuaikan dengan ketersediaan pangan setempat.
Menurut Dewan Ketahanan Pangan 2006, permasalahan utama kurangnya asupan energi dan protein adalah ketidakseimbangan antara pola konsumsi pangan
dengan penyediaan produksiketersediaan pangan di masyarakat. Produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan. Disisi lain, konsumsi
pangan dilakukan oleh semua penduduk dan setiap saat dibutuhkan. Namun tidak semua wilayah menghasilkan berbagai jenis pangan yang seperti yang dianjurkan
dalam pola konsumsi pangan yang ideal. Ketidakseimbangan sebaran wilayah produksi dan pola konsumsi tersebut
antara lain menyebabkan belum tercapainya asupan energi dan protein pada balita. Upaya peningkatan produksi padi akan mengalami kesulitan karena berbagai faktor,
diantaranya: 1. Penurunan luas baku lahan sawah, 2. Penurunan kesuburan lahan, 3. Penurunan kualitas dan luas layanan sistem irigasi, 4 lambannya adopsi
teknologi pertanian, 5. kebijakan insentif yang tidak efektif, 6. Peningkatan jumlah petani gurem, 7. Masih tingginya kehilangan hasil Balitbang Pertanian, 2005.
Berikut adalah data sebaran wilayah sentra produksi pangan penting di Indonesia:
Tabel 6.1 Sebaran Wilayah Sentra Produksi Pangan Penting di Indonesia
Tahun 2006
No. Komoditas
Wilayah Sentra Produksi 1.
Padi Wilayah Barat: Jabar+Banten 20,7, Jatim 17,8, Jateng
16,3, Sumut 6,7, Sumbar dan Lampung 3. Wilayah Timur : Sulsel 7,1
2. Jagung
Wilayah Barat: Jatim 36,, Jateng 17,7, Lampung 11,6, Sumut 6,9 dan Jabar 4.
Wilayah Timur : Sulsel 6,5, dan NTT 4. 3.
Kedele Wilayah Barat :Jatim 37,9, Jateng 20,01, NAD 7, Jabar
5,4, dan Lampung 2,2. Wilayah Timur : Sulsel 4,2.
4. Kacang
Tanah Wilayah Barat: Jatim 24,4,Jateng 21,7, Jabar 14,8, dan
Sumut 3. Wilayah Timur: Sulsel 6,5 dan NTB 3.
5. Sayuran
Wilayah Barat: Jabar 36,6, Sumut 19,6, Jateng 15,1, dan Sumbar, Bengkulu, Bali masing-masing 3
Wilayah Timur: Sulsel 3 6.
Buah- buahan
Wilayah Barat: Jabar 26,9, Jatim 21,1, Jateng 12,6, Sumut 5,9, dan Sumsel, Bangka Belitung, Lampung 3.
Wilayah Timur: Sulsel 5,5, dan NTT 3. 7.
Minyak Sawit
Wilayah Barat: Sumut 39,9, Riau 21, Kalbar 6,1, NAD 6,1 DAN Sumbar 5,4.
8. Gula tebu
Wilayah Barat: Jatim 44,1, Lampung 33,3, Jateng 7,5, Jabar 4,2, dan Sumut 3,9.
9. Daging
Wilayah Barat:Jabar 21,1, Jatim 15,6, Jateng 12, Bali 8,1, Jakarta 7,7, dan Sumut 6,3.
10. Telur
Wilayah Barat: Jabar 20,8, Jatim 15,3, Jateng 14,2, Sumut 15, dan Sumbar, Sumsel, Lampung masing-masing
4. Wilayah Timur: Sulses 4.
11. Hasil
Perikanan Wilayah Barat: Sumatera 27, Jawa 25
Wilayah Timur: Sulawesi 18
Sumber : Badan Pusat Statistik 2006
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa persebaran wilayah sentra produksi pangan yang terpenting di Indonesia masih terdapat kesenjangan antara wilayah
Indonesia Timur dan Barat. Sehingga wilayah Indonesia Timur mengalami kekurangan
pangan yang
dibutuhkan untuk
kebutuhan tubuh
karena ketidakseimbangan pola produksi dan pola konsumsi. Terkait fakta tidak
seimbangnya pola produksi dan pola konsumsi berbagai jenis pangan, sehingga menempatkan pentingnya aspek distribusi pangan antar wilayah untuk menjamin
ketersediaan keanekaragaman pangan di semua wilayah di Indonesia sesuai kebutuhan penduduk setiap saat dengan jumlah, mutu dan tempat yang tepat.
Masalah yang dihadapi dalam distribusi pangan untuk menjamin upaya pemerataan konsumsi pangan antara lain menyangkut sarana transportasi jalan, angkutan,
pergudangan, sarana penyimpanan dan teknologi pengolahan untuk memudahkan distribusi pangan dari wilayah Indonesia Barat ke wilayah Indonesia Timur.
Kondisi tanah di wilayah Indonesia Timur yang secara umum bergunung dan berbukit-bukit juga sulitnya mendapatkan air bersih atau sumber air menyebabkan
tidak semua wilayah di Indonesia Timur dapat mengembangkan usaha pertanian. Berdasarkan hasil survey pertanian tanaman pangan dan ubinan BPS, 2008,
didapatkan hasil bahwa luas panen padi di wilayah Indonesia Timur sebesar 1.959.953 Ha dan luas panen padi di wilayah Indonesia Barat sebesar 10.425.289
Ha. Selain itu, hasil produksi padi di wilayah Indonesia Timur sebesar 8.861.943 ton sedangkan hasil produksi padi di wilayah Indonesia Timur sebesar 51.015.576 ton
BPS, 2008. Dari data tersebut terlihat bahwa usaha pertanian di wilayah timur lebih sedikit dibanding wilayah Indonesia Barat, sehingga menyebabkan
kesenjangan asupan energi dan protein antara wilayah Indonesia Timur dan wilayah Indonesia Barat.
6.3 Gambaran Umur Ibu Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Menurut