Gambaran Umur Ibu Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Menurut

6.3 Gambaran Umur Ibu Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Menurut

Data Riskesdas 2010 Usia produktif ibu dalam masa reproduksi berperan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Usia produktif ibu berkisar 20-35 tahun. Menurut Sediaoetama 2006, menyatakan bahwa usia berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari diluar faktor pendidikannya. Sebagaimana nilai budaya, pembelanjaan dan konsumsi makanan telah tergantikan dengan modernisasi. Umur ibu dapat dijadikan indikator taraf kesehatan balitanya. Semakin tua umur ibu maka akan semakin berpengalaman dalam merawat dan menangani masalah kesehatan anaknya. Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa rata-rata umur ibu balita di Wilayah Indonesia Timur adalah 30,42 tahun, umur minimum ibu balita adalah 12 tahun dan maksimum 50 tahun dan berada pada interval 30.12 sampai 30.71 tahun. Sedangkan rata-rata umur ibu balita di Wilayah Indonesia Barat adalah 30.37 tahun, umur minimum ibu balita adalah 15 tahun dan maksimum 50 tahun dan berada pada interval 30,23 sampai 30,51 tahun. Sehingga dapat di simpulkan bahwa rata-rata umur ibu balita di wilayah Indonesia barat dan timur tidak berbeda jauh, namun umur minimum ibu balita di wilayah Indonesia Timur lebih muda dari wilayah Indonesia Barat. Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 mengenai ketentuan calon mempelai disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 Sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas tahun. Dalam penjelasan pasal 7 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 yang menyatakan “untuk menjaga keselamatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur perkawinan. Sedangkan menurut Syafi‟I dan Hambali menetapkan bahwa usia balig untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 lima belas tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 tujuh belas tahun, sementara Hanafi menetapkan usia balig pada anak laki-laki adalah 18 delapan belas tahun dan anak perempuan 17 tujuh belas tahun Mugniyyah dalam Indah,2008. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam menetapkan dasar ketentuan umur perkawinan lebih menitik beratkan kepada pertimbangan kesehatan. Pada wilayah Indonesia Timur terlihat bahwa umur ibu balita minimal 12 tahun. Umur yang terlalu muda dapat menyebabkan kurangnya pola asuh ibu terhadap balita, dan kurangnya pengetahuan ibu tentang asupan gizi yang baik untuk balita. Selain itu, melangsungkan perkawinan pada usia muda juga dapat menimbulkan kesulitan- kesulitan yang berkaitan dengan sosial ekonomi yang akan membawa akibat yang cukup rumit dalam kehidupan rumah tangga. Dari hasil uji statistik mean whitney pada wilayah Indonesia Timur didapatkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara umur ibu dengan tingkat konsumsi energi dan protein balita di Wilayah Indonesia Timur Pvalue 0,183. Sedangkan dari hasil uji statistik mean whitney pada wilayah Indonesia Barat didapatkan bahwa ada hubungan signifikan antara umur ibu dengan asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Pvalue 0,000. Tidak adanya hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan konsumsi energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur bisa saja disebabkan karena banyak hal lain yang ikut berperan dalam pemberian makanan yang seimbang untuk balita, misalnya ibu yang berumur 20-35 tahun memiliki pengetahuannya kurang sehingga bisa menyebabkan balita mengalami asupan energi dan protein kurang. Berdasarkan analisis univariat di wilayah Indonesia Timur didapatkan hasil bahwa pendidikan ibu rendah sebesar 68,44. Selain itu berdasarkan hasil tabulasi silang antara umur ibu dengan pendidikan ibu didapatkan bahwa pendidikan ibu rendah pada ibu yang berumur 20-35 tahun lebih besar yaitu 73,3. Pendidikan rendah cenderung memiliki pengetahuan gizi yang kurang. Dengan pengetahuan gizi yang kurang dapat menyebabkan ibu kurang mampu menyelenggarakan makanan yang baik dan benar. Hal ini sesuai dengan hasil studi yang dilakukan Maden dan Yoder 1972 dalam Sanjur 1982 menemukan adanya hubungan yang negative antara peningkatan konsumsi protein, Riboflavin, fosfor, vitamin A dan Tiamin dengan semakin bertambahnya umur ibu. Umur ibu secara signifikan berhubungan positif dengan konsumsi zat gizi besi. Ada hubungan antara umur ibu dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Barat karena umur ibu antara 20-35 tahun memiliki kemampuan yang sudah cukup dalam mengurus dan merawat balita. Terbentuknya kemampuan para ibu balita di wilayah Indonesia Barat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari diluar faktor pendidikannya, seperti informasi yang didapatkan dari media. Sebagaimana nilai budaya di wilayah Indonesia Barat, pembelanjaan dan konsumsi makanan telah tergantikan dengan modernisasi. Hal ini sesuai dengan Sanjur 1982, bahwa umur ibu berpengaruh pada tipe pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya Sanjur, 1982. Menurut Astuti 2004 dalam Handayani 2012, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan balita yang memiliki kurang energi dan protein, dimana ibu yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun mempunyai peluang 1,17 kali lebih tinggi memiliki anak balita yang memiliki asupan energi dan protein kurang dibanding dengan ibu yang berumur 20- 35 tahun. Selanjutnya Hurlock 1999 dalam ningsih 2008 menyatakan bahwa faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri dari pada kepentingan anaknya. Kondisi yang demikian akan menyebabkan kuantitas dan kualitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima peranannya dengan sepenuh hati. Hal sebaliknya dinyatakan oleh Sunyoto 1991 dalam Arinta 2010 bahwa seseorang yang sudah berumur maka penerimaan terhadap hal baru akan semakin rendah. Hal ini karena orang yang termasuk dalam golongan tua memiliki kecenderungan selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima hal-hal yang sifatnya baru. Penelitian Shantica 1993 di Ponorogo menyebutkan bahwa sebesar 42,6 responden masih dipengaruhi oleh orang tua atau mertuanya dalam memberikan makanan pada balitanya. Kebiasaan yang turun menurun ini seringkali kurang sesuai dengan anjuran makanan sehat bagi balita.

6.4 Gambaran Umur Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Menurut Data

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Energi pada Ibu Hamil di Indonesia Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas Tahun 2010)

0 7 95

Gambaran Faktor-Faktor Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

19 95 155

DETERMINAN STUNTING ANAK BADUTA: ANALISIS DATA RISKESDAS 2010

0 12 49

ANALISIS PERMINTAAN DAN EFISIENSI ENERGI LISTRIK DI INDONESIA TAHUN 1990- 2010 ANALISIS PERMINTAAN DAN EFISIENSI ENERGI LISTRIK DI INDONESIA TAHUN 1990-2010.

0 3 17

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BALITA, ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN BALITA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Balita, Asupan Energi Dan Protein Balita Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyudono I Ka

0 4 11

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BALITA, ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN BALITA DENGAN STATUS Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Balita, Asupan Energi Dan Protein Balita Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyudono I Kabupaten Boyolal

0 2 17

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH TIMUR INDONESIA (ANALISIS DATA RISKESDAS 2010)

0 0 9

PERKAWINAN DINI DAN DAMPAK STATUS GIZI PADA ANAK (ANALISIS DATA RISKESDAS 2010)

0 0 11

DETERMINAN STATUS GIZI PENDEK ANAK BALITA DENGAN RIWAYAT BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI INDONESIA (ANALISIS DATA RISKESDAS 2007-2010)

0 0 11

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL DEMOGRAFI DAN KEGEMUKAN PADA PENDUDUK DEWASA DI INDONESIA TAHUN 2007 DAN 2010 (ANALISIS DATA RISKESDAS 2007 DAN 2010)

0 0 12