Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH: AYU PUNARSIH NIM: 108101000015

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1434 H / 2012 M


(2)

i

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Desember 2012


(3)

ii SKRIPSI, 25 JANUARI 2013

Ayu Punarsih, NIM: 108101000015

Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

xiv + 106 halaman + 12 tabel + 5 grafik + 5 gambar + 2 lampiran ABSTRAK

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Sejak tahun 1993 di Indonesia sudah diperkenalkan pembagian wilayah menjadi dua kawasan pembangunan, yaitu wilayah Indonesia Timur dan Barat. Menurut data riskesdas 2010 di wilayah Indonesia timur dan barat didapatkan bahwa sebagian besar anak balita di wilayah Indonesia Timur memiliki risiko mengalami malnutrisi lebih besar dari wilayah Indonesia Barat. Berdasarkan hal di atas perlu dibuktikan determinan asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Studi ini menggunakan data sekunder yaitu dengan menganalisis data dari penelitian RISKESDAS 2010 di wilayah Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei- Desember 2012. Sampel penelitian sebanyak 10.478 individu di wilayah Indonesia Barat dan 2.636 individu di wilayah Indonesia Timur. Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah (umur ibu, umur balita, status bekerja ibu, pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, tingkat ekonomi keluarga). Sedangkan untuk variabel dependen adalah asupan energi dan protein balita. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner riskesdas. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chi square dan Mean withney. Hasil penelitian menunjukkan balita yang memiliki asupan energi dan protein kurang dari kebutuhan minimal sebanyak 62,86% balita di wilayah Indonesia Timur dan 37,50% balita di Barat. Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui faktor yang berhubungan dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur yaitu umur balita, pendidikan ibu, tingkat ekonomi, jumlah anggota keluarga. Sedangkan Faktor yang berhubungan dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Barat yaitu umur ibu, umur balita, pendidikan ibu, tingkat ekonomi, jumlah anggota keluarga.

Oleh karena itu disarankan agar instansi kesehatan terkait dapat melakukan intervensi yang sesuai dengan hasil penelitian di wilayah Indonesia Timur dan Barat. Selain itu, penyebaran informasi mengenai asupan gizi yang baik untuk balita agar dapat menyeluruh ke daerah-daerah terpencil seperti pada wilayah Indonesia Timur.

Kata kunci : Asupan, Energi Dan Protein, Balita Daftar bacaan : 107 (1989-2012)


(4)

iii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

SPECIALISATION NUTRITION Paper, Januari 25 2013

Ayu Punarsih, NIM : 108101000015

Determinants of Energy and Protein Intake of Toddler in East & West

Indonesian’s Region, Year 2010 (Secondary Data Analysis of Riskesdas 2010) xiv + 106 pages + 12 tables + 5 charts + 5 images + 2 attachment

ABSTRACT

Protein Energy Malnutrition (PEM) is one of the major nutritional problems in Indonesia. Toddler is the age group that most often suffer from malnutrition. Since 1993 Indonesia has been introduced in the division of the region into two areas of

development, in the name are East Indonesian‟s Region and West Indonesian‟s Region.

According to Riskesdas 2010 data in the east and west region of Indonesia found that the majority of children under five in east region of Indonesia have a greater risk of malnutrition from the west region of Indonesia. Based on that opinion need to be proven determinant of energy and protein intake of toddler in east and west region of Indonesia.

This research is a quantitative study with cross sectional approach. This study used secondary data analysis from the study of RISKESDAS 2010 in Indonesia. The research was conducted in May-December 2012. The sample‟s research from this study are 10,478 people in west region of Indonesia, and 2636 people in east region of Indonesia. In this study, the independent variables are (maternal age, toddler age, maternal employment status, maternal education, family number, family income level). As for the dependent variables are the energy and protein intake of toddler. The instrument that used in this study is a questionnaire of Riskesdas. The data obtained is then performed with the statistical test and the chi-square formula Mean Whitney.

The results of the research showed a toodler that has less energy and protein intake from the minimum needed are 62.86% in the east Indonesian Region and 37.50% in the West Indonesian Region. Based of the bivariate result is knowed the factors that associated with the energy and protein intake in toddler at east Indonesia region are aged toddler, maternal education, economic level, number of family members. While factors related to energy and protein intake in infants in western parts of Indonesia, namely maternal age, infant age, maternal education, economic level, number of family members.

It is therefore recommended that health-related agencies to intervene in accordance with the results of research in western and eastern Indonesia. In addition, the dissemination of information on good nutrition for toddlers to be thorough to remote areas such as in eastern Indonesia.

Keywords : Energy and Protein, Intake, Toddler The reading list : 107 (1989-2012)


(5)

iv Judul Skripsi

DETERMINAN ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN PADA BALITA DI WILAYAH INDONESIA BARAT DAN TIMUR TAHUN 2010 (ANALISIS DATA

SEKUNDER RISKESDAS 2010)

Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim pembimbing dan penguji skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Januari 2013

Mengetahui

Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes


(6)

v

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Jakarta, Januari 2013


(7)

vi Nama : Ayu Punarsih

TTL : Jakarta, 4 Agustus 1990 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Ponsel : 0856 8979 021

Alamat : Jl. KH. Hasyim Ashari Gg. Almakmur Kebalen RT 06/03 No.59 Kel. Pinang, Kec. Pinang, Tangerang - Banten

E-mail : aiu_yuppy@yahoo.com / ayu.yuppi@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL

2008 – Sekarang : Peminatan Gizi, Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2005 – 2008 : SMAN 12 Tangerang (Jurusan IPA)

2002 – 2005 : SMPN 3 Ciledug- Tangerang 1996 – 2002 : SDN Pinang 3 Tangerang

PENGALAMAN ORGANISASI

2008 – sekarang : Anggota Paduan Suara Mahasiswa FKIK-UIN (PASIFIK) 2008 – 2010 : Anggota BEM Jurusan Kesehatan Masyarakat

2009 : Anggota FMITFB (Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu Burung)

PENGALAMAN KERJA

2009- Sekarang : Freelance Interviewer Polling Litbang - KOMPAS GRAMEDIA 2011 : APPL (Asisten Pengawas Pemilu Lapangan) PEMILUKADA

TANGERANG SELATAN


(8)

vii

Skripsi ini Ku Persembahkan Untuk Kedua Orang Tua Ku,. Terima Kasih Ibu Dan Bapak,.

Terima Kasih Atas Doa Ibu dan Bapak Yang Tidak Pernah Henti Untukku,.

Terima Kasih Atas Semangat Yang Diberikan , TERIMA KASIH IBU,. TERIMA KASIH BAPAK,. 

“Ya Allah, berilah mereka balasan yang sebaik

-baiknya atas didikan mereka

padaku dan Pahala yang besar atas kasih sayang yang Mereka limpahkan

kepadaku,Peliharalah mereka Sebagaimana mereka memeliharaku”

Keridhoan Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan

kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.”

(HR Tirmidzi)

AKU BUKANLAH ORANG YANG HEBAT, TAPI KU MAU BELAJAR DARI ORANG-ORANG YANG HEBAT

AKU ADALAH ORANG BIASA, TAPI AKU INGIN MENJADI ORANG YANG LUAR BIASA DAN AKU BUKANLAH ORANG YANG ISTIMEWA, TAPI AKU INGIN MEMBUAT

SESEORANG MENJADI ISTIMEWA (Kutipan)


(9)

viii

اسا كي ع ةمحرو ا ه و رب اك هت

Alhamdulillahirabbil‟alamin, wasshalatu wassalamu „ala ashrafil anbiyaai wal mursalin, wa‟ala alihi wa ash-habihi ajma‟in, amma ba‟d.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, semoga kita semua mendapatkan syafa‟at dan pertolongannya di yaumil qiyamah nanti.

Skripsi dengan judul “Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, motivasi dan semangat dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ungkapan dan rasa terima kasih yang tak terhingga ini kepada:

1. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu memberikan segala dukungan, doa dan perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Kemudian terima kasih juga untuk keluargaku yaitu kakakku Imam Punarko, S.Pd dan kedua adikku Fika Punarsari dan Ardi Punarditio atas Doanya.

2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat dan juga sebagai dosen pembimbing 2 yang dengan sabar membimbing dan membantu penulis selama penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai.

4. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes selaku pembimbing 1, terima kasih atas arahan dan bimbingan yang diberikan sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.


(10)

ix

5. Para dosen program studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing serta memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis. 6. Bapak Ahmad Gozali selaku bagian akademik, terima kasih atas bantuannya dalam

pembuatan surat-surat untuk penelitian ini.

7. Para Staf Balitbangkes Kementerian Kesehatan, terima kasih atas kepercayaannya dalam memberikan data Riskesdas 2010 sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini.

8. Kakakku Yunci Perdani Putri, SKM dan Devy Hilpiani, S.Far yang telah menjadi inspirasiku dalam mengerjakan laporan ini dan terima kasih untuk semangat dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat terbaikku sejak SMA (Devi, Aulia, dan Dona) terima kasih telah menjadikan penulis lebih mengerti arti sebuah persahabatan dan persaudaraan. 10.Sahabat-sahabat seperjuanganku Irda Septiani, Ayu Dwi Lestari, Titah Wulandari,

Avianing Kemala Ulfa dan Riska Ferdian yang selalu memberikan semangat, motivasi spiritual, serta kebersamaannya kepada penulis sehingga penulis terus bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman-teman STOOPELTH 2008, kakak-kakak, serta adik-adik kelasku yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.

12.Teman-teman PASIFIK (Paduan Suara FKIK) yang telah memberikan semangat baru dengan senandung irama musik.

13.Semua pihak yang telah membantu penulis untuk selalu semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, penulis sangat mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya, di samping itu penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih kurang dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan masukannya demi perbaikan di masa yang akan datang.

و ا اسل كي ع ةمحرو ا ه و رب اك هت

Jakarta, Januari 2013


(11)

x

ABSTRAK ... ii

ABTRACK ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PANITIA SIDANG ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 9

1.4 Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum ... 10

1.4.2 Tujuan Khusus ... 10

1.5 Manfaat 1.5.1 Bagi Instansi Kesehatan Terkait ... 11

1.5.2 Bagi Peneliti ... 12

1.6 Ruang Lingkup ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asupan Energi dan Protein ... 13

2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Asupan Energi Dan Protein Pada Balita ... 16


(12)

xi

2.2.1 Umur Ibu ... 19

2.2.2 Umur Balita ... 22

2.2.3 Status bekerja Ibu ... 24

2.2.4 Pengetahuan Gizi Ibu ... 28

2.2.5 Pendidikan Ibu ... 29

2.2.6 Ketersediaan Pangan ... 35

2.2.7 Besar Keluarga ... 35

2.2.8 Pendapatan Keluarga ... 39

2.2.9 Pola Asuh Gizi Balita ... 40

2.2.10 Penyakit Infeksi ... 41

2.3 Kerangka Teori ... 43

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep ... 44

3.2 Definisi Operasional ... 46

3.3 Hipotesis ... 48

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 49

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 49

4.4 Instrumen Penelitian ... 52

4.5 Pengolahan Data ... 57

4.6 Analisis Data ... 58

BAB V HASIL 5.1 Gambaran Wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat ... 60

5.2 Analisis Univariat ... 61

5.3 Hubungan antara umur ibu balita dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat... 67

5.4 Hubungan antara umur balita dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat ... 69


(13)

xii

5.7 Hubungan antara status bekerja ibu dengan asupan energi dan

protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat ... 71 5.8 Hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan asupan energi

dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat ... 72 5.9 Hubungan antara jumlah keluarga dengan asupan energi dan

protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat... 73 BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 75 6.2 Gambaran asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia

Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010 ... 76 6.3 Gambaran Umur Ibu balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat

menurut data riskesdas 2010 ... 80 6.4 Gambaran Umur balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat

menurut data riskesdas 2010 ... 84 6.5 Gambaran Pendidikan Ibu di wilayah Indonesia Timur dan Barat

menurut data riskesdas 2010 ... 87 6.6 Gambaran Status Bekerja Ibu di wilayah Indonesia Timur dan

Barat menurut data riskesdas 2010 ... 91 6.7 Gambaran Tingkat Ekonomi Keluarga di wilayah Indonesia

Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010 ... 97 6.8 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga di wilayah Indonesia Timur

dan Barat menurut data riskesdas 2010 ... 100 BAB VII PENUTUP

A Simpulan ... 105 B Saran ... 106 DAFTAR PUSTAKA


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

2.1 Angka Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan ... 15

4.1 Daftar variabel dan kuisioner dalam riskesdas 2010 ... 52

4.2 Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010 ... 54

4.3 Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010 ... 55

5.1 Distribusi friekuensi umur ibu balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 62

5.2 Distribusi frekuensi umur balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 63

5.3 Rata-rata umur ibu balita dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 68

5.4 Rata-rata umur balita dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 69

5.5 Distribusi pendidikan ibu dengan asupan energi an protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 70

5.6 Distribusi status bekerja ibu dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 71

5.7 Distribusi Tingkat ekonomi keluarga dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 72

5.8 Distribusi jumlah keluarga dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 73

DAFTAR GRAFIK 5.1 Distribusi frekuensi asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 61

5.2 Distribusi frekuensi pendidikan ibu di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 64

5.3 Distribusi frekuensi status bekerja ibu di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 65


(15)

xiv

5.5 Distribusi frekuensi jumlah keluarga di wilayah Indonesia Timur dan

Barat Tahun 2010 ... 67

DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar Halaman 2.1 Faktor penyebab timbulnya masalah gizi ... 17

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan ... 18

2.3 Model Konsumsi Makanan ... 19

2.4 Kerangka Teori Penelitian ... 43

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 45

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Kuisioner Riskesdas 2010

Lampiran 2 Output Stata Indonesia Timur dan Indonesia Barat

DAFTAR SINGKATAN KEP = Kurang Energi Protein

GAKY = Gangguan Akibat Kekurangan Yodium KVA = Kurang Vitamin A

AKG = Angka Kecukupan Gizi GBHN = Garis Besar Haluan Negara MDGs = Millenium Development Goals SDM = Sumber Daya Manusia

TPAK = Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja KB = Keluarga Berencana


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Masalah gizi di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama dikota-kota besar. Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Keadaan ini banyak diderita oleh kelompok balita yang merupakan generasi penerus bangsa (Supariasa, 2002).

Menurut Sediaoetama (2008), mengemukakan bahwa balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Balita juga merupakan kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya.

Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia dan sekaligus dalam rangka pengentasan kemiskinan adalah dengan meningkatkan gizi anak terutama gizi balita (BPS, 2002). Pemenuhan gizi balita salah satunya dipengaruhi oleh asupan energi dan protein yang dapat mempengaruhi perkembangan berat badan dan tinggi badan balita.

Kejadian rawan pangan menjadi masalah sangat sensitif bagi Indonesia., sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi nasional sebagai salah satu pilar ketahanan nasional dan wilayah maka pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2006, para Gubernur selaku Ketua DKP Provinsi seluruh Indonesia telah mencanangkan beberapa kesepakatan yang salah satunya adalah


(17)

menyusun rencana nasional menuju Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015 (DKP, 2009).

Makronutrien (zat gizi makro) yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak merupakan zat gizi yang sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang anak. Selanjutnya berdasarkan fungsinya ketiga zat gizi makro tersebut dibagi menjadi dua yaitu sebagai sumber energi dan protein. Energi dibutuhkan untuk pertumbuhan, metabolisme, utilisasi bahan makanan dan aktivitas. Sedangkan protein dibutuhkan untuk menyediakan asam amino bagi sintesa protein sel, hormone maupun enzim untuk mengatur metabolisme. Disamping itu protein juga dapat bertindak sebagai sumber energi tubuh (Pudjiaji, 2005).

Menurut Almatsier (2004), kekurangan pangan dalam waktu lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Dampak kurang energi protein merupakan bahaya pada periode umur balita. Pada anak-anak, Kurang Energi Protein (KEP) dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Menurut Seroeder (2001), anak balita dengan gizi kurang mempunyai resiko menurunnya perkembangan motorik, rendahnya fungsi kognitif serta kapasitas penampilan dan pada akhirnya gizi kurang memberi efek negatif tingginya risiko terhadap kematian.

Hasil penelitian di 11 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada tahun 2004 terhadap balita usia 6-59 bulan, diperoleh hasil anak dengan stunted berdasarkan indeks TB/U, diantaranya adalah Benin 28%, Ethiopia 47%, Malawi


(18)

3

47%, Mali 35%, Rawanda 40%, Zimbabwe 31%, Cambodia 36%, Nepal 44%, Colombia 16%, Haiti 20% dan Peru 22%, sedangkan anak dengan status gizi wasted berdasarkan indeks BB/TB, diantaranya adalah Benin 16%, Ethiopia 18%, Malawmi 9%, Mali 18%, Rwanda 10%, Zimbabwe 9%, Cambodia 19%, Nepal 18%, Colombia 1%, Haiti 8%, dan Peru 1 % (Arimond dan Ruel, 2004 dalam Nuraeni, 2008).

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS, 2002, 2003 dan 2005) diketahui bahwa persentase balita yang bergizi baik/normal sebesar 71,88% pada tahun 2002 dan 69,59% pada tahun 2003 dan mengalami penurunan menjadi 68,48% pada tahun 2005, sedangkan balita yang bergizi kurang/buruk atau dikenal dengan istilah Kurang Energi Protein (KEP) sebesar 25,82% pada tahun 2002 dan mengalami peningkatan pada tahun 2003 menjadi 28,17% dan pada tahun 2005 menjadi 28,04%.

Sejak tahun 1993 di Indonesia sudah diperkenalkan pembagian wilayah menjadi dua kawasan pembangunan, yaitu wilayah Indonesia Timur dan wilayah Indonesia Barat. Wilayah Indonesia Timur terdiri dari 12 propinsi yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Sedangkan wilayah Indonesia Barat terdiri dari 21 Propinsi yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu, NAD, Jambi, Lampung, Banten, Jawa tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Sumatera Barat (GBHN, 1993).


(19)

Menurut BPS (2010), salah satu ciri perbedaan wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat adalah persebaran penduduk yang tidak merata, yaitu pada wilayah Indonesia Timur yang luas geografisnya 60% dihuni oleh 15% penduduk, sedangkan pada wilayah Indonesia Barat yang luas geografisnya 40% dihuni oleh 84% penduduk. Jika dilihat dari data diatas maka dapat disimpulkan bahwa wilayah Indonesia Barat lebih padat penduduknya dibandingkan dengan wilayah Indonesia Timur.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Depkes, 2008), diketahui persentase balita gizi kurang di wilayah Indonesia timur lebih besar dibanding dengan wilayah Indonesia Barat, hal ini dapat dilihat dari prevalensi tertinggi gizi kurang di Indonesia timur sebesar 24,2 % di propinsi Nusa Tenggara Timur dan prevalensi gizi kurang terendah sebesar 11,5% di propinsi Sulawesi Utara. Sedangkan prevalensi gizi kurang tertinggi di Indonesia Barat sebesar 18,2% di Kalimantan Selatan dan prevalensi terendah gizi kurang sebesar 8,5% di DI Yogyakarta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa prevalensi gizi kurang di wilayah Indonesia timur masih diatas prevalensi nasional gizi kurang yaitu 18,4%.

Menurut data riskesdas 2010 di wilayah Indonesia timur dan barat di dapatkan prevalensi balita yang tingkat konsumsi energi dibawah kebutuhan minimal kurang dari 70% AKG sebesar 31,28 % di wilayah Indonesia Timur dan 23,87 % di wilayah Indonesia Barat. Sedangkan tingkat konsumsi protein balita dibawah kebutuhan minimal kurang dari 80% AKG yaitu sebesar 25,87 % balita di wilayah Indonesia Timur dan 15,38 % balita di wilayah Indonesia Barat. Jika dilihat dari prevalensi tersebut maka tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan


(20)

5

minimal di wilayah Indonesia Timur sudah melebihi angka rata-rata prevalensi nasional balita yang tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan minimal di seluruh Indonesia yaitu sebesar 24,7% untuk energi dan 18,4% untuk protein. Hal ini berarti bahwa sebagian besar anak balita di wilayah Indonesia Timur memiliki risiko mengalami malnutrisi lebih besar dari wilayah Indonesia Barat.

Kurangnya konsumsi protein dan energi pada Balita juga dipengaruhi oleh faktor kemiskinan. Menurut data BPS (2010), didapatkan prevalensi penduduk miskin di wilayah Indonesia Timur sebesar 20,50%, sedangkan prevalensi penduduk miskin di wilayah Indonesia Barat sebesar 10,97%.

Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia (BPS, 2008), didapatkan persentase laki-laki dan perempuan yang tidak menempuh pendidikan di wilayah Indonesia timur sebesar 7,2 % laki-laki dan sebesar 12,1 % wanita. Sedangkan persentase laki-laki dan wanita yang tidak menempuh pendidikan di wilayah Indonesia Barat sebesar 4,9 % laki-laki dan sebesar 10,2 % wanita. Jika dilihat dari jumlah persentase tertinggi di wilayah Indonesia Timur dan Barat, maka wilayah Indonesia Timur masih tertinggal dalam hal pendidikan baik laki-laki maupun wanita.

Berdasarkan data BPS (2008), didapatkan persentase balita yang mengalami keluhan kesehatan seperti diare yaitu sebesar 7,25 % di wilayah Indonesia Timur dan 5,39% di wilayah Indonesia Barat. Maka dapat disimpulkan bahwa balita yang mengalami keluhan kesehatan lebih besar prevalensinya di wilayah Indonesia Timur dibanding dengan Indonesia Barat.


(21)

Berdasarkan hasil survey pertanian tanaman pangan (BPS,2008), didapatkan data luas panen padi tahun 2008 di wilayah Indonesia Timur sebesar 1.959.953 Ha, sedangkan luas panen padi tahun 2008 di wilayah Indonesia Barat sebesar 10.425.289 Ha. Sedangkan hasil produksi padi tahun 2008 di wilayah Indonesia Timur sebesar 8.861.943 ton, dan hasil produksi padi tahun 2008 di wilayah Indonesia Barat sebesar 51.015.576 ton. Dari hasil survey tersebut dapat disimpulkan bahwa produksi padi yang merupakan salah satu sumber energi di wilayah Indonesia Barat lebih besar dibanding dengan wilayah Indonesia Timur.

Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi energi dan protein pada anak balita diantaranya umur ibu, suku ibu, status bekerja ibu, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, besar keluarga dan pendapatan keluarga. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat faktor lain seperti faktor kebudayaan yang dapat mempengaruhi konsumsi energi dan protein pada anak (Nasekhah, 2011). Berdasarkan Kusin dan Kardjati (1985) mengungkapkan bahwa keterbatasan tersedianya pangan dan kebiasaan, seperti pantangan makanan mempengaruhi mutu dan jumlah makanan yang diberikan pada anak.

Dalam penelitian Nasekhah (2011), menemukan adanya hubungan bermakna antara status bekerja ibu, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu,besar keluarga, dan pendapatan keluarga dengan Konsumsi energi dan Protein pada Batita di Kelurahan Serua pada tahun 2010. Sedangkan dalam penelitian Hermansyah (2010), terdapat hubungan bermakna antara pola asuh gizi balita, tingkat pendidikan ibu balita, dan pendapatan keluarga dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada balita di wilayah kerja puskesmas kelurahan kelapa dua Jakarta Barat.


(22)

7

Menurut Prof. Firmanzah (2012), Indonesia masih menghadapi persoalan kesenjangan kesejahteraan. Salah satunya adalah kesenjangan kesejahteraan spasial yaitu antara kawasan Barat dan Timur Indonesia. Kontribusi pembangunan dan konsentrasi industri yang masih berpusat di pulau Sumatera-Jawa-Bali ditambah dengan tingginya persentase masyarakat miskin di kawasan Timur Indonesia. Selain itu masih terbatasnya akses ke sejumlah fasilitas publik bagi masyarakat Timur Indonesia seperti kesehatan, pendidikan, listrik, jalan dan faktor produksi lain semakin memperbesar kesenjangan kesejahteraan.

Berdasarkan hal di atas diduga bahwa determinan Asupan energi dan protein berbeda antara Indonesia Timur dan Barat. Sehingga perlu diadakan penelitian mengenai “Determinan Asupan Energi dan Protein Balita Pada Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010”. Sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat melihat perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi asupan energi dan protein di wilayah Indonesia Timur dan Barat dan dapat dilakukan tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah asupan makanan balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat.

1.2. Rumusan Masalah

Konsumsi energi dan protein merupakan salah satu faktor penyebab gizi kurang pada balita. Angka Kecukupan Gizi nasional 2004 untuk konsumsi energi balita adalah sebesar 70% AKG dan Angka Kecukupan Gizi nasional 2004 untuk konsumsi protein balita sebesar 80% AKG.

Menurut data riskesdas 2010 di wilayah Indonesia timur dan barat didapatkan prevalensi balita yang tingkat konsumsi energi dibawah kebutuhan minimal kurang


(23)

dari 70% AKG sebesar 31,28 % di wilayah Indonesia Timur dan 23,87 % di wilayah Indonesia Barat. Sedangkan tingkat konsumsi protein balita dibawah kebutuhan minimal kurang dari 80% AKG yaitu sebesar 25,87 % balita di wilayah Indonesia Timur dan 15,38 % balita di wilayah Indonesia Barat. Jika dilihat dari prevalensi tersebut maka tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan minimal di wilayah Indonesia Timur sudah melebihi angka rata-rata prevalensi nasional balita yang tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan minimal di seluruh Indonesia yaitu sebesar 24,7% untuk energi dan 18,4% untuk protein. Hal ini berarti bahwa sebagian besar anak balita di wilayah Indonesia Timur memiliki risiko mengalami malnutrisi lebih besar dari wilayah Indonesia Barat.

Berdasarkan latar belakang diatas didapatkan bahwa determinan asupan energi dan protein pada balita yaitu umur balita, pendidikan ibu, jumlah keluarga, status bekerja ibu, status ekonomi, dan umur ibu. Maka disinyalir determinan asupan energi dan protein balita berbeda antara wilayah Indonesia timur dan Indonesia Barat, sehingga perlu diadakan penelitian yang membuktikan adanya perbedaan determinan asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat.

Sehubungan dengan masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Determinan Asupan energi dan protein Balita Pada Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010 (Berdasarkan Analisis Data Sekunder RISKESDAS 2010)”. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan disaat membuat


(24)

9

kebijakan kesehatan yang terkait dengan asupan makanan pada balita di masing-masing bagian wilayah Indonesia Timur dan Barat.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1.3.1 Bagaimana gambaran asupan energi dan protein pada balita, umur ibu balita, umur balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu, tingkat ekonomi keluarga dan jumlah keluarga di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010?

1.3.2 Apakah ada hubungan antara umur ibu balita terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010?

1.3.3 Apakah ada hubungan antara umur balita terhadap Asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010?

1.3.4 Apakah ada hubungan antara pendidikan ibu terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010?

1.3.5 Apakah ada hubungan antara status bekerja ibu terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010?

1.3.6 Apakah ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010?


(25)

1.3.7 Apakah ada hubungan antara jumlah keluarga terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010?

1.4. Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010 (berdasarkan analisis data sekunder riskesdas 2010).

1.4.2 Tujuan Khusus

1.4.2.1 Diketahuinya gambaran asupan energi dan protein pada balita, umur ibu balita, umur balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu, tingkat ekonomi keluarga, dan jumlah keluarga di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.2 Diketahuinya hubungan antara umur ibu balita terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.3 Diketahuinya hubungan antara umur balita terhadap Asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.4 Diketahuinya hubungan antara pendidikan ibu terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010.


(26)

11

1.4.2.5 Diketahuinya hubungan antara status bekerja ibu terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.6 Diketahuinya hubungan antara tingkat ekonomi keluarga terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.7 Diketahuinya hubungan antara jumlah keluarga terhadap asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010.

1.5. Manfaat

1.5.1 Bagi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan informasi bagi Kementerian Kesehatan dalam menentukan perencanaan kebijakan dan program penaggulangan gizi agar lebih merata ke setiap bagian wilayah Indonesia timur dan barat, khususnya dalam mewujudkan Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015.

1.5.2 Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk pengembangan ilmu dan sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan faktor apa saja yang berhubungan dengan Asupan Makanan pada balita.


(27)

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif menggunakan analisis data sekunder riskesdas dengan membandingkan “Determinan Asupan Energi dan Protein Pada Balita Di Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010”. Penelitian ini dilakukan pada Balita usia 12- 47 bulan. Variabel yang diteliti adalah umur ibu balita, umur balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu, tingkat ekonomi keluarga dan jumlah anggota keluarga dengan asupan energi dan protein. Data penelitian ini merupakan analisis data sekunder riskesdas 2010 di wilayah Indonesia timur dan barat. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi Semester 8 pada bulan Mei


(28)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asupan Energi dan Protein

Makanan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan terutama untuk pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup, suatu organisme tidak bisa tumbuh dan berkembang secara normal (Robert, 1999 dalam Lupiana, 2010).

Makronutrien atau yang disebut sebagai zat gizi makro yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak adalah jenis zat gizi yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan anak. Energi diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, utilisasi bahan makanan, dan aktivitas. Kebutuhan energi di suplai terutama oleh karbohidrat dan lemak. Walaupun protein dalam diet dapat memberikan energi untuk keperluan tersebut, fungsi utamanya yaitu untuk menyediakan asam amino bagi sintesa protein sel, dan hormone maupun enzim untuk mengatur metabolisme (Pudjiadi, 2005).

Tingkat kesehatan biasanya dipengaruhi oleh asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh seseorang, jika asupan gizi yang masuk dalam komposisi yang baik maka gizi seseorang juga akan baik. Namun jika yang terjadi adalah yang sebaliknya maka tubuh akan kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrition. Masalah tersebut disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbangan antara energi dan protein yang masuk dalam tubuh (Notoatmodjo, 1996).

Kebutuhan nutrient tertinggi per kg berat badan dalam sikulus daur kehidupan adalah pada masa bayi dimana kecepatan tertinggi dalam pertumbuhan dan metabolism terjadi pada masa ini (Kusharisupeni, 2007). Seorang anak yang sehat


(29)

dan normal akan tumbuh sesuai dengan potensi genetic yang dimilikinya. Akan tetapi asupan zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan akan mempengaruhi pertumbuhan anak. Kekurangan asupan makanan akan dimanifestasikan dalam bentuk pertumbuhan yang menyimpang dari standar (khomsan,2004).

Asupan makanan terkait dengan ketersediaan pangan namun tidak berarti jika tersedia pangan kemudian akan secara pasti setiap orang akan tercukupi konsumsi makanan yang dikonsumsinya. Apabila anak balita asupan makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan menurun sehingga akan mengalami kurang gizi dan mudah terserang penyakit infeksi, maka anak akan kehilangan nafsu makan sehingga intake makanan menjadi kurang. Dua hal inilah yang menjadi penyebab gizi kurang. Selama masa pertumbuhan anak balita memerlukan asupan energi dan protein. Protein diperlukan oleh anak balita untuk pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi tubuh dan pertumbuhan jaringan baru (Robberts,et,al. 2000 dalam nuraeni, 2008). Menurut Arisman (2004), jika asupan protein kurang pada balita maka dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan jaringan dan organ, berat badan dan tinggi badan, serta lingkar kepala. Dan menurut Unicef (1998), anak yang tidak cukup menerima asupan makan maka daya tahan tubuh (imunitas) melemah, sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya gizi kurang.

Balita dikatakan kekurangan asupan zat gizi (energi dan protein) apabila

tingkat konsumsi energi ≤ 70% AKG dan protein ≤ 80% AKG (Depkes, 2005).

Kecukupan energi dan protein untuk balita perorang perhari menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.


(30)

15

Tabel 2.1

Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata Yang Dianjurkan(Per Orang Per Hari) Golongan umur Energi (Kkal) Protein (gr)

12-47 bulan 1000 25

48-60 bulan 1550 39

Sumber : Depkes RI, 2005

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu, kegiatan fisik. Setiap orang membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup guna menunjang proses pertumbuhan dan melakukan aktivitas harian. Energi yang masuk melalui makanan harus seimbang dengan kebutuhannya, bila hal tersebut tidak tercapai akan terjadi pergeseran keseimbangan kearah negative atau positif. Keadaan berat badan seseorang dapat digunakan sebagai satu petunjuk apakah seseorang dalam keadaan seimbang, kelebihan atau kekurangan energi (Sayogo, 2006).

Sedangkan protein merupakan bagian dari semua sel-sel hidup, seperlima dari berat tubuh orang dewasa merupakan protein (Yuniastuti, 2008). Protein sebagai pembentuk energi, angka energi yang diperoleh akan tergantung dari macam jumlah bahan makanan nabati dan hewani yang dikonsumsi manusia setiap harinya. Protein dalam tubuh berfungsi untuk menyediakan energi apabila kebutuhan energi tidak tercukupi dari konsumsi karbohidrat dan lemak (Martaliza, 2010). Energi yang diperlukan tubuh hendaknya 10-15% didapat dari protein. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu seperti: telur,


(31)

susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tempe, tahu, serta kacang-kacangan lain (Almatsier, 2002).

Menurut Depkes RI (2002), kekurangan energi dan protein pada masa anak-anak akan berdampak secara langsung terhadap gangguan pertumbuhan, perkembangan dan produktifitas. Proses pertumbuhan yang terganggu tersebut akibat dari penggunaan protein tubuh sebagai sumber energi bukan pada fungsi sebagai sumber zat pembangun.

Menurut Sediaoetama (1996). Konsumsi energi dan protein lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi.

Berdasarkan hasil Penelitian Riyadi,dkk (2011) di wilayah Nusa Tenggara Timur, pada pembuatan makanan untuk anak-anak, ibu cenderung memberikan nasi jagung (tanpa lauk pauk). Hal ini akan menyebabkan anak-anak kekurangan konsumsi protein dengan mutu baik karena konsumsi protein hanya bertumpu pada protein nabati beras yang kekurangan asam amino lysine.

2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Asupan Energi dan Protein pada Balita.

Menurut Call dan Levinson (1871) dalam Supariasa (2001), Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi adalah sebagai berikut;


(32)

17

Gambar 2.1

Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Gizi

Sumber: Call dan Levinson (1871) dalam Supariasa (2001)

Sedangkan menurut Apriadji (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan yaitu terdapat faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung yaitu pendapatan keluarga, harga bahan makanan, tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Sedangkan faktor langsung yaitu daya beli keluarga, latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi, dan jumlah anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2.

Zat gizi dalam makanan

Ada tidaknya program pemberian makanan di luar keluarga

Daya beli keluarga

Pemeliharaan kesehatan Kebiasaan makan

Lingkungan fisik dan sosial

Konsumsi makanan

Kesehatan

Status gizi


(33)

Gambar 2.2

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Makanan

Sumber :Apriadji, 1986

Menurut Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989), ada 3 faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan yaitu karakteristik individu, karakteristik makanan dan karakteristik lingkungan. ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi preferensi seseorang terhadap makanan yang akhirnya akan mempengaruhi konsumsi makanan. Ketiga faktor tersebut dapat digambarkan dalam suatu model seperti pada gambar 2.3.

Pendapatan keluarga

Harga bahan makanan

Tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan

Daya beli keluarga

Latar belakang sosial budaya

Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi

Jumlah anggota keluarga


(34)

19

Gambar 2.3

Model Konsumsi Makanan

Sumber: Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989) 2.2.1 Umur Ibu

Usia produktif ibu dalam masa reproduksi berperan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Usia produktif ibu berkisar 20-35 tahun, penelitian Farida (2002) mengungkapkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan status gizi balita.

Penelitian Karyadi (2008), menemukan ibu yang berusia antara 20- 35 tahun lebih banyak anak balitanya dengan status gizi baik dibanding ibu-ibu yang lebih muda atau lebih tua dari 20-30 tahun.

Menurut Sediaoetama (2006), menyatakan bahwa usia berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat

Konsumsi makanan

Preferensi Makanan

Karakteristik Individu Karakteristik Makanan Karakteristik Lingkungan - Umur

- Jenis kelamin - Pendidikan - Pendapatan - Pengetahuan gizi - Keterampilan memasak - kesehatan - Rasa - Rupa - Tekstur - Harga

- Tipe makanan - Bentuk

- Bumbu

- Kombinasi makanan

- Musim - Pekerjaan - Mobiitas

- Perpindahan penduduk - Jumlah keluarga - Tingkatan sosial pada


(35)

diperoleh melalui pengalaman sehari-hari diluar faktor pendidikannya. Sebagaimana nilai budaya, pembelanjaan dan konsumsi makanan telah tergantikan dengan modernisasi. Dapat diasumsikan bahwa kemampuan pemilihan makanan ibu rumah tangga muda akan berbeda dengan kemampuan pemilihan makanan pada ibu rumah tangga yang telah berumur lebih tua dan pola pembelian makanan ibu rumah tangga muda cenderung lebih terpengaruh kepada orang tuanya. Umur ibu berpengaruh pada tipe pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya (Sanjur, 1982) dalam Suhardjo (1989).

Selanjutnya Hurlock (1999) dalam Ningsih (2008) menyatakan bahwa faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri dari pada kepentingan anaknya. Kondisi yang demikian akan menyebabkan kuantitas dan kualitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima peranannya dengan sepenuh hati. Hal sebaliknya dinyatakan oleh Sunyoto (1991) dalam Arinta (2010) bahwa seseorang yang sudah berumur maka penerimaan terhadap hal baru akan semakin rendah. Hal ini karena orang yang termasuk dalam golongan tua memiliki kecenderungan selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima hal-hal yang sifatnya baru.

Penelitian Shantica (1993) di Ponorogo menyebutkan bahwa sebesar 42,6% responden masih dipengaruhi oleh orang tua atau mertuanya dalam


(36)

21

memberikan makanan pada balitanya. Kebiasaan yang turun menurun ini seringkali kurang sesuai dengan anjuran makanan sehat bagi balita.

Penelitian Susenas (1986) dalam Alibbirwin (2001) menunjukkan ada hubungan antara umur ibu dengan status gizi balita. Pada hasil tersebut terlihat bahwa balita yang ibunya berumur 20-35 tahun memiliki status gizi yang baik. Status gizi balita salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi makanan yang adekuat. Kusin dan Kardjati (1985) menyatakan bahwa salah satu hal yang berhubungan dengan penyimpangan pertumbuhan dan kurang gizi pada anak adalah kurang cukupnya konsumsi makanan yang diterima oleh anak.

Berdasarkan penelitian Sanjur (1982) dalam Suhardjo (1989). menunjukkan hubungan yang nyata antara umur ibu dengan konsumsi energi dan protein pada anak. Sedangkan dalam penelitian Handayani, didapatkan hasil bahwa semakin tua umur ibu balita maka proporsi balita yang mengalami gizi kurang semakin kecil. Dan menurut Sampoerno dan Azwar (1987), seorang wanita muda akan cenderung mengalami kesulitan dalam merawat anak atau balitanya dikarenakan kurang pengalaman dalam hal merawat atau mengasuh anak dan dalam memberikan asupan makanan yang baik untuk balita sehingga dapat menyebabkan anak atau balita menderita KEP. Sebaliknya menurut Soeprono (1982) dalam Mahliawati (2010), seorang wanita yang sudah berumur memiliki kemunduran fungsi fisiologis dan reproduksi secara umum. Sehingga akan sulit dalam


(37)

mengasuh anak dan dalam memberikan asupan makanan yang baik bagi anak.

2.2.2 Umur Balita

Umur ialah masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan kebawah atau umur pada ulang tahun terakhir (Depkes, 2008). Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya (intergenerational impact) (Azwar, 2004 dalam Rizki, 2011). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi asupan makanan adalah karakteristik individu yaitu umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, lama bekerja, pendidikan dan pengetahuan gizi (Suhardjo, 1989).

Umur merupakan faktor gizi internal yang menentukan kebutuhan gizi, sehingga umur berkaitan erat dengan status gizi balita (Apriadji, 1986). Hasil beberapa penelitian menemukan bahwa pada umur dibawah 6 bulan kebanyakan bayi masih dalam keadaan status gizi baik, sedangkan pada golongan umur setelah 6 bulan jumlah bayi yang berstatus gizi baik menurun sampai 50% (Soekirman, 2000). Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita, kebutuhan gizi pada usia tersebut meningkat sedangkan ASI sudah tidak mencukupi, disamping makanan sapihan tidak diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya diare karena kontaminasi pada makanan yang diberikan (Abunain, 1979 dalam Mulyanawati, 2002).

Setelah anak umur satu tahun, pertumbuhannya berjalan sangat pesat dibanding pertumbuhan pada umur dewasa. Namun demikian, dalam daur


(38)

23

kehidupan masa antara umur satu tahun hingga remaja pertumbuhan fisiknya tidak terlalu cepat. Dalam masa ini, kebutuhan anak balita akan zat gizi harus tetap diperhatikan. Anak balita sangat membutuhkan asupan protein dan energi yang adekuat untuk proses pertumbuhan dan perkembangan (King, et al., 1972 dalam Anggraini, 2012). Pada umur balita sangat rentan mengalami masalah gizi terutama umur 2 tahun, karena asupan energi dan protein pada masa ini cukup sedikit. Dalam umur ini terjadi peningkatan berat badan yang lambat bahkan penurunan berat badan pada beberapa anak (Jelliffe, 1969 dalam Supariasa, 2002).

Hasil penelitian Kunanto (1992), menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur balita dengan status gizi. Hal ini berkaitan dengan menurunnya perhatian orang tua anak tersebut, yang mungkin disebabkan oleh adanya anak yang lebih muda (Adik) atau kesibukan orangtua anak tersebut. Sedangkan hasil penelitian Sari, dkk (2003), didapatkan bahwa balita usia 25 bulan sampai 36 bulan lebih banyak mengalami gizi kurang di banding dengan usia dibawah 24 bulan.

Faktor umur banyak terkait dengan masalah pertumbuhan dan aktivitas anak. Periode pertumbuhan yang sangat cepat terjadi pada bayi dan awal balita. Pada usia 6-12 bulan percepatan pertumbuhan yang sangat cepat terjadi pada bayi dan awal balita. Pada usia 6-12 bulan percepatan pertumbuhan berat badan rata-rata 0,4 kg/bulan dan 13-23 bulan percepatannya 0,2 kg/bulan (Jahari,2004).


(39)

Semakin tua usia anak maka semakin baik status gizinya pada kelompok yang diberi ASI. KEP tertinggi juga ditemukan pada kelompok anak usia 1 tahun yang mulai di sapih (Suhardjo, 1989). Menurut Notoatmodjo (2003), anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan penyakit, dikarenakan beberapa anggapan bahwa balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa, biasanya balita juga sudah mempunyai adik atau ibu yang sudah bekerja penuh sehingga perhatian ibu sudah berkurang. Selain itu anak balita belum dapat mengurus dirinya sendiri, termasuk dalam pemilihan makanan.

Menurut Ruslina (2000) yang menyatakan pada anak umur 0-12 bulan tidak terjadi KEP karena pada umur tersebut pemberian ASI saja sudah dapat mencukupi seluruh kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan, kemudian setelah usia 6 bulan sampai 12 bulan ASI dapat memenuhi kebutuhan bayi sebanyak 60-70%, karena itu pada usia 6-12 bulan bayi sudah perlu diberikan makanan pendamping ASI, dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi umur balita maka semakin besar peluang untuk mengalami kurang asupan energi dan protein.

2.2.3 Status Bekerja Ibu

Menurut Djaeni (2000), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat


(40)

25

bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal 12 ayat 1 Undang-undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986.

Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja terutama di sector swasta. Di satu sisi hal ini berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negative terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan pada anak yang kurang dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka. Beban kerja yang berat pada ibu yang melakukan peran ganda dan beragam akan dapat mempengaruhi status kesehatan ibu dan status gizi balitanya (Mulyati, 1990 dalam Hermansyah, 2010).

Pada dasarnya hal ini dapat dikurangi dengan merubah pembagian kerja dalam rumah tangga. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita kekurangan energi dan protein (KEP). Beberapa kondisi yang merugikan dalam penyediaan makan bagi kebutuhan balita, anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke orang dewasa, jadi balita masih perlu beradaptasi. Anak balita belum dapat mengurus diri sendiri dengan baik dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang dibutuhkan dalam makanannya (Djaeni, 2000).

Dalam hal mengasuh anak, ibu adalah orang yang paling banyak terlibat sehingga pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan anak. Faktor


(41)

peranan wanita atau ibu rumah tangga sangat erat kaitannya dengan status gizi anak, Karena meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi waktu untuk pemeliharaan anak (Mutmainah, 1996). Ibu yang bekerja diluar rumah mempunyai kecenderungan menyerahkan pemberian makanan untuk balitanya dengan orang lain, misalnya kepada orang tua, pembantu atau titip dengan tetangga, sehingga pemberian asupan makanan balita tidak dapat dipantau dengan baik. Kemampuan dalam memberikan asupan gizi balita merupakan sesuatu yang ditampilkan ibu dalam upaya memenuhi kecukupan gizi balita. Penyediaan makanan bagi keluarga pada umumnya merupakan tugas seorang ibu (Sediaoetama, 2004). Ibu mempunyai peranan yang penting dalam memberikan asupan gizi pada balitanya. Kecukupan gizi sangat diperlukan untuk pertumbuhan otak terutama pada masa balita, sehingga ibu diharapkan memiliki kemampuan yang baik dalam memberikan asupan gizi untuk balita (Depkes RI, 2000).

Kunanto (1992) dalam Hatril (2001) menjelaskan bahwa mata pencaharian yang relative tetap meskipun rendah jumlahnya akan memberikan jaminan sosial keluarga yang relative lebih aman dibandingkan dengan pekerjaan yang tidak tetap. Selanjutnya dengan penghasilan yang memadai akan memudahkan dalam mengelola pengeluaran untuk pangan yang beranekaragam dan sesuai dengan menurut kebutuhan keluarga.

Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita kekurangan energi dan protein (KEP). Beberapa kondisi yang merugikan dalam penyediaan makan bagi kebutuhan balita, anak balita masih dalam


(42)

27

periode transisi dari makanan bayi ke orang dewasa, jadi balita masih perlu beradaptasi. Anak balita belum dapat mengurus diri sendiri dengan baik dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang dibutuhkan dalam makanannya (Djaeni, 2000).

Dampak dari pekerjaan ibu menurut beberapa studi mengemukakan bahwa selain berkontribusi terhadap pendapatan keluarga, status pekerjaan ibu berdampak pada keadaan gizi dan kesehatan keluarga yaitu ditunjukkan dengan adanya perubahan dalam praktek konsumsi makanan keluarga (Sanjur, 1982) dalam Suhardjo (1989). Dampak ini akan jelas terlihat pada anak-anak kecil yang berada dalam suatu keluarga dengan status pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah, maka akan menyerahkan segala perawatan balitanya kepada orang yang mengasuhnya (keluarga, tempat penitipan anak) termasuk juga mengenai pola makanan sehari-harinya. Mereka merupakan orang yang penting pada saat ibu bekerja di luar rumah. Pengganti orang ini belum tentu mengerti dan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kebutuhan gizi yang diperlukan untuk anak balita sehingga akan mempengaruhi status gizi anak balita tersebut (Bumi, 2005).

Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan keluarga, dengan adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatannya setiap bulan. Jika keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap, maka pendapatan keluarga setiap bulannya juga tidak dapat dipastikan. Buruh merupakan kelompok pekerjaan dengan pendapatan terbatas (Khomsan,et al 2009).


(43)

Beeby (1982) dalam Hatril (2001) mengemukakan bahwa pekerjaan ditentukan oleh pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan terdapat kecenderungn untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan berpenghasilan tetap. Status bekerja ibu merupakan karakteristik ekonomi yang berhubungan dengan pendapatan. Ibu meninggalkan rumah untuk bekerja memiliki masalah yang berkaitan dengan siapa yang memberikan pelayanan di rumah termasuk siapa yang mengasuh balita. Soekirman, dkk (2000) menyatakan bahwa meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi waktu untuk tugas merawat anak dan memberikan asupan makanan yang sesuai kebutuhan. Dalam mengasuh anak, ibu adalah orang yang paling banyak terlibat sehingga pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan balita. Peran sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga sangat erat kaitannya dengan status gizi anak. Menurut Harahap (1992) dalam Handayani (2012), mengemukakan bahwa salah satu dampak negative yang ditimbulkan sebagai akibat bekerjanya ibu di luar rumah adalah ketelantaran balita, sebab anak balita bergantung pada pengasuhnya. 2.2.4 Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi sesudah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng (Notoatmodjo, 2007).


(44)

29

Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan cara wawancara terstruktur dengan kuisioner. Aspek-aspek dalam pengetahuan gizi yaitu; a) pangan dan gizi (pengertian, jenis, fungsi, sumber, akibat kekurangan), b) pangan gizi bayi (ASI, MP-ASI, umur pemberian, jenis), c) pangan/gizi balita, d) pangan/gizi ibu hamil, e) pertumbuhan anak, f) kesehatan anak, g) pengetahuan tentang pengasuhan anak. Kategori pengetahuan gizi bisa dibagi dalam 3 kelompok yaitu baik, sedang, kurang. Cara pengkategorian dilakukan dengan cut off points dari skor yang sudah dijadikan persen, yaitu baik dengan skor >80% jawaban benar, sedang dengan skor 60-80% jawaban benar, dan kurang dengan skor < 60% jawaban benar (Khomsan,2004).

Hasil penelitian Syahbudin (2002) di puskesmas Munjul Kecamatan Majalengka mengatakan bahwa meskipun pengetahuan ibu bukan merupakan faktor penyebab langsung terjadinya gizi kurang namun terbukti bahwa pengetahuan ibu tentang gizi ada hubungan bermakna dengan terjadinya gizi kurang pada balita. Hasil penelitian Mulyaningsih (2007) di Kecamatan Cilincing Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan proporsi ibu yang mempunyai pengetahuan kurang memiliki anak gizi kurang lebih tinggi yaitu 36,1% dibanding ibu yang memiliki pengetahuan baik (28,6%).

2.2.5 Pendidikan Ibu

Pendidikan merupakan suatu proses penyampaian bahan materi pendidikan kepada sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil


(45)

pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. (Notoatmodjo,2007). Menurut Depdiknas (2001), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Latar belakang pendidikan orang tua baik kepala keluarga maupun istri merupakan salah satu unsur penting dalam hal ikut menetukan keadaan gizi anak. Hubungan positif antara tingkat pendidikan orang tua dengan keadaan gizi telah banyak diungkapkan oleh para peneliti. Pada masyarakat dengan rata-rata pendidikan rendah, menunjukkan prevalensi gizi kurang yang tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang tingkat pendidikannya cukup tinggi prevalensi gizi kurangnya rendah (Abunain, 1998 dalam Soekirman, 2000).

Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007), pendidikan adalah suatu proses penyampaian bahan, materi pendidikan kepada sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin banyak pengalaman atau informasi yang diperoleh. Ibu yang berpendidikan rendah biasanya apatis terhadap hal-hal baru, sehingga merupakan kendala besar untuk meningkatkan kesehatannya. Pendidikan yang rendah juga berpengaruh kepada pola konsumsi gizi keluarga sehingga mempengaruhi berat lahir dan kematian neonatal (Ronoatmodjo,1996 dalam Mahliawati, 2010).


(46)

31

Pendidikan bertujuan memberikan pengetahuan kepada keluarga, khususnya kaum perempuan tentang gizi seimbang, memantau berat badan balita, pengasuhan balita yang benar, serta mendorong pola hidup sehat lainnya (Soekirman dalam Siswono, 2007).

Rendahnya pendidikan orangtua khususnya ibu merupakan penyebab mendasar terpenting yang mempengaruhi tingkat kemampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya yang ada untuk mendapatkan kecukupan bahan makanan serta sejauh mana sarana pelayanan kesehatan gizi dan sanitasi lingkungan yang tersedia dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya (Depkes RI, 2005).

Pendidikan ibu menjadi dasar yang penting bagi keluarga karena dengan semakin tinggi pendidikan maka lebih memudahkan untuk beradaptasi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi dan mempengaruhi pula produktivitas dan kesejahteraan keluarga. Pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pengetahuan gizi (Surbakti, 1989). Hal ini terlihat dari pengetahuan ibu tentang memilih bahan makanan yang bernilai gizi baik dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam pengolahan sangat mempengaruhi status gizi balita (Khumaidi, 1994).

Menurut Hidayat (1989), tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Makin tinggi pendidikan orang tua makin baik status gizi anaknya (Soekirman, 2000).


(47)

Faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang meraka peroleh (Apriadji,1986 dalam Nuraeni, 2008). Setiap kenaikan satu tahun pendidikan ibu mempunyai efek proteksi memperkecil risiko terjadinya KEP pada balita sebesar 0,89 kali. Pendidikan ibu merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi (Amos,2000).

Hasil penelitian Mulyaningsih (2007) di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung bahwa terdapat kecenderungan pada ibu yang berpendidikan rendah mempunyai anak dengan status gizi kurang lebih tinggi (33,7%) dibanding dengan ibu yang berpendidikan tinggi dengan anak gizi kurang (28,6%) dan terdapat kecenderungan positif antara pendidikan ibu dengan asupan protein. Sedangkan menurut hasil penelitian Riyadi, dkk (2011) di wilayah Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa pendidikan ibu yang relative tinggi dapat meningkatkan pengetahuan gizi serta praktek gizi dan kesehatan, yang secara tidak langsung memperbaiki kebiasaan makan anak, yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi energi dan protein balita. Semakin tinggi pendidikan ibu diikuti oleh semakin mudahnya akses ibu untuk memperoleh informasi gizi dan kesehatan, sehingga berhubungan positif terhadap peningkatan konsumsi energi dan protein balita.

Tingkat pendidikan dan intelegensi ibu yang tinggi dapat bertindak sebagai faktor protektif yang mengurangi keadaan gizi kurang dalam awal usia anak-anak terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, kondisi gizi yang sama cenderung menimbulkan efek yang lebih buruk terhadap


(48)

33

perkembangan anak jika ibunya buta huruf atau mempunyai pendidikan yang rendah (Gibney JM, 2009).

Pada penelitian Fikar (2003) di Padang, menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan KEP pada anak dimana ibu yang berpendidikan rendah berisiko KEP pada anaknya 4,07 kali lebih besar dibanding dengan ibu yang berpendidikan tinggi (p<0,05; 95%CI; 2,262-7,308).

Pendidikan ibu dapat memperbaiki cara penggunaan sumber daya keluarga dan memberi dampak positif terhadap taraf gizi keluarga. Pendidikan ibu akan menentukan pemilihan bahan makanan yang dikonsumsi. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi oleh praktek-praktek tradisional yang merugikan kualitas dan kuantitas makanan untuk dikonsumsi keluarga setiap harinya (Schultz et.al, 1984 dalam Ichwanudin,2002).

Selanjutnya rendahnya tingkat pendidikan dapat menyebabkan rendahnya pemahaman terhadap apa yang dibutuhkan pada pengasuh demi perkembangan optimal anak (Mutmainah, 1996). Hal ini terlihat dari pengetahuan ibu tentang memilih bahan makanan yang bernilai gizi baik dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam pengolahan sangat

mempengaruhi status gizi balita (Khumaidi, 1994). Menurut Jus‟at (1992)

dalam Handayani (2012), bahwa tingkat pendidikan ibu sangat berperan terhadap pola asuh anak, alokasi masukan zat gizi serta utilisasi informasi lainnya dan sekaligus menggambarkan tingkat ekonomi rumah tangga.


(49)

Menurut Owor, dkk (2000) dalam (Nasekhah 2010) menemukan bahwa meskipun tinggi tingkat pendidikan ibu di Nigeria, anak-anak mereka memiliki kecenderungan menderita kurang energi dan protein. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi pendidikan ibu, kesempatan untuk meningkatkan status sosial ekonomi juga semakin tinggi, oleh karena itu mereka memiliki waktu yang terbatas untuk mengasuh anak dan mereka memilih tempat penitipan anak.

Teori yang diungkapkan Rodriguez (2004), bahwa salah satu faktor yang menentukan perilaku makan adalah pendidikan. Pendidikan dapat menentukan mudah tidaknya seseorang menerima nasehat atau pesan-pesan gizi sehingga dalam memberikan penyuluhan terhadap seseorang rharus memperhatikan pendidikannya. Menurut Soekidjo (2007), selain itu unsur pendidikan ibu berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak diantaranya kebiasaan makan. Sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuhnya yang juga miskin dan tidak berpendidikan.

Pendidikan ibu menjadi dasar yang penting bagi keluarga karena dengan semakin tinggi pendidikan maka lebih memudahkan untuk beradaptasi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi dan mempengaruhi pula produktivitas dan kesejahteraan keluarga. Pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pengetahuan gizi (Surbakti, 1989).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kandun, dkk (1988) yang mendapatkan sebesar 95,9% balita tidak naik berat badannya mempunyai ibu yang berpendidikan SD ke bawah. Kartono,dkk (1993) mendapatkan


(50)

35

hasil yang sama dengan penelitian Kandun yaitu tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap kenaikan berat badan balita. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, cenderung mempunyai balita yang berat badannya naik. 2.2.6 Ketersediaan Pangan

Asupan zat gizi (energi dan protein) dipengaruhi oleh ketersediaan pangan ditingkat keluarga dan jika tidak cukup dapat dipastikan konsumsi setiap anggota keluarga tidak terpenuhi (Depkes RI, 2002). Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan (Apriadji, 1986). Sedangkan menurut Setiyabudi (2007), setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup baik maupun mutu gizinya.

2.2.7 Besar Keluarga

Urutan kelahiran merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pola pertumbuhan anak dan balita dalam satu keluarga. Anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam mengurusnya juga kurang bisa menciptakan suasana tenang didalam rumah. Lingkungan keluarga yang selalu ribut akan mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara langsung akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlalu peka terhadap suasana yang kurang mengenakan, dan jika pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan jumlah anggota keluarga banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan didalam keluarga kurang terjamin,


(51)

maka keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah tercukupi dengan demikian penyakitpun terus mengintai (Apriadji, 1996). Berg (1986) dalam Reno (2008), menunjukkan bahwa rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar memiliki resiko kelaparan empat kali lebih besar dibanding keluarga yang memiliki anggota keluarga kecil, dan beresiko pula mengalami gizi kurang sebanyak lima kali lebih besar dibanding keluarga yang memiliki anggota keluarga kecil. Jumlah anggota keluarga yang besar akan mempengaruhi distribusi makanan terhadap anggota keluarga, terutama pada anggota keluarga miskin yang terbatas kemampuannya dalam penyediaan makanan, sehingga akan beresiko terhadap gizi kurang.

Sedangkan menurut Amos (2000), menyatakan bahwa ada hubungan antara jumlah anak dengan status gizi. Semakin banyak jumlah anak maka semakin besar risiko menderita kurang energi protein (KEP). Menurut Suhendri (2009), jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan social ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima oleh anak. Lebih-lebih jika jarak anak terlalu dekat.

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memahami kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk mencegah gangguan


(52)

37

gizi pada keluarga yang besar tersebut. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Tahun –tahun awal masa kanak-kanak yang biasanya meliputi 1-6 tahun, adalah yang paling rawan. Kurang energi protein berat akan sedikit dijumpai bila jumlah anggota keluarga lebih kecil (Suhardjo, 2003).

Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orangtua. Semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, maka ada kecenderungan bahwa orangtua tidak begitu menerapkan pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan waktunya terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lainnya (Sofia, 2009 dalam Suparyanto, 2010).

Jumlah anggota keluarga dan banyaknya balita dalam keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi makanan yaitu jumlah dan distribusi makanan dalam rumah tangga. Dengan jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan anak balita dalam keluarga tersebut menderita kurang energi dan protein. (Berg, Alan, 1973 dalam Syahbudin, 2002).

Menurut Jalal dan Soekirman (1990), bahwa terdapat hubungan antara asupan gizi balita dengan pendapatan keluarga berdasarkan perbedaan jumlah anggota keluarga. Semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah jumlah anggota keluarga maka semakin baik jumlah asupan makanan yang


(53)

diterima balita. Menurut Berg (1986), kemungkinan kelaparan pada rumah tangga yang mempunyai anggota banyak empat kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang mempunyai anggota sedikit, sedangkan anak-anak yang hidup pada rumah tangga yang mempunyai anggota banyak mempunyai kemungkinan lima kali lebih besar disbanding dengan rumah tangga yang mempunyai jumlah anggota keluarga sedikit. Jumlah anggota keluarga dan jumlah balita dalam keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi makanan yaitu jumlah dan distribusi makanan dalam keluarga. Dengan jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan anak balita dalam keluarga tersebut menderita kurang asupan energi dan protein.

Sayogyo (1986) dalam Hatril (2001) mengemukakan bahwa jumlah keluarga memiliki kaitan dengan banyaknya individu yang dipenuhi kebutuhan gizinya. Kualitas dan kuantitas makanan yang bergizi yang harus disediakan keluarga akan semakin meningkat dan bervariasi dengan komposisi rumah tangga. Apabila pembagian untuk masing-masing anggota keluarga tidak baik, maka akan terjadi persaingan dalam konsumsi makanan sehingga balita akan mudah tersisih dan memperoleh bagian yang kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuhnya untuk tumbuh dan berkembang.

Menurut Mursalin (1993) dalam Nasekhah (2010) menyatakan bahwa konsumsi pangan dipengaruhi oleh jumlah keluarga. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kehamilan antar anak yang amat dekat akan


(54)

39

menimbulkan lebih banyak masalah. Dalam acara makan bersama seringkali anak-anak yang lebih kecil akan mendapatkan jatah makan yang kurang mencukupi karena kalah dengan kakanya yang makannya lebih cepat dan dengan porsi sekali suap yang lebih besar pula. Jika pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan didalam keluarga kurang bisa dijamin. Keluarga ini bisa disebut keluarga rawan gizi, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah tercukupi (Pudjiadi, 1986).

2.2.8 Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan tentang kuantitas dan kualitas makanan. Ada hubungan yang erat antara pendapatan yang meningkat dan gizi yang didorong oleh pengaruh menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi.

Rendahnya pendapatan orang-orang miskin dan lemahnya daya beli memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif terutama untuk anak-anak mereka (Suhardjo, 1989 dalam Nuraeni 2008). Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi keluarga. Makin rendah pendapatan keluarga, makin besar peluang keluarga tersebut mempunyai balita yang berstatus gizi kurang. Bayi dan anak-anak balita adalah kelompok yang sangat sensitive terhadap kualitas konsumsi pangan keluarga (Tabor,dkk, 2000 dalam Ichawanuddin, 2002).


(1)

cukup | .6249808 .0063693 .6124903 .6374713 ---+--- status_ekonomi |

rendah | .4705819 .0073722 .4561248 .4850391 tinggi | .5294181 .0073722 .5149609 .5438752 ---+--- didik_ibu |

rendah | .6277184 .0073624 .6132805 .6421563 tinggi | .3722816 .0073624 .3578437 .3867195 ---+--- kerja_ibu |

bekerja | .5276822 .0070048 .5139456 .5414189 _prop_8 | .4723178 .0070048 .4585811 .4860544 ---+--- jumlah_keluarga |

besar | .4780863 .006063 .4661965 .4899762 kecil | .5219137 .006063 .5100238 .5338035 --- . svy:mean B4K7THN_IBU B4K7BLN

(running mean on estimation sample) Survey: Mean estimation

Number of strata = 21 Number of obs = 10478 Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177 Design df = 2210 --- | Linearized

| Mean Std. Err. [95% Conf. Interval] ---+--- B4K7THN_IBU | 30.37083 .0712186 30.23117 30.51049 B4K7BLN | 29.6246 .1024455 29.4237 29.8255 --- . svy: mean B4K7THN_IBU, over ( konsumsi_kat)

(running mean on estimation sample) Survey: Mean estimation

Number of strata = 21 Number of obs = 10478 Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177 Design df = 2210 kurang: konsumsi_kat = kurang

cukup: konsumsi_kat = cukup ANALISIS BIVARIAT

--- | Linearized


(2)

---+--- B4K7THN_IBU |

kurang | 30.07045 .1128775 29.84909 30.29181 cukup | 30.55108 .0857282 30.38296 30.71919 --- . svy:mean B4K7BLN, over ( konsumsi_kat)

(running mean on estimation sample) Survey: Mean estimation

Number of strata = 21 Number of obs = 10478 Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177 Design df = 2210 kurang: konsumsi_kat = kurang

cukup: konsumsi_kat = cukup

--- | Linearized

Over | Mean Std. Err. [95% Conf. Interval] ---+--- B4K7BLN |

kurang | 26.36732 .1719405 26.03014 26.7045 cukup | 31.57912 .1262951 31.33145 31.82679 --- . svy:tabulate status_ekonomi konsumsi_kat, obs row percent (running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 21 Number of obs = 10478

Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177

Design df = 2210

--- | konsumsi energi dan status | protein ekonomi | kurang cukup Total ---+--- rendah | 46.87 53.13 100 | 2324 2579 4903 |

tinggi | 29.17 70.83 100 | 1651 3924 5575 |

Total | 37.5 62.5 100 | 3975 6503 1.0e+04 --- Key: row percentages


(3)

number of observations Pearson:

Uncorrected chi2(1) = 348.9499

Design-based F(1, 2210) = 261.9065 P = 0.0000 svy:tabulate didik_ibu konsumsi_kat, obs row percent

(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 21 Number of obs = 10478

Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177

Design df = 2210

--- | konsumsi energi dan pendidika | protein n ibu | kurang cukup Total ---+--- rendah | 43.19 56.81 100 | 2894 3739 6633 |

tinggi | 27.92 72.08 100 | 1081 2764 3845 |

Total | 37.5 62.5 100 | 3975 6503 1.0e+04 --- Key: row percentages

number of observations Pearson:

Uncorrected chi2(1) = 243.5021

Design-based F(1, 2210) = 183.0974 P = 0.0000 svy:tabulate kerja_ibu konsumsi_kat, obs row percent

(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 21 Number of obs = 10478

Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177

Design df = 2210

--- | konsumsi energi dan pekerjaan | protein ibu | kurang cukup Total ---+--- bekerja | 37.04 62.96 100 | 2078 3476 5554


(4)

|

tidak be | 38.02 61.98 100 | 1897 3027 4924 |

Total | 37.5 62.5 100 | 3975 6503 1.0e+04 --- Key: row percentages

number of observations Pearson:

Uncorrected chi2(1) = 1.0678

Design-based F(1, 2210) = 0.7519 P = 0.3860 svy:tabulate jumlah_keluarga konsumsi_kat, obs row percent (running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 21 Number of obs = 10478

Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177

Design df = 2210

--- jumlah | konsumsi energi dan anggota | protein keluarga | kurang cukup Total ---+--- besar | 39.85 60.15 100 | 2022 3005 5027 |

kecil | 35.35 64.65 100 | 1953 3498 5451 |

Total | 37.5 62.5 100 | 3975 6503 1.0e+04 --- Key: row percentages

number of observations Pearson:

Uncorrected chi2(1) = 22.5222

Design-based F(1, 2210) = 19.2797 P = 0.0000 . svy:logit konsumsi_kat status_ekonomi, or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 21 Number of obs = >10478

Number of PSUs = 2231 Population size = > 10200177 Design df => 2210


(5)

F( 1, 2210) => 258.20 Prob > F => 0.0000 ---

> ---

| Linearized

konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf.

> Interval]

---+---

> ---

status_eko~i | 2.142082 .1015517 16.07 0.000 1.951912 > 2.350779

_cons | 1.13343 .039934 3.55 0.000 1.057762 > 1.21451

---

> ---

. svy:logit konsumsi_kat didik_ibu, or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 21 Number of obs => 10478 Number of PSUs = 2231 Population size => 10200177 Design df => 2210

F( 1, 2210 = > 180.51 Prob > F = > 0.0000

---

> ---

| Linearized

konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf.

> Interval]

---+---

> ---

didik_ibu | 1.962504 .0984829 13.44 0.000 1.778574 > 2.165455

_cons | 1.315589 .0420961 8.57 0.000 1.235574 > 1.400786

---

OUTPUT ODDS RATIO

. svy:logit konsumsi_kat kerja_ibu, or (running logit on estimation sample)


(6)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 21 Number of obs => 10478 Number of PSUs = 2231 Population size => 10200177 Design df => 2210 F( 1, 2210) => 0.75 Prob > F => 0.3860 ---

> ---

| Linearized

konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf.

> Interval]

---+---

> ---

kerja_ibu | .9591017 .0461878 -0.87 0.386 .8726711 > 1.054092

_cons | 1.699818 .0564586 15.97 0.000 1.592629 > 1.81422

---

. svy:logit konsumsi_kat jumlah_keluarga, or (running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 21 Number of obs = > 10478 Number of PSUs = 2231 Population size= > 10200177 Design df = > 2210 F( 1, 2210 = > 19.26 Prob > F = > 0.0000 ---

> ---

| Linearized

konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf.

> Interval]

---+---

> ---

jumlah_kel~a | 1.211291 .0529041 4.39 0.000 1.111863 > 1.319611

_cons | 1.509594 .0536556 11.59 0.000 1.407957 > 1.618568

---


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Energi pada Ibu Hamil di Indonesia Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas Tahun 2010)

0 7 95

Gambaran Faktor-Faktor Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

19 95 155

DETERMINAN STUNTING ANAK BADUTA: ANALISIS DATA RISKESDAS 2010

0 12 49

ANALISIS PERMINTAAN DAN EFISIENSI ENERGI LISTRIK DI INDONESIA TAHUN 1990- 2010 ANALISIS PERMINTAAN DAN EFISIENSI ENERGI LISTRIK DI INDONESIA TAHUN 1990-2010.

0 3 17

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BALITA, ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN BALITA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Balita, Asupan Energi Dan Protein Balita Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyudono I Ka

0 4 11

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BALITA, ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN BALITA DENGAN STATUS Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Balita, Asupan Energi Dan Protein Balita Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyudono I Kabupaten Boyolal

0 2 17

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH TIMUR INDONESIA (ANALISIS DATA RISKESDAS 2010)

0 0 9

PERKAWINAN DINI DAN DAMPAK STATUS GIZI PADA ANAK (ANALISIS DATA RISKESDAS 2010)

0 0 11

DETERMINAN STATUS GIZI PENDEK ANAK BALITA DENGAN RIWAYAT BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI INDONESIA (ANALISIS DATA RISKESDAS 2007-2010)

0 0 11

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL DEMOGRAFI DAN KEGEMUKAN PADA PENDUDUK DEWASA DI INDONESIA TAHUN 2007 DAN 2010 (ANALISIS DATA RISKESDAS 2007 DAN 2010)

0 0 12